You are on page 1of 2

Bank Pertanian untuk Rekonstruksi Perekonomian Nasional

Agus Pakpahan

IPB, Bank Indonesia dan Departement Pertanian menyelenggarakan seminar “Menuju


Pendirian Bank Pertanian”, di Bogor pada 11 Mei 2009. Bank Pertanian sebagai pokok bahasan
sudah berjalan sejak lama, namun baru kali ini tiga lembaga secara bersama memberikan atensi
terhadap bank pertanian ini. Bagi kalangan yang selama ini memikirkan bagaimana caranya
mengubah jalan sejarah pertanian seminar di atas banyak memberikan harapan. Mengapa?
Kita mengetahui bahwa pertanian (agriculture) itu merupakan hasil ciptaan manusia yang
telah melewati ribuan tahun jejak peradaban manusia yang sebelumnya menggantungkan
hidupnya dari berburu, perladangan berpindah, meramu, dan akhirnya memanfaatkan bidang
lahan secara menetap yang disebut pertanian. Pasang-surut peradaban kemudian menjadi lebih
kompleks karena dengan budaya menetap maka manusia harus berhasil menciptakan sistem
produksi, distribusi, konsumsi dan konservasi sumberdaya alam yang bisa memberikan peluang
terwujudnya keberlanjutan sistem kehidupan. Dalam proses ini kita menyaksikan bagaimana
peradaban manusia berkembang dengan penemuan-penemuan teknologi, sarana dan prasarana,
insitusi atau organisasi serta tata nilai baru yang menjadi latar belakang terjadinya berbagai
perubahan fundamental dalam kehidupan manusia pada umumnya dan kehidupan para petani dan
pertanian pada khususnya.
Pertambangan penduduk dunia lebih dari 4 miliar jiwa sejak 1950 dimana di dalamnya
lebih dari 100 juta jiwa pertambahan penduduk Indonesia, tentunya ditentukan oleh keberhasilan
pembangunan pertanian selama kurun waktu tersebut. Alasannya sederhana: tidaklah mungkin
populasi penduduk bumi ini meningkat tanpa didukung oleh ketersediaan pangan yang cukup
besar, dan ini adalah produk pertanian. Namun, keberhasilan ini menunjukkan sisi yang
memprihatinkan yaitu: Mengapa pertanian itu sangat bernilai untuk peradaban tetapi ia tidak
memberikan kesejahteraan yang makin baik untuk para petaninya? Jadi, keberhasilan kita
meningkatkan produksi pangan nasional dengan dukungan membangun sarana dan prasarana
pertanian seperti bendung, irigasi, pabrik pupuk dan benih, penelitian dan pengembangan
pertanian, dan sebagainya, mengapa sebagian besar petani masih miskin dan bahkan kaum muda
yang sekolah pertanian saja akhirnya tidak mau bekerja di pertanian?
Salah satu indikator yang sangat penting bagi Indonesia yang menunjukkan bahwa
evolusi pertanian ini berada di jalan yang salah adalah makin meningkatnya jumlah petani gurem
dari waktu ke waktu. Hal ini dikatakan salah karena secara teori maupun secara empiris bahwa
transformasi ekonomi yang berhasil haruslah menciptakan struktur ekonomi yang mana jumlah
relatif petaninya harus mengecil karena angkatan kerja baru yang muncul berpindah berja ke
sektor lain. Sebagai gambaran kasar setiap penurunan 1% nilai PDB pertanian di Korea Selatan
selama 1957-2002 diikuti oleh 1.56 % penurunan angkatan kerja pertanian sehingga jumlah
petani Korea Selatan pada tahun 2002 tinggal 12 %. Adapun di Malaysia dan Thailand,
penurunan tenaga kerja pertanian masing-masing mencapai 1.02% dan 1.1%. Sebaliknya untuk
Indonesia, laju penurunan tenaga kerja pertanian per penurunan 1 % PDB pertanian hanyalah
0.43%. Artinya, sektor pertanian dan perdesaan Indonesia memikul beban penyediaan lapangan
kerja yang berat, yang akhirnya membuat makin gurem para petaninya.
Bank adalah instrumen ekonomi yang sangat strategis. Kegagalan dalam sistem
moneter/perbankan akan berpengaruh terhadap seluruh sendi kehidupan manusia. Apabila bank
ini diibaratkan sebagai bendungan, makin besar bendungan maka makin besar kapasitasnya.
Apabila bendungan ini jebol maka banjir akan meluluh-lantakan daerah yang berada di hilirnya.
Krisis ekonomi pada 1998 yang menelan dana rekapitalisasi bank sekitar Rp 600 triliun adalah
akibat jebolnya sistem perbankan kita. Berapa besar tembok pertanian/petani dalam menyumbang
biaya Rp 600 triliun tersebut? Dari jumlah ini petani memberikan beban sangatlah kecil. Bahkan
sebaliknya, pertanian dan usaha kecil-menengah inilah yang menyelamatkan Indonesia dari krisis
ekonominya.
Sekarang, berapa besar potensi ekonomi pertanian ini? Potensi tersedia yang sudah
diberikan petani saat ini sangatlah besar. Dari sawah saja, kita mendapatkan nilai padi dan produk
turunannya seperti listrik dengan bahan bakar sekam, bekatul untuk minyak goreng atau
stabilized rice bran, silica dari abu sekam, bahan bangunan dari abu sekam, tepung beras dari
menir, jerami untuk pupuk K, dan lain-lain nilainya adalah lebih dari 10 kali daripada yang
dinikmati sekarang. Kalau nilai gabah 60 juta ton setara dengan Rp 150 triliun, maka 10 kalinya
mencapai Rp 1500 triliun per tahun. Yang sangat bernilai strategis di sini adalah segala hal pokok
sudah tersedia secara lokal: kontinuitas bahan baku dan pelakunya. Investasi yang diperlukan
untuk membuat produk di atas kurang-lebih Rp 400 miliar per 10.000 hektar sawah atau Rp 40
juta per hektar.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana ”mengorganisasikan” potensi besar ini agar
potensi tersebut bisa terwujud dan petani serta masyarakat perdesaan pada khususnya dan seluruh
masyarakat Indonesia pada umumnya bisa mendapatkan nilai positif dari proses transformasi
ekonomi ini? Kalau kita amati secara teliti, kita bisa menemukan bahwa salah satu unsur yang
belum kompatibel (compatible) dengan tujuan di atas adalah kita belum memiliki institusi
pembiayaan yang memadai, yang mampu mendukung transformasi tersebut. Bank Pertanian
dengan diisi ruh dan raganya diciptakan untuk bisa dan kuat mewujudkan transformasi ekonomi
nasional yang mampu menggeser trend yang terjadi selama ini sangatlah diperlukan.
Sesungguhnya kita harus bisa dan kuat membalik arus dan gelombang sejarah pertanian agar kita
bisa dan kuat melakukan rekonstruksi perekonomian nasional demi memuwudkan amanah
Pancasila dan UUD 1945.

You might also like