You are on page 1of 20

BAB I LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Nama Orang tua : : : : : An. G 7 tahun 4 bulan Laki-laki Pegangsaan 2 Tn. J

ALLOANAMNESA Keluhan utama Keluhan tambahan : Sesak sejak 2 hari yang lalu. : Batuk, panas, tidak nafsu makan

Riwayat penyakit sekarang Os mengeluh sesak sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan saat batuk, disertai nyeri dada. Sesak juga dirasakan saat tidur. Pada saat tertidur napas os. Sering berbunyi. Os juga mengalami panas, panas hilang timbul. Os. Juga mengeluh batuk sejak 1 minggu yang lalu, batuk berdahak. Terkadang dahak sukar dikeluarkan. Batuk sering berulang dan lama sembuh. Jika batuk sering sesak. Os. Juga mengeluh mudah letih. Riwayat penyakit dahulu Os. Sering batuk pilek dari usia 4 bulan

Riwayat penyakit keluarga Ibu os. Menderita asma


1

Riwayat kehamilan ibu Kunjungan ANC teratur di bidan, Ibu Os tidak mengkonsumsi obat-obatan selama masa kehamilan, penyulit kehamilan tidak ada.

Riwayat kelahiran Os. Lahir cukup bulan, spontan dibantu bidan, lahir tunggal, langsung menangis, tidak ada cacat kongenital, BBL 2700 gram PBL 48 cm.

Riwayat makanan Asi sampai usia 1,5 tahun Tidak asi ekslusif, Makanan tambahan (bubur tim) diberikan sejak usia 4 bulan

Riwayat pertumbuhan BB : 16 Kg TB : 98 cm BB/U = 16/21 x 100% = 76.1% (gizi kurang) TB/U = 98/122 x 100% = 80.3% (tinggi kurang) BB/TB = 16/23 x 100% = 69% (gizi kurang) Kesan : pertumbuhan tidak sesuai usia

Riwayat perkembangan Bisa tengkurap usia 6 bulan Merangkak usia 7 bulan Bisa duduk tanpa dibantu 9 bulan Berdiri sendiri tanpa dibantu 11 bulan Bisa berjalan usia 1 tahun 2 bulan Tidak ada kelainan tingkah laku dan emosi Kesan : perkembangan sesuai usia

Riwayat Imunisasi Hepatitis B BCG DPT Polio Campak Kesan : Imunisasi dasar lengkap Riwayat Alergi Riwayat alergi disangkal Riwayat Pengobatan Belum mendapatkan obat sebelumnya Belum pernah dirawat inap di RS sebelumnya Pengobatan jangka lama (TB paru) disangkal

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran Vital Sign Nadi RR : 120x/menit, irama nadi teratur, regular, kualitas cukup : 42x/menit : compos mentis

Suhu : 37,9 oCelcius

Antropometri BB TB : : 16 kg 98 cm

BB/U = 16/23 x 100% = 66.7% (gizi kurang) TB/U = 98/122 x 100% = 80.3% (tinggi kurang) BB/TB = 16/23 x 100% = 69% (gizi kurang) Status Gizi kurang
3

Status Generalis Kepala : Normocephal simetris, ubun-ubun tidak cekung, rambut bewarna hitam distribusi rata dan tidak mudah dicabut. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik (-), refleks pupil (+/+), isokor kanan-kiri, edema palpebra (-), pergerakan mata kesegala arah baik Kulit : Kulit warna sawo matang, ikterus pada kulit (-), pucat telapak tangan dan kaki (-), sianosis (-) ruam-ruam kemerahan di kulit, turgor kulit kembali cepat, edema (-), pertumbuhan rambut normal. KGB : Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula, nyeri tekan (-) Hidung : Deviasi septum (-), sekret (+/+), darah (-/-), nyeri tekan (-), hidung bagian luar tidak ada kelainan, pernapasan cuping hidung (+). Telinga : Normotia, nyeri tekan (-/-), serumen (+/+), darah (-/-), pendengaran baik Mulut : Bibir kering (-), stomatitis (-), lidah tidak kotor dan tidak tremor, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 Leher : Pembesaran KGB (-), massa (-) Dada Paru Inspeksi : simetris dextra-sinistra, tidak ada bagian dada yang tertinggal saat bernapas, retraksi dinding dada (+), scar (-), otot bantu pernapasan (+) Palpasi : simetris, vocal fremitus sama dextra-sinistra, tidak ada bagian dada yang tertinggal saat bernapas, nyeri tekan (-) Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru, batas sonor-pekak setinggi ICS 6 linea midclavicularis dextra Auskultasi : lendir (+/+), ronkhi (+/+), wheezing(+/+) ekspirasi memanjang : Normochest simetris

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra : batas jantung relatif dalam batas normal

Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, bising jantung (-) murmur (-) gallop (-) Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi : perut kembung (-), scar (-) : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-) : timpani pada seluruh kuadran abdomen , shifting dullness (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal Genitalia : tidak dilakukan Anus dan rektum : tidak dilakukan Extremitas Atas : akral hangat, edema (-/-), pucat (-) RCT < 2 detik

Bawah : akral hangat, edema (-/-), pucat (-), RCT < 2 detik, RESUME An. Laki-laki berumur 7 tahun 4 bulan dengan BB 16 datang ke puskesmas dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan saat batuk. Juga saat istirahat Batuk (+) berdahak, dahak sukar dikeluarkan, demam (+), hilang timbul. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis. Pernapasan cuping hidun (+), Suhu 37,9 oCelcius, gizi kurang, retraksi iga (+), auskultasi lendir (+/+) rhonki (+/+), wheezing (+/+) .

ASSESSMENT S : Os mengeluh sesak sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan saat batuk,

disertai nyeri dada. Sesak juga dirasakan saat tidur. Pada saat tertidur napas os. Sering berbunyi. Os juga mengalami panas, panas hilang timbul. Os. Juga mengeluh batuk sejak 1 minggu yang lalu, batuk berdahak. Terkadang dahak sukar dikeluarkan. Batuk sering berulang dan lama sembuh. Jika batuk sering sesak. Os. Juga mengeluh mudah letih. O : Nadi:120x/menit, RR:42x/menit, S:37,9 oCelcius, pernapasan cuping hidung

(+), retraksi iga (+), auskultasi: lendir (+), ronki(+), wheezing(+), status antropometri: gizi kurang A P : asma bronkiale akut persisten ringan : Medika Mentosa
R/ parasetamol tab 500 mg no. V Ambroxol tab 30 mg no.VI CTM 4 mg no. IX m.f. pulv. dtd. No. X S 3 dd 1 R/ salbutamol tab 2 mg no. X S 3 dd 1 R/ aminophilina tab 200 mg no. II S 1 dd R/ Salbutamol 2,5 ml Teofilin 2,5 ml Pro nebulizer

Non medika mentosa Hindari faktor pencetus seperti debu, asap rokok, serbuk, bulu binatang Pakai baju hangat jika udara dingin Hindari makanan yang menimbulkan alergi Tidur gunakan bantal yang lebih tinggi Jangan melakukan aktifitas berlebihan Perbaiki status gizi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi a. Asma bronkial Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya. b. Serangan asma Serangan asma merupakan suatu episode dimana gejala-gejala berupa batuk, sesak napas, nyeri dada, dan bunyi wheezing yang memburuk secara akut. Serangan asma bermula dari batuk, terdengar bunyi wheezing, napas cepat, penderita sulit berkata-kata, berkeringat banyak, dan pucat. Selama terjadi serangan, saluran napas menyempit (bronkospasme) dan aliran udara berkurang (Sudhita, 2005). 2.2 Epidemiologi Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi
7

penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%. 2.3 Etiologi Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi) o Reaksi antigen-antibodi o Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang) Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi) o Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal o Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur o Iritan : kimia o Polusi udara : CO, asap rokok, parfum o Emosional : takut, cemas dan tegang o Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus 2.4 Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah: 1. Imunitas dasar Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma. 2. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 35% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009). 3. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007).

Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009). 4. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel partikel besar. Iritan iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya. 5. Status sosio ekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

2.5 Patogenesis

2.6 klasifikasi Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi a. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik) Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan
10

basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas. Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronchus. Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif. Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
11

b. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik) Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas. Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 35 cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta.

c. Asma Bronkiale Campuran (Mixed) Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

Klasifikasi berdasarkan serangan asma

12

2.7 Manifestasi Klinis Gambaran klinis asma klsik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan mungkin disertai batuk dan pilek. Meskipun pada awalnya batuk tidak bersekret, tetapi pada perkembangannya selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik mukoid maupun purulen. Sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa mengi, ini dikenal dengan istilah cough variant astma. Bila hal ini terjadi lakukan uji spirometri sebelum atau sesudah bronko dilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik sering berhubbungan dengan faktor pencetus. Faktor pencetus berupa asap rokok, asap yang merangsang saluran napas, perubahan cuaca, debu. Pada asma akibat pekerjaan gejalanya biasanya memburuk di awal minggu dan membaik di akhir mingu. Gejala membaik jika dijauhkan dari lingkungan kerjanya.

2.8 Diagnosis Anamnesa Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk. Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi. Paru : Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah. Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang. Perkusi : hipersonor Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri Pemeriksaan laboratorium Darah rutin didapat peningkatan eosinofil dan IgE Sputum didapat adanya eosinofil, spiral crushman, kristal charcot Leyden. Foto toraks dapat normal diluar serangan, hiperinflasi saat serangan, adanya penyakit lain Faal paru (spirometri /peak flow meter) menilai berat obstruksi, reversibilitas, variabilitas Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis

13

Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.

Gambaran klinis status asmatikus Penderita tampak sakit berat dan sianosis Sesak napas dan bicara terputus-putus Banyak berkeringat, jika bibir penderita tampak kering, berarti penderita dehidrasi berat Kesadaran awal baik, lama kelamaan cemas, gelisah dan bisa jatuh dalam kondisi koma

2.9 Penatalaksanaan Mencegah ikatan alergen-IgE Hindari alergen, tampaknya mudah tetapi sukar dilakukan Hiposensitisasi, dengan menyuntikan sejumlah dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dwasa masih diragukan. Mencegah pelepasan mediator Pramedikasi dengan kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Na. Kromolin diduga bekerja mencegah pelepasan mediator dari mastosit. Digunakan sebagai profilaktik. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin dapat cegah pelepasan mediator. Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator a) Simpatometik : 1) agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol prokaterol) merupakan obat yang dipilih untuk atasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara MDI (Matered Doses Inhaler) atau nebulizer. 2) efinefrin diberikan secarasubkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma berat. Dianjurkan hanya pada asma anak atau dewasa muda.

14

b) Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan. c) Kortikosteroid sistemik. Tidak termasuk golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan bronkus. Digunakan pada serangan asma akut dan pemeliharaan asma berat. d) Antikolinergik (ipatropium bromide) digunakan sebagai suplemen pada pemberian agonis beta 2 pada serangan asma. Mengurangi respon denan jalan meredam inflamasi saluran napas Obat-obat anti asma Pencegah (controler) yaitu obat yang dipakai setiap hari dengan tujuan agar gejala asma persisten trkendali. Termasuk golongan ini adalah obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang. Termasuk obat pencegah yaitu kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, na. Kromolin, na. Nedokromil, teofilin lepas lambat, agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol, dan formoterol), dan oral, dan obat-obat anti alergi. Falmaterol, antileukotrin, dan anti IgE. Penghilang gejala (reliever) yaitu obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejalagejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk golongan ini adalah agonis beta 2 hirup kerja pendek, kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek,

agonis beta 2 oral kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk serangan asma akut. Peran kortikosteroid pad aasma akut adalah untuk cegah perburukan gejala lebih lanjut. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromide selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak mentoleransi efek samping agonis beta 2.

15

PENATALAKSANAAN BERDASARKAN GINA 2009 1. Asma Intermiten (Lihat Gambar 2.5) a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis Fluticasone propionate : 100250 g/hari Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers 400 g/hari

b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5) a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers

16

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah 4. Asma Persisten Berat (Lihat Gambar 2.5) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

17

Tatalaksana asma berdasarkan GINA 2009

Alur tatalaksana awal pasien asma

18

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7 (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi alergi dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap pengobatan asma anak, terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu dasar pengobatan asma anak. Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang peran faktor genetik, sensitisasi dini oleh alergen dan polutan, infeksi virus, serta masalah lingkungan sosioekonomi dan psikologi anak dengan.

19

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. 2009. Jakarta: Interna publishing Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. 2009. Jakarta: EGC Matondang, Prof. Dr. Corry S. Diagnosis Fisis pada anak. 2003. Jakarta: Cv. Sagung Seto

20

You might also like