You are on page 1of 12

HALAMAN PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama : NIM : Judul Referat : Andi Firman

Mubarak 110 209 0088 Creeping Eruption

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar,

Februari 2013 Mengetahui, Pembimbing

dr. Dian Anggraeni

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ DAFTAR ISI.................................................................................................. PENDAHULUAN........................................................................................... ETIOLOGI...................................................................................................... PATOGENESIS.............................................................................................. GEJALA KLINIS........................................................................................... DIAGOSIS...................................................................................................... DIAGNOSIS BANDING................................................................................ PENATALAKSANAAN................................................................................ KOMPLIKASI................................................................................................ PROGNOSIS.................................................................................................. KESIMPULAN............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 1 2 3 4 4 5 6 7 8 8 11 11 11 13

CREEPING ERUPTION

PENDAHULUAN Creeping eruption disebut juga cutaneus larva migrans (CLM), sand worms, creeping verminous dermatitis, plumbers itch and ducks hunter itch. Disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva nematoda di dalam epidermis.(1-2) Cutaneus larva migrans adalah kelainan kulit yang khas berupa peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif. Disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari kucing atau anjing (1) Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika selatan dan barat, di Indonesia pun banyak dijumpai.(2) CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan penelitian yang ada, terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik
(2,3)

karena

tingkat

keberhasilannya lebih baik dari pada terapi topikal.

ETIOLOGI Penyebab utama dari creeping eruption adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma brazilienes (spesies yang paling sering ditemukan pada manusia) dan Ancylostoma caninum. Di Asia timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada bebrapa kasus ditemukan

Echinococcus, Strongyloideus sterconalis, dermatobia maxiales, dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidupnya.(1,3)

PATOGENESIS Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk inefektif (larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kulitnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari.(2,4) Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit bergerak tanpa arah tujuan yang pasti sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit.(1,2) Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes penderita dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang diekskresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.(1,4,5)

GEJALA KLINIS Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3 mm, berwarna merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Waktu dari terekspos sampai adanya onset dari gejala biasanya memakan waktu 1-6 hari. (1,2) Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa milimeter sampai sentimeter setiap harinya. Bisa terdapat satu lesi maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terowongan yang sudah lama akan mengering dan menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk akan menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder.(2,4) Tempat predileksi adalah tungkai, plantar, tangan (unilateral/ bilateral), pinggang, bahu, anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada.(1,6)

Gambar 1: Tampak lesi kemerahan dan berkelok-kelok pada kaki kirinya. Disebabkan oleh penetrasi dari larva.(6)

Gambar 2: lesi berkelok-kelok yang khas pada cutaneus larva migrans.(5)

DIAGNOSIS 1. Anamnesis Penderita tinggal atau habis bepergian ke daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab. Memiliki kebiasaan sering berjalan tanpa menggunakan alas kaki atau memiliki kegiatan yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Terdapat kucing atau anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal penderita. (2,3) 2. Pemeriksaan Fisis Dengan inspeksi pada daerah tungkai, plantar, tangan, anus, bokong atau paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada, akan tampak adanya lesi seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul dan vesikel di atasnya.(1,2) 3. Pemeriksaan penunjang Untuk menunjang diagnosis bisa dilakukan biopsi kulit. Walaupun tidak terlalu bermakna.(3) Dimana akan tampak larva nematoda terperangkap di antara kanal folikel, stratum korneum atau di dermis bersama dengan infiltrat eosinofilik inflamasi.(1,2) Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya sedikit pasien

yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.(2,3) DIAGNOSIS BANDING(1) 1. Skabies Etiologi: Sarcoptes scabiei, termasuk filum Arthropoda Gejala klinis: - Pruritus nokturna, gatal pada malam hari Menyerang manusia secara berkelompok Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-

tempat predileksi. Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada CLM dan gatal pada malam hari. Pada skabies terdapat papul atau vesikel yang berpasangan. Menemukan tungau

2. Dermatitis insects bite: Papul yang terdapat pada insect bite memiliki kemiripan terhadap lesi permulaan dari CLM yang berbentuk papul. 3. Herpes zooster: Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papulpapul lesi ini dapat menyerupai herpes zooster stadium permulaan. Dimana herpes zooster diakbitkan oleh virus.

PENATALAKSANAAN Non-medikamentosa Infeksi cacing tambang dapat dicegah dengan menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang tercemar dengan kotoran binatang dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing merupakan hal untuk mencegah creeping eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari area aktivitas manusia. (1,3,5) Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diarbsorbsi. Meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk berobat.

Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisir. Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral untuk lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.(3-5)

Medikamentosa Pengobatan oral 1. Thiabendazole Merupakan antihelmintes heterosiklik generasi ketiga. Merupakan drug of choice dari CLM. Menghambat enzim fumarat reduktase sehingga menginhibisi pembentukan mikrotubuli..(3,5) Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas, misalnya tiabendazole (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 50mg/kgBB/hari, 2 kali sehar, diberikan berturut-turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3gram sehari, jika belum sembuh dapat diulang setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingya mual, pusing, dan muntah.(2) Topikal thiabendazole 10% krim, walaupun kurang efektif, merupakan alternatif yang baik untuk anak-anak untuk mencegah efek samping sistemik dari pengobatan.(6) Dewasa Topikal berupa suspensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1 minggu. Oral 25-50mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari(2,5) Anak-anak Dosis 25-50mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari 3gr/hari(2)

2. Ivermectin Antiparasit sistemik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. Dosis 12mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal(4,5) 3. Albendazole Merupakan generasi ketiga dari obat heterosiklik antihelmintic. Sudah digunakan untuk mengobati penyakit parasit pada saluran pencernaan. Antihistamin spektrum luas yang mengganggu ambilan glukosa dan agregasi mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazole.(5) Dosis untuk orang dewasa (>2thn), sehari 400mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3 hari berturt-turut atau 2x 200mg sehari selama 5 hari.(2) < 2 thn: 200mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu kemudian jika perlu.(2)

Pengobatan Topikal Thiabendazole, Aplikasi topikal dari 10%-15% thiabendazole ointment pada daerah lesi memperlihatkan hasil yang memuaskan. Krim thiabendazole dibuat dari penghancuran 500mg tablet thiabendazole yang dilarutkan dalam air. Pada kebanyakan penderita, lesi dari traktus migrasi larva membaik dalam waktu 48 jam pengobatan. Tujuan utama dari pengobatan topikal sistemik.(5) Albendazole, Aplikasi topikal dari 10% albendazole krim 2 kali sehari membaik dalam waktu 10 hari.(2) adalah untuk mencegah terjadinya efek samping

Agen Pembeku Topikal Membekukan sesuai dengan alur dari larva yang terdapat pada kulit dengan sprai ethylene cloride, solid carnbon dioxide, atau nitrogen

10

cair terkadang berhasil. Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 sampai 1, dua hari berturut-turut. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi.(2,5)

KOMPLIKASI Ekskoriasis dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan merupakan komplikasi yang sering terjadi. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptococcus pyogenes. Bisa juga terjadi impetigo, reaksi alergi lokal atau general misalnya edema dan reaksi vesicobullous.(1,5)

PROGNOSIS Prognosisnya sangat bagus. Creeping eruption merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Manusia merupakan hospes penderita, dimana ketika larva mati, lesi akan membaik dalam waktu 4-8 minggu, terkadang waktu 1 tahun. (6)

KESIMPULAN Creeping Eruption atau Cutaneus Larva Migrans (CLM)

merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing dimana paling banyak disebabkan oleh ancylostoma braziliense. Banyak terdapat pada daerah tropis dan subtropis. Beresiko terhadap orang yang sering berhubungan dengan tanah berpasir dan tidak memakai alas kaki. Manusia terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah yang terkontaminasi. Manusia merupakan hospes aksidenta. Gejala klinis yang timbul berupa gatal, papul, eritematous, kadang disertai rasa nyeri serta lesi khas yang berbentuk linear berbelok-belok. Dapat juga terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder yang umumnya disebabkan oleh streptococcus pyogenes.

11

CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan penelitian yang ada, terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik karena tingkat

keberhasilannya lebih baik dari pada terapi topikal.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S. Creeping eruption. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Ed-5. Jakarta: Fk-UI; 2010. H. 125-6 2. Elizabeth M.W., Caumes E. Helminthic infections In: Wolf K., Goldsmith L.A., Katz S.I., editors. Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 7thEd. New York: McGrawHill; 2008. P. 2023-4 3. Sterry W., Paus R., Burgdorf W. Thieme Clinical Dermatology. New York: Thieme; 2006. P. 131-2 4. Lopez F.V., Hay R.J. Parasitic Worms and Protozoa. In: Burns T., Breathnach S., Cox N., Griffiths C., editors. Rooks Textbook of Dermatology. 7thEd. Oxford: Blackwell; 2004. P. 32.17-18 5. Caumes E. Treatment of Cutaneous Larva Migrans. CID 2000;30:811-4 6. Vano S.G., Gil M.M., Truchuelo M., Jaen P. Cutaneus larva migrans: a case report. Cases Journal 2009;2:112

13

You might also like