You are on page 1of 25

By: Ners Frida Voliana, S.Kep. ASPEK HUKUM DAN REGULASI DALAM KEPERAWATAN A.

ASAL MULA HUKUM Ketika manusia hidup berdampingan satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini tak jarang menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang ditimbulkan bisa berakibat fatal apabila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya adalah agar manusia yang saling bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama memperoleh keadilan. Langkah awal ini dipahami sebagai sebuah proses untuk menuju sebuah sistem (tatanan) hukum. Kenyataan ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional. Di berbagai komunitas (masyarakat) adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius. Terbukti, kemudian mereka mengangkat pemangku (tetua) adat, yang biasanya mempunyai kelebihan tertentu untuk menjembatani berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi ini, tetua adat yang dipercaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan sebagai panduan untuk komunitas tersebut. Panduan tersebut berisikan aturan mengenai larangan, hukuman bagi yang melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang sudah disepakati bersama. Proses inilah yang mengawali terjadinya konsep hukum di masyarakat. Ini artinya, (komunitas) masyarakat adat sudah terlebih dahulu mengetahui arti dan fungsi hukum yang sebenarnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Dapat dirumuskan bersama, bahwa hukum adat merupakan hukum tertua yang hidup di masyarakat. Hanya saja, mayoritas hukum adat ini biasanya tidak tertulis. Inilah salah satu kelemahan hukum adat. Apa yang terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi manusia modern untuk melakukan hal serupa. Sesuai dengan perkembangan zaman, masyarakat adat harus melakukan kontak dengan masyarakat adat yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, biasanya masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok. Makanan dan sandang menjadi alat tukar (transaksi) yang kemudian dikenal dengan istilah barter. Semakin lama, hubungan antar masyarakat adat ini semakin luas dan semakin berkembang. Masyarakat-masyarakat adat yang saling berinteraksi akhirnya mengadakan perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan yang lebih luas, yang kemudian dikenal dengan istilah negara. Sejatinya, negara ini sebenarnya berisikan berbagai kumpulan hukum adat. Terkadang, antara hukum adat yang satu dengan hukum adat yang lain juga saling berbenturan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, muncullah musyawarah untuk menentukan sebuah hukum yang akan digunakan bersama. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir pergesekan atau perselisihan yang mungkin terjadi antara masyarakat adat. Lalu,

dibentuklah perjanjian bersama untuk menjembatani perselisihan tersebut. Tak lain dan tak bukan, tujuan dibentuknya hukum dalam sebuah negara adalah untuk memperoleh keadilan. Seiring dengan berkembangnya waktu, manusia modern memerlukan tatanan yang lebih selaras, seimbang dalam menjembatani berbagai kepentingan yang semakin dinamis dan kompleks. Hukum yang tadinya tidak tertulis, akhirnya disepakati bersama untuk dibakukan dan dijadikan pedoman. Tentunya, pedoman yang dimaksud kemudian dilakukan secara tertulis. Hukum tertulis inilah yang kita kenal sampai sekarang. Hukum tertulis ini bersifat dinamis. Akan terus berubah sesuai perkembangan zaman dan perkembangan kepentingan manusia. B. SUMBER HUKUM Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan tersebut biasanya bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas.. Sumber-sumber hukum ada dua jenis yaitu: 1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif, yang menentukan isi kaidah hukum, yaitu tempat materi hukum itu diambil (merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum), terdiri atas: a. Pendapat umum b. Agama c. Kebiasaan d. Politik hukum dari pemerintah 2. Sumber-sumber hukum formil adalah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku, yakni undang-undang, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin. 1. Undang-undang Ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan perundangan dan sebagainya. 2. Kebiasaan Ialah perbuatan yang sama, yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang selayaknya dilakukan. Contohnya, adat-adat di daerah yang dilakukan turun temurun telah menjadi hukum di daerah tersebut. 3. Keputusan hakim (jurisprudensi) Ialah keputusan hakim pada masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim dapat membuat keputusan sendiri, bila perkara itu tidak diatur sama sekali di dalam undang-undang. 4. Traktat

Ialah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini juga mengikat warga negara-warga negara dari negara yang bersangkutan. C. MACAM-MACAM HUKUM Hukum dapat dibedakan atau digolongkan atau dibagi menurut bentuk, sifat, sumber, tempat berlaku, isi dan cara mempertahankannya. Menurut bentuknya, hukum dibagi menjadi: 1. Hukum tertulis adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundangundangan. Contoh: hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata. Hukum tertulis dibagi menjadi dua, yakni: a. Hukum tertulis yang dikodifikasikan b. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan. Indonesia menganut hukum tertulis yang dikodifikasi. Kelebihannya adalah adanya kepastian hukum dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kekurangannya adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju. 2. Hukum tidak tertulis adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh: hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu. Menurut sifatnya, hukum dibagi menjadi: 1. Hukum yang mengatur, yakni hukum yang dapat diabaikan bila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri. 2. Hukum yang memaksa, yakni hukum yang dalam keadaan apapun memiliki paksaan yang tegas. Menurut sumbernya, hukum dibagi menjadi: 1. Hukum undang-undang, yakni hukum yang tercantum dalam peraturan perundangundangan. 2. Hukum kebiasaan (adat), yakni hukum yang ada di dalam peraturan-peraturan adat. 3. Hukum jurisprudensi, yakni hukum yang terbentuk karena keputusan hakim di masa yang lampau dalam perkara yang sama. 4. Hukum traktat, yakni hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara negara yang terlibat didalamnya. Menurut tempat berlakunya, hukum dibagi menjadi: 1. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara. 2. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. 3. Hukum asing adalah hukum yang berlaku di negara asing.

Menurut isinya hukum dibagi menjadi: 1. Hukum privat (hukum sipil) adalah hukum yang mengatur hubungan antara perseorangan dan orang yang lain. Dapat dikatakan bahwa hukum privat (hukum sipil) adalah hokum yang mengatur hubungan antara warga negara dengan warga negara. Contoh: hukum perdata dan hukum dagang. Tetapi, dalam arti sempit hukum sipil disebut juga hukum perdata. 2. Hukum negara (hukum publik) dibedakan menjadi hukum pidana, tata negara dan administrasi negara. a. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dengan negara b. Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara warganegara dengan alat perlengkapan negara c. Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur hubungan antar alat perlengkapan negara dan hubungan pemerintah pusat dengan daerah Menurut cara mempertahankannya, hukum dibagi menjadi: 1. Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubunganhubungan yang berwujud perintah dan larangan. Contoh: hukum pidana materiil dan hukum perdata materiil. 2. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Contoh: hukum acara pidana dan hukum acara perdata. D. PENGERTIAN HUKUM Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama atau keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama, berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan sistem peraturan, sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum kesehatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta organisasi dan sarana.

E. BENTUK-BENTUK TINDAKAN LEGAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN Lingkup praktik keperawatan meliputi: 1. Memberikan asuhan keperawatan pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan sederhana dan kompleks. 2. Memberikan tindakan keperawatan langsung, pendidikan, nasehat, konseling, dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam upaya memandirikan sistem klien. 3. Memberikan pelayanan keperawatan di sarana kesehatan dan tatanan lainnya. 4. Memberikan pengobatan dan tindakan medik terbatas, pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan normal dan menulis permintaan obat atau resep. 5. Melaksanakan program pengobatan secara tertulis dari dokter Hak-hak pasien: 1. Memberikan persetujuan (consent) 2. Hak untuk memilih mati 3. Hak perlindungan bagi orang yang tidak berdaya 4. Hak pasien dalam penelitian Hak-hak perawat: 1. Hak perlindungan wanita 2. Hak berserikat dan berkumpul 3. Hak mengendalikan praktek keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum 4. Hak mendapat upah yang layak 5. Hak bekerja di lingkungan yang baik 6. Hak terhadap pengembangan profesional 7. Hak menyusun standar praktek dan pendidikan keperawatan 1. Informed Consent Ada tiga hal yang menjadi hak mendasar dalam menyatakan persetujuan: a. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ( the right to health care) b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to information) 1) Sebelum melakukan tindakan medis baik ringan maupun berat 2) Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas 3) Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya 4) Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut 5) Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien sebelum rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat

obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya. Informasi yang diperoleh: 1) Bentuk tindakan medis 2) Prosedur pelaksanaannya 3) Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya 4) Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya 5) Resiko atau kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan 6) Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif tersebut. c. Hak untuk ikut menentukan (the right to determination) Kriteria pasien yang berhak untuk ikut menentukan: 1) Pasien tersebut sudah dewasa (batas 21 tahun) 2) Pasien dalam keadaan sadar 3) Pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar 4) Pasien dalam keadaan sehat akal Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi tiga kriteria tersebut diatas maka dia akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Dalam keadaan gawat darurat, proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan atau prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi. Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut. Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/ atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum. Informed consent tidak menjadikan tenaga medis kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis. 2. Menandatangani Pernyataan Hukum Perawat seringkali diminta menandatangani atau diminta untuk sebagai saksi. Dalam hal ini perawat hendaknya tidak membuat pernyataan yang dapat diinterprestasikan menghilangkan pengaruh. Dalam kaitan dengan kesaksian perawat disarankan mengacu pada kebijakan rumah sakit atau kebijakan dari atasan.

3. Insident Report Setiap kali perawat menemukan suatu kecelakaan, baik yang mengenai pasien, pengunjung maupun petugas kesehatan, perawat harus segera membuat suatu laporan tertulis yang disebut insident report. Dalam situasi klinik, kecelakaan sering terjadi, misalnya pasien jatuh dari kamar mandi, jarinya terpotong oleh alat sewaktu melakukan pengobatan, kesalahan memberikan obat dan lain-lain. Dalam setiap kecelakaan, maka dokter harus segera diberi tahu. Beberapa rumah sakit telah menyediakan format untuk keperluan ini. Bila format tidak ada maka kejadian dapat ditulis tanpa menggunakan format buku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencatatan insident report antara lain: a. Tulis kejadian sesuai apa adanya b. Tulis tindakan yang dilakukan c. Tulis nama dan tanda tangan dengan jelas d. Sebutkan waktu kejadian ditemukan 4. Pencatatan Pencatatan merupakan kegiatan sehari-hari yang tidak lepas dari asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Pencatatan merupakan salah satu komponen yang penting yang memberikan sumber kesaksian hukum. Betapapun mahirnya keterampilan anda dalam memberikan perawatan, jika tidak dicatat atau dicatat tetapi tidak lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Setiap selesai melakukan suatu tindakan maka perawat harus segera mencatat secara jelas tindakan yang dilakukan dan respon pasien terhadap tindakan serta mencantumkan waktu tindakan diberikan dan tanda tangan yang memberikan tindakan. 5. Pengawasan Penggunaan Obat Pemerintah Indonesia telah mengatur pengedaran dan penggunaan obat. Obat ada yang dapat dibeli secara bebas dan ada pula yang dibeli harus dengan resep dokter. Obat-obat tersebut misalnya narkotik. Narkotik sebaiknya disimpan di tempat yang aman dan terkunci dan hanya orang-orang yang berwenang yang dapat mengeluarkannya. Secara hukum pengeluaran dan penggunaan obat golongan narkotik ini dibenarkan. Namun, perawat harus selalu memperhatikan prosedur dan pencatatan yang benar. 6. Abortus dan Kehamilan Diluar Secara Alami Abortus merupakan pengeluaran awal fetus pada periode gestasi sehingga fetus tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan hidup. Abortus merupakan tindakan pemusnahan yang melanggar hukum, atau menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum masa lahir secara alami. Sedangkan yang dimaksud dengan kehamilan yang diluar secara alami meliputi kelahiran yang diperoleh dengan tidak melalui hubungan intim suami istri sebagai mana mestinya. Misalnya melalui fertilisasi invitro (bayi tabung). Aborsi di indonesia dilarang lewat Undang-undang (UU) RI nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan juga untuk kalangan muslim lewat fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005 (fatwa membolehkan aborsi dalam keadaan darurat dimana nyawa ibu terancam) 7. Kematian dan Masalah yang Terkait Masalah hukum yang berkaitan denagn kematian antara lain meliputi pernyataan kematian, bedah mayat atau otopsi dan donor organ. Kematian dinyatakan oleh dokter dan ditulis secara sah dalam surat pernyataan kematian. Surat pernyataan ini biasanya dibuat beberapa rangkap dan keluarga mendapat satu lembar untuk digunakan sebagai dasar pemberitahuan kepada kerabat serta keperluan asuransi. Pada keadaan tertentu misalnya untuk keperluan peradilan, dapat dilakukan bedah mayat pada orang yang telah meninggal. F. PRINSIP LEGAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN 1. Otonomi (Autonomy) Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. 2. Berbuat baik (Beneficience) Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi. 3. Keadilan (Justice) Prinsip keadilan berarti sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsipprinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. 4. Tidak merugikan (Nonmaleficience) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik dan psikologis pada klien. 5. Kejujuran (Veracity) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argumen mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa doctors knows best sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. 6. Menepati janji (Fidelity) Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan. 7. Kerahasiaan (Confidentiality) Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari. 8. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap segala tindakan yang dilakukan. Pada semua kasus, perawat bertanggung jawab mulai dari proses pengkajian, membuat diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan hingga segala informasi mengenai asuhan keperawatan yang dilakukan, baik sebelum, saat, dan pasca intervensi yaitu evaluasi. G. FUNGSI HUKUM DALAM KEPERAWATAN Fungsi hukum dalam keperawatan yaitu: 1. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan 2. Membedakan tanggung jawab dengan profesi yang lain 3. Membantu mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum

H. UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEPERAWATAN Alasan diperlukannya Undang-Undang Praktik Keperawatan: 1. Alasan filosofi Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum (WHO, 2002) 2. Alasan yuridis UUD 1945 pasal 5 menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demikian pula UU Nomor 23 tahun 1992 pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi pasal 53 yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain, secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. 3. Alasan sosiologis Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan. Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus profesional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. 1. UU No. 9 Tahun 1960, Tentang Pokok-pokok Kesehatan. Bab II (tugas pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 Tahun 1963 Tentang Tenaga Kesehatan. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu, kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. 3. UU Kesehatan No. 14 Tahun 1964, Tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama tiga tahun. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis, sehingga dari aspek profesionalisasi, perawat masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri. 4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 Tahun 1979 Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan. 5. Permenkes No. 363/Menkes/Per/XX/1980 Tahun 1980 Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan sebab kita ketahui di negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. 6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986 , tanggal 4 November 1986 tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat atau golongan atasannya. 7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 , merupakan undang-undang yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah: a. Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah

b. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya c. Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan; Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan; Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat; Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. BAB II JENIS TENAGA KESEHATAN Pasal 2 Tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis; tenaga keperawatan; tenaga kefarmasian; tenaga kesehatan masyarakat; tenaga gizi; tenaga keterapian fisik; tenaga keteknisian medis. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.

Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis. BAB III PERSYARATAN Pasal 3 Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Pasal 4 Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat .Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 5 Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. BAB IV PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN Bagian Kesatu Perencanaan Pasal 6 Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat. Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor: jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat; sarana kesehatan; jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua Pengadaan Pasal 7 Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan. Pasal 8 Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 9 Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan. Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pasal 10 Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya. Penyelenggara dan/ atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/ atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan. Pasal 11 Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya. Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat. Pasal 12 Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan atas dasar ijin Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 13 Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya: calon peserta pelatihan; tenaga kepelatihan; kurikulum; sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan; sarana dan prasarana. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 14 Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata: tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri. Bagian Ketiga Penempatan Pasal 15 Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara masa bakti. Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 16 Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri. Pasal 17 Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan memperhatikan: kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;

lamanya penempatan; jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat; prioritas sarana kesehatan. Pasal 18 Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada: sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah; sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh Pemerintah; lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar; lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait. Pasal 19 Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari Menteri. Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 20 Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa: pegawai negeri; atau pegawai tidak tetap. BAB V STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM Bagian Kesatu Standar Profesi Pasal 21 Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 22

Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk: menghormati hak pasien; menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; membuat dan memelihara rekam medis. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 23 Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Perlindungan Hukum Pasal 24 Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB VI PENGHARGAAN Pasal 25 Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan. Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah dan/ atau masyarakat. Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain. BAB VII IKATAN PROFESI

Pasal 26 Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/ atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING Pasal 27 Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing. BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 28 Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan. Pasal 29 Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan. Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/ atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan. Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31 Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan. Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: bimbingan; pelatihan di bidang kesehatan; penetapan standar profesi tenaga kesehatan. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 32 Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya. Pasal 33 Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: teguran; pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan. Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 34 Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 35 Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja: melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);

melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 37 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. I. DASAR REGULASI PRAKTIK KEPERAWATAN Regulasi keperawatan (registrasi dan praktik keperawatan) adalah kebijakan atau ketentuan yang mengatur profesi keperawatan dalam melaksanakan tugas profesinya dan terkait dengan kewajiban dan hak. Regulasi praktik keperawatan dibuat agar melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia (KKI) yang kelak ditetapkan dalam undang-undang praktik keperawatan akan menjalankan fungsinya. KKI melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yan mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar. Masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Adapun tujuan dari regulasi adalah sebagai berikut: 1. Agar perawat semakin profesional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi 2. Diharapkan tidak terjadi adanya overlap 3. Menghindari terjadi malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi 4. Meningkatkan mutu pelayanan profesinya dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang Regulasi memiliki beberapa komponen, yaitu: 1. Keperawatan sebagai profesi memiliki karakteristik yaitu:

a. Adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan b. Pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di perguruan tinggi c. Pengendalian terhadap standar praktik d. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan e. Memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup f. Memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas). 2. Kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena KKI yang kelak ditetapkan dalam UU praktik keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil keperawatan, melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratakan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar. 3. UU Praktik Keperawatan yang memiliki tujuan lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional. 4. Pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian yang integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Regulasi Keperawatan Saat Ini Dalam masa transisi profesional keperawatan di Indonesia, sistem pemberian izin praktik dan registrasi sudah saatnya segera diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan SPK, akademi, sarjana keperawatan maupun program master keperawatan dengan lingkup praktik sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pengaturan praktik perawat dilakukan melalui Kepmenkes nomor 1239/no 647 tahun 2010 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, yaitu setiap perawat yang melakukan praktik di unit pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta diharuskan memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Izin Kerja (SIK). Pengawasan dan pembinaan terhadap praktik pribadi perawat dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat Propinsi, Kabupaten sampai ke tingkat

puskesmas. SIP adalah suatu bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh wilayah indonesia oleh departemen kesehatan. J. PROSES LEGALISASI UNTUK PRAKTIK KEPERAWATAN Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ( holistic), ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan sistem klien dan tenaga kesehatan lain dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok. Kredensial merupakan proses untuk menentukan dan mempertahankan kompetensi keperawatan. Proses kredensial merupakan salah satu cara profesi keperawatan mempertahankan standar praktik dan akuntabilitas persiapan pendidikan anggotanya. Kredensial meliputi pemberian izin praktik (lisensi), registrasi (pendaftaran), pemberian sertifikat (sertifikasi) dan akreditasi (Kozier Erb, 1990). Proses penetapan dan pemeliharaan kompetensi dalam praktek keperawatan meliputi: 1. Pemberian lisensi Pemberian lisensi adalah pemberian izin kepada seseorang yang memenuhi persyaratan oleh badan pemerintah yang berwenang, sebelum ia diperkenankan melakukan pekerjaan dan prakteknya yang telah ditetapkan. Tujuan lisensi yaitu: a. Membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi yang kompeten b. Meyakinkan masyarakat bahwa yang melakukan praktek mempunyai kompetensi yang diperlukan Badan yang berwenang memberikan lisensi berhak dan bertanggung jawab terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh praktisi yang melakukan pelanggaran etis. Hukum atau undang-undang tidak mengidentifikasi mutu kinerja, akan tetapi akan menjamin keselamatan pelaksanaan standar praktik keperawatan secara minimal. Undang-Undang kesehatan RI No.23 tahun 1992, Bab V Pasal 32 ayat 2 dan 3 menyebutkan: Ayat 2: Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

Ayat 3: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan. Isi undang-undang tersebut, dapat diartikan bahwa lisensi sangat diperlukan oleh perawat profesional dalam melakukan kegiatan praktik secara bertanggung jawab. Pengertian lisensi adalah kegiatan administrasi yang dilakukan oleh profesi atau departemen kesehatan berupa penerbitan surat ijin praktek bagi perawat profesional di berbagai tatanan layanan kesehatan. Lisensi diberikan bagi perawat sesuai keputusan menteri kesehatan RI No.647/Menkes/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat. Washington State Nursing Practice Act (The State Nurses Association) menyatakan bahwa orang yang terdaftar secara langsung bertanggung gugat dan bertanggung jawab terhadap individu untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas. American Nurse Association (ANA) membuat pernyataan yang sama dalam undang-undang lisensi institusional menjadi lisensi individual, keperawatan secara konsisten dapat mempertahankan: a. Asuhan keperawatan yang berkualitas, baik sesuai tanggung jawab maupun tanggung gugat perawat yang merupakan bagian dari lisensi profesi. b. Bila perawat meyakini bahwa profesi serta kontribusinya terhadap asuhan kesehatan adalah penting, maka mereka akan tampil dengan percaya diri dan penuh tanggung jawab. 2. Registrasi Registrasi merupakan pencantuman nama seseorang dan informasi lain pada badan resmi baik milik pemerintah maupun non pemerintah. Perawat yang telah terdaftar diizinkan memakai sebutan registered nurse. Untuk dapat terdaftar, perawat harus telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan lulus ujian dari badan pendaftaran dengan nilai yang diterima. Izin praktik maupun registrasi harus diperbaharui setiap satu atau dua tahun. Dalam masa transisi profesional keperawatan di Indonesia, sistem pemberian izin praktik dan registrasi sudah saatnya segera diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan SPK, akademi, sarjana keperawatan maupun program master keperawatan dengan lingkup praktik sesuai dengan kompetensi masing-masing. 3. Sertifikasi Sertifikasi merupakan proses pengabsahan bahwa seorang perawat telah memenuhi standar minimal kompetensi praktik pada area spesialisasi tertentu seperti kesehatan ibu dan anak, pediatric, kesehatan mental, gerontology dan kesehatan sekolah. Sertifikasi telah diterapkan di Amerika Serikat. Di Indonesia sertifikasi belum diatur, namun demikian tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang hal ini dilaksanakan. 4. Akreditasi Akreditasi merupakan suatu proses pengukuran dan pemberian status akreditasi kepada institusi, program atau pelayanan yang dilakukan oleh organisasi atau badan pemerintah tertentu. Hal-hal yang diukur meliputi struktur, proses dan kriteria hasil.

Pendidikan keperawatan pada waktu tertentu dilakukan penilaian atau pengukuran untuk pendidikan DIII Keperawatan dan Sekolah Perawat Kesehatan dikoordinator oleh Pusat Diknakes sedangkan untuk jenjang S1 oleh Dikti. Pengukuran rumah sakit dilakukan dengan suatu sistem akreditasi rumah sakit yang sampai saat ini terus dikembangkan. Pada tahun 1985, The American Association Colleges of Nursing melaksanakan suatu proyek, termasuk didalamnya mengidentifikasi nilai-nilai esensial dalam praktek keperawatan profesional. Nilai-Nilai esensial ini sangat bekaitan dengan moral keperawatan dalam praktiknya. Tujuh nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional, yaitu: 1. Aesthetics (keindahan) Kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian, seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas, imajinasi, sensitifitas dan kepedulian. 2. Altruisme (mengutamakan orang lain) Kesediaan memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk keperawatan, komitmen, arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan. Pada nilai ini sikap perawat yang lebih mengutamakan orang lain, daripada keperluannya sendiri yaitu lebih mengutamakan kewajibannya daripada hak. 3. Equality (kesetaraan) Memiliki hak atau status yang sama termasuk penerimaan dengan sikap asertif, kejujuran, harga diri dan toleransi. 4. Freedom (Kebebasan) Memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan termasuk percaya diri, harapan, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan diri sendiri. Disini seorang perawat bebas untuk berbuat atau bertindak namun tetap harus sesuai dengan etika dan moral keperawatan. 5. Human dignity (Martabat manusia) Berhubungan dengan penghargaan yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh terhadap kepercayaan. 6. Justice (Keadilan) Menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta kewajaran. 7. Truth (Kebenaran) Menerima kenyataan dan realita, termasuk akuntabilitas, kejujuran, keunikan dan reflektifitas yang rasional. Perawat yang jujur dalam memberikan tindakan, dan dalam memberikan informasi yang riil dalam perkembangan kesehatan klien, termasuk jujur dalam pemberian obat, agar kepercayaan klien meningkat dan juga untuk menghindari kasus malpraktik. Praktik keperawatan, termasuk etika keperawatan mempunyai dasar penting, seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas, kepedulian, rasa haru, dan menghormati martabat manusia. Diantara berbagai pernyataan ini, yang lazim termaktub dalam standar praktik

keperawatan dan telah menjadi bahan kajian dalam waktu lama adalah advokasi, responsibilitas dan akuntabilitas, dan loyalitas. 1. Advokasi Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan mendukung hakhak pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat, dalam menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan etika yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan. 2. Responsibilitas Responsibilitas adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan obat, perawat bertanggung jawab untuk mengkaji kebutuhan klien dengan memberikannya dengan aman dan benar, dan mengevaluasi respons klien terhadap obat tersebut. Perawat yang selalu bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya akan mendapatkan kepercayaan dari klien atau dari profesi lainnya. Perawat yang bertanggung jawab akan tetap kompeten dalam pengetahuan dan keterampilannya, serta selalu menunjukkan keinginan untuk bekerja berdasarkan kode etik profesinya. 3. Akuntabilitas Akuntabilitas (tanggung gugat) dapat menjawab segala hal yang berhubungan dengan tindakan seseorang. Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat penting dalam praktik keperawatan. Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan yang dilakukan, dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut. Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yaitu tanggung jawab dan tanggung gugat. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan dapat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan atau absah. Akuntabilitas dapat dipandang dalam suatu kerangka sistem hierarki, dimulai dari tingkat individu, tingkat institusi, dan tingkat sosial. 4. Loyalitas Loyalitas merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Hubungan profesional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama. Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.

You might also like