You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA

A. Anatomi Organ pernafasan berguna bagi transgportasi gas-gas dimana organ-organ pernafasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu rongga hidung, pharynx, larynx, trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah. 1. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari: a) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang masuk kedalam rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang menyalurkan air mata kedalam bagian bawah rongga nasalis kedalam hidung b) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tenggorokan sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikid maka letaknya di belakang hidung (naso farynx), dibelakang mulut(oro larynx), dan dibelakang farinx (farinx laryngeal) 2. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari : a) Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang memisahkan dari kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. b) Trachea (Batang tenggorokan) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronchus (bronchi). c) Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kirakira vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama bronchus kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek, lebih besar dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan anatomis

ini mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotracheal terletak sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronchus kanan. Kalau udara salah jalan, maka tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps (atelektasis).Tapi arah bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang terhirup lebih mudah tersangkut dalam percabangan bronchus kanan ke arahnya vertikal. Cabang utma bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang lagi menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronchus. Percabangan ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus. Bronchiolus terminal kurang lebih bergaris tengah 1 mm. Bronchiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi di kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran udara dibawah bronchiolus terminalis disebut saluran pengantar udara karena fungsi utamanya dalah sebagai pengantar udara ketempat pertukaran gas paru-paru. Di luar bronchiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis merupakan struktur akhir paru-paru. d) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga toraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum central yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih banyak daripada kiri, paru kanan dibagi menjadi tiga lobus dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan mempunyai 3 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus

medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri mempunyai 5 buah segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus superior.Tiaptiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Didalam lobulus, bronkhiolus ini bercabang- cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus.Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2- 0,3 mm. Letak paru di rongga dada dibungkus oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura. Pleura dibagi menjadi dua :1) pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru; 2) pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolpas paru kalau terserang penyakit, pleura mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan

B. Definisi Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) : 1. Pneumonia lobaris 2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis) 3. Bronkopneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering terjadi pada anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bennete, 2013). Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002). Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 2006). Bronkhopneumonia adalah salah satu peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveoli yang biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratus bagian atas selama beberapa hari. Yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing lainnya. (Dep. Kes. 1996 : Halaman 106). Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di

sekitarnya.

Pada

bronkopneumonia

terjadi

konsolidasi

area

berbercak.

(Smeltzer,2001). Jadi bronkopneumonia adalah radang paru terutama pada bagian bronkus dan alveolus yang berada di sekitarnya, serta terjadi konsolidasi area berbercak, yang sebelumnya didahului dengan adanya infeksi pada saluran pernapasan bagian atas.

C. Etiologi Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) : 1. Faktor Infeksi a) Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV). b) Pada bayi : Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis. c) Pada anak-anak : Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis d) Pada anak besar dewasa muda : Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis 2. Faktor Non Infeksi. Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi a) Bronkopneumonia hidrokarbon : Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b) Bronkopneumonia lipoid : Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. 3. Faktor Predisposisi a. Usia b. Genetik 4. Faktor Presipitasi a. Gizi buruk/kurang b. Berat badan lahir rendah (BBLR) c. Tidak mendapatkan ASI yang memadai d. Imunisasi yang tidak lengkap e. Polusi udara f. Kepadatan tempat tinggal

D. Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011). 1. Berdasarkan lokasi lesi di paru a) Pneumonia lobaris b) Pneumonia interstitialis c) Bronkopneumonia 2. Berdasarkan asal infeksi a) Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP) b) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia) 3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab a) Pneumonia bakteri b) Pneumonia virus c) Pneumonia mikoplasma d) Pneumonia jamur 4. Berdasarkan karakteristik penyakit a) Pneumonia tipikal b) Pneumonia atipikal 5. Berdasarkan lama penyakit a) Pneumonia akut b) Pneumonia persisten

E. Tanda dan Gejala Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. 1. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C 2. Mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.

3. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. 4. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013). Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya

bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013): 1. Pada inspeksi : terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung orthopnea pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua. Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi. 2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. 3. 4. Pada perkusi tidak terdapat kelainan Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembunggelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tibatiba terbuka.

F. Patofisiologi dan Web Caution Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan

respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013). Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011): 1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3. Stadium III (3-8 hari berikutnya) Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya) Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

G. Pemeriksaan Penunjang 1. Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar X dada mungkin bersih. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.

Gambar 2. Bronchopneumonia pada Anak umur 5 tahun

2. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada. Mungkin menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsy jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. 4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial. Infeksi virus: leukosit normal atau meningkat (tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan infeksi bakteri; leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil yang predominan. 5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin. 6. LED : meningkat

7. Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia. 8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah 9. Bilirubin : mungkin meningkat 10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 2000)

H. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley, et all, 2011): a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada. b. Panas badan c. Ronki basah halus-sedang nyaring (crakles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrate difus e. Leukositas (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

I.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada klien

bronkopneumonia adalah: 1. Menjaga kelancaran pernapasan 2. Kebutuhan istirahat 3. Kebutuhan nutrisi dan cairan 4. Mengontrol suhu tubuh 5. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman Sementara Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah: 1. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien) 2. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip

3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk transpor muskusilier 4. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief Mansjoer, 2000). Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011). 1. Penatalaksaan Umum a) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr. b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. c) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena. 2. Penatalaksanaan Khusus a) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. b) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung. c) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi : 1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis 2. Berat ringan penyakit 3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis 4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.

1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : a) ampicillin + aminoglikosid b) amoksisillin - asam klavulanat c) amoksisillin + aminoglikosid d) sefalosporin generasi ke-3 2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) a) beta laktam amoksisillin b) amoksisillin - asam klavulanat c) golongan sefalosporin d) kotrimoksazol e) makrolid (eritromisin) 3. Anak usia sekolah (> 5 thn) a) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin) b) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun). Dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

J.

Komplikasi Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :

a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang. b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura. c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang. d. Infeksi sitemik e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.

f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

K. Pencegahan Bronkopneumonia 1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain : a) Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan).. b) Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. c) Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. d) Mengurangi kepadatan hunian rumah. 2. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26 a) Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari. b) Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi. c) Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.

3. Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain : a) Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit. b) Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses pemberian makan. c) Berikan anak cairan tambahan untuk minum. d) Tingkatkan pemberian ASI. e) Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman. f) Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.

L. Masalah Keperawatan Yang Perlu Dikaji 1. Fokus Pengkajian Usia bronkopneumoni sering terjadi pada anak. Kasus terbanyak sering terjadi pada anak berusia dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada bayi berusia kurang dari 2 bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering mengalami bronkopneumonia. 2. Keluhan Utama : sesak nafas 3. Riwayat Penyakit a) Pneumonia Virus : didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran nafas, termasuk renitis (alergi) dan batuk, serta suhu badan lebih rendah daripada pneumonia bakteri. b) Pneumonia Stafilokokus (bakteri) : didahului oleh infeksi saluran pernapasan akut atau bawah dalam beberapa hari hingga seminggu, kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan pernapasan.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu Sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit fertusis yaitu penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang dan lama yang disertai wheezing (pada Bronchopneumonia). 5. Pengkajian Fisik a) Inspeksi : Perlu diperhatikan adanya takhipnea, dispnea, sianosis sirkumoral, pernafasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula non produktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik nafas pada pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas. b) Palpasi : Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit dan nadi mengalami peningkatan. c) Perkusi : Suara redup pada sisi yang sakit. d) Auskultasi : Pada pneumoniakan terdengar stidor suara nafas berjurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi, pernafasan bronchial, bronkhofoni, kadang-kadang terdenar bising gesek pleura. 6. Data Fokus a) Pernapasan Gejala : takipneu, dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat aksesoris, pelebaran nasal. Tanda : bunyi napas ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis bibir atau kulit b) Aktivitas atau istirahat Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia Tanda : penurunan toleransi aktivitas, letargi c) Integritas ego : banyaknya stressor d) Makanan atau cairan Gejala ; kehilangan napsu makan, mual, muntah Tanda: distensi abdomen, hiperperistaltik usus, kulit kering dengan tugor kulit buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi)

e) Nyeri atau kenyamanan Gejala : sakit kepala, nyeri dada (pleritis), meningkat oleh batuk, nyeri dada subternal (influenza), maligna, atralgia. Tanda : melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi yang sakit untuk membatasi gerakan) (Doengos,2000).

M. Diagnosa Keperawatan Masalah keperawatan yang lazim muncul, yaitu (Nurarif,2013): 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum 2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi. 3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus kapiler. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri 19aud an rasa sputum. 5. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d. kehilangan cairan berlebih. 6. Intoleransi aktivitas b.d insufisiensi O2 untuk aktivitas sehari-hari.

N. Prioritas Tindakan Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum. 2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi. 3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus kapiler. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum.

DAFTAR PUSTAKA Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. Diakses pada tanggal 21 Juli 2013 http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, Kaplan SL et all. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Month of Age:Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseas Society of America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7): 617-630. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier. Dahlan Z. 2006. Pneumonia, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Suyono S. (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Departemen Kesehatan RI.1996. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Jakarta :Depkes. Doenges M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit IDAI. Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2. Jakarta: Media Aesculapius.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Martin T, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan, Diagnosis, Dan Evaluasi. Jakarta: EGC. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier. Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action. Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Reevers, Charlene J, et all .2001. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda GB. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Vol 1. Jakarta: EGC. Smetlzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart . Jakarta: EGC, Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan prosesproses penyakit. Jakarta: ECG. Wiley, Blackwell. 2009. Nursing Dianoses Definition and Classification 20092011. United States of America: Mosby Elsevier.

You might also like