You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Epilepsi adalah sindrom elektro-klinik yang ditandai dengan dua atau lebih epileptic seizure (recurrentseizure), sebagian besar oleh karena unprovoked seizure akibat kelainanprimer di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik.(1,2) Epileptic seizure, biasa disebut pula dengan seizure adalah manifestasi klinikoleh karena disfungsi serebral akibat imbalance dari sistem eksitasi dan inhibisi dari neuron-neuron di korteks serebral. Manifestasi klinik dapatberupa gangguan kesadaran, kelakuan, emosi, fungsi motorik, persepsi, sensasi, bisa tunggal atau kombinasi.(1) Epilepsi secara garis besar dapat digolongkan menjadi epilepsi idiopatik dan epilepsi simtomatik.(1,3) Epilepsi simtomatik adalah epilepsi yang disertai gejala neurologik lainnya dan terdapat kelainan struktur atau metabolik pada otak yang dapat dideteksi.(1,3,4) Ada beberapa penyebab yang mungkin mendahului terjadinya epilepsi simtomatik ini, diantaranya gangguan perkembangan otak sebelum lahir, kekurangan oksigen ketika atau setelah lahir, trauma kepala, tumor, 1

kejang demam prolong, dan infeksi otak yang berat seperti meningitis atau ensefalitis.(4) Sebaliknya epilepsi idiopatik adalah epilepsi yang tidak disertai tambahan gejala neurologik lainnya dan diketahui bahwa penyakit ini diwariskan (berlatar belakang genetik) tetapi belum diketemukan penyebabnya. Epilepsi dengan latar belakang genetik ini menempati 40% dari pasien-pasien epilepsi.(3) Walaupun terjadi kekurangan data tentang epidemiologi epilepsi di Indonesia, tapi rata-rata prevalensinya akan tidak berbeda jauh dari rata-rata prevalensi di negara-negara tetangga Indonesia, yaitu sekitar 3,9/1000 sampai 5,6/1000 (meta analisis dari 20 studi). Dengan rata-rata prevalensi 0,5% dari populasi penduduk yang berjumlah 220 juta lebih, maka kira-kira 1,1 juta orang di Indonesia menderita epilepsi.(5) Di Indonesia, epilepsi sudah lama dikenal oleh masyarakat dengan berbagai nama, diantaranya ayan, sawan celeng dan lain-lain. Namun masih sering masyarakat menganggap epilepsi atau ayan, bukan sebagai penyakit, akan tetapi sebagai akibat kekuatan gaib, kutukan atau kesurupan, sehingga banyak di antara para penderita epilepsi tidak mendapat perhatian selayaknya. Epilepsi juga sering dikaitkan dengan penyakit jiwa atau intelegensi rendah. Kurangnya pengertian tentang epilepsi di kalangan masyarakat merupakan sebab utama mengapa masalah epilepsi belum dapat ditanggulangi dengan baik. Kebanyakan penderita tidak atau tidak teratur berobat pada dokter, anak-anak yang menderita epilepsi sering tidak disekolahkan atau dikeluarkan dari sekolah karena mendapat serangan-serangan kejang. Di kalangan dokter pun masih banyak yang belum memahami benar masalah epilepsi. Hal ini sangat disanyangkan, karena sebagian besar penderita epilepsi akan dapat sekolah, bahkan hingga tingkat universitas dan dapat bekerja serta hidup bahagia apabila serangan-serangan epilepsi dapat dicegah.(6,7) II. TUJUAN Dalam penulisan laporan ini akan dibahas kasus seorang anak dengan epilepsy parsial simpleks, developmental delay, dan gizi baik yang dirawat di bangsal Anak C1 lantai 2 RSDK Semarang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien dengan epilepsi, developmental delay, dan gizi baik, sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah diberikan sesuai dengan kepustakaan yang ada. 2

III. MANFAAT Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media belajar bagi mahasiswa dan diharapkan mahasiswa dapat mendiagnosis dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara dini dan tepat. Juga diharapkan agar kelak mahasiswa mampu membantu meluruskan anggapan atau stigma yang salah di masyarakat mengenai penyakit epilepsi selama ini.

BAB II LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Anak ke Alamat No. CM Tanggal masuk Tanggal periksa : An. AA : 10 bulan : Laki-laki : 4 dari 4 bersaudara : Ginggang-tani, Grobogan, Gubug Purwodadi, Semarang : 5146335 : 30 Agustus 2005 : 31 Agustus 2005

IDENTITAS ORANG TUA Nama Ayah Umur Ayah Pekerjaan Ayah Pendidikan Ayah Nama Ibu Umur Ibu Pekerjaan ibu Pendidikan ibu : Tn A : 40 tahun : Guru MTS : SMU : Ny. U : 39 tahun : Tidak bekerja : SD

II. DATA DASAR 1. ANAMNESIS Alloanamnesa dengan Ibu penderita data dari catatan medik. Keluhan Utama : Kejang 2. Riwayat Penyakit Sekarang 5 bulan yang lalu, saat batuk-pilek disertai demam, anak kejang 3-4 kali/hari @ 1 menit. Saat kejang, tangan dan kaki kiri menjadi lurus kaku. Kejang tidak kelonjotan. Saat kejang anak sadar (menangis). Sebelum dan sesudah kejang anak sadar. Sejak saat itu, hampir tiap hari anak mengalami kejang 3-4 kali/hari @ 1 menit walaupun tanpa disertai demam. Anak hanya dibawa berobat ke puskesmas saat badan demam dan mendapat obat penurun panas. Sejak 5 bulan yang lalu, perkembangan anak juga dirasa lambat. Anak belum bisa tengkurap dan baru bisa ngomong aa.., lalu anak dibawa ke spesialis anak, mendapat obat puyer tapi tak ada perubahan. 3 bulan yang lalu, anak dibawa berobat ke poli anak RSDK. Dilakukan penilaian Denver, didapatkan kesimpulan : curiga adanya keterlambatan perkembangan. Anak lalu dikonsulkan pemeriksaan mata, THT, rehabilitasi medik, dan neurologi dengan permasalahan observasi kejang dan keterlambatan perkembangan. 1 bulan yang lalu, anak dibawa berobat ke poli Neurologi Anak RSDK, didiagnosa suspek epilepsi, lalu dilakukan EEG dengan hasil ditemukan disfungsi umum bersifat iritatif dengan curiga fokus iritatif pada hemisfer kanan. Anak mendapat terapi obat minum Depakene syrup 2 x cth, Ensefabol syrup 1 x 1 cth, dan Tegetrol 3 x 25 mg. 2 minggu yang lalu, anak kontrol ke poli Neurologi Anak RSDK dengan keluhan kejang yang semakin sering 10 kali/hari @ 1 menit. Dosis Tegetrol dinaikkan menjadi 3 x 37,5 mg, dosis obat yang lain tetap. Anak juga diprogramkan untuk CT Scan. di bangsal anak C1 lantai 2 RSDK

Semarang pada tanggal 31 Agustus 2005 pukul 13.30 WIB dan dilengkapi dengan

1 hari yang lalu, anak dibawa kontrol ke poli Neurologi Anak RSDK dengan keluhan kulit leher anak melepuh setelah 2 hari pemberian obat dengan peningkatan dosis, dan untuk pemeriksaan CT-Scan. Karena pertimbangan rumah yang jauh dan adanya persiapan khusus sebelum CT-Scan, orang tua memutuskan untuk memondokkan anak di bangsal anak C 1 lantai 2. Pemberian Tegetrol dihentikan. Riwayat kontak dengan penderita TB Paru maupun penderita batuk lama dengan pengobatan > 6 bulan dengan obat yang menyebabkan kencing berwarna merah disangkal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Sejak 7 bulan yang lalu anak sering batuk pilek dan mencret, yang disertai panas. Anak dibawa berobat ke dokter umum, mendapat obat dan keluhan menghilang. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini. Kakak pertama dan kedua dari penderita pernah kejang saat demam tinggi masing-masing di usia 3 bulan dan 5 bulan. Riwayat batuk lama, disertai berat badan turun dan keringat malam hari, batuk darah maupun pengobatan lama dengan obat yang menyebabkan kencing berwarna merah pada anggota keluarga tidak ada.

* Ket : * Riwayat kejang demam

5.

Riwayat Sosial Ekonomi Ayah bekerja sebagai guru MTS dan wirausaha bengkel dengan penghasilan ratarata perbulan Rp. 800.000,00 sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Menanggung empat orang anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung ASKES GAKIN. Kesan : Sosial ekonomi kurang.

6.

Riwayat Prenatal Saat mengandung penderita, ibu periksa kehamilan, di bidan > 4x, dan disuntik TT 2 x. Riwayat penyakit selama kehamilan disangkal, riwayat perdarahan saat kehamilan disangkal. Riwayat trauma disangkal. Riwayat pernah keguguran disangkal, riwayat sakit panas selama kehamilan disangkal. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan yaitu vitamin dan tablet penambah darah dari bidan.

7.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan: G4P4A0 Kehamilan dan kelahiran Tgl lahir / usia 17 tahun 15 tahun 10 tahun 10 bulan

1. Laki-laki, aterm, spontan, bidan, BBL 3200 gram 2. Perempuan, aterm, spontan, bidan, BBL 3100 gram 3. Perempuan, aterm, spontan, bidan, BBL 3000 gram 4. Laki-laki, aterm, spontan, bidan, BBL 3400 gram 8. Riwayat Pemeliharaan Postnatal : Periksa di 9. : dokter

Keadaan anak : sejak usia 3 bulan sering batuk pilek, mencret dan panas. Riwayat Imunisasi : BCG DPT Polio Campak Hepatitis : 1 kali (0 bln), scar (+) : 2 kali (2,4 bulan) : 1 kali (4 bln) : Belum diberikan : 1 kali (1 bulan)

Kesan

: imunisasi tidak lengkap.

10. Riwayat Makan dan Minum : ASI diberikan sejak lahir sampai sekarang, sesuka anak. Sejak usia 4-6 bulan diberikan susu SGM I 1x/hari, 2 sendok takar dalam 60 cc air, habis. Selanjutnya diberikan susu SGM II sejak usia 6 bulan hingga sekarang, 1x/hari, 2 sendok takar dalam 60 cc air, habis. Sejak usia 7 bulan sampai sekarang diberi bubur Promina 3 kali sehari @ 2 sendok teh ditambah 2 sendok makan air, kadang tak habis. Sedangkan buah/sayuran belum pernah diberikan. Kesan : kualitas dan kuantitas makanan kurang. 11. Riwayat Perkembangan : senyum miring tengkurap duduk gigi keluar : 2 bulan : 4 bulan : Belum : Belum : tumbuh gigi incicivus I, II rahang bawah pada usia 7 bulan

Kesan : perkembangan tidak sesuai dengan umur. 12. Riwayat KB Orang tua penderita tidak menggunakan alat kontrasepsi karena merasa tidak perlu. B. PEMERIKSAAN FISIK ( tgl 31 Agustus 2005, pukul 14.00 WIB ) Seorang anak laki-laki, umur 10 bulan, berat badan 7700 gram, dan panjang badan 68,5 cm. Kesan umum Tanda Vital Nadi RR Temperatur : 110 x/menit, isi dan tegangan cukup. : 24 x/menit : 37C : Sadar, kurang aktif, kejang (-)

Kepala Lingkar kepala : 43,5 cm, mesosefal, UUB belum menutup, datar, sutura tidak melebar, cekung (-) Rambut Mata : hitam, tak mudah dicabut : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), cekung (-), bitot spot (-) Hidung Telinga Mulut Gigi Tenggorokan Leher Dada: Paru: Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi suprastrernal (-), epigastrial (-), intercostal (-). Palpasi Perkusi : stem fremitus kanan = kiri. : sonor seluruh lapangan paru : nafas cuping hidung (-) : sekret (-) : bibir kering (-), mukosa sianosis (-) : tumbuh gigi incicivus I, II rahang bawah : T1-T1, faring hiperemis (-) : simetris, pembesaran nnll -/-

Auskultasi : Suara dasar : vesikuler. Suara tambahan : - ronkhi -/- hantaran -/- wheezing -/Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi : iktus kordis tak tampak : iktus kordis teraba di sela iga V linea medioclavicula kiri : Batas kiri Batas atas : SIC V 2 cm medial LMCS : SIC II Linea Parasternal sinistra

Batas kanan : SIC II Linea Parasternal dekstra Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-), irama reguler, aktivitas cukup, thrill (-), souffle (-), frekuensi jantung 110 x/menit. M1 M2, A1 A2, P1 P2 Abdomen Inspeksi : datar, lemas, venektasi (-)

Auskultasi : bising usus (+) N Palpasi : Hepar - BH, kenyal, rata, tepi tajam Lien S0 Perkusi Alat Kelamin Laki-laki, dalam batas normal Anus (+) dalam batas normal Anggota gerak Superior Sianosis Edema Capp. Refill Refleks fisiologis Refleks patologis Tonus Klonus Gerak +/+ Normotoni -/-/<2 +N/+N Inferior -/-/<2 +N/+N +/+ (Babinsky) Normotoni -/+/+ : timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

10

Pemeriksaan DDST II tanggal 20 Juni 2005 Hasil : Motorik Kasar Motorik Halus Bahasa sesuai dengan usia 0,5 bulan sesuai dengan usia 1,5 bulan sesuai dengan usia 0,5 bulan

Personal sosial sesuai dengan usia 1,5 bulan Kesimpulan : curiga adanya keterlambatan perkembangan Pemeriksaan ELM-2 tanggal 20 Juni 2005 Hasil : Auditory Expressive sesuai dengan usia 4,5 bulan Auditory Receptive < NB Verbal Global Language sesuai dengan usia 0,8 bulan sesuai dengan usia 0,8 bulan

Tes Pendengaran tanggal 20 Juni 2005 Hasil : Barany test (+) Pemeriksaan Mata tanggal 20 Juni 2005 Hasil : Visus ODS belum dapat dinilai Palpebra Konjungtiva Kornea COA Iris Pupil Lensa : edema (-), spasme (-) : injeksi (-), sekret (-) : jernih, diameter dalam batas normal : cukup, jernih : kripte (+), sinekia (-) : diameter 2,5 mm, Refleks pupil (+) : jernih

Fundus Refleks: (+) cemerlang Funduscopy : Papil N.II : batas tegas, kuning kemerahan, CDR 0,3 Vasa Retina : AVR , dalam batas normal : edema (-), eksudat (-), perdarahan (-)

11

Makula

: refleks fovea (+)

Kesan : Tak ada kelainan di bagian mata Pemeriksaan EEG tanggal 21 Juni 2005 Hasil : Rekaman EEG dalam keadaan tidur tanpa premedikasi. Aktifitas dasar gelombang 5-7 spd bercampur dengan gelombang delta 2-3 spd, dan sedikit gelombang alpha 9-13 spd. Amplitudo rata-rata 70-100 V Sebagian rekaman terganggu artefak Respon terhadap panca indera (+). Rekaman Unipolar Tampak gelombang disritmik paroksismal terdiri dari gel. Tajam bercampur lambat pada hampir semua lead dengan amplitudo mencapai 200 V Tak tampak asimetri Rekaman Bipolar Tak tampak focus lesi Rekaman Fotik Tampak gelombang slow spike dengan amplitudo 200 V pada hemisfer kanan yang menetap pada post fotik Kesan Rekaman EEG : Disfungsi umum bersifat iritatif dengan curiga fokus iritatif pada hemisfer kanan Pemeriksaan Laboratorium tanggal 30 Agustus 2005 Darah Hb Ht Eritrosit : 10,20 gr/dl : 30,6 % : 3,59 juta/mm
3

Trombosit MCV MCH

: 473.000/mm3 : 85,20 femtoliters : 28,30 picograms

12

Leukosit

: 14.100 /mm3

MCHC

: 33,20 gr/dl

Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras tanggal 31 Agustus 2005 Sulkus kortikalis frontotemporal kanan kiri dan fisura melebar Ventrikel lateral dan III melebar, Ventrikel IV normal Sisterna melebar Tak tampak lesi hipodens dan hiperdens pada parenkim otak Tak tampak midline shifting Serebellum dan batang otak baik Kesan : Atrofi frontotemporal kanan kiri. D. PEMERIKSAAN KHUSUS Anak laki-laki, 10 bulan, berat badan 7700 gram, panjang badan 68,5 cm. Pemeriksaan Status Gizi (Z score) 7,7 9,5 WAZ = 0,90 = - 2 SD 68,5 73,6 2,6 HAZ = = -1,96 SD 7,7 8,1 WHZ = 0,8 = -0,5 SD Kesan : Gizi Baik Kebutuhan Cairan, Kalori, Protein Kebutuhan 24 jam 6 x 80cc SGMII Asi ad libitum, 400 cc Total % AKG Cairan 770 cc 480 400 880 114,3 % Kalori 770 kkal 313 280 593 72% Protein 15,4 gr 12,48 1,60 14,08 93%

III. DIAGNOSIS BANDING

13

I.

Epilepsi Parsial Simpleks DD : idiopatik simtomatik

II. Developmental Delay III. Imunisasi dasar tidak lengkap IV. Gizi Baik IV. DIAGNOSIS SEMENTARA I. Epilepsi Parsial Simpleks

II. Developmental Delay III. Imunisasi dasar tidak lengkap IV. Gizi Baik V. DAFTAR MASALAH

Masalah Aktif 1. Epilepsi Parsial Simpleks 2. Developmental Delay 3. Imunisasi dasar tidak lengkap

Tanggal Masalah Pasif 31/ 08/ 2005 31/ 08/ 2005 31/ 08/ 2005 4. Sosial Ekonomi Kurang

Tanggal

31/08/2005

VI. INITIAL PLANS 1. Epilepsi Parsial Simpleks DD : idiopatik Simtomatik IP Diagnosa IP Terapi : S : O : : Depakene syrup 2 x 1 cth Ensefabol syrup 1 x 1 cth IP Monitoring : Frekuensi dan durasi kejang, efek samping obat

14

IP Edukasi

: Menjelaskan kepada orangtua pasien mengenai penyakit yang diderita oleh pasien dan program terapi yang akan dilaksanakan pada pasien, serta hal-hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh keluarga pasien, dan juga menerangkan tentang prognosis dari penyakitnya.

2. Developmental delay DD : Speech delay Motor delay Global developmental delay IP Dianosa IP Terapi IP Edukasi :S :O: : Fisioterapi, terapi okupasi, speech terapi : Menjelaskan kepada orang tua penderita mengenai penyakit pasien, progosisnya, dan program terapi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. 3. Imunisasi dasar tidak lengkap IP Diagnosa IP Terapi IP Edukasi : S:O : KMS : : Memotivasi orang tua pasien untuk melengkapi imunisasi pasien saat kondisi pasien membaik. IP Monitoring : IP Monitoring : DDST II, ELM Scale-2

15

VII. BAGAN PERMASALAHAN Rehabilitatif : fisioterapi, terapi okupasi Promotif : Edukasi orang tua Rehabilitatif : fisioterapi, terapi okupasi Kuratif: Obat anti epilepsi

16

Tumbuh kembang optimal Asuh Asih Asah Preventif : imunisasi, perilaku dan lingkungan sehat

17

HASIL KUNJUNGAN RUMAH Kunjungan rumah penderita dilakukan pada tanggal 3 September 2005 pukul 15.30 WIB. 1. Keadaan Pasien Dari anamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 3 September 2005, diketahui bahwa pasien telah meninggal dunia pada tanggal 2 September 2005 pukul 23.30 dengan kroniolgis peristiwa sebagai berikut : Pagi hari tanggal 2 September 2005, anak mencret 3 kali, @ gelas belimbing, cair, ampas (+) sedikit, lendir (-), darah (-), demam (+), muntah (+) setiap kali makan dan minum. Muntah seperti yang dimakan dan diminum. Saat diberi ASI, anak terlihat sangat kehausan, tapi kemudian segera setelah diberi ASI, anak muntah. Kejang (+), saat kejang, sebelum dan sesudahnya anak sadar. Anak menjadi rewel dan tampak lemah. Siang hari, kencing semakin berkurang jumlah dan frekuensinya. Sore harinya anak mencret 2 kali, @ gelas belimbing, cair, ampas (+) sedikit, lendir (-), darah (-), demam (+), muntah (+) setiap kali makan dan minum. Muntah seperti yang dimakan dan diminum. Kejang (+), saat kejang, sebelum dan sesudahnya anak sadar. Anak lalu dibawa berobat ke dokter praktek, mendapat obat puyer tapi tak ada perbaikan. Sejak sore hingga malam, anak sudah tak kencing lagi, anak makin tampak lemah dan menjadi malas minum, tangis tak kuat, bahkan tak tampak keluar air mata, kejang (+) semakin sering dan lebih lama 3-5 menit, saat kejang, sebelum dan sesudahnya anak sadar. Orang tua memutuskan untuk memondokkan anak ke puskesmas. Di perjalanan anak kejang seluruh tubuh, sebelum kejang sadar, saat kejang dan setelahnya anak tak sadar, tapi anak masih bernafas. Kejang terjadi dalam frekuensi yang sering dan jarak antara kejang satu dan yang lainnya sekitar 5 menit dan anak tetap dalam keadaan tak

sadar. Kejang yang berkesinambungan ini terjadi dalam waktu > 30 menit. Ujungujung jari tangan dan kaki teraba sangat dingin, sedang badan anak demam tinggi. Sampai di puskesmas, anak meninggal. Pagi hari tanggal 3 September 2005, pukul 18.00 anak dimakamkan. 2. Keadaan rumah Status kepemilikan Ukuran rumah Penghuni Halaman rumah Dinding rumah Lantai rumah Atap Ruangan : Rumah milik sendiri : 14 x 7 m2 : 5 orang (ayah, ibu, 2 orang kakak,dan penderita) : Ada, luas : 2 x 6 m2, hanya ditanami rumput : Tembok permanen dan papan. : Ubin dan tanah. : Genting, tidak menggunakan plafon. : Rumah terdiri dari 7 ruangan, yaitu 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 1 ruang makan, 3 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi, 1 WC. Masing-masing ruangan dipisahkan oleh papan kecuali antara dapur dengan kamar mandi dipisahkan oleh tembok permanen. Ventilasi : Empat jendela ada di ruang tamu, satu pintu di ruang tamu, dan satu pintu di dapur. Ruang keluarga dan dapur tidak terdapat jendela. Kondisi rumah cukup terbuka, sirkulasi udara cukup memadai tidak terasa pengap dan lembab. Pencahayaaan : Cahaya matahari masuk melalui pintu, jendela dan dinding rumah yang dibangun dari papan. Pencahayaan cukup sehingga di siang hari di dalam rumah terkesan cukup terang. Kebersihan : Kurang bersih sehingga

Sumber air

: Air sumur, jumlah

cukup, digunakan untuk mandi,

mencuci, memasak, dan minum. Jarak antara sumur dengan septic tank 15 m. Tempat sampah : Sampah dibuang ke lubang sampah di samping rumah kemudian dilakukan pembakaran sampah sendiri.

2. Kebiasaan Sehari-hari Penderita tinggal bersama ayah, ibu, dan 2 kakak. Keseluruhan dihuni oleh 5 orang. Penderita diasuh oleh ibu. Ayah bekerja sebagai guru MTS. Makanan dan minuman dimasak sebelum dimakan. Pakaian kotor dicuci tiap 1 hari menggunakan deterjen bubuk. Alat makan dicuci dengan sabun colek. Kegiatan mencuci dilakukan di kamar mandi sekaligus tempat mencuci. Rumah disapu 1 kali sehari dan sampah dibuang ke lubang sampah di samping rumah kemudian seminggu sekali dibakar. Anggota kaluarga mandi 2 x sehari. Buang air besar di WC. 3. Lingkungan Rumah penderita terletak di Desa Ginggang-tani, Gubug, Grobogan,

Semarang. Jarak dari rumah dan fasilitas kesehatan seperti puskesmas cukup jauh. Kepadatan penduduk tidak terlalu tinggi. Keadaan sekitar rumah kurang bersih, jika musim kemarau banyak debu. Hubungan antara keluarga dan masyarakat sekitar cukup baik.

Gambar 1 . Denah rumah WC

WC Dapur Kamar mandi

Ruang makan

Km. Tidur

Km. Tidur

Ruang keluarga

Km. Tidur

Ruang Tamu

Teras Bengkel

BAB III PEMBAHASAN A. Diagnosa 1. Epilepsi Parsial Simpleks Dalam bidang epilepsi dikenal 2 klasifikasi, yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan kejang bukanlah klasifikasi epilepsi, tapi dibuat semata-mata berdasarkan manifestasi kejang secara klinis dan EEG. Masing-masing serangan kejang tersebut dapat terjadi pada sindrom epilepsi yang berbeda. Sebaliknya, klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi, dibuat untuk mendiskripsi grup yang menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, EEG, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang bervariasi.(1) Klasifikasi bangkitan atau serangan kejang oleh International League Against Epilepsy/ILAE 1981 adalah sebagai berikut : (1,2) I. Serangan parsial (fokal, lokal) Serangan parsial sederhana (tanpa penurunan kesadaran) Gejala : - Motorik - Otonom : somatosensoris / sensoris - Psikis (gangguan fungsi luhur) Serangan parsial kompleks (dengan penurunan kesadaran; kadangkadang mulai dengan simptomatologi sederhana) Serangan parsial sederhana sejak permulaan, kemudian diikuti penurunan kesadaran
-

Dengan gejala parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran dengan otomatisme.

Serangan parsial dengan penurunan kesadaran sejak permulaan.


-

Dengan gejala penurunan kesadaran sejak dengan otomatisme

Serangan parsial sekunder menjadi serangan umum tonis-klonis - Serangan parsial sederhana menjadi serangan umum - Serangan parsial kompleks menjadi serangan umum - Serangan paraial sederhana menjadi serangan parsial kompleks, menjadi serangan umum.

II.

Serangan Umum Serangan absens dengan penurunan kesadaran, gejala klonis, atoni, otonom, atau otomatisme Serangan absens tidak khas. Serangan mioklonis (tunggal atau multiple) Serangan tonis Serangan tonis klonis Serangan atonis

III.

Serangan epilepsi tidak terklasifikasi

Sedangkan klasifikasi sindrom epilepsi oleh International League Against Epilepsy/ILAE 1989 adalah sebagai berikut:(1,2) I. Hubungan lokalisasi epilepsi dan sindrom (fokal, lokal, partial) 1. Idiopatik dengan onset berhubungan dengan umur : Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal Epilepsi anak dengan paroksismalitas di oksipital Epilepsi reading primer 2. Simtomatik Epilepsi parsial kontinua progresif kronis pada anak ( sindrom Kojewnikows) Sindrom yang ditandai oleh bangkitan dengan cara presipitasi yang khas. Sindrom yang berdasarkan tipe bangkitan, lokalisasi anatomik dan etiologi : epilepsi lobus temporalis, epilepsi lobus frontalis, epilepsi lobus parietalis, dan epilepsi lobus oksipitalis. 3. Kriptogenik II. Epilepsi Umum dan sindrom 1. Idiopatik dengan onset berhubungan dengan umur : Kejang neonatal familial benigna Kejang neonatal benigna Epilepsi mioklonik benigna pada bayi Epilepsi absens pada anak Epilepsi absens pada juvenil Epilepsi mioklonik juvenil (petit mal impulsif) Epilepsi dengan bangkitan grand mal pada waktu bangun Epilepsi idiopatik umum lain yang tidak tersebut di atas

Epilepsi dengan bangkitan yang didahului oleh bentuk aktivitas yang khas. 2. Kriptogenik atau simtomatik, menurut penampilan umur : Sindrom West Sindrom Lennox-Gestaut Epilepsi dengan bangkitan mioklonik astatik Epilepsi dengan absens mioklonik 3. Simtomatik : a. Etiologi tidak khas Ensefalopati mioklonik dini Ensefalopati epileptik infantil dini dengan Supression burst Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak tersebut di atas b. Sindrom spesifik III. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya fokal atau umum 1. Dengan keduanya bangkitan umum atau fokal : Kejang neonatal Epilepsi mioklonik berat pada bayi Epilepsi dengan gelombang paku-ombak terus menerus selama tidur dengan gelombang lambat Afasia epileptik didapat Epilepsi lain yang tidak dapat ditentukan dan bukan tersebut di atas 2. Tanpa sifat yang jelas bangkitan umum atau fokal IV. Sindrom spesial Bangkitan yang berhubungan dengan situasi : Kejang demam Refleks epilepsi Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan : (1) a. Anamnesis Auto dan allo anamnesis Pola serangan yang terjadi Usia pada saat terjadinya serangan pertama Riwayat penyakit terdahulu Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan fisik dan neurologi : ada tidaknya defisit neurologis dan atau neuropsikologis c. Pemeriksaan EEG untuk konfirmasi adanya aktivitas epileptiform d. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional (sesuai fasilitas) e. Pemeriksaan kromosom dan mitokondrial bila dicurigai adanya kelainan genetik f. Laboratorium darah dan likuor serebrospinalis (atas indikasi) Adapun indikasi EEG pada epilepsi Membantu menegakkan diagnosis Menentukan jenis serangan dan lokasi fokus Menentukan prognosis pada kasus-kasus tertentu Melacak fokus pada kasus-kasus yang klinis dengan dicurigai epilepsi (misalnya : EEG dengan teknik khusus atau longterm monitoring) Menentukan fokus untuk tindakan operasi (longterm monitoring) Semua kasus serangan pertama yang diduga ada kelainan struktural Terdapat defisit neurologis fokal Serangan pertama di atas usia 40 tahun Intractable epilepsy untuk persiapan operasi Epilepsi serangan parsial Sedangakan indikasi pemeriksaan neuroimajing pada epilepsi

Berdasarkan alloanamnesa dengan ibu pasien yang menyaksikan sendiri serangan-serangan kejang pada pasien, pasien telah mengalami kejang tanpa provokasi sebanyak lebih dari dua kali. Saat kejang, tangan dan kaki kiri menjadi lurus kaku, dan anak dalam keadaan sadar. Sebelum dan sesudah kejang anak juga sadar. Sehingga, berdasarkan serangan kejang yang dialami, pasien ini diklasifikasikan sebagai penderita epilepsi dengan serangan kejang berupa kejang parsial simpleks. Kejang parsial simpleks adalah kejang dengan onset lokal pada satu bagian tubuh tanp[a terganggunya kesadaran. Gejala dapat berupa gejala motor, sensori, kognitif, atau afektif.(3) Klinis epilepsi ini juga ditunjang dengan hasil pemeriksaan EEG yaitu ditemukan disfungsi umum bersifat iritatif dengan curiga fokus iritatif pada hemisfer kanan. Walaupun demikian, ditemukannya aktifitas epileptiform pada EEG bukanlah syarat untuk tegaknya diagnosa epilepsi. Dari hasil penelitian Camfield dan kawan-kawan

(1995), ditemukan sekitar 40% anak-anak dengan epilepsi kronik tak pernah menunjukkan aktifitas epileptiform padaa EEG interiktalnya. Dan dari penelitian yang lain oleh Petersen dan kawan-kawan (1968), ditemukan dalam persentase yang kecil dari anak-anak yang normal, dapat ditemukan aktifitas epileptiform pada EEG walaupun mereka tak pernah mengalami kejang.(6) Karena dari klinis serangan kejang dan hasil EEG mengarah pada kecurugaan adanya kelainan struktural maka dilakukan pemeriksaan CT Scan. Dari hasil CT Scan ditemukan adanya atofi frontotemporal kanan-kiri. Adanya atrofi otak dapat mengacaukan keseimbangan eksitasi dan inhibisi pada suatu bagian atau seluruh bagian otak sehingga menimbulkan kejang.(7) Pada pasien ini, adanya atrofi pada lobus frontalis dimana terdapat gyrus pre-sentralis yang mengatur motorik tubuh menyebabkan timbulnya gejala motorik pada serangan kejang.

2. Developmental delay Skrining perkembangan merupakan pemeriksaan singkat untuk mengetahui adanya penyimpangan dari perkembangan normal, tetapi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis kelainan perkembangan atau penyebab gangguan perkembangan. Setiap anak yang normal harus diskrining secara berkala saat kunjungan anak sehat. Diharapkan gangguan perkembangan pada anak-anak yang tidak mempunyai resiko kelainan perkembangan ini akan tereteksi secara dini. Umumnya skrining perkembangan dilakukan oleh paramedis atau kader yang terlatih. Semua dokter juga wajib melakukan skirining perkembangan jika ia berhadapan dengan anak. Uji skrining yang paling luas dikenal adalah DDST (Denver Developmental Screening test). Jika dari hasil DDST ditemukan adanya gangguan perkembangan bahasa maka dapat diteruskan dengan pemeriksaan ELM Scale-2 (Early Language Milestone-Scale 2). Beberapa anak membutuhkan sedikit atau tidak sama sekali pemeriksaan penunjang, sedangkan anak lainnya mungkin membutuhkan pemeriksaan yang intensif. Anak-anak dengan anomali mayor atau minor multipel yang mungkin menderita suatu sindrom harus menjalani pemeriksaan kromosom. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada setiap anak dengan kelainan perkembangan yang mengalami kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Beberapa sindrom

epilepsi seperti spasme infantil dan sindrom Lennox Gestaut sangat berhubungan dengan kelainan perkembangan. Ultrasonografi, CT Scan, dan MRI kadang-kadang dibutuhkan untuk mendeteksi kelainan anatomi intrakranial yang mungkin bermanfaat dalam penetapan diagnosis, konsultasi genetik atau prognosis walaupun tidak merubah tata laksana. Atrofi korteks serebri, walaupun bukan gambaran yang spesifik, ditemukan pada hampir 50 % anak dengan palsi serebral dan 25 % anak dengan retardasi mental. Pemeriksaan pencitraan saraf terindikasi pada keadaan perubahan tingkah laku, lingkar kepala abnormal, kelainan motor berat, retardasi mental, dan kejang yang sering. Karena rendahnya prevalens penyakit metabolik, skrining metabolik hanya dilakukan bila dicurigai terdapatnya kelainan metabolik. Pada kasus ini, dari hasil DDST II dan ELM Scale-2 ditemukan adanya keterlambatan perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan personal sosial. Dari pemeriksaan mata, tak ditemukan adanya kelainan yang dapat menghambat perkembangan anak. Dan dari pemeiksaan THT, Barany test memberi hasil (+). Tetapi dari pemeriksaan CT Scan, ditemukan adanya atrofi frontotemporal kanan-kiri yang dapat menjadi etiologi gangguan perkembangan pada anak. Atrofi pada lobus frontalis dimana terdapat gyrus pre-sentralis yang mengatur fungsi motorik pada manusia, dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan perkembangan motorik kasar dan halus pada pasien ini. Atofi frontotemporal ini pun dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan visual pada pasien ini karena menyebabkan gangguan gerakan mata. Mungkin gerakan mata yang paling penting adalah gerakan yang menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang luas dari lapang pandangan. Gerakan fiksasi ini diatur oleh 2 mekanisme saraf. Yang pertama adalah pengaturan yang menyebabkan seseorang dapat menggerakkan mata secara volunter untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang kemudian akan difiksasinya, gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi volunter. Yang kedua adalah mekanisme yang dapat menahan mata secara tetap pada objek seketika objek itu ditemukan oleh mata, keadaan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi involunter. Gerakan fiksasi volunter diatur oleh bagian kortikal yang kecil yang terletak bilateral di regio pre-

sentralis korteks dari lobus frontalis. Disfungsi bilateral atau kerusakan pada area ini menyebabkan orang itu sukar atau tak mampu memindahkan matanya dari titik fiksasi dan selanjutnya untuk menggerakkan mata ke titik lainnya. Sedangkan mekanisme fiksasi involunter diatur oleh area penglihatan sekunder dari korteks oksipitalis, terutama area 19 Brodmann. Pada lobus temporalis, terdapat dua daerah yang berperan besar dalam jaras pendengaran manusia, yaitu daerah korteks auditorius primer dan korteks asosiasi auditoris (korteks auditorius sekunder). Kerusakan pada kedua korteks auditorius primer akan sangat menurunkan sensitivitas pendengaran seseorang. Sedang kerusakan pada korteks asosiasi auditoris (area Wernicke) akan menyebabkan seseorang tidak mampu menginterpretasikan arti dari suara yang didengarnya. Adanya gangguan pendengaran dan penglihatan terjadinya gangguan perkembangan bahasa. sangat berhubungan dengan

E. Pengelolaan 1. Epilepsi parsial simpleks Dalam memulai terapi OAE harus dipertimbangkan antara resiko pengobatan dan terjadinya gangguan medis/psikososial akibat kejang yang timbul. Pemberian terapi OAE ditujukan pada kejang epilepsi berulang dan untuk mencegah kejang berikutnya. Jadi terapi OAE direkomendasikan bila adanya alasan/fakta kemungkinan akan terjadinya suatu kejang epilepsi berulang. Pemilihan obat didasarkan atas jenis seizure, sindroma epilepsi, efek samping, interaksi antara OAE, efek OAE pada kadar darah terhadap OAE yang lain dan harga obat. Pengobatan dengan OAE dimulai dengan OAE garis pertama. Dosis ditingkatkan sampai didapat hasil optimal dan plasma konsentrasi OAE pada tingkat maksimal. Berdasarkan pertimbangan tertentu, penggabungan/kombinasi dua atau lebih OAE dapat dianjurkan dan bila hasil tak memuaskan dapat diberikan OAE garis kedua sebagai add-on.

Pemilihan obat anti epilepsi atas dasar jenis kejang dan sindroma epileptik (Devinsky 1999)

Tipe dan Kejang epilepsi

kejang Obat lini pertama sindrom

Obat lini kedua

General : -Absens -Mioklonik

Ethosuximide,asam valproat asam valproat

Lamotrigine Asetazolamide, lamotrigine,primidone. klonazepam,

asam valproat, -Tonik klonik karbamazepine, fenitoin Ethosuximide -Absens (anak) -Absens (dewasa) -Spasme infantil karbamazepine, fenitoin -Lennoxgastaut syndrom Kejang parsial : Kejang parsial simpleks, kejang parsial kompleks asam valproat, lamotrigine asam valproat corticotropin

Lamotrigine, primidone

fenobarbital,

asam valproat, lamotrigine klonazepam,lamotrigine,primidone, asam valproat karbamazepine

Gabapentin,lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, asam valproat

Pada kasus ini, awalnya pasien mendapat terapi obat minum Depakene syrup 2 x 125 mg, Ensefabol syrup 1 x 1 cth, dan Tegretol 3 x 25 mg. Dalam 2 minggu pemberian, kejang makin bertambah sering 10 kali/hari @ 1 menit. Dosis Tegretol dinaikkan menjadi 3 x 37,5 mg, dosis obat yang lain tetap. Tapi ternyata

setelah 2 hari pemberian obat dengan peningkatan dosis timbul lepuh-lepuh di leher pasien. Pemberian Tegretol lalu dihentikan, sedangkan dosis Depakene dinaikkan menjadi 3 x 250 cth. Setelah peningkatan dosis Depakene, pasien tetap kejang 3-4 kali/hari @ 1 menit.

2. Developmental delay Tata laksana anak dengan kelainan perkembangan motor membutuhkan kerja sama berbagai bidang keahlian yang meliputi dokter anak, dokter saraf anak, ahli terapi okupasi, ahli fisioterapi, ahli ortopedi, dan berbagai bidang yang berkaitan dengan gangguan lain yang menyertainya. Anak-anak dengan resiko ganggun perkembangan motor harus dirujuk untuk terapi okupasi dan fisioterapi segera setelah kelainan motoriknya dipastikan, idealnya sebelum umur 6 bulan. Intervensi dini termasuk membantu keluarga untuk memahami masalah anaknya dan menjelaskan segala sesuatu yang dapat dilakukan mereka untuk membantu anaknya. Tujuan pengobatan adalah menolong anak untuk menguasai ketrampilan motor baru atau meningkatkan kualitas ketrampilan yang sudah dikuasainya. Fisioterapi akan membantu mengatasi masalah disfungsi neuromskular dan keterlambatan motorik kasar yang mempengaruhi perkembangan postur dan gerakan tubuhnya. Sedangkan terapi okupasi akan membantu mengatasi masalah perkembangan motorik halus, kematangan kognitif dan persepsi serta penyesuaian psikososial yang mempengaruhi perkembangan ketrampilan fungsionalnya untuk bermain, membantu diri sendiri dan kecakapan sekolah.(7) Jika ditemukan adanya keterlambatan kemampuan bahasa, perlu dicari terlebih dahulu faktor penyebabnya, baru kemudian dapat dilakukan intervensi, misalnya berupa speech terapi. Pada kasus ini, pasien belum pernah mendapatkan pengelolaan dengan fisioterapi, terapi okupasi, maupun speech terapi.

F. Kematian pasien

Sejak sehari sebelum meninggal, anak menderita diare 5 kali/hari, cair, ampas (+) sedikit, lendir (-), darah (-), disertai muntah setiap kali makan dan minum. Muntah seperti yang dimakan dan diminum. Anak juga mengalami demam dan kejang yang sering. Dari hasil anamnesis, didapatkan tanda-tanda dehidrasi berat pada anak, sejak sore hari anak sudah tak kencing lagi, anak makin tampak lemah dan menjadi malas minum, tangis tak kuat, bahkan tak tampak keluar air mata. Anak dibawa berobat ke dokter praktek, mendapat obat puyer tapi tak ada perbaikan. Terjadinya dehidrasi berat pada pasien ini karena adanya kehilangan cairan yang berlebihan melalui diarenya, sedang intake cairan dan makanan sangat sedikit karena anak senantiasa muntah setiap makan dan minum. Anak juga tak mendapat terapi rehidrasi yang adekuat. Keadaan dehidrasi berat ini dapat menyebabkan anak jatuh ke dalam keadaan asidosis metabolik dan syok hipovolemik, yang dapat menyebabkan kematian. Selain itu, pada beberapa jam sebelum meninggal anak berada pada status epileptikus yang ditandai dengan serangan kejang berkesinambungan atau berulang dengan frekuensi sedemikian tingginya sehingga tidak pulih kesadarannya diantara serangan. Serangan berlangsung 30 menit atau lebih. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya status epileptikus pada pasien ini adalah infeksi yang akut, gangguan elektrolit, keadaan hipoglikemia dan hiperpireksia (suhu tubuh > 40oC). Status epileptikus adalah suatu keadaan emergensi medis yang dapat menyebabkan kematian sehingga perlu dilakukan penanganan dengan segera. Pada kasus ini, pasien telah lebih dahulu meninggal dunia sebelum sempat mendapat pertolongan medis. Berarti, ada dua kemungkinan mekanisme terjadinya kematian pada pasien ini, yaitu keadaan syok hipovolemik atau keadaan status epileptikus.

BAB IV RINGKASAN Pada tulisan ini dilaporkan kasus seorang bayi dengan epilepsi parsial simpleks, developmental delay, imunisasi dasar yang belum lengkap sesuai umur dan gizi baik, dengan pembahasan diagnosis, pengelolaan dan terapinya. Klinis didapatkan bayi laki-laki, 10 bulan, berat badan 7700 gram, panjang badan 67 cm. Dari anamnesis diperoleh, sejak 5 yang lalu anak sering mengalami kejang tanpa disertai demam 3-4 kali/hari @ 1 menit. Saat kejang, tangan dan kaki kiri menjadi lurus kaku. Kejang tidak kelonjotan. Saat kejang anak sadar (menangis). Sebelum dan sesudah kejang anak sadar. 1 bulan yang lalu, anak dibawa berobat ke poli Neurologi Anak RSDK, didiagnosa suspek epilepsi, lalu dilakukan EEG dengan hasil ditemukan disfungsi umum bersifat iritatif dengan curiga fokus iritatif pada hemisfer kanan. Anak mendapat terapi obat minum Depakene syrup 2 x cth, Ensefabol syrup 1 x 1 cth, dan Tegretol 3 x 25 mg. Karena didapati anak alergi terhadap Tegretol, maka pemberiannya dihentikan, sedang dosis Depakene ditingkatkan menjadi 3x250 mg, tetapi masih didapati kejang pada anak. Anak juga diprogramkan untuk CT Scan. Karena pertimbangan rumah yang jauh dan adanya persiapan khusus sebelum CT-Scan, orang tua memutuskan untuk memondokkan anak di bangsal anak C1 lantai 2. Sejak 5 bulan yang lalu, perkembangan anak juga dirasa lambat. Anak belum bisa tengkurap, baru bisa ngomong aa...3 bulan yang lalu, anak dibawa berobat ke poli anak RSDK. Dilakukan penilaian Denver, didapatkan kesimpulan : curiga adanya keterlambatan perkembangan. Juga dilakukan penilaian ELM Scale-2, dengan hasil ditemukan gangguan perkembangan bahasa. Sedangkan dari riwayat pemberian imunisasi, ditemukan bahwa imunisasi dasar anak belum lengkap sesuai umur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum, anak sadar, kurang aktif, dan kejang (-). Tanda vital : nadi 110 x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas 24 x/menit, dan temperatur 37C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-), pembesaran limfonodi (-). Pada pemeriksaan thoraks, jantung dan paru dalam batas normal. Begitu juga halnya dengan abdomen. Pada ekstremitas, tak ditemukan adanya defisit neurologis, refleks

fisiologis keempat ekstremitas (+) normal, dan tak ditemukan adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan EEG, ditemukan disfungsi umum bersifat iritatif dengan curiga fokus iritatif pada hemisfer kanan. Sedangkan hasil CT Scan menunjukkan adanya atrofi frontotemporal kiri-kanan Status gizi berdasarkan Z-score adalah gizi baik. Setelah mondok selama 2 hari di bangsal C1L2 dan dilakukan pemeriksaan CT Scan, penderita pulang. Dan selanjutnya penderita disarankan untuk kontrol ke Poliklinik Neurologi Anak Rumah Sakit Dokter Kariadi. Tetapi ternyata 2 hari setelah pulang dari rumah sakit anak menderita diare, disertai demam dan kejang. Dalam perjalanan penyakitnya, anak tak mendapat pengelolaan dan pertolongan medis yang adekuat sehingga anak meninggal. Kemungkinan penyebab kematian adalah karena anak jatuh ke dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi berat, ataupun karena status epileptikus yang dialaminya.

BAGAN KEMATIAN Rehabilitatif : fisioterapi, terapi okupasi

Diare Akut Dehidrasi Berat

Syok Hipovolemik

Gangguan Elektrolit

Status Epileptikus

Cardio-respiratory Arrest

Kematian

DAFTAR PUSTAKA 1. Limoa A.The Principle Management of Epilepsy. Dalam : Kustiowati E(ed); Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2004: 78-93. 2. Kaddurah AK, Moorjani B. Benign Childhood Epilepsy. October 2004. Available at URL: http://www.emedicine.com/neuro/topic641. htm 3. Faradz S. The Genetics of Epilepsy. Dalam : Kustiowati E(ed); Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2004: 1-10. 4. Epilepsy Foundation. Causes of Childhood Epilepsy. 2005. Available at URL: http://www.epilepsyfoundation.org 5. Muttaqin Z. Indications and Presurgical Evaluation for Epilepsy Surgery. Dalam : Kustiowati E(ed); Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2004: 66-77. 6. Mardjono M. Pandangan Umum Epilepsi. Dalam : Hartono S(ed); Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1993: 1-10.

7. Harsono. The Quality of Life of Epileptic Patients. Dalam : Kustiowati E(ed); Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2004: 120-128. 8. Ismael S. Klasifikasi Bangkitan atau Serangan Kejang pada Epilepsi. Dalam : Soetomenggolo T, Ismael S(ed); Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000: 204-209. 9. Hadinoto S, Samino, Ali W(ed). Konsensus Penanggulangan Epilepsi. Jakarta, Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. 1999. 10. Keep Kids Healthy, LLC. Seizures and Epilepsy. 2001. Available at URL : http://www.keepkidshealthy.com 11. Dreifuss FE. Partial Seizures (Focal and Multifocal). Dalam : Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology, Principle and Practice. Vol 2. Edisi 3. USA, Mosby,Inc. 1999 : 656-659. 12. Camfield PR, Camfield CS. Pediatric Epilepsy: An Overview. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology, Principle and Practice. Vol 2. Edisi 3. USA, Mosby,Inc. 1999 : 629-633. 13. Husada J. Possibilities for Neuroprotection in The Management of Epilepsy. Dalam : Kustiowati E(ed); Kumpulan Makalah Pertemuan Nasional I Epilepsi. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2004: 11-25. 14. Passat J. Kelainan Perkembangan. Dalam : Soetomenggolo T, Ismael S(ed); Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000: 104-135. 15. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta, EGC. 1998 : 63-94. 16. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta, EGC. 1996 : 830-838.

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK DENGAN EPILEPSI PARSIAL SIMPLEKS, DEVELOPMENTAL DELAY, DAN GIZI BAIK

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Oleh : NINDYA ARYANTY NIM : G6A000139 Penguji Pembimbing : dr. H., SpA : dr. Satrio Wibowo

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005

HALAMAN PENGESAHAN
Nama NIM Fakultas Judul Bagian Penguji Pembimbing : Imas Rohati : G6A 000101 : Kedokteran : Laporan Kasus Seorang Anak dengan Kejang Demam Kompleks, Tonsilofaringitis Akut dan Gizi Baik. : Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNDIP : dr. Alifiani Hikmah Putranti,SpA : dr. Satrio Wibowo

Semarang, Juni 2005 Penguji Pembimbing

(dr. Alifiani Hikmah Putranti, SpA )

(dr. Satrio Wibowo)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. 2. 3. 4.

Dr.Alifiani Hikmah Putranti, SpA sebagai penguji yang telah bersedia meluangkan waktu. Dr.Satrio Wibowo, sebagai pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini . Ayah, ibu, kakak-kakak dan adikku yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas ini Teman-teman satu stase di bagian anak yang telah memberikan bantuan, baik material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,

maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semarang, Juni 2005

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul ................................................................................................... Lembar Pengesahan ........................................................................................... Kata Pengantar..................................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................................. Bab I. Pendahuluan 1 1 2 3 3 10 11 11 12 14 16 19 20 27 29 31 33 i ii iii iv

A. Latar Belakang ......................................................................................... B. Tujuan ......................................................................................................


C. Manfaat ..................................................................................................... Bab II. Laporan Kasus

A. Identitas Penderita .................................................................................. B. Data Dasar .............................................................................................. C. Daftar Masalah ....................................................................................... D. Diagnosis ................................................................................................ E. Penatalaksanaan ...................................................................................... F. Rencana Pemecahan Masalah ................................................................. G. Perjalanan penyakit ................................................................................. H. Laporan Kunjungan Rumah .................................................................... I. Bagan Permasalahan ...............................................................................
Bab III. Pembahasan A. Kejang Demam Kompleks..................................................................... B. Tonsilofaringitis Akut............................................................................ C. Prognosis.............................................................................................. Bab IV. Ringkasan........................................................................................... Daftar Pustaka..................................................................................................... Lampiran

You might also like