You are on page 1of 34

HALAMAN PENGESAHAN

Nama NIM Fakultas Universitas Tingkat Bagian Judul

: Marcella Trixie Kartika N. : 01.207.5518 : Kedokteran : Islam Sultan Agung ( UNISSULA ) : Program Pendidikan Profesi Dokter : Ilmu Kesehatan Anak : Morbili (Campak)

Kudus,

September 2011

Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Kudus

Pembimbing

dr. Ali Marsudi, Sp.A

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Empat puluh tahun sejak vaksin yang efektif telah diproduksi, penyakit campak tetap berlanjut menjadi penyebab kematian dan penyakit yang berat pada anakanak di seluruh dunia. Komplikasi dari campak bisa terjadi hampir di seluruh sistem organ. Pneumonia, batuk, dan ensefalitis adalah beberapa penyebab kematian yang utama dan ensefalitis adalah kasus yang paling banyak menimbulkan gejala sisa dalam jangka waktu yang lama. Campak juga masih menjadi penyebab utama terjadinya kebutaan pada negara-negara berkembang. Tingkat komplikasi lebih tinggi terjadi pada anak usia < 5 tahun dan > 20 tahun, meskipun otitis media dan batuk paling banyak terjadi pada usia < 2 tahun dan ensefalitis lebih banyak terjadi pada anak yang lebih tua serta orang dewasa. Tingkat komplikasi juga meningkat pada kelainan defisiensi imunitas, malnutrisi, defisiensi vitamin A, paparan campak yang berulang, dan tidak adanya riwayat vaksinasi campak sebelumnya. Derajat kematian akibat kasus campak telah berkurang seiring dengan makin meningkatnya kondisi status sosial ekonomi di banyak negara tetapi masih cukup tinggi di negara-negara berkembang. Sebelum diperkenalkannya vaksin campak, virus campak telah menginfeksi 95%-98% anak-anak usia 18 tahun dan campak telah dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Paparan vaksin biasanya diberikan pada anak-anak di usia awal sekolah karena tingginya derajat kesakitan akibat campak pada orang dewasa.

B. Tujuan Laporan Kasus berjudul Morbili (Campak) ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSU Kudus.

C. Manfaat Penyusunan Laporan Kasus berjudul Morbili (Campak) ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta informasi bagi penyusun dan pembaca tentang Morbili (Campak).

MORBILI (CAMPAK)
A. Definisi Merupakan penyakit akut sangat menular yang disebabkan oleh

paramyxovirus, yang ditandai 3 stadium, yaitu stadium kataral (prodromal), erupsi dan kovalesensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis, dan bercak koplik (FKUI, 1991). Morbili adalah penyakit menular anak yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi (Nelson, 2000) Dalam bahasa Latin penyakit ini disebut juga Rubeolla.

B. Etiologi Virus campak yang termasuk golongan paramyxovirus terdapat di sekret nasofaring dan darah, minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbul ruam. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada suhu kamar, 15 minggu di dalam pengawet beku, minimal 4 minggu disimpan dalam suhu 35oC, dan beberapa hari pada suhu 0oC. Virus tidak dapat aktif pada pH rendah (FKUI, 1991).

C. Karakteristik Penyakit Setelah masa inkubasi antara 8-12 hari, campak mulai menimbulkan demam antara 39-40,50 C dan batuk, nyeri tenggorokan dan konjungtivitis. Gejala-gejala tersebut muncul secara intensif selama 2-4 hari sebelum timbulnya bercak-bercak kemerahan serta mencapai puncaknya pada hari pertama timbulnya bercak tersebut. Bercak-bercak tersebut pada awalnya muncul pada wajah dan leher yang menampakkan adanya plakat kemerahan yang tersebar dengan diameter antara 3-8 mm. Jumlah lesi kulit tersebut meningkat selama 2-3 hari terutama pada bahu dan wajah dimana biasanya batas antar lesi akan tampak lebih menyatu. Lesi-lesi yang tersebar biasanya dapat ditemui di bagian ekstremitas dan sebagian kecil juga dapat dilihat pada telapak tangan orang yang terinfeksi dengan pengamatan yang lebih cermat (25%-50%). Bercak tersebut akan berakhir setelah 3-7 hari dan akan berangsur menghilang atau akan tibul deskuamasi yang baik sehingga tidak meninggalkan bekas pada anak yang rajin mandi setiap hari. Demam biasanya tetap berlangsung hingga 23

3 hari setelah timbulnya bercak kemerahan tersebut dan batuk biasanya akan tetap berlangsung hingga 10 hari. Bercak koplik biasanya muncul 1 hari sebelum munculnya bercak kemerahan (rash) dan bertahan selama 2-3 hari. Bentuk bercak tersebut adalah seperti butiran berwarna putih, timbul perlahan, dengan diameter lesi 2-3 mm di atas dasar permukaan kulit yang berwarna merah pada mukosa pipi, biasanya berseberangan dengan gigi molar pertama dan kadang juga terdapat pada mukosa palatum, konjungtiva dan vagina. Timbulnya bercak koplik telah dilaporkan pada 60%-70% dari orang-orang yang menderita campak. Fotofobia akibat iridosiklitis, nyeri tenggorokan, nyeri kepala, nyeri abdomen dan limfadenopati yang generalisata juga biasa terjadi pada penyakit ini. Campak ditransmisikan lewat jalur pernapasan dan sangat infeksius. Daya infeksinya paling tinggi selama 3 hari sebelum terjadinya bercak kemerahan (rash) dan 75%-90% dari orang yang pernah kontak dan cocok biasanya berkembang menjadi penyakit. Gejala-gejala yang timbul sebelum munculnya bercak kemerahan biasaunya mirip dengan penyakit pernapasan lainnya dan penyakit ini sering mengenai orang-orang yang memiliki aktivitas sosial yang rutin karena memudahkan penularannya. Wabah dari penyakit campak pada kelompok masyarakat yang sudah divaksinasi biasanya terjadi bila ada anak yang terinfeksi pada periode awal penyakitnya mendatangi kegiatan olahraga di ruang tertutup, seperti turnamen basket atau angkat besi, baik sebagai peserta maupun penonton. Wabah juga dapat terjadi bila ada anak yang terinfeksi dibawa ke tempat praktik dokter untuk evaluasi demam atau bercak-bercak tersebut (Perry, 2009).

D. Patologi Campak yang ringan biasanya terjadi pada anak atau dewasa yang sudah pernah memiliki kekebalan tubuh sebelumnya. Bayi yang memiliki kadar antibodi maternal yang rendah dan orang yang menerima produk darah yang mengandung antibodi terhadap penyakit campak biasanya hanya akan menimbulkan gejalan yang ringan atau infeksi yang subklinis. Vaksinasi melindungi > 90% penerimanya terhadap penyakit ini hingga terjadi paparan campak secara alami. Beberapa vaksin berfungsi sebagai modulator untuk meningkatkan antibodi dimana hal ini berhubungan dengan gejala-gejala campak yang timbul akan lebih ringan, bercakbercak kemerahan yang tanpa disertai demam atau timbulnya gejala-gejala 4

pernapasan non spesifik. Seseorang yang mengalami gejala subklinis akibat infeksi virus campak belum diketahui dapat menularkan ke orang-orang dengan riwayat kontak di lingkungan sekitarnya. Adapun campak yang atipik muncul pada anak-anak yang memperoleh vaksin campak yang diinaktivasi menggunakan formalin dimana pernah digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1963-1968. Anak-anak tersebut menunjukkan gejala demam tinggi dengan distribusi bercak kemerahan paling menonjol berada pada ekstremitas dan terkadang disertai dengan petekie serta tingginya risiko pneumonitis. Studi pada kera akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh reaksi kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan oleh maturasi inkomplit dari respon antibodi terhadap vaksin (Perry, 2009).

E. Patofisiologi Virus Morbili

Droplet Infection

Eksudat yang serius, proliferasi sel mononukleus, polimorfonukleus

Reaksi inflamasi: demam, suhu naik, metabolisme naik, RR naik, IWL naik

Gangguan rasa nyaman: peningkatan suhu tubuh

Penyebaran ke berbagai organ melalui hematogen

Resiko kurang volume cairan

Saluran cerna

Saluran nafas

Kulit menonjol sekitar sebasea dan folikel rambut

Radang konjungtiva

Terdapat bercak koplik berwarna kelabu dikelilingi eritema pada mukosa bukalis, berhadapan dengan molar, palatum durum, palatum mole

Inflamasi saluran pernafasan atas; bercak koplik pada mukosa bukalis meluas ke jari trakeobronkial

Eritema membentuk makula papula di kulit normal Rash, ruam pada daerah balik telinga, leher, pipi, muka, seluruh tubuh, deskuamasi, rasa gatal

Konjungtivitis

Mulut pahit timbul gangguan anorexia Gangguan kebutuhan nutrisi Hygiene kurang & imunitas kurang akan meluas pada saluran cerna bagian bawah (usus) Absorpsi turun Diare

Batuk, pilek

Gangguan Persepsi Sensori

Bronkopneumonia Gangguan pola nafas; bersihan jalan nafas

Gangguan istirahat & tidur

Gangguan integritas kulit

(BAB terus menerus) Iritasi

Gangguan integritas kulit 6

Kurang volume cairan elektrolit

F. Gambaran Klinis Adanya koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi dalam beberapa hari dan diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang telinga untuk kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan, dan kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya mengalami

hiperpigmentasi dan mengelupas (Protap IKA RSDK 2008).

(Perry, 2009)

G. Diagnosis Anamnesis 1. Adanya demam tinggi terus menerus 38,5oC atau lebih. 2. Batuk, pilek, nyeri menelan. 3. Mata merah dan silau bila kena cahaya (fotofobia). 4. Seringkali diikuti diare 5. Pada hari ke 4-5 demam timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare dapat bertambah parah sehingga anak mengalami sesak nafas atau dehidrasi.

6. Adanya kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi) dapat merupakan tanda penyembuhan. Pemeriksaan fisik Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari 3 stadium: 1. Stadium prodromal Berlangsung 2-4 hari Ditandai dengan demam yang diikuti dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik: timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar 3, disebut bercak koplik.

2. Stadium erupsi Ditandai dengan timbulnya ruam makulo papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ekstremitas.

3. Stadium penyembuhan (kovalesens) Setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2 minggu. 8

Pemeriksaan penunjang Laboratorium 1. Darah tepi : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada

komplikasi infeksi bakteri. Terkadang dapat ditemukan multi nucleated giant cell. 2. Pemeriksaan untuk komplikasi Ensefalopati : dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis,

kadar elektrolit darah, dan analisa gas darah Enteritis : feses lengkap

Bronkopneumonia: dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisa gas darah

(Protap IKA RSDK, 2008)

H. Diagnosa Banding a. Pada stadium kataral: influenza b. Common cold c. Exanthema subitum/Roseola (untuk anak < 2 tahun) i. Masa prodromal: 1. Gejala demam tinggi selama 3-4 hari 2. Iritabilitas sebelum timbulnya kemerahan 3. Diikuti penurunan suhu secara drastis menjadi normal ii. Karakteristik eksantema: 1. Sering disebut Campak Mini 2. Makulopapuler berwarna merah tua 3. Timbul di dada, kemudian menyebar kemuka & ekstremitas 4. Dalam 2 hari akan menghilang 5. Memudar warna dalam beberapa jam setelah timbul 6. Tidak ada bercak koplik 7. Biasanya bayi & anak < 1-2 tahun

10

d. Rubella i. Masa prodromal: 1. Tidak diawali masa prodromal yang spesifik 2. Demam ringan dan lemas dalam 1-4 hari sebelum timbulnya kemerahan ii. Tanda pathognomonik: pembesaran kelenjar getah bening yang khas iii. Karakteristik eksantema: 1. Eksantem berwarna merah muda 2. Mulai timbul pada leher dan muka, menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh (lebih cepat daripada campak + 1-2 hari) 3. Kemerahan jarang bergabung( kelihatan bintik merah kecilkecil) 4. Hari ke-3 eksantem bag tubuh menghilang, ekstremitas belum, tanpa deskuamasi.

e. Demam Scarlatina i. Masa prodromal: 1. Kelainan kulit timbul dalam 12 jam pertama sesudah demam, batuk & muntah 2. Gejala prodromal berlangsung 2 hari ii. Tanda pathognomonik: Lidah strawberry

11

Tonsilitis eksudativa/membranosa

12

I. Komplikasi Infeksi virus campak menyerang berbagai sistem organ dan target seperti epitel, retikuloendotelial, dan sel darah putih termasuk monosit, makrofag, dan limfosit T. Studi tentang patologi kematian anak pada campak yang akut telah menemukan adanya sel-sel raksasa multinuklear yang khas untuk infeksi virus campak di sepanjang saluran napas maupun saluran cerna dan pada sebagian besar kelenjar limfe. Infeksi virus campak menyebabkan penurunan pada jumlah limfosit CD4 yang dimulai sebelum terjadinya kemerahan sampai 1 bulan setelahnya dan menghasilkan penekanan pada proses hipersensitivitas tipe lambat dan dapat menyebabkan anergi sebagaimana yang terukur melalui tes kulit menggunakan antigen tuberkulosis. Meskipun campak merupakan salah satu faktor predisposisi yang menyebabkan reaktivasi dari infeksi Mycobacterium tuberculosis laten, hal tersebut masih dalam perdebatan. Komplikasi campak telah dilaporkan pada berbagai sistem organ. Banyak dari komplikasi tesebut disebabkan oleh adanya disrupsi dari permukaan epitelial maupun oleh penekanan sistem imunitas tubuh. Angka kejadian komplikasi dari campak bervariasi menurut umur dan kondisi yang mendasarinya. 1. Komplikasi pada Sistem Pernapasan a. Otitis Media Penyakit ini adalah salah satu komplikasi yang paling sering dari campak yang dilaporkan di Amerika Serikat dan terjadi pada 14% pada anak di bawah 5 tahun. Diperkirakan adanya proses inflamasi pada permukaan epitel tuba eustachius menyebabkan adanya obstruksi dan infeksi bakteri sekunder. Insiden yang lebih rendah terjadi seiring bertambahnya usia anak, hal tersebut mungkin disebabkan oleh peningkatan diameter dari tuba eustachius atau menurunnya risiko dari obstruksi. b. Laringotrakheobronkhitis Penyakit ini tercatat pada 9%-32% pada anak-anak di Amerika Serikat yang menjalani rawat inap akibat infeksi campak. Kelompok terbesar yang terkena komplikasi ini adalah anak-anak yang berusia di bawah 2 tahun. Pada 2/3 dari kasus campak yang terjadi kultur sampel dari trakhea menunjukkan hasil yang positif terhadap bakteri patogen, dengan eksudat yang purulen dan bukti adanya trakheitis bakterial sekunder atau pneumonia atau keduanya. Organisme yang paling sering ditemukan dari hasil kultur adalah Streptococcus aureus, meskipun jenis lainnya seperti Streptococcus 13

pneumonia, Haemophilus influenzae, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli dan Enterobacter sp juga ditemukan. Pada 6 anak yang diintubasi karena penyakit ini, hasil kultur virus telah membuktikan bahwa 1 anak juga terinfeksi adenovirus dan 5 orang lainnya terinfeksi juga oleh Herpes Simplex Virus. Laringotrakheobronkhitis adalah penyebab terbanyak kedua kematian anak-anak di Amerika Serikat yang di rawat inap karena campak setelah pneumonia. c. Pneumonia Campak menginfeksi saluran pernapasan pada hampir seluruh pasien yang menderita penyakit tersebut. Pneumonia adalah komplikasi berat yang terbanyak pada campak dan berhubungan dengan penyebab kematian pada penyakit ini. Pada studi tentang anak-anak yang menjalani rawat inap karena campak telah ditemukan bahwa 55% didapatkan perubahan gambaran radiologis seperti bronkopneumonia, konsolidasi dan infiltrat lainnya, 77% anak dengan sakit berat dan 41% anak dengan sakit ringan juga mengalami perubahan gambaran radiologis tersebut. Akhir-akhir ini, pneumonia muncul pada < 9% anak berusia dibawah 5 tahun dengan campak di Amerika Serikat, 0%-8% selama wabah dan 49%-57% pada orang dewasa. Pneumonia bisa disebabkan oleh virus campak sendiri atau adanya infeksi sekunder dengan adenovirus atau herpes simplex virus atau infeksi sekunder bakteri. Campak adalah penyebab timbulnya pneumonia dengan Hecths giant cell yang banyak terjadi pada orang-orang dengan immunokompromise, tetapi bisa juga terjadi pada anak dan orang normal. Studi yang meneliti kultur darah, pungsi paru dan aspirasi trakhea membuktikan bahwa bahwa bakteri adalah penyebab dari 25%-35% dari pneumonia yang terkait campak. Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza adalah organisme yang paling banyak didapatkan. Adapun organisme lain seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli adalah penyebab yang lebih jarang pada pneumonia yang terkait campak. Pneumomediastium dan emfisema mediastium dilaporkan sebagai komplikasi campak di beberapa negara. Beberapa anak juga memiliki gejala yang mirip dengan bronkiolitis. Karena kultur virus tidak selalu dikerjakan maka kemungkinan adanya koinfeksi dengan virus pernapasan lainnya belum dapat disingkirkan. Pada pasien immunokompromise, pneumonitis progresif difus akibat virus morbili 14

adalah penyebab kematian yang paling sering. Pasien-pasien tersebut mungkin pada awalnya memiliki gejala campak dengan pneumonia, atau mereka memiliki penyakit nonspesifik tanpa timbulnya rash (kemerahan) yang diikuti oleh pneumonitis. Secara umum tanda dari pneumonitis berkembang dalam 2 minggu setelah onset gejala. Beberapa pasien lainnya menampakkan munculnya rash dan pneumonitis setelah interval panjang yang mengikuti penyakit campak.

2. Komplikasi Gastrointestinal Campak mungkin menginfeksi saluran pencernaan pada sebagian besar orang yang terinfeksi. Sebuah hasil biopsi lambung yang diambil satu hari sebelum onset rash pada seorang laki-laki 44 tahun membuktikan bahwa ada giant cell yang karakteristiknya khas untuk infeksi campak melalui pengecatan

immunologi, selain itu 8 dari 10 anak yang terpapar atau kontak dengan orang tersebut ternyata mengalami campak setelah itu. Beberapa kasus apendisitis timbul sebelum atau selama munculnya rash, dan giant cell yang khas untuk campak telah ditemukan pada jaringan appendik tersebut. a. Diare Di Amerika Serikat, 8% dari seluruh kasus campak yang dilaporkan selama 1987-2000 ternyata memiliki komplikasi berupa diare. Insiden diare yang lebih tinggi banyak terjadi pada usia < 5 tahun atau > 30 tahun. Pada orangorang yang dirawat inap karena campak di Amerika Serikat, 30%-70% mengalami diare. Feachem dan Koblinsky menemukan bahwa 15%-63% dari kasus campak yang diperoleh dari studi berbasis komunitas di negara-negara berkembang pada masa sebelum adanya vaksin memiliki komplikasi berupa diare dan 9%-77% dari kematian akibat diare tersebut berhubungan dengan penyakit campak. Tinja dari anak yang mengalami diare akibat campak biasanya memiliki karakteristik bakteri yang sama dengan anak yang mengalami diare dan tidak berhubungan dengan campak. Diare yang terkait campak biasanya timbul sebelum onset timbulnya rash menandakan bahwa virus morbili memiliki peran dalam sebagian besar episode diare tetapi infeksi sekuder dari bakteri dan infeksi virus lainnya memberi kontribusi dalam berat dan lamanya penyakit diare. Dehidrasi ditemukan pada 32% pasien rawat inap di California. Morley adalah yang pertama kali 15

mendeskripsikan tentang tingginya insiden komplikasi gastrointestinal setelah infeksi campak di negara-negara berkembang seperti mulut kering, kurangnya intake makanan dan gizi, diare, penurunan berat badan dan malnutrisi akibat kurangnya energi protein. Noma (cancrum oris) sebagai lesi yang progresif dan dapat menghancurkan jaringan orofasial telah ditemukan setelah infeksi campak di Afrika dan India. Pada orang dewasa muda, campak berhubungan dengan hepatitis, hipokalsemia dan peningkatan kadar kreatinin

phospokinase.

3. Komplikasi Neurologis a. Kejang demam Kejang demam terjadi pada 0,1%-2,3% anak-anak dengan campak di Amerika Serikat dan Inggris dan biasanya ringan dan tidak berhubungan dengan kerusakan residual. Kebanyakan anak-anak dengan campak tanpa komplikasi menunjukkan adanya perubahan pada elektroensefalografi tetapi perubahan tersebut tampaknya sebagian besar merupakan akibat dari demam dan perubahan metabolik. Ensefalomielitis post infeksi terjadi pada 1-3 per 1000 orang yang terinfeksi, biasanya 3-10 hari setelah onset rash. Insiden ensefalomielitis post infeksi karena campak lebih tinggi pada remaja dan dewasa daripada anak-anak usia sekolah. Komplikasi ini biasanya diawali dengan timbulnya onset kejang, demam, peningkatan status mental dan tandatanda neurologis multifokal. Meskipun virus campak telah ditemukan pada sel-sel endotel cerebrovaskular orang yang meninggal dalam beberapa hari setelah onset rash, virus campak biasanya tidak ditemukan pada sistem saraf pusat pada orang dengan komplikasi ensefalomielitis post infeksi. Komplikasi tersebut tampaknya disebabkan oleh abnormalitas respon sistem imun yang mempengaruhi protein dasar pembentuk mielin. Sebanyak 25% orang yang terkena komplikasi ensefalomielitis post infeksi campak ini meninggal dunia dan 33% lainnya dapat bertahan hidup dengan gejala sisa neurologis, seperti retardasi yang berat, kelainan motorik, kebutaan dan kadang hemiparesis. b. Subacute Sclerosing Panenchepalitis (SSPE) SSPE disebabkan oleh persistensi keberadaan virus campak pada sistem saraf pusat selama beberapa tahun yang diikuti oleh infeksi progressif yang lambat dan demielinisasi yang mempengaruhi banyak area di otak. Gejala awal SSPE 16

biasanya berupa penurunan prestasi belajar di sekolah dan kelainan perilaku yang sering salah didiagnosis sebagai masalah psikiatri. Setelah itu berkembang kelainan berupa kejang mioklonik dan sebuah karakteristik berupa pola burst-suppresion bisa tampak pada EEG. Antibodi terhadap campak muncul pada cairan serebrospinal. Penyakit ini biasanya berkembang perlahan pada orang yang terkena hingga mencapai status vegetatif. Virus campak tipe ganas telah ditemukan pada jaringan otak. SSPE terjadi pada rata-rata 1 dari 8,5 juta orang yang mengalami campak di Amerika Serikat tetapi perkembangannya tampak lebih pesat pada beberapa negara lainnya. Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap persistensi virus campak pada orang yang terkena SSPE maupun yang tidak belum sepenuhnya diketahui. Pengelompokan geografik terjadinya SSPE di beberapa negara dan terjadi peningkatan insidensi pada anak-anak yang berada di daerah rural. Pada 2 studi didapatkan bahwa kelompok anak dengan SSPE lebih banyak kontak dengan unggas daripada kelompok kontrol. Data tersebut memberikan gambaran adanya faktor lingkungan seperti adanya agen infeksi lain yang ikut berkontribusi pada penyakit SSPE ini. c. Ensefalitis campak pada anak dengan immunokompromise Sebuah infeksi virus campak yang progresif pada sistem saraf pusat yang disebut ensefalitis dengan badan inklusi campak terjadi pada orang-orang immunokompromise seperti infeksi HIV atau leukemia. Onset penyakit ini biasanya terjadi antara 5 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi campak. Penyakit ini diawali oleh perubahan status mental dan kejang tanpa demam, lebih dari 80% kematian akibat komplikasi ini berlangsung dalam beberapa minggu.

4. Komplikasi Penglihatan Konjungtivitis banyak terjadi pada orang-orang yang terkena campak dan proses peradangan pada kornea (keratitis) juga sering terjadi. Pada studi 61 orang militer turki dengan infeksi campak, 57% menunjukkan adanya keratitis yang tampak dari pemeriksaan slit lamp. Bagaimanapun juga adanya infeksi bakteri sekunder seperti Pseudomonas atau Stafilokokus atau infeksi virus seperti herpes simpleks virus dan adenovirus bisa menyebabkan timbulnya jaringan parut yang permanen dan kebutaan. Adanya defisiensi vitamin A juga merupakan faktor predisposisi 17

keratitis, jaringan parut kornea dan kebutaan yang lebih berat. Campak yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A merupakan penyebab terbanyak kebutaan didapat pada anak-anak di negara berkembang. Kebutaan juga merupakan hasil dari kerusakan korteks dari ensefalitis akibat campak.

5. Hubungan Lainnya Campak telah diduga menyebabkan dan memberikan kontribusi terhadap terjadinya multipel sklerosis tetapi bukti yang tersedia lemah dan tidak dapat diambil kesimpulan. Campak dan vaksin campak diduga dapat menginduksi terjadinya autisme tetapi data yang ada menolak hipotesis ini. Banyak studi dari laboratorium yang berbeda telah memperdebatkan bukti adanya persistensi nukleokapsid virus campak pada jaringan yang terkena pada pasien dengan otosklerosis, penyakit Paget, dan inflamatory bowel disease. (Perry, 2009)

J. Penatalaksanaan Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, dan antikonvulsi apabila kejang. Indikasi rawat inap: Hiperpireksia (suhu 41,2oC) Dehidrasi Kejang Asupan oral sulit Adanya komplikasi

Penatalaksanaan tanpa komplikasi Pasien dirawat di ruang isolasi. Tirah baring di tempat tidur. Vitamin A 100.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan ada tidaknya komplikasi. 18

Pengobatan dengan komplikasi Ensefalopati 1. Kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dan ampisilin 100 mg/KgBB/hari selama 7-10 hari. 2. Kortikosteroid (Dexamethason) 1 mg/KgBB/hari sebagai dosis awal dilanjutkan 0,5 gr/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari dilakukan tappering off) 3. Kebutuhan jumlah cairan dikurangi kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit. Bronkopneumonia 1. Kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dan ampisilin 100 mg/KgBB/hari selama 7-10 hari. 2. Oksigen 2 Liter/menit 3. Koreksi gangguan analisis gas darah dan elektrolit Enteritis Koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi

Pemantauan Pada kasus campak dengan komplikasi bronkopneumonia dengan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk. Tumbuh kembang Pantau tumbuh kembang sesuai usia (Protap IKA RSDK 2008)

K. Pencegahan a. Imunisasi aktif Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara

19

luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serologis, ternyata bahwa imunitas tersebut mulai berkurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan. b. Imunisasi pasif Imunisasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin (FKUI, 1991).

L. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas akibat campak a. Jenis Kelamin Dalam sejarah laki-laki memiliki lebih banyak kasus fatal dibandingkan perempuan. Sebuah analisis dari data statistik vital beberapa negara terutama Amerika dan Eropa dari tahun 1950-1989 menunjukkan bahwa angka kematian akibat campak pada wanita lebih banyak daripada pada pria atau anak laki-laki tetapi data terbaru dari Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa terdapat angka kejadian komplikasi yang sebanding antara laki-laki dan perempuan. Wanita hamil memiliki risiko komplikasi campak yang lebih tinggi, termasuk kematian. b. Umur Angka komplikasi termasuk mortalitas dari campak lebih tinggi pada anak usia <5 tahun dan dewasa. Kebanyakan bayi dilindungi selama bulan pertama kehidupan dari antibodi maternalnya. Bagaimanapun juga ketika sistem imunitas tubuh menurun, campak bisa menjadi lebih berat. Pada orang dewasa lebih umum terjadi ensefalitis, hepatitis, hipokalsemia dan pankreatitis setelah infeksi campak. Peningkatan derajat keparahan campak pada orang 20

dewasa menunjukkan adanya penurunan cell-mediated immunity yang dimulai pada masa dewasa. Okada et al menemukan bahwa pada bayi muda dan orang dewasa durasi limfopenia setelah campak tampak lebih berat dan lama bila dibandingkan dengan anak-anak. c. Kepadatan penduduk Beberapa studi di afrika barat dan eropa menunjukkan bahwa anak-anak menderita campak akibat paparan dari lingkungan sekitar memiliki tingkat fatalitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak-anak yang menderita campak akibat paparan dari luar lingkungan tempat tinggalnya. Fenomena ini tampaknya merupakan bagian dari tingginya tingkat inokulasi dari paparan yang intensif dan lebih lama di lingkungan sekitar daripada di luar lingkungan tempat tinggal. Di Bangladesh, Koenig dkk menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di rumah yang berukuran kurang dari 18,6 m2 memiliki risiko kematian akibat campak 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang berukuran lebih dari 37m2. Di Amerika Serikat tidak ditemukan adanya hubungan antara kepadatan tempat tinggal dengan laju kematian akibat campak. d. Immunosupresi Anak dengan defek pada fungsi makrofag seperti penyakit granulomatosa kronik tidak meningkatkan risiko komplikasi dari campak. Supresi pada fungsi limfosit T yang diakibatkan oleh defek kongenital pada fungsi sel limfosit T, transplantasi sumsum tulang, kemoterapi kanker, dan dosis yang

imunosupressif dari steroid dapat meningkatkan beratnya penyakit campak. Pada review 40 kasus campak pada anak-anak dengan keganasan tampak bahwa 58% menderita pneumonitis, 20% menderita enchepalitis dan 8% menderita keduanya. Hanya 60% dari kasus campak yang disertai timbulnya rash atau kemerahan yang tipikal dan khas. Tingkat fatalitas dari seluruh kasus adalah 55%. Pada beberapa pasien campak dengan immunosupresan, berbagai sistem organ juga ikut terkena dampaknya. Campak dapat berkembang setelah transplantasi sumsum tulang meskipun antara donor dan resipien keduanya telah menerima vaksinasi campak. Pasien dengan sindrom defisiensi sel imun B tanpa abnormalitas sel T tidak menampakkan adanya peningkatan komplikasi akibat campak. Anak yang dilahirkan dari wanita yang terinfeksi HIV menjadi lebih mudah terinfeksi campak pada usia lebih muda 21

dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan dari wanita dengan HIV negatif karena adanya pengurangan jumlah antibodi pada anak-anak tersebut. Bayi-bayi yang terinfeksi HIV tetapi tidak mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) biasanya mengalami penurunan respon

terhadap vaksinasi campak dan terjadi penurunan yang lebih cepat dari imunitas yang diinduksi oleh vaksin tersebut. Di kota New York pada saat terjadi wabah campak pada tahun 1989, ternyata 6 dari 12 kematian adalah pada orang-orang yang terinfeksi HIV. Pada tahun 1990 dan 1991, 60% dari kematian akibat campak di New Jersey terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV. Demikian juga sebuah studi pada anak-anak yang dirawat inap akibat campak di Kinshasa, Zaire ditemukan insidensi yang sama dari pneumonia, diare dan kematian akibat campak pada anak-anak muda dengan HIV seropositif dan seronegatif. Belum ada penelitian yang menganalisis anakanak yang sedang menjalani pengobatan HAART untuk menentukan bagaimana obat-obat tersebut dapat menangani infeksi virus campak. Akan tetapi angka harapan hidup tentu jauh lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak diterapi karena anak-anak yang dalam pengobatan HAART memiliki respon imun yang baik terhadap vaksinasi campak. e. Malnutrisi Anak-anak dengan malnutrisi biasanya memiliki kekurangan pada berbagai aspek sistem imun, ekskresi virus campak yang lebih lama dan tingginya laju fatalitas kasus. Campak juga dapat memberikan kontribusi pada kondisi malnutrisi karena adanya kehilangan protein akibat enteropati, meningkatnya kebutuhan metabolisme tubuh dan penurunan intake makanan. Anak-anak yang mengalami campak pada awal kehidupannya memiliki ratarata nilai BB/U yang lebih rendah daripada anak-anak seusianya yang tidak menderita campak. f. Defisiensi vitamin A Anak-anak dengan defisiensi vitamin A baik sudah ada manifestasi klinik maupun subklinis di beberapa negara berkembang dapat meningkatkan laju fatalitas kasus. Campak dan beberapa penyakit lainnya berhubungan dengan berkurangnya konsentrasi retinol serum dan menginduksi defisiensi vitamin A. Pasien-pasien campak yang dirawat di rumah sakit Amerika Serikat sering mengalami defisiensi vitamin A, pasien-pasien tersebut tampaknya lebih 22

mudah terkena pneumonia dan diare setelah campak. Di negara- negara angka mortalitas yang tinggi akibat campak, terapi pemberian vitamin A sekali sehari selama 2 hari (200.000 IU untuk anak > 12 bulan atau 100.000 IU untuk bayi < 12 bulan) berhubungan dengan 50% penurunan angka mortalitas. WHO merekomendasikan terapi vitamin A pada semua anak dengan campak. Untuk anak < 2 tahun yang dirawat inap dengan campak di Amerika Serikat, The American Academy of Pediatrics merekomendasikan vitamin A dosis tunggal (200.000 IU untuk anak > 12 bulan atau 100.000 IU untuk bayi < 12 bulan). (Perry, 2009)

M. Prognosis Biasanya sembuh dalam 7-10 hari setelah timbul ruam. Kematian disebabkan karena penyulit bronkopneumonia dan ensefalitis (Protap IKA RSDK 2008).

23

STATUS MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUS

I. IDENTITAS PASIEN Nama Lengkap Umur Agama Suku Bangsa Alamat Nama Ayah No CM : An. Riski Abdul Latif : 8 Tahun : Islam : Jawa : Karang Bener RT 2/ RW 1 Bae, Kudus : Tn. Ali : 619.226

Masuk Rumah Sakit : 12 September 2011 Tanggal Periksa : 13 September 2011

II. SUBYEKTIF Anamnesa Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 13 September 2011 pukul 12.30 WIB di ruang Bougenville III dan didukung dengan catatan medis. Keluhan utama : Demam Keluhan tambahan : Batuk dan Pilek

Riwayat Penyakit Sekarang : Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS) 5 hari SMRS, anak demam, demam terus menerus sepanjang hari diikuti batuk dan pilek. Batuk berdahak yang terus menerus membuat anak tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mual dirasakan oleh pasien namun tidak disertai dengan muntah. Oleh ibu anak dikompres dan diminumkan sirup penurun panas yang sudah dipunya di rumah, demam turun beberapa jam kemudian tinggi lagi.

24

4 hari SMRS, anak merasa demam, batuk dan pilek. Anak malas untuk makan karena merasa ada sariawan di dalam mulutnya. Terkadang anak merasa silau bila melihat cahaya.

3 hari SMRS, anak masih demam, batuk berdahak mulai disertai pilek dengan ingus berlendir berwarna putih. Anak mengeluh nyeri saat menelan makanan dan minum serta silau apabila melihat cahaya. Tengah malam anak terbangun karena batuk kemudian muntah. Muncul bercak kemerahan di daerah wajah dan leher. Penurun panas masih diminumkan tetapi kemudian demam lagi, saat panas tinggi anak dikompres lalu diperiksakan ke dokter dan diberi obat untuk rawat jalan.

12 jam SMRS, anak demam tinggi, tidak turun dengan dikompres dan penurun panas. Batuk semakin sering disertai pilek. Mual dirasakan semakin sering. Tidak lagi mau makan dan minum karena nyeri saat menelan dan sariawan di daerah mulut. Muncul bercak kemerahan di daerah wajah, leher, dan bahu. Karena khawatir pada keadaan anak, orang tua segera membawanya ke UGD RSU Kudus, dan oleh dokter disarankan untuk rawat inap. Kencing lancar, jumlah cukup, 3-4 kali sehari, warna jernih, tidak nyeri saat kencing. BAB cair, 4-5 kali sehari, konsistensi cair.

Setelah Masuk Rumah Sakit Hari 1, anak masih demam, disertai batuk berdahak dan pilek, dan sudah tidak merasa mual. BAK lancar, BAB (-). Muncul bercak

kemerahan yang meluas dari wajah hingga ke lengan bawah bagian volar. Hari 2, anak masih demam, masih batuk, masih pilek, mual dan muntah, mulai mau makan sedikit. BAK lancar, BAB (-). Muncul bercak kemerahan yang meluas dari wajah hingga ke lengan bawah bagian volar dan perut.

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. 25

Riwayat Keluarga Di keluarga pasien tidak ada yang menderita sakit seperti ini.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Selama hamil, ibu pasien rajin memeriksakan dirinya ke bidan dan dokter. Tidak pernah sakit berat dan tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pasien lahir cukup bulan, spontan, langsung menangis dan ditolong oleh bidan Berat badan lahir Panjang badan lahir Kesan : 3100 gr : 47 cm : Riwayat kehamilan dan persalinan baik.

Riwayat Imunisasi Kesan BCG Polio DPT Hepatitis B Campak : 1x (1 bulan), scar (+) pada lengan kanan atas : 4x (0,2,4,6 bulan),18 bulan dan 5 tahun : 3x (2,4,6 bulan),18 bulan dan 5 tahun : 4x (0,2,4,6 bulan),18 bulan dan 5 tahun : belum imunisasi

: Imunisasi dasar dan booster tidak lengkap.

Riwayat Tumbuh Kembang Pertumbuhan Berat badan lahir 3100 gram, panjang badan saat lahir 47 cm dan berat badan sekarang 34 kg, tinggi badan 124 cm. Perkembangan Senyum Miring : ibu lupa : ibu lupa

Tengkurap : ibu lupa Duduk : ibu lupa

Merangkak : ibu lupa Berdiri Bicara Berjalan : 9 bulan : 13 bulan : 14 bulan 26

Masuk TK : 4 tahun Masuk SD : 6 tahun Saat ini anak duduk di kelas III SD, dapat mengikuti pelajaran dengan baik,

tidak pernah tinggal kelas, dapat menyalurkan hobinya. Tidak ada gangguan perkembangan mental dan emosi. Kesan : pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan umur.

Riwayat Makan dan Minum ASI saja diberikan sejak lahir sampai usia 7 bulan ASI diberikan semau anak. Usia 7 bulan anak diberikan ASI semau anak dan bubur susu 3x sehari @ 3 sendok teh, habis. Usia 8 bulan anak diberikan ASI semau anak, bubur tim saring 3x sehari @ 2 sendok makan dicampur tahu, telur, bayam atau wortel, dan buah pisang sehari 1 buah. Sejak usia 9 bulan anak tetap diberikan ASI semau anak, bubur tim lunak 3x sehari @ 3 sendok makan dicampur telur, tahu, ikan atau ayam serta wortel atau kentang, dan diberikan buah pisang sehari 1 buah atau pepaya beberapa potong. Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup baik.

Riwayat Penyakit Dahulu (pasien dan keluarga pasien) Diare : Difteri : Kejang : Morbili: Mata : Malaria : Faringitis : DM :Alergi : Asma : Jantung: Ginjal : Darah : Cacingan : DBD : Hepatitis :Demam tifoid : Alergi obat Operasi Batuk pilek :::-

Radang paru : TB paru Kecelakaan DSS :::-

Lingkungan Rumah Kepemilikan rumah Keadaan rumah : : Rumah milik orang tua

27

Dinding rumah tembok, lantai rumah keramik, jumlah kamar 3, kamar mandi didalam rumah, ada dapur, ada ruang tamu, ada ruang makan. limbah buangan kesaluran atau selokan ada, tempat sampah didalam rumah ada 2 (satu untuk sampah kering dan satu untuk sampah basah). Keadaan lingkungan : jarak antar rumah berdekatan, cukup padat.

Sumber air bersih : berasal dari sumur artesis dan air PAM.

III.

OBYEKTIF 1. Status Present : Keadaan umum Tekanan darah Suhu Nadi Pernafasan : Composmentis : 110/70 mmHg : 38,2 C : 86 kali/menit : 21 kali/menit

2. Status Regional Kepala : mesocephale, ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan Wajah Mata Telinga : simetris : merah (+), pupil bulat isokor, 3 mm, CA -/-, SI -/: bentuk normal, liang telinga lapang, sekret (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik aurikel (-), CAE bersih udem (-), membran timpani utuh Hidung : bentuk normal, septum deviasi (-), secret (+) mukoid, pernafasan cuping hidung (-) Mulut : bentuk normal, tampak enantema di mukosa pipi kiri belakang, kering (+), sianosis (-), lidah kotor (-) Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, KGB submandibula, supra-infra clavicula, dan cervical tidak teraba membesar

28

3. Pemeriksaan Thorax Paru Inspeksi : bentuk normal, simetris dalam diam dan pergerakan nafas. Retraksi otot pernafasan (-) Palpasi Perkusi Auskultasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat : sonor pada kedua lapang paru : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : tidak tampak pulsasi iktus kordis : teraba pulsasi iktus kordis pada sela iga V MCLS : redup : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : datar, supel : pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-) : timpani : bising usus (+) normal

4. Ekstremitas Akral dingin (-), oedem (-).

5. Genitalia , tidak tampak kelainan

6. Kulit Bercak kemerahan dari bagian belakang telinga, wajah, leher, bahu, hingga kedua lengan bawah bagian volar. Turgor baik, sianosis (-), ikterik (-)\

7. Status Neurologis Rangsangan Meningeal Kaku kuduk :29

Brudzinski I Brudzinski II Sistem Motorik Pergerakan Kekuatan otot Tonus Sensorik Reflex Fisiologis Biceps Triceps Patella Reflex Patologis Oppenheim Chaddock Babinski

::-

: normal : tidak ada kelumpuhan otot : normotonus : baik

: +/+ : +/+ : +/+

: -/: -/: -/-

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hasil Pemeriksaan Lab tanggal 13 September 2011 - Leukosit - Trombosit - Hb - HT - Widal : 4700/mm3 : 213.000/mm3 : 11,8 mg/dL : 35,4% : -Salmonella Typi O (+ 1/80) -Salmonella Typi H (+ 1/80) -Salmonella Typi H-A (-) -Salmonella Typi H-B (-)

V. RESUME Pada anamnesis (autoanamnesa) ditemukan: Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sejak lima hari SMRS (Rabu, 7 September 2011) pasien mengalami demam, batuk, pilek serta mual dan dirawat sendiri di rumah. Satu hari berikutnya, pasien masih demam, batuk, pilek, sariawan dan silau apabila melihat cahaya. Dua hari kemudian, pasien masih mengalami

30

demam, batuk, pilek, mual, nyeri saat menelan makanan dan minum, silau apabila melihat cahaya serta muncul bercak kemerahan di wajah dan leher. Satu hari kemudian, pasien masih merasa demam, batuk, pilek, mual, nyeri saat menelan makanan dan minum, merasa ada sariawan di mulut, BAB cair 4-5 kali sehari, serta bercak kemerahan semakin melebar hingga ke bahu. Kemudian pada hari Senin, 12 September 2011 pkl 21.00 WIB, pasien segera dibawa ke UGD RSU Kudus oleh orangtuanya karena demam tidak kunjung turun dan muncul bercak kemerahan. Setelah itu pasien dirawat inap di bangsal Bougenville III RSU Kudus. Selama di rawat di rumah sakit pasien mengalami demam, batuk berdahak, pilek, belum bisa BAB, bercak kemerahan melebar hingga ke lengan bagian bawah, namun pasien sudah tidak merasa mual. Keesokan harinya (rawat inap hari ke-2), pasien mengeluh demam, batuk berdahak, pilek, belum bisa BAB, dan muncul bercak kemerahan dari wajah hingga lengan bawah dan perut.

Riwayat imunisasi tidak lengkap : belum pernah imunisasi campak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan: Keadaan umum Tekanan darah Suhu Nadi Pernafasan : Composmentis : 110/70 mmHg : 38,2 C : 86 kali/menit : 21 kali/menit

Mata Hidung

: merah (+), pupil bulat isokor, 3 mm, CA -/-, SI -/: bentuk normal, septum deviasi (-), secret (+) mukoid, pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

: bentuk normal, tampak enantema di mukosa pipi kiri belakang, kering (+), sianosis (-), lidah kotor (-)

Kulit

: Bercak kemerahan dari bagian belakang telinga, wajah, leher, bahu, hingga kedua lengan bawah bagian volar dan perut. Turgor baik, sianosis (-), ikterik (-)

31

VI. DIAGNOSA KERJA Morbili Stadium Erupsi Dasar Diagnosa: Anamnesis 1. Batuk, pilek, dan nyeri menelan sejak 5 hari SMRS. 2. Muncul bercak kemerahan sejak 3 hari SMRS, yang dimulai dari bagian wajah, kemudian melebar ke leher, bahu, lengan bawah bagian volar dan perut. 3. Silau apabila melihat cahaya (fotofobia). Pemeriksaan fisik 1. Demam tinggi terus menerus.

2. Muncul enantema di mukosa pipi kiri bagian belakang (Koplik spot) sejak 4 hari SMRS. 3. Bercak kemerahan yang dimulai dari bagian belakang telinga, wajah, leher, bahu, lengan bawah bagian volar dan perut sejak 3 hari SMRS. 4. Sekret mukoid pada hidung (pilek). 5. Mata merah.

VII. DIAGNOSA BANDING Demam Skarlatina 32

Rubella

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG Lakukan pemeriksaan laboratorium Pantau leukosit, untuk mengetahui ada tidaknya infeksi bakteri. Feses lengkap, untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi enteritis. Foto rontgen dada, untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi bronkopneumonia

IX. PENATALAKSANAAN Suportif o Tirah baring Medikamentosa: o Cefotaxime 2 x 350 mg/hari o Paracetamol 2 x 250 mg / hari o Dextromethorpan 15 mg 3x1 o Nystatin Tablet 100.000 IU

X. PROGNOSA Ad vitam Ad Functionam Ad Sanationam : bonam : bonam : bonam

33

DAFTAR PUSTAKA

FKUI, 1991, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta. Nelson, 2000, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Perry, R.T, Halsey, N.A., 2009, Review: Clinical Significance of Measles. Prosedur Tetap Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP dr. Kariadi, 2008, Semarang.

34

You might also like