You are on page 1of 8

PENDAHULUAN

Di desa-desa terpencil itu, banyak warga, meskipun memiliki beberapa lembar pakaian, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka bahkan memakai pakaian yang sudah compang-camping. Tidak mengherankan jika kemudian sesampai di kota kabupaten atau di kios-kios di pedalaman mereka asyik memandangi baju-baju yang digantung di rak atau asyik melihat orang yang mampu membeli tengah menawar harga sebuah kaus atau kemeja sederhana. Ada juga yang, karena lompatan teknologi di daerahnya, telah memiliki telepon genggam, namun di rumah mereka tidak memiliki listrik sehingga tiap kali ke kota mereka mampir ke rumah kerabat atau teman untuk menumpang mengisi ulang baterai telepon genggam itu. Ketika kebutuhan mereka untuk makan belum sepenuhnya tercukupi, ternyata mereka telah dihadapkan pada dunia baru yang telah berlari jauh meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Karenanya, pembangunan dan pengembangan masyarakat di Papua tidak lagi dapat ditawar.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masyarakat Tradisional dalam Dunia yang Berlari Di desa-desa terpencil itu, banyak warga, meskipun memiliki beberapa lembar pakaian, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka bahkan memakai pakaian yang sudah compang-camping. Tidak mengherankan jika kemudian sesampai di kota kabupaten atau di kios-kios di pedalaman mereka asyik memandangi baju-baju yang digantung di rak atau asyik melihat orang yang mampu membeli tengah menawar harga sebuah kaus atau kemeja sederhana. Ada juga yang, karena lompatan teknologi di daerahnya, telah memiliki telepon genggam, namun di rumah mereka tidak memiliki listrik sehingga tiap kali ke kota mereka mampir ke rumah kerabat atau teman untuk menumpang mengisi ulang baterai telepon genggam itu. Ketika kebutuhan mereka untuk makan belum sepenuhnya tercukupi, ternyata mereka telah dihadapkan pada dunia baru yang telah berlari jauh meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Karenanya, pembangunan dan pengembangan masyarakat di Papua tidak lagi dapat ditawar. Sebuah pengalaman menarik pernah Kompas alami ketika masih bertugas di Waghete. Kala itu, anak-anak dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, sebagaimana biasanya pada hari Kamis malam, diajak menonton sebuah film dari video yang dimiliki misionaris. Malam itu yang diputar adalah film berjudul The Gods Must Be Crazy. Film itu menceritakan petualangan seorang warga orang semak di pedalaman Afrika. Profil orang semak itu nyaris serupa dengan profil warga suku Mee di pedalaman Paniai.

Dalam The Gods Must Be Crazy digambarkan laki-laki yang berjalan kaki ke mana-mana dengan membawa tombak dan busur panah, memakai celana kulit kayu serta bertemu dengan seorang kulit putih, serta pesawat terbang jenis Cessna. Hal yang sama ditemui oleh warga Mee, pesawat Cessna milik penerbangan misi serta para misionaris asing dari Belanda adalah hal yang sejak lama mereka temui. Tiba-tiba seorang anak SD bertanya kepada seorang misionaris, Pater, apakah semua orang di dunia ini seperti itu, seperti kami juga? Pertanyaan itu mengenyakkan kami. Nyaris film yang sebenarnya hanya untuk memberi hiburan itu memiliki dampak lain. Film itu ternyata tidak memberi wawasan baru bagi anak-anak itu.

B. Pengenalan Budaya Baru Memperkenalkan budaya dan dunia luar ternyata menjadi sangat penting bagi pengembangan wawasan mereka. Namun, dengan satu catatan, tanpa harus mencabut mereka dari akar budaya asli masyarakat setempat. Sebab, setiap budaya memiliki ciri khas dan kearifan lokal sendiri. Seorang petugas penerbangan pada misi penerbangan milik Mission Aviation Fellowship (MAF) tegas-tegas mengatakan kepada calon penumpang atau warga yang hendak mengirim barang ke pedalaman supaya tidak membawa minuman keras di dalam bagasi mereka. Jika kami tahu kamu bawa, kamu tidak pernah boleh lagi naik pesawat kami, tegasnya. Meskipun dingin, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedalaman tidak dikenal minuman keras. Demikian juga dengan warga di daerah pesisir pantai meskipun di pesisir dikenal minuman keras lokal, seperti bobo, yang terbuat dari nira nipah.

Bukan hanya karena minuman itu dapat membuat orang mabuk dan kemudian membuat onar, tetapi lebih-lebih karena daya tahan tubuh masyarakat pedalaman agak rentan terhadap efek minuman itu. Umumnya warga telah mengidap bibit malaria yang sewaktu-waktu kambuh. Tidak jarang limpa mereka terserang dan mengeras. Jika mereka meminum bobo, dapat dibayangkan akibatnya, fatal. Lalu larangan membuang ludah sisa makan sirih pinang di sembarang tempat pun sebenarnya diarahkan untuk membuat tempat-tempat umum menjadi enak dipandang. Melarang makan sirih pinang tentu bukan jalan keluar yang baik sebab makan sirih pinang adalah kebiasaan warga Papua dan memiliki dampak positif pada kesehatan mulut dan gigi mereka. Apalagi di pedalaman orang tidak mengenal kebiasaan menggosok gigi.

C.

Peran misionaris Ketika misi awal para misionaris baik Kristen maupun Katolik dikembangkan di Papua, selain memperkenalkan keyakinan itu kepada masyarakat setempat, mereka pun memperkenalkan pendidikan dan cara bercocok tanam. Namun, titik berat pengembangan misi waktu itu masih berkisar pada persoalan pengembangan agama. Selanjutnya, ketika masyarakat daerah telah menerima keyakinan baru itu, mereka kemudian diperkenalkan pada pendidikan. Salah satunya dengan mendirikan sekolah-sekolah di daerah pedalaman dan mendatangkan guru-guru dari Jawa. Lalu mendirikan berbagai yayasan pendidikan di Papua, baik oleh misi Kristen maupun Katolik, guna membantu agar upaya awal itu dapat lestari.

Meskipun hingga saat ini tanggung jawab gereja pada misi pendidikan dan pengembangan masyarakat masih terus digalakkan, peran pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tetap diperlukan. Bahkan, untuk peran-peran lain, seperti penguatan ekonomi masyarakat, infrastruktur, baik fisik maupun sosial, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Setidaknya, kerja sama antardua lembaga itu, yaitu gereja dan pemerintah, menjadi kunci penting pengembangan masyarakat di Papua. Sejauh ini relasi itu tampak telah berjalan dengan baik. Banyak sekolah milik berbagai yayasan itu dibangun atas dana bantuan dari pemerintah setempat. Guru-guru negeri pun banyak diperbantukan pada sekolah-sekolah itu. Namun, akan menjadi lebih baik jika kerja sama itu tidak hanya berhenti pada proyek fisik semacam itu. Diperlukan terobosan-terobosan baru dalam pola kerja sama yang telah terbangun selama ini. Apalagi berbagai kebutuhan dasar masyarakat pedalaman tidak semuanya dapat dipenuhi oleh para misionaris, seperti kesehatan dan kemampuan ekonomi warga. Beberapa pendekatan sederhana, seperti pendirian balai-balai kesehatan, pelatihan pertukangan, peternakan, perkebunan, dan menjahit serta bercocok tanam hingga transportasi udara telah lama dilakukan para misionaris. Namun, itu tidak dapat dilakukan di semua kawasan di Papua, tentu karena keterbatasan personel dan dana. Dalam posisi seperti itu, akan menjadi lebih baik jika pemerintah yang memiliki jaringan birokrasi, tenaga, teknologi, dana, dan sarana lebih luas serta memadai dapat meneruskan atau mengembangkan berbagai hal yang telah dimulai para misionaris. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap pengembangan wawasan dan kemampuan masyarakat setempat menjadi lebih ringan karena dipikul bersama-sama.

Selain itu, lompatan budaya yang terlalu cepat terjadi di Papua juga dengan cepat memiskinkan warga Papua. Di daerah Agats, Kabupaten Asmat, masyarakat bisa dikatakan tidak pernah kekurangan apa pun. Untuk makanan mereka mudah mendapatkan ikan yang memang melimpah, juga sagu yang tumbuh subur di hutan sekitar desa. Untuk sandang, mereka cuma butuh dedaunan penutup aurat. Untuk rumah, semua bahan tersedia di hutan. Itu yang terjadi di abad-abad silam. Namun, saat terjadi persentuhan dengan dunia modern, mendadak mereka merasa membutuhkan lampu senter, kaus bergambar Madonna, juga pesawat radio. Karena tidak punya pekerjaan yang menghasilkan uang, banyak warga Asmat lalu menjual ikan tangkapannya untuk mendapatkan uang guna membeli barang-barang yang mendadak mereka butuhkan itu. Dengan rendahnya harga ikan, mereka menjadi tampak miskin dan sedikit demi sedikit kekurangan makanan karena harus dijual. Realita ketertinggalan Papua harus diakui merupakan kelalaian Pemerintah Indonesia. Minimnya sarana transportasi adalah bukti teramat nyata. Tidak ada kata terlambat untuk apa pun. Jadi, saat ini sudah seharusnya Pemerintah RI mulai turun tangan membenahinya.

KESIMPULAN

Meskipun dingin, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedalaman tidak dikenal minuman keras. Demikian juga dengan warga di daerah pesisir pantai meskipun di pesisir dikenal minuman keras lokal, seperti bobo, yang terbuat dari nira nipah. Melarang makan sirih pinang tentu bukan jalan keluar yang baik sebab makan sirih pinang adalah kebiasaan warga Papua dan memiliki dampak positif pada kesehatan mulut dan gigi mereka. Apalagi di pedalaman orang tidak mengenal kebiasaan menggosok gigi. Realita ketertinggalan Papua harus diakui merupakan kelalaian Pemerintah Indonesia. Minimnya sarana transportasi adalah bukti teramat nyata. Tidak ada kata terlambat untuk apa pun. Jadi, saat ini sudah seharusnya Pemerintah RI mulai turun tangan membenahinya.

DAFTAR PUSTAKA
www.google.com Susilo, Agus. 1993. Masyarakat Tradisional dalam Dunia yang Berlari. Seminar Kesehatan Masyarakat. Bandung. Jawa Barat.

You might also like