You are on page 1of 40

Jumat, 23 September 2011

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIV-AIDS


BAB I PENDAHULUAN I. KONSEP MEDIS AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162) AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000) AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601) AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354) Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus. B. Etiologi HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV ( Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005). A. Definisi

C. Patofisiologi HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4. HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun. Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait

HIV, dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik. Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun priode inkubasi atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara anakanak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak. D. Manifestasi Klinik Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan obat ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan bila mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen Control sebagai bagian definisi

mencakup demam, kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi. PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI HIV PADA ANAK Kelas P-O: infeksi intermediate Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda infeksi HIV Kelas P-1: infeksi asimtomatik Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B) Kelas P-2: infeksi sitomatik P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal berkembang, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau diare rekuren atau persistem yang tidak spesifik. P-2B: penyakit neurologi yang progresif P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri rekuren, kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster multidermatomal. P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau limforma otak P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati, gangguan hematologi) Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara cepat akan berkembang menjadi

gangguan imun dan AIDS. Banyak dari bayi ini akan menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP) pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP. Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami beberapa derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik, keterlambatan perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali. Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan AIDS merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan sebagai catalog kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat dibawah: Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit indicator AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan infeksi paru lain atau usia ini, dan karena trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroid intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran klinis konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis. Saat ini dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk bayi dengan kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan pada beberapa bayi muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang cepat. Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV. Dianggap berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten (sering selama infeks respirasi yang

terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis, tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya untuk diagnosis definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa tahun, dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan sering terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang nyata dan parotitis. Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan infeksi bakteri yang serius. Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit perkembangan saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi. Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas neuroendokrin;

malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini. Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang berkomplikasi. Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada anak yang terinfeksi HIV. E. Pemeriksaan Penunjang Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.

F. Diagnosis Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan. Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara transplasenta pada bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody konversional dalam mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena antibodi seperti ini dapat menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis infeksi pada bayi beresiko memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau adanya antigen HIV (antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai polymerase HIV (PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer dapat diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya) diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika dilakukan dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang dapat diterima dan dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua usia. Sensitivitas pada tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal, membuat diperlukannya tes serial. Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic dianjurkan sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua diberitahukan bahwa anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji laboratorium dianjurkan. Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun, diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama defisiensi imun pada anak yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling orang tua berkenang dengan uji serologi. Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV. Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody

spesifik HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi seronegatif setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody itu sendiri. G. Komplikasi 1. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). 2. Neurologik ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian. Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal. 3. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.

4. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides. 5. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis. 6. Sensorik Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat. H. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot) Western blot (positif) P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas) Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat) 2. Tes untuk deteksi gangguan system imun. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan) CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)

I.

Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun) Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit). Kadar immunoglobulin (meningkat) Penatalaksanaan Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

1. Perawatan Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV Mengatasi dampak psikososial Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution) 2. Pengobatan Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002). Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi

pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002). J. Pencegahan Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia kemungkinan akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun dimasa depan yang dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk usaha mengurangi perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak, kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan kompetensi yang lebih besar pada peran ini. Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi. Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada 26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid CD4 + 200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses kelahiran. Pada

semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1. Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup penghindaran pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian integral program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1. II. KONSEP KEPERAWATAN A. Pengkajian Lakukan pengkajian fisik Dapatkan riwayat imunisasi Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati, hepatosplenomegali Infeksi bakteri berulang Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru). Diare kronis Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

B. Diagnosa Keperawatan Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak dengan HIV antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme infeksius dan imobilisasi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik, hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan). Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup. C. Intervensi Keperawatan Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif Intervensi 1. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius,

R/ : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. 2. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding dada R/ : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru 3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi R/ : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat 4. Penghisapan sesuai indikasi R/ : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran 5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin R/ : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret 6. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator) R/ : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan 2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody Tujuan :Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC Intervensi 1. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC R/ : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi 2. Beri antipiretik sesuai petunju R/ : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam 3. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tib R/ : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang

4. Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka R/ : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab. 5. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam R/ : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi 3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai). Intervensi : 1. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi. R/ : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi. 2. Pantau tanda-tanda vital. R/ : cairan. 3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan. R/ : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma. 4. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer. R/ : 5. kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan. R/ : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan. 4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria, konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat. hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan

Intervensi : 1. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya episode. 2. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur R/ : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi. 3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan R/ : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien 4. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks susu) R/ : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus 5. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan hindari minuman dingin R/ : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus 6. Berikan kolaburasi antibiotik R/ : Mengobati infeksi supuratif fokal 5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument Tujuan : Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit. Intervensi : 1. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering R/ : Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga perlu dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak mudah lecet 2. Bersihkan daerah yang tidak infeksi R/ : membersighan daerah yang tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit 3. Sarankan klien untuk tidak menggaruk

R/ : Menggaruk dapat mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika dilakukan dengan keras/kuat 4. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendir R/ : berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik dapat memicu terjadinya luka pada kulit yang bersisik 5. Pemberian antibiotik sistemik R/ : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri sehingga infeksi kulit tidak meluas 6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme infeksius dan imobilisasi Tujuan : Anak mengalami risiko infeksi yang minimal dan anak tidak menyebarkan penyakit pada orang lain Intervensi : 1. Gunakan teknik mencuci tangan yang cermat R/ : Untuk meminimalkan pemajanan pada organisme infeksius 2. Beri tahu pengunjung untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang baik R/ : Untuk meminimalkan pemajanan organisme infeksius 3. Tempatkan anak diruangan bersama anak yang tidak mengalami infeksi atau diruangan probadi R/ : pemahaman yang baik tentang cuci tangan dapat mempengaruhi perliku orang tua untuk cuci tangan sebelum dan sesudah memegang atau menyentuh anak 4. Batasi kontak dengan individu yang mengalami infeksi, termasuk keluarga, anak lain, teman dan anggota staf, jelaskan bahwa anak sangat rentan terhadap infeksi R/ : Untuk mendorong kerja sama dan pemahaman 5. Observasi asepsis medis dengan tepat R/ : Untuk menurunkan risiko infeksi 6. Dorong nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup R/ : Untuk meningkatkan pertahan alamiah tubuh yang masih ada 7. Jelaskan pada keluarga dan anak yang lebih besar tentang pentingnya menghubungi profesional kesehatan bila terpajan penyakit masa kecil (misalnya. Cacar air, gondongan) R/ : Penjelasan yang baik akan memungkinkan orang tua memberikan imunisasi yang tepat pada bayinya 8. Berikan imunisasi yang tepat sesuai ketentuan

R/ : Untuk mencegah infeksi 9. Berikan antibiotik sesuai ketentuan R/ : Dapat untuk mencegah infeksi bakteri/ sebagai profilaksi 10. Implementasikan dan lakukan kewaspadaan universal, khususnya isolasi bahan tubuh R/ : Untuk mencegah penyebaran virus 11. Instruksikan orang lain (misalnya keluarga, anggota staf) untuk menggunakan kewaspadaan yang tepat, jelaskan adanya kesalahan konsep tentang penularan virus R/ : Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dan dapat mempengaruhi penggunaan kewaspadaan yang tepat 12. Ajarkan metode perlindungan anak yang sakit (misalnya mencuci tangan, emmegang area genital, perawatan setelah menggunakan berdpan atau toilet R/ : Untuk mencegah penyebaran infeksi 13. Usahakan untuk mencegah bayi dan semua anak kecil agar tidak menempatkan tangan dan objek pada area terkontaminasi R/ : Dapat mencegah penularan virus HIV ke orang lain 14. Tempatkan pembatasan perilaku dan kontak untuk anak yang sakit yang menggigit atau tidak mempunyai kontrol terhadap sekresi tubuh mereka R/ : Membatasi perilaku dan kontak dengan anak dapat menghindari kemungkinan tergigit dan mengalami cedera 15. Kaji situasi rumah dan implementasikan tindakan perlindungan yang mungkin dilakukan pada situasi individu R/ : Identifikasi kondisi dan situasi di rumah dapat membantu mengawasi anak akan bermain di lingkungan yang aman dan terbebas dari cidera 7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup Intervensi : 1. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein R/ : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan 2. Beri makanan yang disukai anak

R/ : Untuk mendorong agar anak mau makan 3. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas R/ : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan 4. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan baik R/ : Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat maupun orang tua untuk memberikan makanan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan 5. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak R/ : Dapat menarik minat anak untuk makan dan menghabiskan porsi makanan yang disediakan 6. Pantau berat badan dan pertumbuhan R/ : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan dapat diimplementasikan bila pertumbuhan mulai melambat atau berat badan turun 7. Berikan obat antijamur sesuai instruksi R/ : Untuk mengobati kandidiasis oral 8. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik, hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV Tujuan : Pasien berpartisipasi dalam kelompok sebaya dan aktivitas keluarga Intervensi : 1. Bantu anak dalam mengidentifikasi kekuatan pribadi R/ : Untuk memfasilitas koping 2. Didik petugas sekolah dan teman sekelas tentang HIV R/ : Menjamin anak tidak mendapatkan perlakukan isolasi di sekolah 3. Dorong anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas bersama anak-anak dan keluarga yang lain R/ : Menjamin anak dapat mengembangkan hubungan dengan anak lain atau orang lain 4. Dorong anak untuk mempertahankan hubungan via telepon dengan teman-temannya selama hospitalisasi R/ : Untuk mengurangi isolasi 9. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan. bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal atau tidak ada Intervensi : Tujuan : Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang dengan kriteria hasil

1. Kaji nyeri 2. Gunakan strategi nonfarmakologis R/ : Teknik-teknik seperti relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi dapat membuat nyeri dapat lebih ditoleransi 3. Untuk bayi dapat dicoba tindakan kenyamanan umum (misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan stimulus lingkungan R/ : Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri anak 4. Gunakan strategi farmakologis R/ : rapat membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri 5. Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik efektif dalam mengurangi nyeri yang terus menerus R/ : Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah 6. Anjurkan penggunaan premedikasi untuk prosedur yang menimbulkan nyeri R/ : Dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan perawatan 7. Gunakan catatan pengkajian nyeri R/ : Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi keperawatan 10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup Tujuan : Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga dapat terlibat dengan kelompok-kelompok khusus Intervensi : 1. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dan dukungan R/ : dengan mengkaji masalah yang dihadapi keluarga perawat dapat membuat rencana intervensi yang tepat serta dapat melakukan pendekatan dengan keluarga dengan cara yang tepat. 2. Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan rencana perawatan R/ : Tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya sangat diperlukan perawat dapat menentukan intervensi yang tepat 3. Tekankan dan jelaskan penjelasan profesional kesehatan tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang dianjurkan serta prognosanya R/ : penjelasan yang tepat dari profesional akan mempertegas bahwa informasi yang didapatkan tentang penyakit dan terainya tersebut tepat

4.

Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya dan ulangi informasi sesering mungkin R/ : Untuk memfasilitasi keluarga belajar dan meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien

5. Bantu orang tua mengintepretasikan perilaku dan respon bayi atau anak R/ : Menginteoretasikan perilaku dan respon bayi atau anak secara tepat dapat membantu keluarga dalam mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter 6. Sambut keberadaan keluargatanpa batas R/ : untuk meningkatkan hubungan keluarga 7. Dorong keluarga untuk memberikan barang-barang yang berarti dan dapat diatur pada anak R/ : Untuk memberikan rasa aman 8. Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia) R/ : untuk dukungan interpersonal tambahan dan konkret (misalnya pelayanan sosial, rohaniawan dan yayasan HIV AIDS Indonesia)

Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara lain : 1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa dari orang ke orang tidak menularkan HIV 2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah khusus. 3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi dan batasi pengunjung dengan penyakit infeksi.

4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan (tinggi badan, berat badan, lingkar kepala 5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan 6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga memberitahu dokter tentang adanya efek samping 7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai, tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum terinfeksi HIV antara lain : 1. Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa kondom 2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV. 3. Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu. 4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya 5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan (kontak sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan memakai toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV.

BAB II TINJAUAN KASUS A. PENGKAJIAN PERAWATAN ANAK

I.

Identitas Klien : Nama/nama panggilan : An. A. Tempat tanggal lahir/usia Jenis Kelamin Agama Pendidikan Alamat Tanggal masuk Tanggal pengkajian Diagnosa Medik : Poasia, 27 Mei 2005/ 6 bulan 8 hari : Laki-laki : Islam :: BTN Kendari Permai Blok J No.14 : 18 Mei 2011 : 19 Mei 2011 : HIV-AIDS

II. Identitas Orang Tua 1. Ayah a. c. e. f. N a m a Pendidikan Agama Alamat 2. Ibu a. N a m a b. U s i a c. Pendidikan d. Pekerjaan e. A g a m a f. A l a m a t 3. Identitas Saudara Kandung No. 1. III. Keluhan Utama Orangtua klien mengeluhkan bayinya mengalami diare disertai dengan demam. N a m a Usia Hubungan Status Kesehatan : Ny. R : 25 tahun : SMP : Ibu Rumah Tangga : Islam : BTN Kendari Permai Blok J No.14 : Tn. T.L. : 27 tahun : SMA : Buruh Pabrik : Islam : BTN Kendari Permai Blok J No.14 b. U m u r d. Pekerjaan

IV. Riwayat Kesehatan. 1. Riwayat Kesehatan Sekarang Diare dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Mula-mula intensitas BAB kurang, dan sejak 2 hari yang lalu diare semakin parah diserta dengan demam, terdapat bercak-bercak terasa gatal pada kulit, diare diikuti dengan batuk, sesak dan klien tidak mau menyusu. Dengan alasan tersebut orang tua klien membawa klien ke RS untuk di periksa. 2. Riwayat Kesehatan Lalu (khusus untuk anak 0-5 tahun) 1) Prenatal Care Pemeriksaan kehamilan 3 kali Keluhan selama hamil Ngidam, kadang-kadang demam dan lemas Riwayat terkena sinar tidak ada Kenaikan berat badan selama kehamilan 2 kg Imunisasi 2 kali Golongan darah Ibu : lupa /golongan darah ayah : A 2) N a t a l Tempat melahirkan di Puskesmas oleh bidan Lama dan jenis persalinan : Spontan/normal Penolong persalinan Dokter Kebidanan Tidak ada komplikasi selama persalinan ataupun setelah persalinan (sedikit perdarahan daerah vagina). 3) Post Natal Kondisi Bayi : BB lahir 2 kg, PB 45 cm Pada saat lahir kondisi anak baik (untuk semua usia) Penyakit yang pernah dialami demam setelah imunisasi Kecelakaan yang pernah dialami: tidak ada Imunisasi belum lengkap Alergi belum nampak Perkembangan anak dibanding saudara-saudara : Anak pertama

V. Riwayat Kesehatan Keluarga Anggota keluarga : Ibu klien positif HIV

Genogram
50

60

6 4

6 0

6 bln
3 7

3 0

2 0

2 7

3 5

2 5

2 7

Keterangan :

: Laki-laki

= Meninggal

: Perempuan : Klien Penjelasan :

-------- = Serumah = Garis keturunan

Generasi I = Kakek dan nenek klien meninggal bukan karena penyakit yang sama dengan klien Generasi II = Saudara laki-laki dari bapak klien meninggal karena kecelakaan tidak ada riwayat penyakit yang sama dengan klien Generasi III = Klien anak pertama. Belum mempunyai saudara, klien saat ini di rasawat di RS dengan diangnosa postif HIV.

VI. Riwayat Imunisasi No. 1. 2. 3. 4. 5. VII. a. Jenis Imunisasi BCG DPT Polio Campak Hepatitis Waktu Pemberian 1 bulan Lupa lupa Reaksi setelah pemberian Demam Demam lupa

Riwayat Tumbuh Kembang

Pertumbuhan Fisik

1. Berat Badan : BB lahir 2 kg, BB masuk RS : 5 kg. 2. Tinggi Badan : PB lahir 45 cm, PB masuk RS : 50 Cm

3. Waktu tumbuh gigi pertama : belum b. Perkembangan tiap tahap Usia anak saat : 1. Berguling 2. Duduk 3. Merangkak 4. Berdiri 5. Berjalan : 5 bulan : belum : belum : belum : belum : belum

6. Senyum kepada orang lain pertama kali : lupa 7. Bicara pertama kali VIII. Riwayat Nutrisi a. Pemberian ASI : Setiap Kali menangis dan tanpa menangis : 15-20 manit 1. Pertama kali di susui : satu jam setelah lahir 2. Cara Pemberian 3. Lama Pemberin 8. Berpakaian tanpa bantuan : masih di bantu ibunya secara penuh

4. Diberikan sampai usia : sampai saat ini b. Pemberian Susu Formula : SGM Tidak pernah diberikan susu formula hanya ASI c. Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini Us i a 1. 0 - saat ini IX. Riwayat Psiko Sosial Anak tinggal di rumah sendiri Lingkungan berada di tepi kota Rumah tidak ada fasilitas lengkap Di Rumah tidak ada tangga yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, anak bebas bermain di luar dengan teman-temannya Hubungan antar anggota kelurga baik Pengasuh anak adalah orang tua Jenis Nutrisi Asi Lama Pemberian Masih berlangsung saat ini

X. Riwayat spiritual Anggota Keluarga tidak taat melaksanakan ibadah Kegiatan keagamaan : jarang mengikuti kegiatan keagamaan

XI. Reaksi Hospitalisasi a. Pengalaman Keluarga tentang Sakit dan rawat inap Orang tua membawa anaknya ke RS karena khawatir dan cemas tentang keadaan anaknya yang demam terus Dokter menceritakan sebagaian kecil kondisi anaknya dan kelihatannya orang tua belum mengerti hal ini dibuktikan dengan ekspresi wajah orang tua dan pertanyaan yang timbul sekitar keadaan anaknya Orang tua saat masuk di RS sangat merasa khwatir dengan keadaan anaknya dan selalu menanyakan kondisi anaknya Orang tua selalu menjaga anaknya bergantian antara ayah, ibu dan dan keluarga yang lain. Anak belum mampu berbicara b. Pemahaman anak tentang sakit dan rawat Inap

XII.

Aktivitas Sehari-hari Kondisi 1. Keinginan Menyusu 2. Frekwensi Menyusui Sebelum Sakit Baik 7 kali Saat sakit Kurang Tidak pernah

a. Nutrisi

b. Cairan Kondisi 1. Jenis minuman 2. Frekwensi minum 3. Kebutuhan cairan 4. Cara pemberian Sebelum sakit ASI Setiap kali haus Tidak diketahui ASI Saat sakit Tidak ada Sering Tergantung Infuse

c. Eliminasi (BAB & BAK) Kondisi 1. Tempat pembuangan 2. Frekwensi/waktu BAK= sering BAB = 2BAK = sering, BAB = 4-6x 3. Konsistensi 4. Kesulitan 5. Obat pencahar x sehari Sering encer Tidak ada Tidak pernah digunakan d. Istirahat/Tidur Kondisi 1. Jam tidur Siang Malam 2. Pola tidur Sebelum sakit 12.00 14.00 Jam 20.00- 06.00 Tidur dilaksanakan siang dan malam hari 3. Kebiasaan sebelum Menyusu tidur 4. Kesulitan tidur Gelisah Sering terbangun karena popoknya basah oleh feses. e. Olahraga Tidak dikaji f. Personal Hygiene Kondisi 1. Mandi Cara frekwensi alat mandi 2. Cuci rambut Sebelum sakit Dikerjakan oleh orang tua 2 x sehari Sabun Kadang-kadang Saat sakit Tidak pernah mandi hanya dilap badan 1 x sehari/melap badan Pake air hangat belum pernah dilakukan Saat sakit Jam 14.00-15.00 Jam 21.00-7.30 padaTidur dilaksanakan pada siang dan malam hari Menyusu sehari Encer Tidak ada Sebelum sakit Kain sarung Saat sakit Popok

frekwensi Cara 3. Gunting kuku frekwensi Cara 4. Gosok gigi Frekwensi Cara g. Aktifitas/mobilitas fisik Tidak dikaji h. Rekreasi Tidak dikaji XIII. Pemeriksaan Fisik a.

Tidak menentu Dikerjakan oleh orang tua Setiap kali panjang Di kerjakan oleh orang tua Setiap kali mandi Dikerjakan oleh orang tua Belum pernah dilakukan kuku terlihatbelum pernah dilakukan

Keadaan umum klien : Lemah, gelisah dan batuk sesak

Ekspresi wajah biasa kadang tersenyum dan cengeng bila diajak bermain. Berpakaian bersih karena selalu dijaga oleh ibunya. b. Tanda-tanda vital: - Suhu - Nadi - Pernafasan - TD c. Antropometri - Panjang badan - Berat badan - Lingkaran lengan atas - lingkaran kepala - lingkaran dada - Lingkaran perut : 50 cm : 5 kg : tidak dikaji : tidak dikaji : tidak di kaji :tidak dikaji : 38,5 C : 120x/m : 28x / m : 95/60 mmHg

- Skin fold d. Head To Toe o Kulit :

: tidak dikaji

Pucat dan turgo kulit jelek dipenuhi dengan bercak-bercak dan gatal o Kepal dan leher : Normal tidak ada kerontokan rambut, warna hitam dan tidak ada peradangan o Kuku : Jari tabuh o Mata / penglihatan : Sklera pucat dan nampak kelopak mata cekung o Hidung o Telinga : : Tidak ada Peradangan, tidak ada reaksi alergi, tidak ada polip, dan fxungsi penciuman normal Bentuk simetris kanan/kiri, tidak ada peradangan, tidak ada perdarahan o Mulut dan gigi Terjadi peradangan pada rongga mulut dan mukosa, terjadi Peradangan dan perdarahan pada gigi ,gangguan menelan(-), bibir dan mukosa mulut klien nampak kering dan bibir pecah-pecah. o Leher. Terjadi peradangan pada eksofagus. o Dada : dada masih terlihat normal o Abdomen : Turgor jelek ,tidak ada massa, peristaltik usus meningkat dan perut mules dan mual. o Perineum dan genitalia Pada alat genital terdapat bintik-bintik radang o Extremitas atas/ bawah Extremitas atas dan extremitas bawah tonus otot lemah akibat tidak ada energi karena diare dan proses penyakit. e. Sistem Pernafasan Hidung Leher Dada : Simetris, pernafasan cuping hidung : ada, secret : ada : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe di sub mandibula. :

Bentuk dada : Normal Perbandingan ukuran anterior-posterior dengan tranversal : 1 : 1

f. -

Gerakan dada : simetris, tidak terdapat retraksi Suara nafas : ronki Suara nafas tambahan : ronki Tida ada clubbling finger Sistem kardiovaskuler : Conjungtiva : Tidak anemia, bibir : pucat/cyanosis, arteri carotis : berisi reguler , tekanan vena jugularis : tidak meninggi Ukuran Jantung : tidak ada pembesaran Suara jantung : Tidak ada bunyi abnormal Capillary refilling time > 2 detik Mulut : terjadi peradangan pada mukosa mulut Abdomen : distensi abdomen, peristaltic meningkat > 25x/mnt akibat adanya virus yang menyerang usus Gaster : nafsu makan menurun, mules, mual muntah, minum normal, Anus : terdapat bintik dan meradang gatal

g. Sistem pencernaan:

h. Sistem indra 1. Mata : agak cekung 2. Hidung : Penciuman kurang baik, 3. Telinga i. Keadaan daun telinga : kanal auditorius kurang bersih akibat benyebaran penyakit Fungsi pendengaran kesan baik Sistem Saraf

1. Fungsi serebral: Status mental : Orientasi masih tergantung orang tua Bicara : Kesadaran : Eyes (membuka mata spontan) = 4, motorik (bergerak mengikuti perintah) = 6, verbal (bicara normal) = 5 2. Fungsi kranial : Saat pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda kelainan dari Nervus I Nervus XII.

3. Fungsi motorik : Klien nampak lemah, seluruh aktifitasnya dibantu oleh orang tua 4. Fungsi sensorik : suhu, nyeri, getaran, posisi, diskriminasi (terkesan terganggu) 5. Fungsi cerebellum : Koordinasi, keseimbangan kesan normal 6. Refleks : bisip, trisep, patela dan babinski terkesan normal. j. 2. Sistem Muskulo Skeletal Vertebrae: Tidak ditemukan skoliosis, lordosis, kiposis, ROM pasif, klien malas bergerak, aktifitas utama klien adalah berbaring di tempat tidur. 3. Lutut : tidak bengkak, tidak kaku, gerakan aktif, kemampuan jalan baik 4. Tangan tidak bengkak, gerakan dan ROM aktif k. Sistem integumen warna kulit pucat dan terdapat bintik-bintik dengan gatal, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat 39 derajat celsius, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal. l. Sistem endokrin Kelenjar tiroid tidak nampak, teraba tidak ada pembesaran Suhu tubuh tidak tetap, keringat normal, Tidak ada riwayat diabetes 1. Kepala : Betuk kurang baik, sedikit nyeri

m. Sistem Perkemihan Urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/24 jam), frekuensi berkurang. Tidak ditemukan odema Tidak ditemukan adanya nokturia, disuria , dan kencing batu Alat genetalia termasuk glans penis dan orificium uretra eksterna merah dan gatal o. Sistem Imun Klien tidak ada riwayat alergi Imunisasi lengkap Penyakit yang berhubungan dengan perubahan cuaca tidak ada Riwayat transfusi darah tidak ada

n. Sistem Reproduksi

XIV. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan 1 2 6 tahun ke atas Perkembangan kognitif : Klien mampu bekerja sama dengan orang lain hal ini dibuktikan dengan klien sering bermain bola bersama teman-temannya waktu sebelum sakit. Perkembangan motorik : klien mampu menggunakan sepeda dengan sendirinya Terapi Saat ini : Infus RL 20 tts/m Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV) Keperawatan : XV.

Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV Mengatasi dampak psikososial Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis Hasil Laboratorium tanggal 28 Maret 2011: Tidak dikaji XVI. Klasifikasi Data Data Subjektif Keluarga klien mengatakan anaknya batuk-batuk dan sesak Keluarga klien mangatakan anaknya demam terus-menerus Keluarga klien mengatakan muncul bercak-bercak di tubuh anaknya Keluarga klien mengatakan, klien tidak mau makan/malas makan Ibu klien mengatakan anaknya susah menelan akibat luka-luka pada mulutnya Keluarga klien mengatakan anaknya sering buang air besar dan encer

Keluarga klien mengatakan sangat khawatir dengan kondisi anaknya, maka dari itu anaknya di bawa ke RS. Data Objektif Klien selama di RS nampak batuk terus dan gelisah nampak sesak sesak Klien nampak teraba panas dengan suhu 39 0C, Nadi mmHg Nampak terlihat bercak-bercak dan klien selalu menangis menggaruk badannya yang gatal Klien nampak cengeng bila ingin disusui, berat badan klien turun dari 5 kg menjdi 4 kg Klien nampak selalu mengeluh ingin BAB dan diRS terhitung 4-5/hari Kulit klien nampak kering, nampak cekung pada mata Keluarga klien nampak gelisah dan selalu menanyakan kondisi anaknya. : 120x/m, P : 28x /m dan TD : 95/60

XVII. Prioritas Data 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret DS DO : Keluarga klien mengatakan anaknya batuk-batuk dan sesak : Klien selama di RS nampak batuk terus dan gelisah nampak sesak sesak 2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody DS DO mmHg 3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare DS : Keluarga klien mengatakan anaknya sering buang air besar dan encer DO : Klien nampak selalu mengeluh ingin BAB dan di RS terhitung 4-5/hari Kulit klien nampak kering, nampak cekung pada mata 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral DS : : Keluarga klien mangatakan anaknya demam terus-menerus : 120x/m, P : 28x / m dn TD : 95/60 : Klien nampak teraba panas dengan suhu 38,5 0C, Nadi

5.

Keluarga klien mengatakan, klien tidak mau menyusu Ibu klien mengatakan anaknya susah menyusui akibat luka-luka pada mulutnya Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument

DO : Klien nampak cengeng bila ingin disusui, BB klien turun dari 5 kg menjadi 4 kg.

DS : Keluarga klien mengatakan muncul bercak-bercak di tubuh anaknya DO : Nampak terlihat bercak-bercak dan klien selalu menangi menggaruk badannya yang gatal 6. Kecemas berhubungan dengan perubahan kesehatan yang diderita klien DS : Keluarga klien mengatakan sangat khawatir dengan kondisi anaknya, maka dari itu anaknya di bawa ke RS. DO : Keluarga klien nampak gelisah dan selalu menanyakan kondisi anaknya. XVIII. Analisa Data No 1 DS Data : Etilogi Kandidiasis Masalah Bersihan jalan nafas tidak efektif

Keluarga klien mengatakan anaknya batuk-batuk dan sesak DO : Menginfeksi bronkus Klien selama di RS nampak batuk terus dan gelisah nampak sesak sesak Aktivitas bronkus berkurang

Penumpukan sekret

2 DS

Batuk inefektif Kuman mengeluarkan endotoksin

Hipertermi

Keluarga klien mangatakan

anaknya demam terus-menerus DO dengan Nadi : Merangsang pengeluaran zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yg meradang suhu 38,5
0

Klien nampak teraba panas C, : 120x/m, P : 28x /

m dn TD : 95/60 mmHg

Melepas zat IL-1, prostaglandin E2 (pirogen leukosi & pirogen endokrin

Mencapai hipotalamus 3 DS : Keluarga klien mengatakan anaknya sering buang air besar dan encer DO : Klien nampak selalu BAB dan diRS terhitung 4-5/hari Masuk ke saluran gastrointerstinal Masuk ke sirkulasi (set point) Invasi virus ke dlm tubuh Kekurangan volume cairan

Peningkatan gerak peristaltik usus

Diare

4 DS : Keluarga klien mengatakan, klien tidak mau makan/malas makan Ibu klien mengatakan anaknya susah menelan akibat luka-luka pada mulutnya DO : Klien nampak cengeng bila inbin diberi makan dan porsi makannya tidak habis serta BB turun menjadi 20 kg dari 25kg.

Intake inadekuat kandidiasis Lesi oral

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Ketidakmampuan menyusu Perubahan indra pengecap

Menurunkan keinginan menyusu 5 DS : Timbul jamur dan bintik-bintik Kerusakan integritas kulit

Keluarga klien mengatakan muncul bercak-bercak di tubuh anaknya DO dan : klien selalu menangis

Lesi kulit

Nampak terlihat bercak-bercak menggaruk badannya yang gatal 6 DS : Keluarga klien mengatakan sangat khawatir dengan kondisi anaknya, maka dari itu anaknya di bawa ke RS. DO : Keluarga klien nampak gelisah Gelisah Dermatitis AIDS Cemas

dan selalu menanyakan kondisi Merasa ketakutan akan anaknya. penyakit anaknya

B. DIAGNOSA 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret 2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody 3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare 4. 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument 6. Kecemas berhubungan dengan perubahan kesehatan yang diderita klien

You might also like