You are on page 1of 101

2.

Diagnosa Keperawatan Menurut Nanda, diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat. ( Marilyn. E. Doengoes, 1999 : 8). Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien post appendiktomi antara lain : a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, prosedur invasif. b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik : proses penyembuhan c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan. d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan. e. Kurang perawatan diri (diuraikan) berhubungan dengan kelemahan post operatif, nyeri. f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi pembedahan g. Risiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca operasi), peningkatan kebutuhan nutrisi sekunder terhadap pembedahan. h. Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan, perubahan diet, immobilisasi. i. Kurang pengetahuan mengenai (diuraikan) berhubungan dengan kurang terpapar informai, tidak mengenal sumber informasi. 3. Rencana Tindakan Keperawatan Rencana tindakan keperawatan adalah bukti tertulis dari tahap pengkajian dan identifikasi masalah dan merupakan tahapan dalam proses keperawatan yang mengidentifikasi masalah atau kebutuhan klien, tujuan atau hasil dan intervensi serta rasionalisasi dari intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam menangani masalah atau kebutuhan klien. (Marilyn.E. Doengoes, 1999 : 105) a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan, prosedur invasif 1) Definisi : suatu keadaan dimana individu berisiko terkena agen oportunitis atau patogenis (virus, jamur, bakteri, protozoa atau parasit lain) dari berbagai sumber dari dalam maupun dari dari luar tubuh. 2) Batasan karakteristik ; a) Data subyektif : (1) kaji keluhan : (a) demam terus menerus atau intermiten (b) infeksi sebelumnya (c) nyeri atau pembengkakan b) Data obyektif 1) adanya luka (pembedahan, terbakar, invasif, terluka sendiri) 2) suhu meningkat (3) status nutrisi 3) Kriteria hasil : Meningkatkan penyembuhan luka dengan optimal, bebas tanda infeksi atau inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam

4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1.

2.

3. 4.

5. 6.

7. Mandiri : Awasi tanda vital perhatikan menggigil (demam), berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka secara aseptik. Berikan perawatan luka secara menyeluruh Lihat insisi dan balutan. Catat kakakteristik luka / drainage, adanya eritema Berikan informasi yang tepat, jujur pada klien atau orang terdekat Kolaborasi : Ambil contoh drainage, jika diperlukan Berikan antibiotik sesuai indikasi

Bantu irigasi dan drainage jika diperlukan

Dugaan adanya infeksi pada luka operasi

Menurunkan risiko terjadinya infeksi

Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas Kultur pewarnaan gram dan sensitivitas berguna untuk mengientifikasi organisme penyebab dan pilihan intervensi Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk meurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik : proses penyembuhan 1) Definisi : keadaan dimana seseorang mempunyai risiko terjadinya dehidrasi vaskuler, interstitial, intraseluler. 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Ketidakcukupan masukan oral (2) Tidak adanya keseimbangan antara intake dan output (3) Membran mukosa atau kulit kering (4) Berat badan kurang b) Minor (1) Peningkatan natrium darah (2) Penurunan atau peningkatan output urine (3) Sering berkemih 3) Kriteria hasil Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membran mukosa, turgor kulit, tanda vital stabil dan secara individual output urine adekuat. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123

1. 2. 3. 4. 5.

6.

7.

8. Mandiri : Awasi tekanan darah dan nadi Lihat membran mukosa ; kaji turgor kulit dan pengisian kapiler Awasi intake dan output ; catat konsentrasi, berat jenis Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus Berikan sejumlah kecil cairan jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan diet sesuai toleransi Berikan perawatan mulut dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir Kolaborasi : Pertahankan penghisapan gaster / usus

Berikan cairan IV dan elektrolit Tanda yang membantu mengidentifikasi fuktuasi volume intravaskuler Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler

Output urine yang pekat fan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi atau kebutuhan cairan meningkat Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan peroral Menurunkan iritasi gaster / muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan Dehidrasi menyebabkan bibir dan mulut kering dan bibir pecah- pecah Selang nasogastrik biasanya dimasukan pada pra operasi dan dipertahankan pada fase awal pasca operasi untuk dekompresi usus, meningkakan dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah Peritoneum bereaksi terhadap iritasi atau infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolamia (dehidrasi) dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan 1) Definisi : keadaan dimana individu berada atau berisiko mengalami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan, berakhir dari satu detik sampai kurang dari enam bulan 2) Batasan karakteristik a) Data Subyektif Komunikasi (verbal / kode) dari pemberi gambaran nyeri. b) Data Obyektif (1) Perilaku melindungi, protektif (2) Memfokuskan pada diri sendiri (3) Penyempitan fokus ( perubahan persepsi ) (4) Perilaku distraksi ( merintih, menangis, mencari orang lain untuk aktivitas, gelisah ) (5) Wajah tampak menahan nyeri (meringis) (6) Perubahan pada tonus otot ( dari malas sampai kaku ) (7) Diphoresis, perubahan tekanan darah dan nadi, peningkatan atau penurunan napas 3) Kriteria hasil Melaporkan nyeri hilang / terkontrol, tampak rileks mampu tidur/istirahat dengan tepat. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1.

2. 3.

4.

5. 6. 7. Mandiri : Kaji nyeri, catat lokasi, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan adanya perubahan nyeri Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler Dorong ambulasi dini

Berikan aktivitas hiburan Kolaborasi : Pertahankan status puasa sampai peristaltik kembali normal Berikan analgesik sesuai indikasi Berikan kantong es pada abdomen Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya perkembangan infeksi pada luka Menghilangkan tegangan abdomen yang meningkat dengan posisi terlentang Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/muntah Menghilangkan nyeri, mempermudah kerjasama dengan intervensi lain Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kongesti jaringan

d. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan

1) Definisi : penurunan kapasitas fisioligis seseorang untuk memperthankan aktivitas sampai ke tingkat yang diinginkan 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Perubahan respon fisiologis terhadap aktivitas ; pernapasan ( dyspneu, hyperpnea, penurunan frekuensi ) (2) Nadi ( lemah, menurun atau meningkat berlebihan, perubahan irama, gagal untuk kembali ke tingkat aktivitas setelah tiga menit ) (3) Tekanan darah ( gagal meningkat dengan aktivitas, diastolik meningkat lebih dari 15 mmHg ) b) Minor Kelemahan, kelelahan, pucat / sianosis, kacau mental, vertigo 3) Kriteria hasil Klien akan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, dengan tanda : klien mampu beraktivitas secara progresif dan kemampuan melakukan aktivitas.

4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1. 2.

3. 4. 5. 6.

7.

8. 9. Mandiri : Dorong kemajuan tingkat aktivitas klien setiap pergantian shift Tingkatkan aktivitas perawatan diri klien dari perawatan diri parsial sampai lengkap sesuai indikasi Kaji kemampuan klien untuk melakukan akti vitas Awasi tanda vital selama aktivitas Kaji dan beri motivasi klien untuk beraktivitas Beri penjelasan pentingnya mobilisasi

Anjurkan dan bantu untuk mobilisasi dini, tingkatkan aktivitas secara bertahap, misal : bantu klien untuk posisi miring kanan/kiri, duduk, berdiri dan berjalan Ubah posisi klien secara bertahap Anjurkan klien untuk menghentikan aktivitas bila terdapat palpitasi, kelemahan dan nyeri hebat Peningkatan aktivitas secara bertahap memungkinkan sistem kardiopumonal untuk kembali paa keadaan normalnya Partisipasi klien dalam perawatan diri memperbaiki fungsi fisiologisnya dan mengurangi kelelahan akibat ketidakaktifan dan juga memperbaiki harga diri dan kesejahteraannya Mempengaruhi dalam pengambilan intervensi Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa sejumlah oksigen yang adekuat ke jaringan Patokan dalam pilihan intervensi Meningkatkan pemahaman klien, agar mampu beraktivitas sesuai rentang yang da mobilitasi dini dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat memperbaiki toleransi aktivitas, memperbaiki tonus otot dan tanpa kelemahan Membantu klien beraktivitas sesuai rentang yang dapat ditoleransi

Memfasilitasi aktivitas sesuai kemampuan Regangan secara tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang tidak dapat ditoleransi dapat ditoleransi e. Kurang perawatan diri (diuraikan) berhubungan dengan kelemahan post operatif, nyeri 1) Definisi : keadaan dimana individu mengalami gangguan untuk melakukan sebagian atau seluruh aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Tidak mampu makan sendiri (2) Tidak mampu mandi sendiri ( termasuk menggosok gigi, menggunting kuku, mengikat rambut dan memakai kosmetik ) (3) Tidak mampu memakai baju sendiri (4) Tidak mampu melakukan toileting sendiri (5) Tidak mampu memakai peralatan sendiri 3) Kriteria hasil Klien akan melakukan aktivitas perawatan diri sampai batas kemampuan fisiknya 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1. 2.

3.

4. Mandiri : Berikan perawatan fisik sesuai kebutuhan Bantu klien menyimpan barang barang pribadinya dalam jangkauan Instruksikan klien untuk melakukan latihan kaki yang diprogramkan delapan sampai sepuluh kali dalam sejam Yakinkan klien bahwa meski meski perawat hanya meluangkan waktu singkat di ruangan, seseorang akan segera datang jika dibutuhkan

Perawatan dasar penting untuk mempertahankan hygiene yang baik saat klien tidak dapat melakukannya sendiri Akses mudah mengurangi kebutuhan untuk bergerak Gerakan otot pasif atau aktif membantu mempertahankan integritas kulit, range of motion penuh pada sendi dan sirkulasi adekuat selama periode penurunan mobilitas Penenangan dapat menurunkan rasa takut akan tidak adanya staf dan dapat menghilangkan perasaan terisolasi f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi pembedahan 1) Definisi : keadaan dimana seseorang mengalami atau berada pada kondisi rusaknya jaringan integumen. 2) Batasan karakteristik a) Mayor Kerusakan pada integumen, invasi struktur tubuh b) Minor Lesi, edema, eritema 3) Kriteria hasil Mendemonstrasikan tinglah laku atau teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan unutk mencegah komplikasi. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7. 8.

9.

10. 11. Mandiri : Beri penguatan pada balutan awal atau penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik aseptik yang ketat Secara hati hati lepaskan perekat ( sesuai arah pertumbuhan rambut ) dan balutan waktu diganti Gunakan barier kulit sebelum perekat jika diperlukan. Gunakan perekat yang halus (hipoalergik) untuk membalut luka yang membutuhkan penggantian yang sering Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka

Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal atau telapak tangan selama batuk Ingatkan klien untuk tidak menyentuh area luka Biarkan terjadi kontak antara udara dan luka sedini mungkin atau tutup luka dengan kain kassa tipis sesuai kebutuhan. Kolaborasi : Berikan es pada daerah luka jika dibutuhkan

Gunakan korset pada abdominal jika dibutuhkan Beri anti biotik sesuai indikasi Melindungi luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi. Mencegah akumulasi cairan yang dapat menyebabkan ekskoriasi Mengurangi risiko trauma pada kulit dan gangguan pada luka Menurunkan risiko terjadinya trauma pada kulit dan memberikan perlindungan tambahan untuk kulit atau jaringan yang halus Pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan luka / berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius Menurunnya cairan menandakan adanya evolusi dari proses penyembuhan luka, apabila penurunan cairan terus menerus adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi Menetralisasi tekanan pada luka, meminimalkan terjadinya ruptura Mencegah kontaminasi luka Membantu mengeringkan luka dan memfasilitasi proses penyembuhan luka. Pemberian cahaya mungkin diperlukan untuk mencegah iritasi bila tepi luka bergesekan dengan pakaian Menurunkan pembentukan edema yang mungkin menyebabkan tekanan yang tidak dapat diidentifikasi pada luka selama periode pasca operasi tertentu Memberi pengencangan tambahan pada insisi yang berisiko tinggi ( misal pada klien yang obesitas Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk meurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen dan membantu penyembuhan luka g. Risiko perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca operasi), peningkatan kebutuhan nutrisi sekunder terhadap pembedahan 1) Definisi : suatu kondisi dimana individu berada atau mengalami risiko penurunan berat badan karena ketidakadekuatan masukan oral maupun peningkatan kebutuhan metabolisme 2) Batasan karakteristik

a) Mayor Seseorang yang dilaporkan mengalami ketidakcukupan masukan oral atau mengalami penurunan berat badan b) Minor (1) Berat badan menurun 10-20% dibawah normal dan tinggi serta kerangka tubuh tidak ideal (2) Lipatan kulit trisep, lingkar lengan atas dan lingkar otot pertengahan lengan kurang dari 60% normal (3) Kelemahan dan nyeri otot (4) Mudah tersinggung dan bingung (5) Penurunan albumin serum (6) Penurunan transferin / kapasitas pengikat zat besi 3) Kriteria hasil Klien menunjukkan kebutuhan nutrisi yang adekuat, seimbang antara intake dan output. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1.

2.

3. 4.

5. 6. 7. Mandiri : Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal

Pantau status hipermetabolisme ( hiperglikemia, keseimbangan nitrogen negatif, penurunan berat badan, peningkatan frekuensi pernapasan Ambil tindakan untuk menurunkan nyeri Evaluasi kemungkinan mual dan muntah Lakukan tindakan untuk mengurangi mual dan muntah Pertahankan hygiene oral yang baik Berikan agen anti mimetik sebelum makan bila diindikasikan Penyembuhan luka memerlukan masukan cukup protein, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk pembentukan fibroblas dan jaringan granulasi serta pembentukan kolagen Hipermetabolisme diperkirakan tiga sampai empat kali pada hari pertama pasca operasi. Nutrisi adekuat akan mengembalikan fungsi metabolik yang normal Nyeri menyebabkan keletihan dan mual yang dapat menurunkan nafsu makan Pengertian klien tentang sumber dan kenormalan mual dan muntah mengurangi ansietas yang dapat membantu mengurangi gejala Memberikan perbaikan masukan oral saat tidak mual dan muntah Mulut yang bersih dan segar dapat merangsang nafsu makan dan mengurangi mual Antimimetik mencegah mual dan muntah h. Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan, perubahan diet, immobilisasi 1) Definisi : suatu keadaan dimana individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang dan keras. 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Bentuk feses keras (2) Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu b) Minor (1) Penurunan bising usus (2) Keluhan rektal penuh (3) Keluhan tekanan pada rektum (4) Mengejan dan nyeri waktu defekasi (5) Perasaan pengosongan tidak adekuat 3) Kriteria hasil Klien menunjukkan fungsi defekasi yang adekuat. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123

1. 2. 3.

4. Mandiri : Kaji bising usus untuk menentukan kapan memberikan cairan Jelaskan efek aktivitas harian pada eliminasi. Bantu ambulasi sesuai kebutuhan Tingkatkan faktor faktor yang membantu eliminasi yang optimal ( diet seimbang, masukan cairan yang adekuat, stimulasi lingkungan rumah ) Beri tahu dokter bila bising usus tidak terdengar dalam dalam enam sampai sepuluh jam pasca operasi atau bila tidak terjadi elminasi dalam dua sampai tiga hari pasca operasi Adanya bising usus menunjukkan kembalinya peristaltik Aktivitas mempengaruhi eliminasi usus dengan memperbaiki tonus otot abdomen dan merangsang nafsu makan serta peristaltik Diet seimbang tinggi serat merangsang peristaltik. Masukan cairan yang adekuat diperlukan untuk mempertahankan pola defekasi dan meningkatkan konsistensi feses Tidak adanya bising usus dapat menandakan paralitik ileus, tidak adanya defekasi dapat menandakan obstruksi i. Kurang pengetahuan ( diuraikan ) berhubungan dengan kurang terpapar informasi, tidak mengenal sumber informasi 1) Definisi : suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan pengetahuan kognitif / keterampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan keperawatan 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Menyatakan kurang pengetahuan / keterampilan / meminta informasi (2) Mengekspresikan persepsi yang tidak akurat terhadap kondisi kesehatannya (3) Menampilkan secara tidak tepat perilaku sehat yang diinginkan atau sudah ditentukan b) Minor (1) Kurang integrasi rencana tindakan ke dalam kegiatan sehari hari (2) Menunjukkan ekspresi gangguan psikomotor, misal cemas dan depresi 3) Kriteria hasil

Menyatakan pemahaman proses penyakit dan perawatan yang dianjurkan serta berpartisipasi dalam program pengobatan. 4) Intervensi No Intervensi Rasionalisasi 123 1. 2.

3.

4. Mandiri : Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi Diskusikan fase pemulihan setelah operasi ( hal yang harus dan tidak boleh dilakukan setelah operasi, mengenai mobilitas dini, olahraga, mengangkat beban berat, penggunaan pakaian diskusikan cara perawatan insisi ) Diskusikan cara perawatan insisi Diskusikan gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri, edema luka, kemerahan dan demam) Memberikan informasi untuk intervensi yang sesuai Pemahaman tentang tindakan yang harus dan tidak boleh dilakukan dapat meningkatkan proses penyembuhan

Pemahaman meningkatkan kerjasama dengan program terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan Upaya intervensi menurunkan risiko komplikasi serius, contoh lambatnya penyembuhan 4. Implementasi Implementasi adalah tahap keempat dalam proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan (melaksanakan intervensi yang telah ditentukan sebelumnya) (Marilyn.E.Doengoes , 1999: 105). 5. Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan dimana merupakan proses yang kontinyu yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang dilakukan dengan meninjau respon klien untuk menentukan keefektifan rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien (Marilyn.E.Doengoes 1999: 105). Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn. S Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Pre & Post Laparotomi Akibat Ileus Obstruktif Di Ruang VIII RSUD XXMonday, December 21, 2009 11:18 AMBAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar Ileus Obstruktif 1. Pengertian Ileus obstruktif adalah blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus, dan makanan, dapat secara mekanis atau fungsional (Iin Inayah, 2004 : 202). Ileus obstruktif terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga karena hambatan terhadap rangsangan saraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya blockage (Barbara C. Long, 1996 : 242). Intestinal obstruction is the partial or complete mechanical or non mechanical blockage of the small or large intestine. (Gale Encyclopedia of Medicine, Published December, 2002, www.google.com) Intestinal obstruction is blockage of the inside of the intestines by an actual mechanical obstruction (www.pedisurg.com/PtEduc/Intestinal_Obstruction.htm, 2006). Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif adalah penyumbatan yang terjadi secara parsial atau komplit, mekanik atau fungsional, yang terjadi bisa diusus halus ataupun diusus besar, dapat mengakibatkan terhambatnya pasase cairan, flatus, dan makanan. 2. Anatomi dan Fisiologi Gambar 1 Sistem Pencernaan Sumber :http://www. Medicastore.com/cybermed/detail Anatomi dan fisiologi ini diambil menurut beberapa sumber, diantaranya : frances Donovan Monahan (1998), anonymous www.medicastore.com (2004), Guyton dan Hall (1997), Syarifudin (1997) didapatkan bahwa sistem pencernaan merupakan

suatu tatanan yang terbentuk dari adanya hubungan antara bagian yang tergabung dalam saluran pencernaan dan organ asesoris yang terletak diluar saluran pencernaan. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ asesoris yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu (gambar 1). Karya tulis ini membahas tentang obstruksi usus, yang terjadi hanya didalam usus, baik itu usus halus maupun usus besar. Maka penulis akan membahas sekilas tentang usus halus dan usus besar yang terdapat didalam saluran pencernaan. a. Usus Halus (Usus Kecil) Gambar 2 Usus Halus Sunber : http://www.adam.com/ Usus halus atau usus kecil (gambar 2) adalah saluran yang memiliki panjang 7 meter (23ft) dan berdiameter 2,5 cm. Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi chyme dari lambung, menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe, menyerap protein dalam bentuk asam amino, dan menyerap karbohidrat dalam bentukmonosakarida. Usus halus memanjang dari pyloric sphincter lambung sampai sphincter ileocaecal, tempat bersambung dengan usus besar. Lapisan usus halus (gambar 3) terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu : 1) Lapisan luar adalah membran selulosa, yaitu peritornium yang melapisi usus halus dengan erat. 2) Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan serabut, lapisan luar yang memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang melingkar (serabut sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus yang turut serta dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan enzim-enzim pencernaan dan pergerakkan makanan sepanjang saluran pencernaan.. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, dan pleksus syaraf. 3) Submukosa terdiri dari jaringan ikat yang mengandung syaraf otonom, yaitu plexus of meissner yang mengatur kontraksi muskularis mukosa dan sekresi dari mukosa saluran pencernaan. Submukosa ini terdapat diantara otot sirkuler dan lapisan mukosa. Dinding submukosa terdiri atas jaringan alveolar dan berisi banyak pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan pleksus syaraf yang disebut plexus of meissner. 4) Mukosa dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi getah usus halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis) dari duodenum, jejunum, dan ileum. Produksinya dipengaruhi oleh hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini terdapat vili yang merupakan tonjolan dari plica circularis (lipatan yang terjadi antara mukosa dengan submukosa). Lipatan ini menambah luasnya permukaan sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan lebih lama pada getah cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi banyak lipatan Lieberkuhn yang bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi. Lipatan Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium silinder. Gambar 3 Lapisan Usus Halus

Sumber : http://humdigest_1.google.com/ imgres Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu: 1) Duodenum Duodenum adalah yang paling pendek dari ketiganya, mualai dari dari pyloric sphincter dan bersambung kira-kira 25 cm (10in) sampai bersatu dengan jejunum. Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini tempat bermuaranya pancreas dan kantung empedu. Terdapat kelenjar blunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah kelenjar blunner akan mengeluarkan sekret cairan kental alkali. 2) Jejunum Jejunum segmen yang tengah, kira-kira panjang 2,5 m dan bergabung dengan ileum. Di dalam usus ini, makanan mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus. Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan menjadi bubur yang lumat yang encer. 3) Ileum Ileum panjangnya kira-kira 3,5 m (12ft) yang bertemu dengan usus besar pada ileocecal valve, sebagai pintu masuk kedalam cecum, katup ini biasanya menutup ketika absorpsi meningkat dan mencegah pergerakan bakteri dari usus besar kedalam usus halus. Disini terjadi penyerapan sarisari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh jonjot-jonjot usus/vili. Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum menjadi semakin luas sehingga penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik. Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk menyerap zat hara. Enzim pada mikrovili menghancurkan makanana menjadi partikel yang cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot terdapat pembuluh darah halus dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam amino, sedangkan asam lemak dan gliserol masuk ke sel limfa. b. Usus besar Usus besar merupakan sambungan dari usus halus dan berakhir di rectum, yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter, lebarnya sekitar 5-6 cm. Usus besar ini menghasilkan lendir yang berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja. Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi, bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K, beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri di dalam usus besar. akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. Usus besar terdiri dari (gambar 4): 1) Kolon asendens (kanan) Panjangnya 14 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Dibawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan sebagai kolon transversum

2) Kolon transversum Panjangnya 38 cm, membujur dari kolon asendens sampai kolon desendens berada bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis. 3) Kolon desendens (kiri) Penjangnya 25 cm, terletak dibawah abdomen kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksura lienalis sampai depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid. 4) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum). Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum. Gambar 4 Usus Besar Sunber : http://www.adam.com/ 3. Etiologi Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002),Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) mengatakan bahwa penyebab dari ileus obstruktif adalah : a. Mekanis 1) Adhesi, sebagai perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum viseral maupun antara peritoneum viseral dengan parietal 2) Hernia, terjebaknya bagian usus pada lubang abnormal. 3) Karsinoma, tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus, atau tumor diluar usus mendesak dinding usus. 4) Massa makanan yang tidak dicerna. 5) Sekumpulan cacing 6) Tinja yang keras. 7) Volvulus, terplintir atau memutarnya usus. 8) Intussusception, masuknya satu segmen usus kedalam usus itu sendiri. 4. Patofisiologi Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan terenggang oleh cairan dan gas (70 % dari gas yang tertelan) akibat penekanan intralumen menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus kedarah. Sekitar 8 liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, karena tidak adanya absorpsi mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan merupakan sumber utama kehilangan cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang ekstra sel yang mengakibatkan syok hipotensi. Pengaruh curah jantung, pengurangan perfusi jaringan dan asidosis metabolic. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrotik, disertai absorpsi toksintoksin bakteri kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik. Kehilangan sodium dan ion-ion klorida menyebabkan keluarnya potassium dari sel, mengakibatkan alkalosis hipovolemik. Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002), akumulasi isi usus, cairan, dan gas terjadi didaerah diatas usus yang mengalami obstruksi. Distensi dan retensi cairan mengurangi absorpsi cairan dan merangsang lebih banyak sekresi cairan lambung. Dengan peningkatan distensi, tekanan darah lumen usus meningkat,

menyebabkan penurunan tekanan kapiler vena dan arteriola. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan edema, kongesti, nekrosis, dan akhirnya rupture atau perforasi. Muntah refluk dapat terjadi akibat distensi abdomen. 5. Pathway Obstruksi Usus

6. Manifestasi Klinis Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone, M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) menemukan bahwa tanda dan gejala dari ileus obstruktif adalah : a. Obstruksi Usus Halus 1) Mual 2) Muntah, pada awal mengandung makanan tak dicerna, selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal. 3) Nyeri seperti kram pada perut, disertai kembung, nyerinya bisa berat dan menetap. 4) Demam sering terjadi, terutama bila dinding usus mengalami perforasi. Perforasi dengan cepat dapat menyebabkan peradangan dan infeksi yang berat serta menyebabkan syok. 5) Obstipasi dapat terjadi terutama pada obstrusi komplit. 6) Abdominal distention 7) Tidak adanya flatus b. Obstruksi Usus Besar 1) Distensi berat 2) Nyeri biasanya terasa didaerah epigastrium, nyeri yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemi atau peritonitis. 3) Konstipasi dan obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplet

4) Muntah fekal laten 5) Dehidrasi laten 6) Penyumbatan total menyebabkan sembelit yang parah, sementara penyumbatan sebagian menyebabkan diare. 7. Klasifikasi a. Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002), obstruksi usus terjadi bila sumbatan mencegah aliran normal dari isi usus melalui saluran usus. Terjadi karena dua tipe proses : 1) Obstruksi mekanik, dimana terdapat obstruksi intramural atau obstruksi mural pada dinding usus. 2) Obstruksi non mekanik atau fungsional, dimana muskulatur usus tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Brunner dan suddart pun mengatakan obstruksi dapat bersifat parsial atau komplet. b. Arif Mansejoer, dkk (2000) membagi ileus obstruktif menurut letak sumbatannya menjadi dua bagian, yaitu : 1) Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus 2) Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar 8. Komplikasi a. Ketidakseimbangan elektrolit, akibat dari lumen usus yang tersumbat, secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70 % gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan aliran air dan natrium dari lumen usus kedarah. Oleh karena itu sekitar delapan liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak ada absorpsi mengakibatkan penimbunan intra lumen dengan cepat. muntah dan penyedotan usus b. Asidosis metabolic c. Perforasi, akibat dari terlalu tingginya tekanan intra lumen. d. Syok, akibat dari kehilangan cairan yang berlebih kedalam lumen usus dan kehilangan cairan menuju ruang peritoneum setelah terjadi perforasi. 9. Penatalaksanaan Medik a. Puasa b. Selang nasogastrik harus dipasang, untuk dekompresi usus, mengurangi muntah, dan mencegah aspirasi. c. Cairan parenteral dengan elektrolit, untuk perbaikan keadaan umum. d. Intervensi bedah, dilakukan apabila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. e. Analgetik f. Therapy oksigen. B. Konsep Dasar Laparatomi 1. Pengertian A laparotomy is a large incision made into the abdomen. Exploratory laparotomy is used to visualize and examine the structures inside of the abdominal cavity (Thomson Gale, 2006, www.google.com).

A laparotomy is a surgical incision into the abdominal cavity. This operation is performed to examine the abdominal organs and aid diagnosis. Another name for laparotomy is abdominal exploration (www.google.com) Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa laparatomi adalah insisi bedah yang besar yang terjadi dalam abdomen. 2. Indikasi Laparatomi Laparatomy, suatu pembedahan untuk membuka abdomen, hal tersebut direkomendasikan ketika terdapat penyakit abdomen. Indikasi laparatomy yang didapat dari (www.adam.com2006) dan (Thomson Gale, 2006, www.google.com). yaitu : a. Apendiksitis b. Pangkreatitis akut dan kronik (inflamasi pankreas) c. Abses retroperitonial, abdominal, pelvis (kantong/benjolan yang infeksi) d. Endometriosis (adanya jaringan uterine di abdomen) e. Salpingitis (inflamasi tuba fallopi) f. Adhesi (perlengketan jaringan pada abdomen) g. Kanker (pada ovarium, kolon, pankreas, atau hati) h. Bermacam-macam derajat kanker (seperti Hodgkins limpoma) i. Divertikulis (inflamasi kantong usus) j. Perforasi usus (lubang pada usus) k. Kehamilan ektopik (kehamilan diabdomen diluar uterus) l. Trauma abdomen m. Ileus obstruktif n. Peritonitis

3. Pathway Ileus Obstruktif Tindakan Operasi Laparatomi

4. Manifestasi Klinik Laparatomi a. Nyeri tekan b. Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan c. Kelemahan d. Gangguan integumuen dan jaringan subkutan e. Konstipasi f. Mual dan muntah, anoreksia 5. Komplikasi Laparatomi a. Haemorrhage ( pendarahan) b. Infeksi/Peradangan, pembentukan abses. c. Kerusakan pada organ dalam d. Pembentukan jaringan parut internal ( adhesi) e. Sumbatan atau sakit abdominal, yang mungkin disebabkan oleh adhesi. 6. Proses Penyembuhan Luka Proses penyembuhan keseluruhan luka adalah suatu rangkaian peristiwa yang kompleks yang mulai pada saat cidera dan dapat berlanjut untuk bulan ke tahun. Tindakan laparatomi terjadi cidera akibat insist, rangkaian peristiwa tersebut dapat membantu perawat sebagai landasan untuk menyusun atau melaksanakan asuhan keperawatan post operasi Laparatomi, terutama untuk pengelolaan luka. Fase-fase penyembuhan luka, meliputi : a. Fase inflamasi Fase ini berlangsung selama dua sampai lima hari, proses yang terjadi didalamnya, yaitu : 1) Homestasis a) Vasokontriksi, vasokontriksi pembuluh darah sehingga menghentikan perdarahan dan menurunkan masuknya mikroorganisme. b) Platelet aggregation, c) Tromboplastin yang menggumpal. 2) Inflamasi a) Vasodilatasi, vasodilatasi pembuluh darah dapat menghantarkan nutrisi dan fagosit terhadap luka saat timbul tanda-tanda peradangan. b) Fagositosis, pada saat terjadi peradangan atau infeksi sel fagosit memakan atau menghancurkan bakteri, benda asing. b. Fase proliferase Fase ini berlangsung selama lima hari sampai tiga minggu, proses yang terjadi didalamnya, yaitu : 1) Granulasi, pembentukan fibrobals dari kolagen, mengisi luka dan menghasilkan kapiler baru. 2) Epitelisasi, sel ini menyebar kesegala penjuru untuk menutup luka sekitar tiga cm sehingga luka dapat tertutup. b. Fase remodeling atau maturasi

Fase ini berlangsung selama tiga minggu sampai dua tahun, proses penyerapan kembali jaringan yang berlebih dan membentuk jaringan baru yang tipis dan lemas, kekuatannya hanta 80 persen dari jaringan yang asli. B. Proses Keperawatan Prosedur pemberian asuhan keperawatan terhadap pada klien pre dan post laparatomi dilaksanakan melalui proses keperawatan. Teori dan konsep keperawatan dilakukan secara terpadu dalam tahapan yang terorganisisr melalui : 1. Pengkajian a. Identitas 1) Identitas klien Data yang terdapat berupa nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor registrasi, diagnosa medik. 2) Identitas penanggung jawab Mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien. b. Lingkup masalah keperawatan Klien dengan obstruksi usus sebelum dilakukan tindakan laparotomi biasanya mengalami distensi abdomen, nyeri, mual, muntah, demam, obastipasi atau konstipasi. Klien post laparotomi sering mengalami nyeri labih dari 5 (0-10) yang merupakan efek dari insisi pembedahan. c. Riwayat keperawatan 1) Riwayat kesehatan sekarang Riwayat penyakit sekarang yang ditemukan ketika dilakukan pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST. Pasien ileus obstruktif sering ditemukan nyeri kram, rasa ini lebih konstan apalagi bila bergerak akan bertambah nyeri dan menyebar pada distensi, keluhan ini mengganggu aktivitas klien, nyeri ini bisa ringan sampai berat tergantung beratnya penyakit dengan skala 0 sampai 10. Klien post laparatomi pun mengeluh nyeri pada luka operasi, nyeri tersebut akan bertambah apabila klien bergerak dan akan berkurang apabila klien diistirahatkan, sehingga klien biasanya hanya berbaring lemas. Nyeri yang dirasakan klien seperti disayat-sayat oleh benda tajam letaknya disekitar luka operasi, dengan skala nyeri lebih dari 5 (0-10). 2) Riwayat kesehatan dahulu Klien dengan ileus obstruktif mempunyai riwayat pernah dioperasi pada bagian abdomen, yang mengakibatkan terjadinya adhesi. Klien post laparatomi biasanya mempunyai riwayat penyakit pada sistem pencernaan. 3) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat dalam keluarga sedikit sekali kemungkinan mempunyai ileus obstruktif karena kelainan ini bukan merupakan kelainan genetik, ada kemungkinan pada keluarga dengan ileus obstruktif dan post laparatomi mempunyai riwayat penyakit kanker dan dapat pula mempunyai riwayat cacingan pada keluarga. 4) Riwayat sosial Ada perubahan peran, pekerjaan, atau aktivitas, klien akan merasa tergantung dan membutuhkan bantuan orang lain.

5) Riwayat psikologi Timbul kecemasan pada klien dengan ileus obstruktif, pada klien post laparatomi pun biasanya mengalami kecemasan karena keadaannya yang sakit. 6) Riwayat spiritual Bagian yang menjelaskan tentang kepribadian, keyakinan, harapan, serta semangat dalam diri klien yang merupakan aspek penting untuk kesembuhan penyakit. Ditemukan kepasrahan klien dalam menerima kondisi penyakitnya. 7) Pola kebiasaan sehari-hari Adanya kesulitan dalam melakukan aktivitas, adanya gangguan dalam nutrisi biasanya tidak mampu makan dan minum karena mual dan muntah, gangguan dalam tidur/istirahat, kesulitan BAB (konstipasi atau obstipasi), personal hygiene kurang terpenuhi. d. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi terhadap beberapa sistem tubuh secara head to toe : 1) Keadaan umum Penderita obstruksi usus mengalami nyeri abdomen dari ringan hingga berat dengan skala 0-10, perubahan tanda-tanda vital (peningkatan suhu, takikardi, hipotensi). Klien post laparatomi akan mengalami badan yang lemas, tanda-tanda vital tidak stabil, kadang kesadarannya akan menaglami penurunan.

2) Sistem pernafasan Distensi abdomen menimbulkan tekanan diafragma, menghambat pengembangan rongga dada sehingga sering ditemukan sesak nafas pada pasien dengan obstruksi usus. Pasien dengan post laparotomi dapat menunjukan hipoksia sekunder karena inefektif ventilasi sebagai komplikasi dari reseksi intestinal. 3) Sistem kardiovaskuler Adanya sianosis, diaporesis, takikardi pada pasien obstruksi usus dan pasien post laparotomi dapat menunjukan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat. 4) Sistem pencernaan Keadaan pencernaan pada pasien dengan obstruksi usus terdapat anoreksia dan malaise, peningkatan bising usus, kegagalan dalam mengeluarkan feses atau flatus secara rectal atau per ostomi. Klien yang mengalami distensi abdomen berat dapat terjadi kehilangan bising usus. Klien post laparotomi terdapat keadaan mulut dan lidah kotor akibat puasa dan terpasang NGT, peristaltic usus meningkat atau menurun bahkan sampai tidak ada, penurunan berat badan serta adanya konstipasi. 5) Sistem genitourinaria Terdapat retensi perkemihan pada pasien obstruksi usus dan terpasang kateter setelah laparotomi. 6) Sistem musculoskeletal Pasien obstruksi usus tidak terdapat keluhan pada system ini sedangkan pasien post laparotomi dapat ditemukan penurunan aktivitas karena nyeri.

7) Sistem endokrin Tidak terdapat keluhan mengenai komponen ini pada pasien obstruksi usus dan post laparotomi 8) Sistem integumen Obstruksi usus dan laparotomi dapat menimbulkan turgor kulit menurun apabila terjadi kekurangan cairan 9) Sistem neurosensori Pengkajian tentang tingkat kesadaran dan pemeriksaan nervus cranial. Tidak terdapat gangguan pada pasien ileus obtruktif dan post laparotomi. 10) Sistem genetalia Sistem ini mencakup penyebaran rambut pubis, palpasi adanya nyeri. Biasanya klien terpasang kateter urin. 11) Sistem penglihatan Penglihatan diperiksa dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan fungsi penglihatan. Ileus obstruktif dan laparotomi tidak mengalami gangguan sistem penglihatan. 12) Sistem pendengar Pasien tidak mengalami kelainan dalam fungsi pendengaran e. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi usus sebagai berikut : 1) Laboratorium : BUN, hematokrit, berat jenis urin meningkat, penurunan kadar serum natrium, klorida dan kalium, leukosit meningkat, terdapat penurunan sodium dan potassium. 2) Enema barium membantu menentukan bila obstruksi didalam kolon. 3) Pemeriksaan radiologis abdomen, foto rontgen bisa menunjukan lingkaran usus yang melebar, yang menunjukkan lokasi dari penyumbatan dan juga bisa menunjukkan adanya udara di sekitar usus di dalam perut yang merupakan tanda adanya perforasi. 4) Skan CT, MRI (magnetic resonance imaging), atau ultrasound membantu memastikan diagnosis. 5) Proktosigmoidoskopi membantu menentukan penyebab obstruksi bila didalam kolon klien setelah laparotomi dibutuhkan pemeriksaan penunjang antara lain : 1) Laboratorium : elektrolit, hemoglobin, dan hematokrit. 2) Kultur urine setelah pemasangan kateter dilepaskan. 3) Kultur luka : infeksi yang diduga. 2. Diagnosa keperawatan Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien ileus obstrutif menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) sebagai berikut : a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen. b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal, kehilangan cairan abnormal, status puasa, mual dan muntah. c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan. d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan , mual dan muntah. e. Nuasea berhubungan dengan nyeri, distensi abdomen, obstruksi

f. Gangguan body image berhubungan dengan efek dari kondisi atau pembedahan tubuh. Perubahan diet. g. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis. h. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi, luka pembedahan. i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan. j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi. Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien post laparatomi menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Marilynn E. Doengoes (2000) sebagai berikut : a. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi. b. Inefektif pola nafas berhubungan dengan nyeri, immobilisasi. c. Inefektif perfusi jaringan (gastrointestinal) berhubungan dengan interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia. d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal. e. Gangguan nyaman nyeri berhubungan dengan insisi, distensi abdomen, immobilisasi. f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nausea dan vomiting, pembatasan diet. g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan, perubahan sensasi. h. Kerusakan membrane mukosa mulut berhubungan dengan nasogastrik tube i. Gangguan bodi image berhubungan dengan pembedahan, situasi krisis. j. Inefektif disfungsi seksual berhubungan dengan nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image. k. Ketakutan berhubungan dengan stressor lingkungan atau hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi. l. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan. m. Risiko konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas, penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi. n. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, prosedur preoperative. o. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi, tidak mengenal sumber informasi. 3. Intervansi Keperawatan Intervansi keperawatan pada ileus obstruktif menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) : a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen. Criteria hasil : - Menunjukkan pernapasan yang dalam dan dangkal. - Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal - Kepatenan jalan nafas adekuat - Status tanda-tanda vital dalam batas normal Intervensi Rasional 12 1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas

2. Kaji pucat dan sianosis 3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan

4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan 5. Posisikan pasien dengan semi fowler

6. Suction sesuai kebutuhan

7. Pantau terapi oksigen.

8. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam. 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi. 2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis 3. Hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial. 4. Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan. 5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi. 6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas. 7. Menjaga status pernapasan klien agar tetap optimal, memberikan terapi sesuai yang dibutuhkan klien. Terapi oksigen dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen. 8. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan mobilisasi serta mengeluarkan secret. b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal, kehilangan cairan abnormal, status NPO, mual dan muntah. Criteria hasil : - Pasien menunjukan tanda vital stabil : sistolik tekanan darah 90 140 mmHg, diastolic 50 -90 mmHg, nadi = 60 -100/menit

- Urin output adekuat > 60 ml/jam - Membrane mukosa baik, turgor kulit baik - Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal. Intervensi Rasional 12 1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut : - Urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam

- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam 2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut : - Osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg - Osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg - Serum sodium, lebih dari 145 mEq/L - Peningkatan level BUN dan hematokrit 3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan adanya : - Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.

- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah 4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.

5. Pantau tanda-tanda vital dan observasi kesadaran serta gejala syok.

6. Pertahankan puasa, kaji tingkat hidrasi

7. Pantau cairan perenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin 8. Kaji keadaan kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, pucat. Kaji juga kehausan, khususnya pada lansia. 9. Kaji dan laporkan adanya perubahan tingkat kesadaran, kelemahan otot dan koordinasi.

10. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi

11. Timbang berat badan setiap hari bila memungkinkan 1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi kekurangan. - urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat. - Indikasi adanya deficit volume cairan 2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.

3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal. - Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium. - Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan preload insuffisiensi. 4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan. 5. Takikardi dan hipotensi dapat mengindikasikan syok hipovolemi. Perubahan ortostatik (tekanan darah menurun 10 mmhg atau lebih dan nadi meningkat 20 kali/menit atau lebih) mengindikasikan hipovolemik. 6. Pemberian makanan dan minuman pada pasien dapat menyebabkan muntah lebih sering dan mengakibatkan alkalosis metabolic, hipokalemia atau hiponatremia. Pemenuhan volume intravaskuler dan tambahan oksigen mengurangi efek kehilangan darah dalam jaringan hingga perdarahan terkontrol. 7. Pengawasan akurat intake output menandakan keseimbangan pemberian sehingga tidak terjadi syok hipovolemik. 8. Turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, peningkatan kehausan dapat mengindikasikan hipovolemia sehingga terjadi penurunan volume cairan ekstraseluler. 9. Confusion, stupor dapat menjadi indikasi hipovolemi dan ketidakseimbangan elektrolit. Penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral karena hipovolemia. Kehilangan potassium dapat menyebabkan kelemahan otot. 10. Pembedahan dapat dindikasikan bila obstruksi berkelanjutan. Persiapan pembedahan melingkupi pasien, peralatan, anastesi dan tenaga medis. 11. Berat badan sangat menunjukkan perubahan yang signifikan ketidakseimbangan cairan. c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan. Criteria hasil: - Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10) - Menunjukan rileks - Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan - Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik - Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri Intervensi Rasional 12 1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi

2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 10. 3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik. 4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus. 5. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan. 6. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat. 7. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif.

8. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang nyaman, seperti semifowler. 9. Kaji dan ajarkan melakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam. Dorong ambulasi dini. 10. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit 1. Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri Menurunkan laju metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan. 2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan. 3. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan. 4. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera. 5. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri. 6. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan. 7. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri.

8. Membantu mengontrol nyeri dengan mengurangi kebutuhan untuk kontraksi otot, dengan posisi semifowler mengurangi tegangan abdomen. 9. Menurunkan kekakuan otot atau sendi. Ambulasi membalikkan organ keposisi normal dan meningkatkankembalinya fungsi ketingkat normal. 10. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan lagi perhtian, dan meningkatkan kemampuan koping. d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan , mual dan muntah. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan berat badan normal sesuai kondisi. - Status nutrisi : keseimbangan diet intake makanan dan cairan - Mempertahankan body mass - Memiliki nilai laboratorium dalam batas normal (albumin, transferrin, dan elektrolit) Intervensi Rasional 12 1. Berikan pasien diet tinggi protein, sesuai kebutuhan 2. Monitor hasil laboratorium khususnya transferrin, albumin dan elektrolit 3. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi 4. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan deit intake makanan dan cairan 5. Fasilitasi penambahan berat badan 6. Berikan magnesium sulfate sesuai indikasi 1. Diet tinggi protein membantu mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi. 2. Pengkajian penunjang yang essensial untuk mengetahui evaluasi status nutrisi pasien. 3. Identifikasi bantuan parsial atau total dalam pemenuhan kebutuhan diri/ adl 4. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake efektif. 5. Pengkajian dasar menentukan terpenuhi/ tidak kebutuhan nutrisi. 6. Magnesium sulfate meningkatkan efektifitas thiamine. e. Nausea berhubungan dengan nyeri, distensi abdomen, obstruksi. Criteria hasil : Pasien akan menunjukan muntah tidak ada Menunjukan hidrasi adekuat (mukosa membrane lembab, tidak ada haus berlebihan/abnormal, tidak terjadi demam, kemapuan prespirasi) Intervensi Rasional 12 1. Pantau tanda subjektif nausea pada pasien 2. Manajemen nutrisi : Pantau berat badan

Turgor kulit Intake kalori dan nutrient 3. Ajarkan untuk makan dengan pelan 4. Berikan antiemetik sesuai indikasi 5. Jaga klien dan sekeliling saat terjadi muntah 6. Berikan perawatan mulut setelah muntah 1. membuat data dasar, membantu dalam membuat aturan terapeutik. 2. Kehilangan BAB menunjukan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada deficit nutrisi. Membantu data dasar, membantu dalam membuat aturan teurapeutik, dan menyadarkan perawat terhadap ketidakpatenan kecenderungan dalam penurunan berat badan. Diberikan untuk menghilangkan mual dan muntah Turgor kulit yang buruk menunjukkan perubahan hidrasi atau berkurangnya volume cairan. Mengidentifikasian kebutuhan secara adekuat, memastikan kebutuhan metabolik. 3. Dilatasi garter dapt terjadi bila pemberian makan terlalu cepat setelah periode puasa. 4. Diberikan untuk menghilangkan mual dan muntah. 5. Membantu klien dalam meningkatkan rasa aman dan nyaman. 6. Rasa tak enak, bau dan penampilan membuat peningkatan mual dan muntah. Perawatan oral mencegah ketidaknyamanan karena muntah, dan pengeringan mukosa. Mulut bersih akan meningkatkan napsu makan. f. Gangguan body image berhubungan dengan efek dari kondisi atau pembedahan tubuh. Perubahan diet. Criteria hasil : - Pasien akan dapat mengidentifikasikan kekuatan personal - Mengetahui situasi dan hubungan personal dan gaya hidup - Mempertahankan interaksi social dan hubungan personal

- Pengetahuan actual dalam perubahan anggota tubuh Intervensi Rasional 12 1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan non verbal mengenai tubuhnya. 2. Bantu pasien untuk adaptasi mempersepsikan stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya hidup. 3. Siapkan pasien untuk antisipasi krisis perkembangan atau situasi.

4. Dorong persepsi dan tingkah laku positif terhadap tubuh 1. Pasien mungkin takut atau salah paham akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan pasien. 2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan menolng pasieng menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan. 3. Intervensi spesifik untuk meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat pasien merasakan ketidaksadaran akan dirinya. 4. Tindakan memberi stimulasi dan koping adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh. g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis. Criteria hasil : - Temperature tubuh normal - Menunjukan tidak ada tanda-tanda infeksi. Intervensi Rasional 1. Awasi dan laporkan indikasi infeksi, yaitu : tanda-tanda vital, temperature tubuh, bising usus, suara nafas, karakter urin, adanya abses dalam distensi abdomen dan ikterus. 2. Berikan antibiotic sesuai indikasi 3. Sediakan kultur untuk dan testing sensitivitas sesuai indikasi, lakukan sebelum terapi antibiotic. 4. Gunakan prosedur teknik septic dan aseptic selama proses tindakan 1. Pengawasan ketat dibutuhkan karena infeksi tampak tidak hanya pada peningkatan suhu dan wbc, tapi penggunaan medikasi immunosupresi dan kondisi kronik dapat terjadi infeksi. 2. Tipe antibiotic spectrum luas seperti sulfasalazine (azulfidine) sesuai indikasi yang dibutuhkan. 3. Kultur dan tes sensitivitas menjadi tidak akurat apabila setelah pemberian antibiotic 4. Pasien dengan ileus obstruktif kemungkinan terjadi inflamasi.

h. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi, luka pembedahan. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin. - Intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat (temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna). Intervensi Rasional 1. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi). 2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril. 3. Minimalisir penekanan pada bagian luka. 4. Evaluasi factor yang meningkatkan kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, penurunan sensasi. 1. Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan perawatan 2. Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka. 3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang 4. Pasien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan penanganan dini. i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan. Criteria hasil : - Pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini - Mendemonstrasikan ketrampilan koping positif dalam menghadapi ansietas Intervensi Rasional 1. Kaji prilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu. 2. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut, berikan umpan balik. 3. Jelaskan prosedur atau tindakan dan beri penguatan penjelasan dokter tentang penyakit, tindakan, prognosis. 4. Pertahankan lingkungan yang tenang tanpa stress 5. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat. 1. Prilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/stress saat ini, meningkatkan rasa control dari pasien.

2. Membuat hubungan terapeutik. Membantu pasien dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress. 3. Melibatkan pasien dalam asuhan keperawatan dan mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas. 4. Lingkungan yang tenang, mengurangi timbulnya stress dari luar, meningkatkan relaksasi, membantu menurunkan ansietas. 5. Tindakan dukungan dapat membantu pasien merasakan stressnya berkurang, menentukan energi untuk ditunjukan pada penyembuhan/perbaikan. j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi. Criteria hasil : - Mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit, rencana diet dan potensial komplikasi - Berpartisipasi dalam program tindakan Intervensi Rasional 12 1. Diskusikan penatalaksanaan diet, tekankan pentingnya makan dengan perlahan, mengunyah makanan dengan baik dan makan pada interval regular. 2. Jelaskan kebutuhan untuk menghindari konstipasi a. Gunakan laksaif alami pelunak feses b. Pertahankan masukan cairan 2500 ml/ hari c. Peningkatan aktivitas sesuai toleransi

3. Berikan instruksi pada gejala untuk dilaporkan pada dokter : nyeri abdomen, kram, distensi, dan/atau mual dan muntah 1. Dengan diet yang benar makanan dapat dicerna dengan baik dan mudah diabsorpsi oleh usus.. 2. Konstipasi akan menambah berat kondisi penyakit. a. Laksatif alami lebih mudah diserap tubuh dan efek samping yang ditimbulkan olehnya minimal. b. Masukan cairan adekuat mencegah terjadinya dehidrasi dan membantu mengurangi konstipasi. c. Aktivitas dapat meningkatkan peristaltic usus, aktivitas yang terlalu berat dan tidak dapat ditoleransi, menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit tubuh lebih cepat. 3. Intruksi yang tepat tentng gejala yang dilaporkan bertujuan agar terapi yang diberikan tepat dan sesuai.

Intervensi post op laparotomi menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Marilynn E. Doengoes (2000) adalah sebagai berikut : a. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi. Criteria hasil : - Pasien akan mempunyai kepatenan jalan nafas - Pengeluaran sekresi efektif - Respirasi dan ritme dalam batas normal - Fungsi pulmonali dalam batas normal - Mampu menyususn rencana untuk perawatan di rumah Intervensi Rasional 1. Manajemen jalan nafas : fasilitasi kepatenan jalan nafas. 2. Suction : pembuangan sekresi dengan memasukan katetersuction pada jalan nafas pasien dan/atau trachea. 3. Terapi oksigen : pemberian oksigen dan pemantauan efektivitas. 4. Posisi : tempatkan pasien pada posisi yang nyaman dan semi fowler.

5. Pantau respirasi : kumpulkan dan analisa data pasien untuk meyakinkan kepatenan jalan nafas dan efektifitas pemberian oksigen. 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi. 2. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran beresiko terjadi aspirasi saliva dan pemberian oksigen tambahan diindikasikan dengan jalan nafas yang bersih. 3. Kerusakan otak irreversible bisa terjadi bila periode apneu terjadi lama dan kebutuhan oksigen tidak terpenuhi. 4. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi. 5. Bunyi nafas abnormal ( crackles, gurgles) indikasi utama terjadinya komplikasi hipoventilasi. Peningkatan frekuensi nafas, takipneu, sianosis atau kelemahan indikasi hipovolemia. Deteksi dini dan pelaporan segera menunjang penanganan secara cepat. b. Inefektif pola nafas berhubungan dengan nyeri, immobilisasi. Criteria hasil : - Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal - Kepatenan jalan nafas adekuat - Status tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi Rasional

1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas 2. Kaji pucat dan sianosis 3. pemberian oksigen sesuai kebutuhan

4. auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan 5. posisikan pasien dengan semi fowler

6. Suction sesuai kebutuhan 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi. 2. hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis 3. hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial. 4. crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan. 5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi. 6. sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas. c. Inefektif perfusi jaringan (gastrointestinal) berhubungan dengan interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan intake nutrisi dan cairan adekuat. - Melaporkan kecukupan energi - Eliminasi BAB dalam keadaan normal (warna, jumlah, konsistensi dan pola) - Status sirkulasi adekuat (perfusi jaringan perifer adekuat, TD dalam batas normal, tidak terjadi distansi vena juguralis) - Menunjukan hidrasi yang normal (tidk terjadi asites dan udema perifer, abnormal haus tidak terjadi, demam tidak ada) Intervensi Rasional 1. Monitor tanda-tanda vital

2. Monitor level serum elektrolit 3. Jaga laporan akuran mengenai intake dan output 4. Kaji tanda-tanda perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, membrane mukosa, sianosis. 5. Pantau status nutrisi dengan menimbnag berat badan setiap hari. 6. Berikan tambahan cairan dan elektrolit sesuai indikasi 7. Pasang NGT jika diperlukan 1. Peningkatan nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu menunjukan hipovolemia sehingga mengakibatkan kekurangan volume cairan 2. Evaluasi keakuratan data untuk perancanaan tindakan keperawatan yang komprehensif 3. Identifikasi status keseimbangan cairan dan elektrolit. 4. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan dan kekurangan yang bisa mengakibatkan syok hipovolemik. 5. Tindakan mengontrol keadaan nutrisi untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan energi atau malnutrisi 6. Penggantian cairan dan elektrolit apabila terjadi syok hipivolemik 7. Sarana bagi pasien yang tidak mampu intake nutrisi dari oral d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal. Criteria hasil : - Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal. - Urine output dalam batas normal - Hasil hemodinamika dalam batas normal Intervensi Rasional 12 1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut : - urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam

- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam 2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut : - osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg - osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg - serum sodium, lebih dari 145 mEq/L - peningkatan level BUN dan hematokrit 3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan adanya : - Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.

- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah 4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.

5. Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan peningkatan nadi dan perubahan tekanan darah. 6. Palpasi nadi perifer, evaluasi pengisian kapiler, turgor kulit dan status membrane mukosa. 7. Perhatikan adanya edema

8. Observasi, catat kualitas kateter drainage / ngt

9. Pantau suhu

10. Pertahankan patensi penghisapan NGT 1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi kekurangan. - urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat. - Indikasi adanya deficit volume cairan 2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi. 3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal. - Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium. - Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan preload insuffisiensi. 4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan. 5. Tanda-tanda haemoragik usus dan/atau pembentukan hematoma, yang dapat menyebabkan syok hipovalemik. 6. Memberikan informasi tentang volume sirkulasi umum dan tingkat hidrasi. 7. Edema dapat terjadi karena perpindahan cairan berkenaan dengan penurunan kadar albumin serum/protein. 8. Haluaran cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan alkalosis metabolic dengan kehilangan lanjut kalium oleh ginjal yang berupaya untuk mengkompensasi 9. Demam rendah umum terjadi selam 24 -48 jam pertama dan dapat menambah kehilangan cairan 10. Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan distensi atau kekuatan pada garis jahitan dan menurunkan mual atau muntah , yang dapat menyrtai anastesi, manipulasi usus, atau kondisi yang sebelumnya ada, missal kanker.

e. Nyeri berhubungan dengan insisi, distensi abdomen, immobilisasi. Criteria hasil : - Melaporkan nyeri hilang - Tampak rileks, mempu beristirahat dengan tepat - Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan - Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10) - Mengakui faktor penyebab sehingga dapat menggunakan pengukuran untuk mencegah nyeri akibat Intervensi Rasional 12 1. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 10. 2. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik. 3. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus. 4. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan. 5. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat. 6. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif.

7. Pantau tanda-tanda vital

8. Kaji insisi bedah, perhatikan edema, perubahan kontur luka (pembentukan hematoma), atau inflamasi, mengeringkan tepi luka. 9. Berikan analgesic, narkotika, sesuai indikasi. 1. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan. 2. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.

3. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera. 4. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri. 5. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan. 6. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri. 7. Respon outonomik meliputi pada tekanan darah, nadi dan pernafasan, yang berhubungan dengan keluhan / penghilang nyeri. Abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lanjut. 8. Perdarahan pada jaringan, bengkak, inflamasi local atau terjadinya infeksi dapat menyebabkan peningkatan nyeri insisi. 9. Menurunkan laju metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan. mengontrol atau mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan meningkatkan kerja sama dengan aturan terapeutik. f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nausea dan vomiting, pembatasan diet. Criteria hasil : - Pendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan penambahan berat badan yang diinginkan dengan normalisasi laboratorium dan tak ada tanda-tanda malnutrisi. - Pasien akan menunjukan berat badan normal sesuai kondisi. - Status nutrisi : keseimbangan diet intake makanan dan cairan - Mempertahankan body mass - Memiliki nilai laboratorium dalam batas normal (albumin, transferrin, dan elektrolit) Intervensi Rasional 1. Berikan pasien diet tinggi protein, sesuai kebutuhan. 2. Monitor hasil laboratorium khususnya transferrin, albumin dan elektrolit. 3. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan deit intake makanan dan cairan. 4. Tinjau factor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan untuk mencerna/makan makanan. Misal status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepas. 5. Timbang berat badan sesuai indikasi. Catat masukan dan haluaran 6. Auskultasi bising usus, palpasi abdomen. Catat pasase flatus 7. Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan makanan tinggi protein dan vitamin c

8. Pertahankan patensi selang nasogastrik 9. Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Antiemetik. Misal proklorperazin (compazine). Antasida dan atau inhibitor histamine, missal simetidin (tagamet) 10. Berikan cairan, tingkatkan ke cairan jernih, diet penuh sesuai toleransi setelah selang makan ng atau gastrotomi dilepas. 1. Diet tinggi protein membantu mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi. 2. Pengkajian penunjang yang essensial untuk mengetahui evaluasi status nutrisi pasien. 3. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake efektif. 4. Mempengaruhi pilihan intervensi

5. Mengidentifikasi status cairan serta memastikan kebutuhan metabolic. 6. Menentukan kembalinya peristaltic ( biasanya dalam 2 4 hari) 7. Meningkatkan kerja sama pasien dengan aturan diet. Protein atau vitamin adalah kontribusi utama untuk pemeliharaan jarinagn dan perbaikan. Malnutrisi adalah factor yang menurunkan pertahanan terhadap infeksi. 8. Mempertahankan dekompresi lambung/usus. Meingkatkan instirahat/pemulihan usus. 9. Mencegah muntah Menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi. 10. Mengkonsumi ulang cairan dan diet penting untuk mengembalikan fungsi usus normal dan meningkatkan masukan nutrisi adekuat. g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan, perubahan sensasi. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin - Menunjukan intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat ( temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna) - Mencapai pemulihan luka tepat waktu tanpa ada komplikasi Intervensi Rasional 12 1. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi). 2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril. 3. Minimalisir penekanan pada bagian luka.

4. Evaluasi factor yang meningkatkan kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, penurunan sensasi. 5. Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan demam, takipneu, takikardi dan gemetar. Periksa luka dengan sering terhadap bengkak insisi berlebihan, inlamasi drainage. 6. Waspadai factor resiko lanjut, misal : keganasan, seperti limfasarkoma dan mieloma multiple, terapi radiasi dan sisi operasi. 7. Berikan antibiotic sesuai indikasi 1. Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan perawatan 2. Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka. 3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang 4. Pasien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan penanganan dini. 5. Indikatif dari pembentukan hematoma atau terjadinya infeksi yang menunjang perlambatan pemulihan luka dan meningkatkan resiko pemisahan luka/dehisens. 6. Menurunkan imunokompentesi, ini mempengaruhi pemulihan luka pada infeksi. Meningkatkan vaskulitis dan fibrosis pada jaringan penyambung, mempengaruhi pengiriman oksigen dan nutrient untuk pemulihan. 7. Untuk mengatasi infeksi. h. Kerusakan membrane mukosa mulut berhubungan dengan nasogastrik tube. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan kenyamanan dalam makan dan minum. - Integritas kulit dan mukosa membrane (bebas dari lesi jaringan, sensasi normal). - Hygiene mulut baik. Intervensi Rasional 1. Identifikasi factor iritasi seperti alcohol, makan, rokok, medikasi, temperature makanan yang terlalu panas. 2. Kaji pemahaman pasien dan kemampuan untuk perawatan mulut. 3. Berikan perawatan mulut setelah makan sesuai kabutuhan. 4. Anjurkan untuk menghindari merokok dan konsumsi alcohol. 1. Iritasi memperberat kerusakan membrane mukosa sehingga control terhadap factor harus dilakuakan. 2. Tindakan evaluasi pengetahuan dan aplikasi kebiasaan perawatan mulut 3. Perawatan mulut mereduksi resiko infeksi dengan pertahanan sirkulasi untuk membrane mukosa dan penurunan bakteri mulut.

4. Alcohol, dan nikotin memproduksi plak digigi dan membuat kering serta iritasi mukosa.

i. Gangguan bodi image berhubungan dengan pembedahan, situasi krisis. Kriteria hasil : - Pasien akan dapat mengidentifikasikan kekuatan personal - Mengetahui situasi dan hubungan personal dan gaya hidup - Mempertahankan interaksi social dan hubungan personal - Pengetahuan actual dalam perubahan anggota tubuh Intervensi Rasional 1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan non verbal mengenai tubuhnya. 2. Bantu pasien untuk adaptasi mempersepsikan stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya hidup. 3. Siapkan pasien untuk antisipasi krisis perkembangan atau situasi.

4. Dorong persepsi dan tingkah laku positif terhadap tubuh 1. Pasien mungkin takut atau salah paham akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan pasien. 2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan menolng pasieng menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan. 3. Intervensi spesifik untuk meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat pasien merasakan ketidaksadaran akan dirinya. 4. Tindakan memberi stimulasi dan koping adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh. j. Inefektif disfungsi seksual berhubungan dengan nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan kemauan mendiskusikan perubahan fungsi seksual. - Meminta informasi yang dibutuhkan tentang perubahan fungsi seksual. Intervensi Rasional 1. Monitor indicator resolusi disfungsi seksual (kapasitas intimasi). 2. Berikan informasi yang tepat untuk mengatasi disfungsi seksual (pasoman antisipasi, materi adukasi, latihan reduksi stress,focus konseling) 3. Diskusikan penyaki, situasi sehat, dan medikasi yang berpengaruh terhadap seksualitas. 4. Bantu klien untuk menyatakan perasaan akan perubahan seksualitas akibat sakitnya. 1. perubahan status kesahatan / hospitalisasi berpengaruh pada hubungan seksualitas, menggali factor penyebab disfungsi.

2. informasi actual merubah persepsi dan menurunkan tingkat kecemasan akan perubahan. 3. evaluasi pengetahuan mengenai penyakit dan pengaruh terhadap hubungan seksualitas pasien. 4. berbagi perasaan dapat membantu mengatasi pertahanan diri selama proses perubahan yang ahrus dialami. k. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan. Criteria hasil : - Memcapai pemulihan luka tepat waktu, bebas dari drainage purulen atau eritema dan demam - Temperature/suhu normal ( 360C 370C ) - WBC dalam keadaan normal - Tidak menunjukan tanda-tanda infeksi : nyeri, kemerahan, peningkatan suhu, bengkak, terganggunya fungsi Intervensi Rasional 1. Observasi luka pembedahan setiap hari untuk tanda dan gejala infeksi seperti kemerahan, edema, nyeri, drainage,peningkatan suhu. Juga observasi tanda2 infeksi sistemik antara lain demam, lemah, leukositisis atau takikardi 2. Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu

3. Observasi penyatuan luak, keteter drainage, adanya inflamasi. 4. Pantau pernafasan, bunyi nafas. Perhatikan kepala tempat tidur ringgi 35 45 derajat. Bantu pasien untuk membalik, batuk, nafas dalam. 5. Pertahankan perawatan luka aseptic

6. Kultur terhadap kecurigaan drainage/sekresi, kultur baik dari bagian tengah dan tepi luar luka dan dapatkan kultur anaerobic sesuai indikasi. 7. Berikan obat-obatan sesuai indikasi, antibiotik misal cefazoline (ancel)

8. Kolaborasi awasi pemeriksaan leukosit 1. Proses pembedahan dapat mendorong terjadinya atelektasis dam hipoksia. Dehidrasi menyebabkan sputum kering sehingga peningkatan pnemonia

2. Suhu malam memuncak yang kembali normal pada pagi hari adalah karekteristik infeksi. Demam 38o segera setelah pembedahan menunjukan infeksi pulmonal atau urinarius/luka atau pembentukan tromboplebits. 3. Perkembangan infeksi dapat menghambat pemulihan 4. Infeksi pulmonal dapat terjadi karena depresi pernafasan (anastesi, narkotik), ketidakefektifn batuk (insisi abdomen), dan distensi abdomen (penurunan ekspansi paru) 5. Melindungi pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah bertindak sebagai retrograde, menyerap kontaminasi eksternal. 6. Organisme multiperl mungkin ada pada luka terbuka dan setelah bedah usus. Bakteri anaerob misal bacteriodes fragilis hanya dapat terdeteksi melaui kultur anaerobic. 7. Pemberian antibiotik propilaksis menghambat reproduksi bakteri karena itu dapat membantu mencegah kulit yang luka dari masuknya mikroorganisme Mengidentifikasi 8. leukosit sebagai indikasi dari infeksi l. Resiko konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas, penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi. Criteria hasil : - Menggambarkan perbaikan diet (cairan dan serat) yang tepat untuk mempertahankan pola BAB seperti biasa. - Tidak ada feses (segera setelah operasi), konstipasi, diare, mendapatkan kembali pola fungsi usus yang normal. - Melaporkan saat BAB tidak nyeri dan kesulitan dalam mengejan. Intervensi Rasional 1. Jelaskan efek cairan dan serat untuk pencegahan konstipasi. 2. Berikan privasi dan keamanan bagi pasien pada saat bab. 3. Auskultasi bising usus

4. Selidiki keluhan abdomen 5. Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah. 6. Anjurkan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral diberikan.

7. Berikan pelunak feses, suposituria gliserin sesuai indikasi 1. Tindakan motivasi untuk melakukan konsumsi cairan dan serat untuk meningkatkan konsistensi feses dan pengeluaran feses. 2. Penjagaan privasi memberikan kenyamanan dalam bab 3. Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh efek depresan dari anastesi, ileus paralitik, inflamasi intraperitoneal. 4. Mungkin berhubungan dengan distensi gas atau terjadinya komplikasi missal ileus 5. Indicator kembalinya fungsi gi, mengidentifikasi ketepatan intervensi. 6. Menurunkan resiko iritasi mukosa/diare. 7. Perlu untuk merangsang peristaltic dengan perlahan/evakuasi feses. m. Ketakutan berhubungan dengan stressor lingkungan atau hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi. Criteria hasil : - Pasien akan menunjukan kontrol ketakutan dengan sarana sebagai berikut : informasi adekuat untuk mengurangi ketakutan, hindari penyebab takut, gunakan teknik relaksasi, pertahankan peran sosial dan hubungan personal, menjadi produktif. Intervensi Rasional 1. Kaji secara subjektif dan objektif mengenai respon ketakutan 2. Informasikan kepada pasien mengenai penyakit, proses perjalanan penyakit, komplikasi dan penanganan. 3. Sediakan perawatan segera, jelaskan intervensi untuk pasien dengan bentuk singkat 4. Manajemen lingkungan dengan menjaga stabilitas lingkungan, keamanan dan kenyamanan. 5. Dorong verbalisasi mengenai perasaan akan perubahan status kesehatan. 6. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi 1. Keadaan yang ada pada pasien dengan ketakutan dapat mengakibatkan isolasi diri. 2. Wawasan tambahan bagi keluarga dan pasien sehingga dapat berpartisipasi dalam penanganan pemulihan pasien. 3. Penanganan segera menurunkan resiko isolasi sosial dan informasi prosedur perawatan membantu untuk mengatasi ketakutan. 4. Stabilitas lingkungan menunjang menurunkan stressor lingkungan 5. Tindakan motivasi pengungkapan perasaan sebagai indikator hubungan terapeutik 6. Penggunaan agen pharmacologi untuk meningkatkan istirahat dan mengurangi ansieas

n. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, prosedur preoperative. Criteria hasil :

- Pasien akan menunjukan kemampuan focus pada pengetahuan baru dan skil - Identifikasi gejala sebagai indicator kecemasan sendiri - Tidak menunjukan prilaku agresiv - Berkomunikasi dan penanganan perasaan negative dengan tepat - Rileks dan nyaman dalam beraktivitas Intervensi Rasional 1. Monitor pasien tanda dan gejala insietas saat pengkajian keperawatan 2. Fokuskan diskusi pada stressor yang mempengaruhi kondisi pasien

3. Diskusikan persepsi pasien akan prosedur pembedahan, ketakutan yang berhubungan dengan operasi 4. Berikan informasi prosedur sebelum operasi, penyakit pasien, dan persiapan operasi. 1. Pengkajian seksama kondisi pasien dengan ansietas memungkinkan perawat membuat priorotas perawatan. 2. Focus diskusi memfasilitasi kemampuan pasien untuk menyatakan ketakutan dan perasaan yang dirasakan dan membengun hubungan terapeutik. 3. Diskusi akan persepsi dan ketakutan membuat pasien mengekspresikan diri sendiri dan mengeksplore pengetahuannya. 4. Tindakan untuk menambah pengetahuan dan reduksi ansietas.

o. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi, tidak mengenal sumber informasi. Criteria hasil : Mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan. Intervensi Rasional 1. Tinjau ulang prosedur dan harapan pasca operasi 2. Diskusikan pentingnya masukan cairan adekuat, kebutuhan diet 3. Demostrasikan perawatan luka atau belutan yang tepat. 4. Tinjau ulang perawatan selang gastrotomi bila pasien dipulangkan dengan alat ini. 5. Identifikasikan tanda-tand ayang memerlukan evaluasi medis, demam menetap, bengkak, eritema, artau terbukanya tepi luka, perubahan karakteristik drainage. 6. Anjurkan peningkatan aktivitas bertahap sesuai tolernsi dan keseimbangan dengan periode istirahat yang adekuat. 1. Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. 2. Meningkatkan penyembuhan dan normalisasi usus. 3. Meningaktkan penyembuhan, menurunkan resiko infeksi, memberikan kesempatan untuk mengobservasi luka.

4. Meningkatkan kemandirian, meningkatkan kemampuan perawatan diri. 5. Pengenalan dini komplikasi dan intervensi segera dapat mencegah progresi situasi serius, mengancam hidup. 6. Mncegah kelelahan, merangsang sirkulasi dan normalisasi fungsi organ, meningkatkan penyembuhan. Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn. R Dengan Gangguan Sistem Perkemihan : Post Pielolitotomy Akibat Urolitiasis Di Ruang VIII RSUD XXMonday, December 21, 2009 11:16 AMBAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar 1. Typhoid a. Definisi Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu,gangguan pada sistem pencernaan,dan gangguan kesadaran. ( Ngastiyah, 1997: 155 ) Typhoid adalah infeksi akut usus halus.( Arif mansjoer, 2000 : 421 ) Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu,dan terdapat gangguan kesadaran.( Suriadi Skp, 2001 : 281 ) Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa typhoid adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan akibat bakteri salmonella thypii b. Anatomi dan Fisiologi Anatomi dan fisiologi ini diambil menurut beberapa sumber, diantaranya : frances Donovan Monahan (1998), www.medicastore.com (2004), Guyton dan Hall (1997), Syarifudin (1997) : Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus ( Duodenum, yeyenum, dan illeum ), usus besar ( seikum, kolon assenden, kolon tranversum, kolon desenden dan kolon sigmoid ), rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ asesoris yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. Karya tulis ini membahas tentang typhoid perforasi, yang terjadi didalam usus halus. Maka penulis akan membahas sekilas tentang usus halus yang terdapat didalam saluran pencernaan. 1) Usus Halus (Usus Kecil) Gambar 1 Usus Halus

Sumber : Sobotta Lapisan usus halus (gambar 3) terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu : a) Lapisan luar adalah membran selulosa, yaitu peritornium yang melapisi usus halus dengan erat. b) Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan serabut, lapisan luar yang memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang melingkar (serabut sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus yang turut serta dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan enzim-enzim pencernaan dan pergerakkan makanan sepanjang saluran pencernaan.. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, dan pleksus syaraf. c) Submukosa terdiri dari jaringan ikat yang mengandung syaraf otonom, yaitu plexus of meissner yang mengatur kontraksi muskularis mukosa dan sekresi dari mukosa saluran pencernaan. Submukosa ini terdapat diantara otot sirkuler dan lapisan mukosa. Dinding submukosa terdiri atas jaringan alveolar dan berisi banyak pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan pleksus syaraf yang disebut plexus of meissner. d) Mukosa dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi getah usus halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis) dari duodenum, jejunum, dan ileum. Produksinya dipengaruhi oleh hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini terdapat vili yang merupakan tonjolan dari plica circularis (lipatan yang terjadi antara mukosa dengan submukosa). Lipatan ini menambah luasnya permukaan sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan lebih lama pada getah cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi banyak lipatan Lieberkuhn yang bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi. Lipatan Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium silinder. Gambar 2 Lapisan Usus Halus Sumber : http://humdigest_1.google.com/ imgres Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu: a) Duodenum Duodenum adalah yang paling pendek dari ketiganya, mualai dari dari pyloric sphincter dan bersambung kira-kira 25 cm (10in) sampai bersatu dengan jejunum. Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini tempat bermuaranya pancreas dan kantung empedu. Terdapat kelenjar blunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah kelenjar blunner akan mengeluarkan sekret cairan kental alkali. b) Jejunum Jejunum segmen yang tengah, kira-kira panjang 2,5 m dan bergabung dengan ileum. Di dalam usus ini, makanan mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus. Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan menjadi bubur yang lumat yang encer.

c) Ileum Ileum panjangnya kira-kira 3,5 m (12ft) yang bertemu dengan usus besar pada ileocecal valve, sebagai pintu masuk kedalam cecum, katup ini biasanya menutup ketika absorpsi meningkat dan mencegah pergerakan bakteri dari usus besar kedalam usus halus. Disini terjadi penyerapan sarisari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh jonjot-jonjot usus/vili. Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum menjadi semakin luas sehingga penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik. Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk menyerap zat hara. Enzim pada mikrovili menghancurkan makanana menjadi partikel yang cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot terdapat pembuluh darah halus dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam amino, sedangkan asam lemak dan gliserol masuk ke sel limfa c. Etiologi Etiologi typoid berasal dari Genus salmonella, yang terbagi menjadi 3 golongan: 1) Salmonella typhosa, salmonella paratyphii A,B (schott mulleri) salmonella paratyphii C (hirsch feldii). 2) Salmonella typhimurium, salmonella choleraesius,salmonella enteriditis. 3) Salmonella yang hanya patogen pada binatang d. Manifestasi Klinis 1) Minggu pertama Demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis 2) Minggu kedua Demam, bradikardi relatif, lidah typhoid ( lidah di tengah,tepi, ujung merah dan tremor) hepatomegali , spleno megali,gangguan kesadaran,

e. Patofisiologi

f. Potensial Komplikasi 1) Usus : Perdarahan usus,melena, perforasi usus, ileus paralitik, peritonitis. 2) Organ lain : a) Tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitis,artitis. b) Ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis,perinefritis. c) Darah : anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom uremia hemolitik d) Jantung :kegagalan sirkulai perifer (renjatan,sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis e) Paru-paru : bronco pneumoni, empiema, pleuritis f) Hepar : kolesistitis, hepatitis. g) Neurologi : meningitis, delirium, polineuritis perifer, sindrom gullain barre, ensepalopati, psikosis. g. Pemeriksaan Diagnostik 1) Pemeriksaan darah tepi :leukopenia,limfositosis, aneosinofilia, anemia dan trobositopenia 2) Pemeriksaan sum sum tulang: menunjukan gambaran hiperaktif sum-sum tulang 3) Biakan empedu : Terdapat basil salmonella typhosa pada urin dan tinja 4) Pemeriksaan widal 5) Pemeriksaan SGOT, SGPT : sering kali meningkat h. Penatalaksanaan 1) Isolasi, disinfeksi pakaian dan ekskrta 2) Istirahat selama demam hingga dua minggu 3) Diit kalori tinggi,protein tinggi, tidak mengandung banyak serat 4) Kolaborasi pemberian antibiotik kloramfenikol dengan dosis tinggi. 2. Laparatomy a. Pengertian A laparatomy is a surgical incision into the abdominal cavity . (Health Web Site Advisory Committee http://www.urac.org) Exploratory laparatomy, the surgical exploration of the abdomen, is recommended whwn an abdominal desease from an unknown cause needs to be diagnosed, or when there is an injury to the abdomen (caused by a gunshot wound or stab wound, also known as blunt trauma) . (Health On the Net Foundation http://www.hon.com) A laparatomy is a large incision made into the abdomen (Encyclopedia of Surgery http://www.google.com) Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa laparatomy adalah suatu pembedahan pada rongga abdomen yang dilakukan untuk memeriksa nyeri atau trauma pada abdomen.

b. Tujuan Prosedur ini dapat di indikasikan pada klien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau klien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan. c. Indikasi Indikasi dilakukannya laparotomy diantaranya yaitu : 1) Kanker pada organ abdomen (seperti pada ovarium, kolon, pancreas, atau hati) 2) Peritonitis appendicitis 3) Kolelitiasis, kolesistitis 4) Pankreatitis akut atau kronik 5) Abses retroperitoneal, abdominal, atau pelvis (kantong/benjolan yang infeksi) 6) Divertikulitis (inflamasi kantong usus) 7) Adhesi (perlengketan jaringan pada abdomen) 8) Perforasi usus 9) Kehamilan ektopik (kehamilan di luar uterus) 10) Perdarahan internal 11) Trauma abdomen d. Manifestasi Klinis Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya : 1) Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan 2) Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi. 3) Kelemahan 4) Mual, muntah, anoreksia 5) Konstipasi e. Komplikasi 1) Perdarahan 2) Infeksi 3) Kerusakan organ internal 4) Adhesi organ visceral B. Konsep Keperawatan Proses keperawatan adalah proses yang terdiri dari lima tahap, yaitu pengkajian keperawatan, identifikasi / analisa masalah ( diagnosa keperawatan ), perencanaan, implementasi, dan evaluasi . ( Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 2 )

Lima tahapan proses keperawatan tersebut, yaitu : 1) Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap pertama dari proses keperawatan, dimana data-data dasar klien dikumpulkan. (Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 14)

Data dasar klien adalah kombinasi data yang dikumpulkan dari wawancara untuk pengambilan riwayat kesehatan klien ( metode mendapatkan informasi subjektif dengan berbicara pada klien dan / atau orang terdekat dan mendengarkan respon mereka ) ; pemeriksaan fisik ( mendapatkan informasi objektif dengan menggunakan tangan ) ; dan data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium/diagnostik. Pengkajian keperawatan pada klien post laparatomy meliputi : a) Biodata (1) Identitas Klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, tindakan medis. (2) Identitas Penanggungjawab Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien, sumber biaya.

b) Lingkup Masalah Keperawatan Keluhan utama : klien dengan post laparatomy ditemukan adanya keluhan nyeri pada luka post operasi, mual, muntah, distensi abdomen, badan terasa lemas. c) Riwayat Kesehatan (1) Riwayat Kesehatan Sekarang Riwayat kesehatan sekarang ditemukan pada saat pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST, yaitu : (a) P (Provokatif atau Paliatif), hal-hal yang dapat mengurangi atau memperberat. Biasanya klien mengeluh nyeri pada daerah luka post operasi. Nyeri bertambah bila klien bergerak atau batuk dan nyeri berkurang bila klien tidak banyak bergerak atau beristirahat dan setelah diberi obat. (b) Q (Quality dan Quantity), yaitu bagaimana gejala dirasakan nampak atau terdengar, den sejauh mana klien merasakan keluhan utamanya. Nyeri dirasakan seperti ditusuktusuk dengan skala 5 (0-10) dan biasanya membuat klien kesulitan untuk beraktivitas. (c) R (Regional/area radiasi), yaitu dimana terasa gejala, apakah menyebar? Nyeri dirasakan di area luka post operasi, dapat menjalar ke seluruh daerah abdomen. (d) S (Severity), yaitu identitas dari keluhan utama apakah sampai mengganggu aktivitas atau tidak. Biasanya aktivitas klien terganggu karena kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri luka post operasi. (e) T (Timing), yaitu kapan mulai munculnya serangan nyeri dan berapa lama nyeri itu hilang selama periode akut. Nyeri dapat hilang timbul maupun menetap sepanjang hari. (2) Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sebelumnya dan kapan terjadi. Biasanya klien memiliki riwayat penyakit gastrointestinal. (3) Riwayat kesehatan Keluarga Kaji apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan klien, penyakit turunan maupun penyakit kronis. Mungkin ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit gastrointestinal. d) Riwayat Psikologi

Biasanya klien mengalami perubahan emosi sebagai dampak dari tindakan pembedahan seperti cemas.

e) Riwayat Sosial Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain, dan tenaga kesehatan. Biasanya klien tetap dapat berhubungan baik dengan lingkungan sekitar. f) Riwayat Spiritual Pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan semangat dan keyakinan klien akan kesembuhannya dan secara umum klien berdoa untuk kesembuhannya. Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri luka post operasi. g) Kebiasaan Sehari-hari Perbandingan kebiasaan di rumah dan di rumah sakit, apakah terjadi gangguan atau tidak. Kebiasaan sehari-hari yang perlu dikaji meliputi : makan, minum, eliminasi Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK), istirahat tidur, personal hygiene, dan ketergantungan. Biasanya klien kesulitan melakukan aktivitas, seperti makan dan minum mengalami penurunan, istirahat tidur sering terganggu, BAB dan BAK mengalami penurunan, personal hygiene kurang terpenuhi.

h) Pemeriksaan Fisik (1) Keadaan Umum Kesadaran dapat compos mentis sampai koma tergantung beratnya kondisi penyakit yang dialami, tanda-tanda vital biasanya normal kecuali bila ada komplikasi lebih lanjut, badan tampak lemas. (2) Sistem Pernapasan Terjadi perubahan pola dan frekuensi pernapasan menjadi lebih cepat akibat nyeri, penurunan ekspansi paru. (3) Sistem Kardiovaskuler Mungkin ditemukan adanya perdarahan sampai syok, tanda-tanda kelemahan, kelelahan yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat. (4) Sistem Pencernaan Mungkin ditemukan adanya mual, muntah, perut kembung, penurunan bising usus karena puasa, penurunan berat badan, dan konstipasi. (5) Sistem Perkemihan Jumlah output urin sedikit karena kehilangan cairan tubuh saat operasi atau karena adanya muntah. Biasanya terpasang kateter.

(6) Sistem Persarafan

Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan dikaji semua fungsi nervus kranialis. Biasanya tidak ada kelainan pada sistem persarafan. (7) Sistem Penglihatan Diperiksa kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi, reflek pupil terhadap cahaya, visus (ketajaman penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan pada sistem penglihatan. (8) Sistem Pendengaran Amati keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya sekret/lesi, ada tidaknya nyeri tekan, uji kemampuan pendengaran dengan tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya tidak ada keluhan pada sistem pendengaran. (9) Sistem Muskuloskeletal Biasanya ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri. (10) Sistem Integumen Adanya luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit menurun akibat kurangnya volume cairan. (11) Sistem Endokrin Dikaji riwayat dan gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit endokrin, periksa ada tidaknya pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada keluhan pada sistem endokrin. i) Data Penunjang Pemeriksaan laboratorium : 1) Elektrolit : dapat ditemukan adanya penurunan kadar elektrolit akibat kehilangan cairan berlebihan 2) Hemoglobin : dapat menurun akibat kehilangan darah 3) Leukosit : dapat meningkat jika terjadi infeksi j) Terapi Biasanya klien post laparotomy mendapatkan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri, antibiotik sebagai anti mikroba, dan antiemetik untuk mengurangi rasa mual. 2) Diagnosa Keperawatan . Menurut Judith M. Wilkinson dalam Nursing Diagnosis Handbook (2005) Diagnosa yang muncul pada klien laparotomy ( pembedahan abdomen ) adalah: a) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan (b.d) ansietas, nyeri, posisi tubuh, penurunan energi atau kelelahan, kelelahan otot-otot respirasi. b) Ansietas b.d prosedur pembedahan, prosedur pra operasi, prosedur pasca operasi. c) Risiko aspirasi , faktor risiko b.d penurunan motilitas gastro intestinal, penekanan batuk, reflek muntah akibat anastesi atau analgetik. d) Gangguan citra tubuh b.d pembedahan. e) Ketidakefektifan pola nafas b.d nyeri, imobilitas, dan kondisi pasca anastesi. f) Ketegangan peran pemberi perawatan b.d keparahan penyakit penerima perawatan. g) Konstipasi b.d penurunan aktifitas, penurunan asupan cairan dan serat, kurang privasi, perubahan rutinitas harian, penurunan peristaltik akibat anastesi, dan analgesik narkotik. h) Ketakutan b.d hospitalisasi, ancaman nyata terhadap kesejahteraan diri, hasil prosedur pembedahan, yang tidak dapat diprediksikan, anastesi umum, hasil pembedahan, dan nyeri.

i) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan darah tidak normal, kehilangan cairan yang tidak normal (muntah), kegagalan mekanisme regulator. j) Risiko infeksi ; faktor risiko b.d statis cairan tubuh, perubahan peristaltik, respon inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, insisi pembedahan, dan kateter urin. k) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, pembatasan diet, peningkatan kebutuhan protein atau vitamin untuk penyembuhan. l) Perubahan membran mukosa mulut b.d nafas melalui mulut dan statis puasa akibat selang nasogastrik. m) Nyeri b.d insisi, distensi abdomen, dan imobilitas. n) Perubahan pola seksualitas atau disfungsi seksual b.d nyeri, transisi yang berkaitan dengan kesehatan, gangguan citra tubuh, perubahan fungsi atau struktur tubuh, reaksi dari pasangan, impotensi fisiologis, atau ketidakadekuatan lubrikasi vagina akibat pembedahan. o) Kerusakan integritas kulit b.d faktor mekanik, hambatan mobilitas fisik akibat nyeri dan jalur penusukan invasif, ekskresi atau sekresi, status gizi buruk, perubahan sensasi. p) Isolasi sosial b.d malu terhadap bau, penampilan, atau alat yang terpasang (misalnya : kantong ostomy), reaksi dari orang lain terhadap penampilan dan bau. q) Perubahan perfusi jaringan (gastro intestinal) b.d interupsi dari aliran arterial, masalah pertukaran, hipervolemia, dan hipovolemia.

3. Perencanaan / Intervensi Keperawatan Rencana tindakan berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul menurut Judith M. Wilkinson dalam Nursing Diagnosis Handbook (2005) adalah sebagai berikut: a. Inefektif bersihan jalan nafas b.d efek anastesi, Kriteria evaluasi : 1) Klien akan mempunyai kepatenan jalan nafas 2) Pengeluaran sekresi efektif 3) Respirasi dan ritme dalam batas normal 4) Fungsi pulmonali dalam batas normal 5) Mampu menyususn rencana untuk perawatan di rumah Intervensi Rasional 1. Manajemen jalan nafas : fasilitasi kepatenan jalan nafas. 2. Suction : pembuangan sekresi dengan memasukan katetersuction pada jalan nafas pasien dan/atau trachea. 3. Terapi oksigen : pemberian oksigen dan pemantauan efektivitas.

4. Posisi : tempatkan klien pada posisi yang nyaman dan semi fowler.

5. Pantau respirasi : kumpulkan dan analisa data pasien untuk meyakinkan kepatenan jalan nafas dan efektifitas pemberian oksigen. 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi. 2. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran beresiko terjadi aspirasi saliva dan pemberian oksigen tambahan diindikasikan dengan jalan nafas yang bersih. 3. Kerusakan otak irreversible bisa terjadi bila periode apneu terjadi lama dan kebutuhan oksigen tidak terpenuhi. 4. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka klien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi. 5. Bunyi nafas abnormal ( crackles, gurgles) indikasi utama terjadinya komplikasi hipoventilasi. Peningkatan frekuensi nafas, takipneu, sianosis atau kelemahan indikasi hipovolemia. Deteksi dini dan pelaporan segera menunjang penanganan secara cepat. b. Ansietas b.d prosedur pembedahan, prosedur preoperative. Criteria evaluasi : 1) Klien akan menunjukan kemampuan focus pada pengetahuan baru dan skill 2) Identifikasi gejala sebagai indicator kecemasan sendiri 3) Tidak menunjukan prilaku agresiv 4) Berkomunikasi dan penanganan perasaan negative dengan tepat 5) Rileks dan nyaman dalam beraktivitas Intervensi Rasional 1. Monitor klien tanda dan gejala insietas saat pengkajian keperawatan 2. Fokuskan diskusi pada stressor yang mempengaruhi kondisi pasien

3. Diskusikan persepsi klien akan prosedur pembedahan, ketakutan yang berhubungan dengan operasi 4. Berikan informasi prosedur sebelum operasi, penyakit klien, dan persiapan operasi. 1. Pengkajian seksama kondisi pasien dengan ansietas memungkinkan perawat membuat priorotas perawatan. 2. Focus diskusi memfasilitasi kemampuan pasien untuk menyatakan ketakutan dan perasaan yang dirasakan dan membengun hubungan terapeutik.

3. Diskusi akan persepsi dan ketakutan membuat pasien mengekspresikan diri sendiri dan mengeksplore pengetahuannya. 4. Tindakan untuk menambah pengetahuan dan reduksi ansietas. c. Resiko terhadap infeksi b.d penurunan motilitas dan penekanan reflek batuk dan menelan. Criteria evaluasi : 1) Temperature/suhu normal ( 360C 370C ) 2) WBC dalam keadaan normal 3) Tidak menunjukan tanda-tanda infeksi : nyeri, kemerahan, peningkatan suhu, bengkak, terganggunya fungsi Intervensi Rasional 1. Berikan antibiotik sesuai indikasi. Biasanya langsung sebelum pembedahan dimulai 2. Kaji infeksi pernafasan : - Auskultasi paru-paru setiap 2 jam dan identifikasi bunyi nafas normal - Kaji sputum, warna, konsistensi, jumlah. - Observasi peningkatan temperatur dan WBC 3. Observasi luka pembedahan setiap hari untuk tanda2 dan gejala infeksi seperti kemerahan, edema, nyeri, drainage, peningkatan suhu. Juga observasi tanda2 infeksi sistemik antara lain demam, lemah, leukositisis atau takikardi 4. Monitor tanda2 peritonitis pada klien, seperti peningkatan temperatur, nyeri, hebat, mual dan muntah, positif kernigs dan brudzinskis, potopobia, iritabilitas. Barengi dengan CT scan dan fungsi lumbal. 1. Infeksi luka terjadi 0,7-5,7 % dalam bedah saraf. 2. Proses pembedahan dapat mendorong terjadinya atelektasis dam hipoksia. Dehidrasi menyebabkan sputum kering sehingga peningkatan pnemonia

3. Kulit kpala nekrosis, wound dehiscence, kebocoran CSF, ketidaklancaran drain, terjadinya gatal-gatal dan perubahan pada klien dan faktor lingkungan meningkatkan resiko infeksi pada luka pasien poscraniotomi. 4. Klien yang beresiko terjadinya akut inflamatori meningitis dalam otak atau spinal cord yaitu luka kranial atau spinal yang infeksi d. Gangguan body image b.d pembedahan, situasi krisis : Criteria hasil : 1) Klien akan dapat mengidentifikasikan kekuatan personal 2) Mengetahui situasi dan hubungan personal dan gaya hidup 3) Mempertahankan interaksi social dan hubungan personal 4) Pengetahuan actual dalam perubahan anggota tubuh Intervensi Rasional

1. Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan non verbal mengenai tubuhnya. 2. Bantu klien untuk adaptasi mempersepsikan stressor, perubahan, atau menangani bila ada konflik antara peran dan gaya hidup. 3. Siapkan klien untuk antisipasi krisis perkembangan atau situasi.

4. Dorong persepsi dan tingkah laku positif terhadap tubuh 1. Klien mungkin takut atau salah paham akan efek pembedahan maka diperlukan klarifikasi mengenai apa yang dikeluhkan pasien. 2. Tindakan untuk memperbaiki koping dan menolong klien menjadi tahu perubahan bodi image sementara akibat pembedahan. 3. Intervensi spesifik untuk meminimalisir perubahan bodi image yang dapat membuat klien merasakan ketidaksadaran akan dirinya. 4. Tindakan memberi stimulasi dan koping adaptif dalam menghadapi perubahan anggota tubuh.

e. Inefektif pola nafas b.d nyeri, immobilisasi. Criteria hasil : 1) Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal 2) Kepatenan jalan nafas adekuat 3) Status tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi Rasional 1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas 2. Kaji pucat dan sianosis 3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan

4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan 5. Posisikan klien dengan semi fowler

6. Suction sesuai kebutuhan 1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi. 2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis

3. Hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan tekanan arterial oksigen secara parsial. 4. Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan. 5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal, menghindari aspirasi. 6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas.

f. Resiko konstipasi b.d penurunan aktifitas, penurunan intake cairan dan serat, penurunan peristaltic akibat anastesi. Criteria evaluasi : 1) Menggambarkan perbaikan diet (cairan dan serat) yang tepat untuk mempertahankan pola BAB seperti biasa. 2) Menunjukan hidrasi adekuat (turgor kulit baik, intake cairan sesuai dengan output) 3) Melaporkan saat BAB tidak nyeri dan kesulitan dalam mengejan. Intervensi Rasional 1. Dokumentasikan pola bab, aktifitas dan medikasi. 2. Kaji dan dokumentasikan post operatif : - warna dan konsistensi BAB - flatus - ada atau tidaknya bising usus dan distensi abdomen. 3. Informasikan pada klien kemungkinan pemberian obat untuk mengatasi konstipasi 4. Jelaskan efek cairan dan serat untuk pencegahan konstipasi. 5. Berikan privasi dan keamanan bagi klien pada saat BAB. 1. Indicator kembalinya fungsi gastrointestinal, mengidentifikasi ketepatan intervensi. 2. Pendidikan kesehatan dalam penjelasan prosedur pemberian tindakan

3. Tindakan motivasi untuk melakukan konsumsi cairan dan serat untuk 4. Meningkatkan konsistensi feses dan pengeluaran feses. 5. Penjagaan privasi memberikan kenyamanan dalam BAB

g. Ketakutan b.d stressor lingkungan atau hospitalisasi, hasil pembedahan, efek anastesi.

Kriteria evaluasi : Pasien akan menunjukan kontrol ketakutan dengan sarana sebagai berikut : 1) Informasi adekuat untuk mengurangi ketakutan. 2) Hindari penyebab takut 3) Gunakan teknik relaksasi 4) Pertahankan peran sosial dan hubungan personal 5) Menjadi produktif. Intervensi Rasional 1. Kaji secara subjektif dan objektif mengenai respon ketakutan 2. Informasikan kepada klien mengenai penyakit, proses perjalanan penyakit, komplikasi dan penanganan. 3. Sediakan perawatan segera, jelaskan intervensi untuk klien dengan bentuk singkat 4. Manajemen lingkungan dengan menjaga stabilitas lingkungan, keamanan dan kenyamanan. 5. Dorong verbalisasi mengenai perasaan akan perubahan status kesehatan. 6. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi 1. Keadaan yang ada pada pasien dengan ketakutan dapat mengakibatkan isolasi diri. 2. Wawasan tambahan bagi keluarga dan klien sehingga dapat berpartisipasi dalam penanganan pemulihan pasien. 3. Penanganan segera menurunkan resiko isolasi sosial dan informasi prosedur perawatan membantu untuk mengatasi ketakutan. 4. Stabilitas lingkungan menunjang menurunkan stressor lingkungan 5. Tindakan motivasi pengungkapan perasaan sebagai indikator hubungan terapeutik 6. Penggunaan agen pharmacologi untuk meningkatkan istirahat dan mengurangi ansieas h. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal. Criteria hasil : 1) Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal. 2) Urine output dalam batas normal 3) Hasil hemodinamika dalam batas normal Intervensi Rasional 1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan. Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4 jam. Laporkan sebagai berikut : - urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam

- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam 2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut : - osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg - osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg - serum sodium, lebih dari 145 mEq/L - peningkatan level BUN dan hematokrit 3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic. Perhatikan adanya : - Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T memendek.

- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah 4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi. 1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi kekurangan. - urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat. - Indikasi adanya deficit volume cairan 2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan. Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi. 3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila terjadi kondisi yang fatal. - Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium. - Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output menunjukan preload insuffisiensi.

4. Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena pottasium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan. i. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d nausea dan vomiting, pembatasan diet. Kriteria hasil : 1) Klien akan menunjukan berat badan normal sesuai kondisi. 2) Status nutrisi : keseimbangan diet intake makanan dan cairan 3) Mempertahankan body mass 4) Memiliki nilai laboratorium dalam batas normal (albumin, transferrin, dan elektrolit) Intervensi Rasional 1. Berikan klien diet tinggi protein, sesuai kebutuhan 2. Monitor hasil laboratorium khususnya transferrin, albumin dan elektrolit 3. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi 4. Dampingi dengan ketetapan keseimbangan deit intake makanan dan cairan 5. Fasilitasi penambahan berat badan 6. Berikan magnesium sulfate sesuai indikasi 1. Diet tinggi protein membantu mamberikan efek cadangan dalam malnutrisi. 2. Pengkajian penunjang yang essensial untuk mengetahui evaluasi status nutrisi klien. 3. Identifikasi bantuan parsial atau total dalam pemenuhan kebutuhan diri/ adl 4. Tindakan pemenuhan keseimbangan nutrisi dengan reguler time/schedule/jadwal untuk pasien agar pemantauan intake efektif. 5. pengkajian dasar menentukan terpenuhi/ tidak kebutuhan nutrisi. 6. Magnesium sulfate meningkatkan efektifitas thiamine. j. Kerusakan membrane mukosa mulut b.d nasogastrik tube Kriteria evaluasi : 1) Klien akan menunjukan kenyamanan dalam makan dan minum. 2) Integritas kulit dan mukosa membrane (bebas dari lesi jaringan, sensasi normal). 3) Hygiene mulut baik. Intervensi Rasional 1. Identifikasi factor iritasi seperti alcohol, makan, rokok, medikasi, temperature makanan yang terlalu panas. 2. Kaji pemahaman kliien dan kemampuan untuk perawatan mulut. 3. Berikan perawatan mulut setelah makan sesuai kabutuhan.

4. Anjurkan untuk menghindari merokok dan konsumsi alcohol. 1. Iritasi memperberat kerusakan membrane mukosa sehingga control terhadap factor harus dilakuakan 2. Tindakan evaluasi pengetahuan dan aplikasi kebiasaan perawatan mulut 3. Perawatan mulut mereduksi resiko infeksi dengan pertahanan sirkulasi untuk membrane mukosa dan penurunan bakteri mulut. 4. Alcohol, dan nikotin memproduksi plak digigi dan membuat kering serta iritasi mukosa. k. Gangguan nyaman nyeri b.d insisi, distensi abdomen, immobilisasi. Kriteria evaluasi : 1) kliien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam mencapai kenyamanan 2) Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi (skala 0-10) 3) Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik 4) Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri 5) Mengakui faktor penyebab sehingga dapat menggunakan pengukuran untuk mencegah nyeri akibat

Intervensi Rasional 1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi 2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 10. 3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi, visualisasi dan aktivitas terapeutik. 4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus. 5. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan. 6. Instruksikan klien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat. 7. Informasikan klien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan koping adaptif. 1. Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri. 2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan. 3. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.

4. Laporan klien merupakan indikator terpercaya mengenai eksistensi dan intensitas nyeri pada klien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera. 5. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri. 6. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan nyeri secara segera setelah dilaporkan. 7. Tindakan persiapan kondisi klien sebelum prosedur dan membantu klien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri. l. Inefektif disfungsi seksual b.d nyeri yang bertransisi, gangguan bodi image. Criteria evaluasi : 1) Klien akan menunjukan kemauan mendiskusikan perubahan fungsi seksual. 2) Meminta informasi yang dibutuhkan tentang perubahan fungsi seksual. Intervensi Rasional 1. Monitor indicator resolusi disfungsi seksual (kapasitas intimasi) 2. Berikan informasi yang tepat untuk mengatasi disfungsi seksual (pasoman antisipasi, materi adukasi, latihan reduksi stress,focus konseling) 3. Diskusikan penyakit, situasi sehat, dan medikasi yang berpengaruh terhadap seksualitas. 4. Bantu klien untuk menyatakan perasaan akan perubahan seksualitas akibat sakitnya. 1. Perubahan status kesahatan / hospitalisasi berpengaruh pada hubungan seksualitas, menggali factor penyebab disfungsi. 2. Informasi actual merubah persepsi dan menurunkan tingkat kecemasan akan perubahan. 3. Evaluasi pengetahuan mengenai penyakit dan pengaruh terhadap hubungan seksualitas pasien. 4. Berbagi perasaan dapat membantu mengatasi pertahanan diri selama proses perubahan yang ahrus dialami. m. Kerusakan integritas kulit b.d insisi pembedahan, perubahan sensasi. Criteria evaluasi: 1) Klien akan menunjukan perwatan optimal kulit dan luka secara rutin 2) Menunjukan intgritas kulit dan membrane mukosa adekuat ( temperature jaringan, elastisitas, hidrasi, pigmentasi, dan warna) Intervensi Rasional 1. Monitor karakteristik luka meliputi lokasi, ada/tidaknya dan karakter eksudat, ada/tidaknya jaringan nekrotik, ada/tidaknya tanda-tanda infeksi (nyeri, bengkak, kemerahan, peningkatan sushu, penurunan fungsi) 2. Bersihkan dan ganti balutan (wound care) luka dengan teknik steril 3. Minimalisir penekanan pada bagian luka

4. Evaluasi factor yang meningkatkan kerusakan kulit seperti, deficit nutrisi, diabetes mellitus, infeksi, penurunan sensasi. 1. Permulaan pengkajian yang merupakan langkah awal utnuk memberikan perawatan individual. Penemuan abnormal dapat menjadi data untuk masalah dan dapat digunakan untuk pedoman perencanaan perawatan 2. Pencegahan komplikasi luka terhadap kontaminasi silang dan membantu penyembuhan luka. 3. Pencegahan kerusakan kulit merupakan salah satu penanganan mudah masalah sebelum kerusakan kulit berkembang 4. klien dengan kondisi post pembedahan beresiko tinggi mengalami komplikasi. Evaluasi segera dapat menjadi ukuran pencegahan dan penanganan dini. n. Inefektif perfusi jaringan (gastrointestinal) b.d interupsi aliran arterial, hipervolemia, hipovolemia. Criteria evaluasi : 1) Klien akan menunjukan intake nutrisi dan cairan adekuat 2) Melaporkan kecukupan energi 3) Eliminasi BAB dalam keadaan normal (warna, jumlah, konsistensi dan pola) 4) Status sirkulasi adekuat (perfusi jaringan perifer adekuat, TD dalam batas normal, tidak terjadi distansi vena juguralis) 5) Menunjukan hidrasi yang normal (tidak terjadi asites dan udema perifer, abnormal haus tidak terjadi, demam tidak ada) Intervensi Rasional 1. Monitor tanda-tanda vital

2. Monitor level serum elektrolit 3. Jaga laporan akuran mengenai intake dan output

4. Kaji tanda-tanda perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, membrane mukosa, sianosis. 5. Pantau status nutrisi dengan menimbnag berat badan setiap hari. 6. Berikan tambahan cairan dan elektrolit sesuai indikasi Pasang NGT jika diperlukan 1. Peningkatan nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu menunjukan hipovolemia sehingga mengakibatkan kekurangan volume cairan 2. Evaluasi keakuratan data untuk perancanaan tindakan keperawatan yang komprehensif 3. Identifikasi status keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan dan kekurangan yang bisa mengakibatkan syok hipovolemik.

4. Tindakan mengontrol keadaan nutrisi untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan energi atau malnutrisi 5. Penggantian cairan dan elektrolit apabila terjadi syok hipivolemik 6. Sarana bagi pasien yang tidak mampu intake nutrisi dari oral Asuhan Keperawatan Pada KLien Ny. A Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Post Laparotomy Akibat Kolelitiasis di R VIII RSUD XXMonday, December 21, 2009 11:11 AMBAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar 1. Kolelitiasis a. Pengertian Kolelitiasis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu ; batu empedu memiliki ukuran, bentuk, dan komposisi yang sangat bervariasi . (Brunner & Suddarth, 2002 : 1205) Kolelitiasis, yaitu batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu . (Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 521) Cholelithiasis yaitu adanya pembentukan batu dalam kandung empedu . (Charlene J. Reeves, ect, 2001 : 150) Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kolelitiasis adalah pembentukan batu dalam kandung empedu, dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau campuran yang memiliki ukuran, bentuk, dan komposisi yang bervariasi.

b. Anatomi dan Fisiologi Kandung empedu adalah sebuah kantong berbentuk terong dan merupakan membrane berotot. Letaknya di dalam sebuah lekukan di bawah lobus kanan hati. Panjangnya 8-12 cm. Kandung empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan, dan leher, serta terdiri atas tiga pembungkus : 1) Di sebelah luar pembungkus serosa peritoneal 2) Di sebelah tengah jaringan berotot tak bergaris 3) Di sebelah dalam membran mukosa, yang bersambung dengan saluran empedu. Membran mukosanya memuat sel epitel silinder yang mengeluarkan sekret musin dan cepat mengabsorpsi air dan elektrolit, tetapi tidak garam empedu atau pigmen, kerena itu empedunya menjadi pekat. Gambar 1 : Saluran pencernaan Sumber : AMA's Current Procedural Terminology, Revised 1998 Edition. CPT is a trademark of the American Medical Association. Copyright 1999 American Medical Association Gambar 2 : Saluran pencernaan bagian bawah

Sumber : National Digestive Diseases Information Clearinghouse http://www.nddic.nih.gov Duktus sistikus (saluran empedu) kira-kira 3,5 cm panjangnya. Berjalan dari leher kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus (saluran hepatica) sambil membentuk duktus koledokus/duktus komunis biliaris (saluran empedu umum) ke duodenum. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri (bagian duktus yang melebar pada tempat menyatu) sebelum bermuara ke duodenum. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu (getah empedu). Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dan garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira sepuluh kali lebih pekat daripada empedu hati. Secara berkala kandung empedu mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsang terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Susunan dan fungsi getah empedu : 1) Getah empedu Adalah cairan alkali yang disekresi oleh sel hati. Jumlah yang setiap hari dikeluarkan dalam seseorang ialah 500-1000 cm3, sekresinya berjalan terus menerus, tetapi jumlah produksi dipercepat sewaktu pencernaan, khususnya sewaktu pencernaan lemak. Sekitar 80 % dari getah empedu terdiri atas garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, musin, dan zat lainnya. Fungsi kholeretik menambah sekresi empedu. Fungsi kholagogi menyebabkan kandung empedu mengosongkan diri. 2) Pigmen empedu Pigmen ini dibentuk di dalam sistem retikulo-endotelium (khususnya limpa dan sumsum tulang) dari pecahan hemoglobin yang berasal dari sel darah merah yang rusak dan dialirkan ke hati yang kemudian diekskresikan ke dalam empedu. Pigmen ini dihantarkan oleh empedu ke usus halus, beberapa menjadi sterkobilin, yang mewarnai feses dan beberapa diabsorpsi kembali oleh aliran darah dan membuat warna pada urin, yaitu urobilin. Pigmen empedu hanya merupakan bahan ekskresi dan tidak mempunyai pengaruh atas pencernaan. 3) Garam empedu Bersifat digestif dan memperlancar kerja enzim lipase dalam memecah lemak. Garam empedu juga membantu pengabsorpsian lemak yang telah dicernakan (gliserin dan asam lemak) dengan cara menurunkan tegangan permukaan dan memperbesar daya tembus endothelium yang menutupi vili usus. c. Klasifikasi

Ada dua tipe utama batu empedu, yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu yang terutama tersusun dari kolesterol. 1) Batu Pigmen (kalsium bilirubinat) Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) akibat gangguan metabolisme sehingga terjadi batu. Batu ini berukuran kecil, warna hitam atau coklat, biasanya bergerombol. 2) Batu Kolesterol Terjadi akibat gangguan metabolisme kolesterol dan garam empedu dimana terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap, dan membentuk batu. Batu ini berukuran besar, warna kuning pucat, dapat bergerombol atau tunggal. d. Etiologi Penyebab yang jelas belum diketahui tetapi beberapa faktor etiologi dapat diidentifikasi : 1) Batu Pigmen Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan bilier, dimana terbentuknya bilirubin yang berlebihan. Batu ini dapat terjadi akibat faktor : a) Statis Karena adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit b) Infeksi saluran empedu Seperti Escherichia coli, maka kadar enzim -glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kemudian kalsium mengikat blirubun menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. 2) Batu Kolesterol Para ilmuwan meyakini bahwa batu kolesterol terbentuk ketika empedu terlalu jenuh oleh kolesterol, bilirubin berlebihan, atau kurangnya garam empedu, serta ketika kandung empedu tidak dapat mengosongkan isinya karena suatu alasan tertentu (hipomotilitas kandung empedu) 3) Faktor Lain a) Obesitas Obesitas mengurangi pengosongan kandung empedu dan garam empedu sehingga menyebabkan pembentukan batu empedu. b) Estrogen Estrogen sebagai akibat kehamilan, penggunaan terapi hormone, pil KB akan meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu dan mengurangi gerakan kandung empedu sehingga terjadi pembentukan batu empedu. c) Suku bangsa Suku tertentu mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan kolesterol tinggi dalam empedu yang menyebabkan pembentukan batu empedu. d) Jenis Kelamin Wanita antara usia 20-60 tahun dua kali lebih besar kemungkinan mengalami batu empedu dibandingkan pria.

e) Usia Mereka yang berusia di atas 60 tahun lebih besar kemungkinan mengalami batu empedu dibandingkan dengan usia lebih muda. f) Obat penurun kolesterol Obat yang mengurangi kadar kolesterol dalam darah sebenarnya justru meningkatkan jumlah sekresi kolesterol dalam empedu dan menjadi risiko terbentuknya batu empedu g) Diabetes Penderita diabetes cenderung mengalami peningkatan kadar trigliserid yang mempermudah terjadinya batu empedu h) Kehilangan berat badan cepat Kehilangan berat badan yang cepat dapat menyebabkan pengeluaran lebih banyak kolesterol oleh hati dan menyebabkan pembentukan batu. i) Puasa Puasa menyebabkan gerakan kandung empedu lambat dan menyebabkan empedu menjadi pekat sehingga mempermudah terjadinya batu empedu. e. Patofisiologi Ada dua tipe utama batu empedu : batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu yang terutama tersusun dari kolesterol. Batu pigmen. Batu ini kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi. Batu kolesterol. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu. f. Manifestasi Klinis Manifestasi yang biasa tampak pada pasien dengan penyakit kolelitiasis antara lain : 1. Rasa nyeri dan kolik bilier Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan ; biasanya disertai dengan mual dan muntah. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. 2. Iktrerus akibat tersumbatnya duktus koledokus.

Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum menyebabkan getah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. 3. Perubahan warna urin dan feses Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu. 4. Defisiensi vitamin Obstruksi aliran empedu mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak. g. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien kolelitiasis dapat dilakukan dengan intervensi bedah dan non bedah. 1) Non Bedah a) Penatalaksanaan pendukung dan diit (1) Mencapai perbaikan dengan istirahat, cairan IV, penghisapan nasogastrik, analgesik, dan antibiotik (2) Diit segera setelah serangan biasanya cairan rendah lemak. b) Farmakoterapi (1) Analgesik seperti meperidin mungkin dibutuhkan ; hindari penggunaan morfin karena dapat meningkatkan spasme sfingter Oddi (2) Asam senodeoksikolik (chenodiol) adalah efektif dalam menghancurkan batu kolesterol utama (3) Tindak lanjut jangka panjang dan pemantauan enzim-enzim hepar harus dilakukan. c) Litotripsi (1) Litotripsi syok gelombang ekstrakorporeal : Kejutan gelombang berulang yang diarahkan pada batu empedu yang terletak di dalam kandung empedu atau duktus empedu komunis untuk memecahkan batu empedu. (2) Litotripsi syok gelombang intrakorporeal : batu dapat dipecahkan dengan ultrasound, tembakan laser, atau litotripsi hidrolik yang dipasang melalui endoskopi yang diarahkan pada batu empedu. 2) Bedah a) Koleksistektomi : kandung empedu diangkat setelah ligasi duktus sistikus dan arteri sistikus. b) Minikoleksistektomi : kandung empedu diangkat melalui insisi 4 cm c) Koleksistektomi laparoskopi : dilakukan melalui insisi kecil atau pungsi yang dibuat melalui dinding abdomen dalam umbilicus. d) Koledokostomi : insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. e) Kolesistostomi : Kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan. h. Pemeriksaan Diagnostik 1) Foto abdomen : menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu. 2) Ultrasonografi : mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi

3) Pencitraan radionukleida : mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier 4) Endoskopi Retrograde Kolangio Pankreatografi (ERCP) : memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledokus melalui duodenum 5) Perkutaneus Transhepatik Kolangiografi (PTC) : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pancreas (bila ikterik ada) 6) Kolesistogram : menyatakan batu pada sistem empedu 7) CT-Scan : dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi dan non obstruksi 8) Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri. i. Komplikasi 1) Ikterik (kulit, sklera) 2) Nekrosis kandung empedu 3) Obstruksi intestinal 4) Perdarahan 5) Peritonitis bila terjadi ruptur

2. Laparatomy a. Pengertian A laparatomy is a surgical incision into the abdominal cavity . (Health Web Site Advisory Committee http://www.urac.org) Exploratory laparatomy, the surgical exploration of the abdomen, is recommended whwn an abdominal desease from an unknown cause needs to be diagnosed, or when there is an injury to the abdomen (caused by a gunshot wound or stab wound, also known as blunt trauma) . (Health On the Net Foundation http://www.hon.com) A laparatomy is a large incision made into the abdomen (Encyclopedia of Surgery http://www.google.com) Berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa laparatomy, disebut juga laparatomy eksplorasi adalah suatu pembedahan pada rongga abdomen yang dilakukan untuk memeriksa nyeri pada abdomen yang belum diketahui penyebabnya atau pada trauma abdomen dan perlu didiagnosa. b. Tujuan Peosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila diindikasikan. c. Indikasi Indikasi dilakukannya laparotomy diantaranya yaitu : 1) Kanker pada organ abdomen (seperti pada ovarium, kolon, pancreas, atau hati) 2) Peritonitis appendicitis 3) Kolelitiasis, kolesistitis 4) Pankreatitis akut atau kronik 5) Abses retroperitoneal, abdominal, atau pelvis (kantong/benjolan yang infeksi)

6) Divertikulitis (inflamasi kantong usus) 7) Adhesi (perlengketan jaringan pada abdomen) 8) Perforasi usus 9) Kehamilan ektopik (kehamilan di luar uterus) 10) Perdarahan internal 11) Trauma abdomen

d. Patofisiologi e. Manifestasi Klinis Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya : 1) Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan 2) Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi. 3) Kelemahan 4) Mual, muntah, anoreksia 5) Konstipasi f. Perawatan Post Operasi Perawatan post operasi secara umum antara lain : 1) Memantau tanda-tanda vital 2) Mempertahankan volume sirkulasi adekuat 3) Memantau keadaan luka terhadap tanda-tanda infeksi (kemerahan, nyeri sekitar insisi, bengkak), dan keadaan drainase 4) Melakukan perawatan luka secara rutin 5) Meredakan rasa nyeri 6) Memperbaiki status nutrisi secara bertahap 7) Membantu meningkatkan aktivitas secara bertahap g. Komplikasi 1) Perdarahan 2) Infeksi 3) Kerusakan organ internal 4) Adhesi organ viseral B. Konsep Keperawatan Shore menyatakan bahwa asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah. (Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 6) Proses keperawatan adalah proses yang terdiri dari lima tahap, yaitu pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi, dan evaluasi . (Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 2)

Lima tahapan proses keperawatan tersebut, yaitu : 1. Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap pertama dari proses keperawatan, dimana data-data dasar klien dikumpulkan. (Marilynn E. Doenges, ect, 1999 : 14) Data dasar klien adalah kombinasi data yang dikumpulkan dari wawancara untuk pengambilan riwayat kesehatan klien (metode mendapatkan informasi subjektif dengan berbicara pada klien dan/atau orang terdekat dan mendengarkan respon mereka) ; pemeriksaan fisik (mendapatkan informasi objektif dengan menggunakan tangan) ; dan data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium/diagnostik. Pengkajian keperawatan pada klien post laparatomy meliputi :

a. Biodata 1) Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, tindakan medis. 2) Identitas Penanggungjawab Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien, sumber biaya. b. Lingkup Masalah Keperawatan Keluhan utama : klien dengan post laparatomy ditemukan adanya keluhan nyeri pada luka post operasi, mual, muntah, distensi abdomen, badan terasa lemas. c. Riwayat Kesehatan 1) Riwayat Kesehatan Sekarang Riwayat kesehatan sekarang ditemukan pada saat pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST, yaitu : a) P (Provokatif atau Paliatif), hal-hal apa yang menyebabkan gejala dan apa saja yang dapat mengurangi atau memperberatnya. Biasanya klien mengeluh nyeri pada daerah luka post operasi. Nyeri bertambah bila klien bergerak atau batuk dan nyeri berkurang bila klien tidak banyak bergerak atau beristirahat dan setelah diberi obat. b) Q (Quality dan Quantity), yaitu bagaimana gejala dirasakan nampak atau terdengar, den sejauh mana klien merasakan keluhan utamanya. Nyeri dirasakan seperti ditusuktusuk dengan skala 5 (0-10) dan biasanya membuat klien kesulitan untuk beraktivitas. c) R (Regional/area radiasi), yaitu dimana terasa gejala, apakah menyebar? Nyeri dirasakan di area luka post operasi, dapat menjalar ke seluruh daerah abdomen. d) S (Severity), yaitu identitas dari keluhan utama apakah sampai mengganggu aktivitas atau tidak. Biasanya aktivitas klien terganggu karena kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri luka post operasi. e) T (Timing), yaitu kapan mulai munculnya serangan nyeri dan berapa lama nyeri itu hilang selama periode akut. Nyeri dapat hilang timbul maupun menetap sepanjang hari. 2) Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sebelumnya dan kapan terjadi. Biasanya klien memiliki riwayat penyakit gastrointestinal. 3) Riwayat kesehatan Keluarga

Kaji apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan klien, penyakit turunan maupun penyakit kronis. Mungkin ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit gastrointestinal. d. Riwayat Psikologi Biasanya klien mengalami perubahan emosi sebagai dampak dari tindakan pembedahan seperti cemas. e. Riwayat Sosial Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain, dan tenaga kesehatan. Biasanya klien tetap dapat berhubungan baik dengan lingkungan sekitar. f. Riwayat Spiritual Pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan semangat dan keyakinan klien akan kesembuhannya dan secara umum klien berdoa untuk kesembuhannya. Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri luka post operasi. g. Kebiasaan sehari-hari Perbandingan kebiasaan di rumah dan di rumah sakit, apakah terjadi gangguan atau tidak. Kebiasaan sehari-hari yang perlu dikaji meliputi : makan, minum, eliminasi Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK), istirahat tidur, personal hygiene, dan ketergantungan. Biasanya klien kesulitan melakukan aktivitas, seperti makan dan minum mengalami penurunan, istirahat tidur sering terganggu, BAB dan BAK mengalami penurunan, personal hygiene kurang terpenuhi.

h. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum Kesadaran dapat compos mentis sampai koma tergantung beratnya kondisi penyakit yang dialami, tanda-tanda vital biasanya normal kecuali bila ada komplikasi lebih lanjut, badan tampak lemas. 2) Sistem Pernapasan Terjadi perubahan pola dan frekuensi pernapasan menjadi lebih cepat akibat nyeri, penurunan ekspansi paru. 3) Sistem Kardiovaskuler Mungkin ditemukan adanya perdarahan sampai syok, tanda-tanda kelemahan, kelelahan yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi meningkat. 4) Sistem Pencernaan Mungkin ditemukan adanya mual, muntah, perut kembung, penurunan bising usus karena puasa, penurunan berat badan, dan konstipasi. 5) Sistem Perkemihan Jumlah output urin mungkin sedikit karena kehilangan cairan tubuh saat operasi atau karena adanya muntah. Biasanya terpasang kateter. 6) Sistem Persarafan Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan dikaji semua fungsi nervus kranialis. Biasanya tidak ada kelainan pada sistem persarafan. 7) Sistem Penglihatan

Diperiksa kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi, reflek pupil terhadap cahaya, visus (ketajaman penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan pada sistem penglihatan. 8) Sistem Pendengaran Amati keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya sekret/lesi, ada tidaknya nyeri tekan, uji kemampuan pendengaran dengan tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya tidak ada keluhan pada sistem pendengaran. 9) Sistem Muskuloskeletal Biasanya ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri. 10) Sistem Integumen Adanya luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit menurun akibat kurangnya volume cairan. 11) Sistem endokrin Dikaji riwayat dan gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit endokrin, periksa ada tidaknya pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada keluhan pada sistem endokrin. i. Data Penunjang Pemeriksaan laboratorium : 1) Elektrolit : dapat ditemukan adanya penurunan kadar elektrolit akibat kehilangan cairan berlebihan 2) Hemoglobin : dapat menurun akibat kehilangan darah 3) Leukosit : dapat meningkat jika terjadi infeksi j. Terapi Biasanya klien post laparotomy mendapatkan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri, antibiotik sebagai anti mikroba, dan antiemetik untuk mengurangi rasa meal. 2. Diagnosa Keperawatan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat. (Marilynn E. Doenges, ect, 1999: 8) Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien post laparatomy adalah : a. Inefektif pola napas berhubungan dengan penurunan ekspansi pare, nyerii. b. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan melalui muntah, diare, penghisap Nasogastrik/ intestinal. c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah, distensi abdomen, adanya selang Nasogastrik. d.. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan. e. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif adanya luka insisi pembedahan dengan kemungkinan kontaminasi. f. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan atau mengabsorpsi, status puasa. g. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan insisi bedah.

h. Konstipasi berhubungan dengan efek-efek anestesi, manipulasi pembedahan, ketidakaktifan fisik, immobilisasi. i. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kelemahan, kehilangan mobilitas j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dam kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpapar informasi, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi. 3. Perencanaan/Intervensi Keperawatan Rencana keperawatan merupakan bukti tertulis dan tahap dua dan tiga proses keperawatan yang mengidentifikasi masalah/kebutuhan klien, tujuan/hasil perawatan, dan intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan menangani masalah/kebutuhan klien. (Marilynn E. Doengoes, ect, 1998: 82) Di bawah ini rencana tindakan keperawatan beserta rasionalnya berdasarkan permasalahan yang muncul. a. Inefektif pola napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri 1) Definisi Keadaan dimana seorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual dan potensial yang berhubungan dengan perubahan pola pemapasan 2) Batasan karakteristik a) Mayor. (1) Perubahan dalam frekuensi atau pola pernapasan (2) Perubahan pada nadi (frekuensi, irama, kualitas) b) Minor : (1) Ortopnea (2) Takipnea, hiperpnea, hiperventilasi (3) Pernapasan disritmik (4) Pernapasan sukar/berhati-hati 3) Kriteria hasil Klien akan menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia lainnya (takikardi dan/atau bradikardi, meningkatnya pernapasan) 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1 2

7 Mandiri Pertahankan jalan napas klien dengan memiringkan kepala, hiperekstensi rahang Auskultasi suara napas

Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan Pantau tanda-tanda vital

Letakkan klien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan dan jenis pembedahan

Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan Kolaborasi Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan Mencegah obstruksi jalan napas

Kurangnya suara napas adalah indikasi adanya obstruksi oleh mukus atau lidah dan dapat diatasi dengan mengubah posisi ataupun penghisapan Memastikan efektifitas pernapasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan Meningkatnya pernapasan, takikardia, dan/atau bradikardi menunjukkan kemungkinan terjadinya hipoksia Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma Obstruksi jalan napas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea Meningkatkan atau memaksi-malkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang menggantikan tempat gas anestesi dan mendorong pengeluaran gas tersebut melalui zat-zat inhalasi 123 8 Berikan obat-obatan IV seperti Nalokson (Narkan) atau Doksapram (Dopram) Narkan akan mengubah induksi narkotik yang menekan susunan saraf pusat dan Dopram menstimulasi gerakan otot-otot pernapasan.

b. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan melalui muntah, diare, penghisap Nasogastrik/intesfinal. 1) Definisi Keadaan dimana individu berisiko mengalami dehidrasi vaskular, interstisial, atau intraselular 2) Batasan karakteristik a) Mayor : (1) Ketidakcukupan masukan cairan oral (2) Ketidakseimbangan antara masukan dan haluaran (3) Penurunan berat badan (4) Kulit/membran mukosa kering b) Minor : (1) Peningkatan natrium serum (2) Penurunan haluaran urin atau haluaran urin berlebihan (3) Urin memekat atau seeing berkernib (4) Penurunan turgor kulit (5) Haus/mual/anoreksia 3) Kriteria hasil Klien akan mempertahankan hidrasi adekuat dengan membran mukosa lembab, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, tenda vital stabil, dan haluaran urin adekuat.

4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1

2 3

5 6 Mandiri Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi, tekanan darah, dan takipnea. Periksa balutan dan luka dengan sering selama 24 jam pertama terhadap tanda-tanda merah atau bengkak berlebihan Palpasi nadi perifer, evaluasi pengisian kapiler, turgor kulit, dan status membran mukosa Pantau masukan dan haluaran, timbang berat badan setiap hari

Perhatikan adanya distensi abdomen Observasi / catat kuantitas, jumlah, dan karakter drainase NGT Pantau suhu Tanda-tanda awal hemoragi usus dan/atau pembentukan hematoma, yang dapat menyebabkan syok hipovolemik

Memberikan informasi tentang volume sirkulasi umum dan tingkat hidrasi

Indikator langsung dari hidrasi/perfusi organ dlan fungsi dan memberikan pedoman untuk penggantian cairan Perpindahan cairan dan ruang vaskuler menurunkan volume sirkulasi dan merusak perfusi ginjal Haluaran cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidak-seimbangan elektrolit Demam rendah umum terjadi 123

8 9

Kolaborasi Pertahankan patensi penghisap Nasogatrik/usus

Pantau pemeriksaan labora-torium, misal Hb/Ht, elektrolit Berikan cairan elektrolit sesuai indikasi selama 24-48 jam pertama dan dapat menambah kehilangan cairan Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan distensi/tekanan pada garis jahitan dan menurunkan mtial/muntah Memberikan informasi tentang hidrasi dan kebutuhan penggantian Mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan elektrolit c. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah, distensi abdomen, adanya selang Nasogastrik. 1) Definisi

Suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan berat atau sensasi tak nyaman, berakhir dari satu detik sampai kurang dan enam bulan. 2) Batasan karakteristik a) Mayor Komunikasi (verbal stair kode) dari pemberi gambaran nyeri b) Minor (1) Perilaku melindungi, protektif (2) Memfokuskan pada diri sendiri (3) Penyempitan fokus (perubahan persepsi, menarik diri dari kontak sosial, kerusakan proses pikir) (4) Perilaku distraksi (merintih, menangis, mondar-mandir, mencari orang lain dan/atau aktivitas, gelisah) (5) Wajah tampak menahan nyeri (mata tak bersemangat, gerakan terfiksasi atau menyebar, meringis) (6) Perubahan pada tonus otot (dapat berkisar dari malas sampai kaku) (7) Respons otonom tidak tampak pada nyeri kronik yang stabil (diaforesis, peruhahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, peningkatan atau penurunan frekuensi napas) 3) Kriteria hasil a) Klien melaporkan nyeri hilang/terkontrol b) Klien tampak rileks, mampu beristirahat/tidur dengan tepat 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1

2 Mandiri Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10) dan faktor pemberat / penghilang Anjurkan klien untuk melaporkan nyeri segera saat mulai Nyeri insisi bermakna pada fase awal pasca operasi, diperberat oleh gerakan, batuk, distensi abdomen, mual. Intervensi dini pada kontrol nyeri memudahkan pemulihan otot/jaringan dengan menurun-kan tegangan otot dan memperbaiki sirkulasi 123 3

5 6

8 Pantau tanda-tanda vital

Kaji insisi bedah, perhatikan adanya edema

Berikan tindakan kenyamanan, teknik relaksasi Pertahankan kepatenan selang Nasogastrik/drainase intestinal Ambulasikan klien sesegera mungkin Kolaborasi Berikan analgetik sesuai indikasi Respon autonomik meliputi perubahan pada tekanan darah, nadi, dan pernapasan, yang berhubungan dengan keluhan/ penghilangan nyeri. Perdarahan pada jaringan, bengkak, inflamasi lokal, atau terjadinya infeksi dapat menyebabkan peningkatan nyeri insisi Menurunkan tegangan otot, meningkatkan relaksasi Obstruksi selang dapat me-ningkatkan distensi abdomen yang dapat meningkatkan nyeri Menurunkan masalah yang terjadi karena immobilisasi, misal tegangan otot, tertahan-nya flatus Mengontrol/mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat d. Intoleran aktivitas berhubugan dengan nyeri post operasi, kelemahan sekunder terhadap pembedahan 1) Definisi Penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai ke tingkat yang diinginkan

2) Batasan Karakteristik a) Mayor (1) Perubahan respon fisiologis terhadap aktivitas ; pernapasan (dispnea, hyperpnea, penurunan frekuensi) (2) Nadi (lemah menurun atau meningkat berlebihan, perubahan irama, gagal untuk kembali ke tingkat aktivitas setelah tiga menit) (3) Tekanan darah (gagal meningkat dengan aktivitas, diastolik meningkat lebih dari 15 mmHg) b) Minor (1) Kelemahan, kelelahan, pucat/sianosis (2) Kacau mental (3) Vertigo 3) Kriteria Hasil Klien akan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, dengan tanda klien mampu beraktivitas secara progresif dan kemampuan melakukan aktivitas 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1 2 3 Mandiri Kaji kemampuan klien untuk melakukan aktivitas Beri motivasi klien untuk beraktivitas Awasi tanda vital sebelum dan setelah aktivitas

Membantu menentukan intervensi Membantu meningkatkan semangat klien untuk meningkatkan aktivitasnya Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa sejumlah oksigen yang adekuat ke jaringan 123 4

6 7

9 Beri penjelasan pentingnya mobilisasi dini Ajarkan dan bantu klien untuk mobilisasi dini, tingkatkan aktivitas secara bertahap, misal bantu klien untuk posisi miring kanan-kiri, duduk, berdiri, dan berjalan Ubah posisi klien secara perlahan dan pantau terhadap adanya peningkatan rasa nyeri Anjurkan klien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, keletihan, nyeri yang hebat Gunakan teknik penghematan energi, misal : duduk pada saat Bedah adalah konsep menakutkan bagi setiap orang menghadapi pisau. Banyak dari kita yang telah menjalani operasi berbagai telah menjalankan keseluruhan pertanyaan tentang angka kematian, jaringan parut, waktu pemulihan dan setelah efek, tetapi apakah Anda pernah ditanya tentang dehiscence? Sampai beberapa operasi perut terakhir, saya belum pernah mendengar istilah itu. Sekarang, berkat pengalaman menakutkan saya, Saya seorang ahli tentang penyebab dan perawatan dari dehiscence. Dehiscence adalah realitas operasi yang mempengaruhi sekitar 112 dari 1000 pasien bedah dan dapat terjadi pada Anda. Dehiscence adalah komplikasi operasi. Definisi dehiscence adalah pembukaan kembali tidak disengaja dari luka. Ini pembukaan kembali biasanya terjadi antara 7 dan 10 hari pasca operasi dan membawa resiko yang sangat tinggi infeksi dan bahkan kematian jika tidak ditangani. Penyebab dehiscence tergantung pada jenis operasi dan pembukaan bedah yang terlibat dalam perawatan Anda. Dalam kasus saya, misalnya, 10 histerektomi abdominal saya inci luka dibuka kembali karena drainase dari kista dihapus bahwa pemikiran ahli bedah hanya jaringan parut. Kasus lain dari dehiscence berhubungan dengan diabetes, usia meningkat, kegemukan, infeksi luka, penutupan luka yang buruk dan cedera luka setelah penutupan.

Dehiscence biasanya tidak terjadi tanpa semacam tanda dan gejala disajikan sebelum kerusakan luka yang sebenarnya. Tanda-tanda dan gejala dapat termasuk memar luka mengutip, mengutip rasa sakit, diare, demam, radang kulit, muntah, discharge luka dan kerusakan kulit di sekitar area luka. Setelah operasi, beberapa gejala dapat dikaitkan dengan proses pemulihan normal. Menjaga perhatian ke daerah luka sangat penting seperti yang memperingatkan ahli bedah atau dokter jika Anda merasa luka tidak sembuh benar. Setelah luka telah dibuka atau dehiscence telah terjadi, Anda perlu berhati-hati dari daerah itu dan akan diminta untuk mengambil antibiotik oral selama paling sedikit 10 hari. Perawatan luka dehiscence meliputi perubahan rias sering basah, irigasi di daerah tersebut dan kemasan basah kain kasa steril. Luka perlu awalnya dibersihkan oleh dokter, jika tidak, pasca perawatan dehiscence dapat dilakukan oleh salah seorang perawat di rumah atau teman atau anggota keluarga. Untuk instruksi perawatan di kedalaman Anda dapat mengunjungi "Cara Perawatan Untuk Luka Open." Dehiscence luka adalah realitas kebanyakan pasien tahu sedikit tentang. Sedang disiapkan untuk semua komplikasi yang mungkin timbul dari proses bedah Anda akan membantu Anda tetap informasi tentang proses penyembuhan dan siap untuk semua masalah yang mungkin terjadi. melakukan aktivitas tertentu Kolaborasi Berikan obat analgetik sesuai advice Meningkatkan pemahaman klien agar mampu beraktivitas sesuai rentang yang dapat ditoleransi Mobilisasi dini dan pening-katan aktivitas secara bertahap dapat memperbaiki toleransi aktivitas, memperbaiki tonus otot tanpa kelelahan Membantu klien beraktivitas sesuai rentang yang dapat ditoleransi Regangan secara tiba-tiba dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang tidak dapat ditoleransi klien Mendorong klien melakukan banyak aktivitas dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan Membantu mengurangi rasa nyeri e. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, adanya luka insisi pembedahan dengan kemungkinan kontarninasi. 1) Definisi Suatu keadaan dimana seorang individu berisiko terserang oleh agen patogenik atau oportunistik (virus, jamur, bakteri, protozoa, atau parasit lain) dare berbagai sumber baik dari dalam maupun dari luar tubuh. 2) Batasan karakteristik a) Subjektif

(1) Kaji keluhan (a) Demam terus menerus atau intermitten (b) Infeksi sebelumnya (c) Nyeri atau pembengkakan b) Objektif (1) Adanya luka (pembedahan, terbakar, invasif, terluka sendiri) (2) Suhu meningkat (3) Status nutrisi 3) Kriteria hasil Klien akan mencapai pemulihan luka tepat waktu ; bebas dari drainase purulen atau eritema dan demam. 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 Mandiri Pantau tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan suhu Observasi penyatuan luka, kateter drainase, Demam 38,3C dari awitan tiba-tiba dan disertai dengan menggigil, kelelahan, kelemahan, takipnea, takikardi, dan hipotensi menandakan syok septik. Peningkatan suhu 4-7 hari setelah pembedahan sering menandakan abses luka atau kebocoran cairan dari sisi anastomosis 123 2 3

4 Observasi penyatuan luka, kateter drainase, adanya inflamasi Pertahankan perawatan luka aseptik. Pertahankan balutan kering Kolaborasi Berikan antibiotik sesuai indikasi Perkembangan infeksi dapat memperlambat pemulihan Melindungi klien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah menyerap kontaminan eksternal Diberikan secara proilaktik untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhan organisms penyebab infeksi f. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan atau mengabsorpsi, status puasa. 1) Definisi

Suatu kondisi dimana individu berada atau mengalami risiko penurunan berat badan karena ketidakadekuatan masukan oral maupun peningkatan kebutuhan metabolisme. 2) Batasan karakteristik a) Mayor Seseorang yang dilaporkan mengalami ketidakcukupan masukan oral atau mengalami penurunan berat badan b) Minor (1) Berat badan menurun 10-20 % di bawah normal dan tinggi serta kerangka tubuh tidak ideal (2) Lipatan kulit trisep, lingkar lengan atas dan lingkar otot pertengahan lengan kurang dare 60 % normal (3) Kelemahan dan nyeri otot (4) Mudah tersinggung dan bingung (5) Penurunan albumin serum (6) Penurunan transferin/kapasitas pengikat zat besi 3) Kriteria hasil Klien akan mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan penambahan berat badan yang diinginkan dengan normalisasi nilai laboratorium dan tak ada tanda-tanda malnutrisi 4) lntervensi No Intervensi Rasional 123 1

2 3 4 Mandiri Tinjau faktor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan mencerna/makan makanan, missal status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepaskan Timbang berat badan sesuai indikasi. Catat masukan dan haluaran Auskultasi bising usus, palpasi abdomen Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diit dari klien. Anjurkan pilihan makanan tinggi protein dan vitamin C Mempengaruhi pilihan inter-vensi

Mengidentifikasi status cairan serta memastikan kebutuhan metabolic Menentukan kembalinya peristaltik (biasanya dalam 2-4 hari) Meningkatkan kerja sama klien dengan aturan diit. Protein dan vitamin C adalah kontributor utama untuk pemeliharaan jaringan dan perbaikan. 123 5 6 7

8 Kolaborasi Pertahankan patensi selang Nasogastrik Berikan terapi cairan IV Berikan antiemetik atau antasida sesuai indikasi

Konsul dengan Alli diit, tim pendukung nutrisi. Mempertahankan dekompresi lambung, meningkatkan istirahat/pemulihan usus Memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit Antiemetik mencegah muntah, antasida menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi Bermanfaat dalam menge-valuasi dan memenuhi kebutuhan diit individu

g. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan insisi bedah. 1) Definisi Suatu kondisi dimana, seseorang mengalami atau berada pada kondisi rusaknya jaringan integumen 2) Batasan karakteristik

a) Mayor (1) Kerusakan pada integumen (2) Invasi struktur tubuh b) Minor (1) Lesi, eritema (2) Edema (3) Pruritus 3) Kriteria hasil Klien mencapai pemulihan luka tepat waktu tanpa komplikasi 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1

3 4

Mandiri

Beri penguatan pada balutan awal/penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik aseptik yang ketat Secara hati-hati lepaskan perekat (sesuai arah pertumbuhan rambut) dan pembalut pada waktu mengganti Lakukan perawatan luka secara teratur dengan teknik aseptik Gunakan sealant/barrier kulit sebelum perekat jika diperlukan. Gunakan perekat yang halus (hipoalergik) untuk membalut luka yang membutuhkan pergantian balutan yang sering Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit

Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka Melindungi luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi. Mencegah akumulasi cairan yang dapat menyebabkan ekskoriasi Mengurangi risiko trauma kulit dan gangguan pada luka

Memfasilitasi penyembuhan luka secara optimal Menurunkan risiko terjadinya trauma kulit atau abrasi dan memberikan perlindungan tambahan untuk kulit atau jaringan yang halus. Pengenalan akan adanya kegagalan Proses penyem-buhan luka/berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius Menurunnya cairan menandakan adanya evolusi dari proses penyembuhan, apabila penge-luaran cairan terus menerus atau adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya kompli-kasi 123 7

8 9

10 Tekan areal atau insisi abdominal dan dada dengan menggunakan bantal selama batuk atau bergerak Ingatkan klien untuk tidak menyentuh daerah luka Kolaborasi Berikan es pada daerah luka jika dibutuhkan

Berikan antibiotik sesuai indikasi Menetralisasi tekanan pada luka, meminimalkan risiko terjadinya rupture/dehisens Mencegah kontaminasi luka Menurunkan pembentukan edema yang mungkin menyebabkan tekanan yang tidak dapat diidentifikasi pada luka Diberikan secara profilaktik untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhan organisme penyebab infeksi h. Konstipasi berhubungan dengan efek-efek anestesi, manipulasi pembedahan, ketidakaktifan fisik, immobilisasi 1) Definisi Suatu keadaan dimana inidividu mengalami atnu berisiko tinggi mengalmi statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang dan keras. 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Bentuk feces keras (2) Defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu b) Minor (1) Penurunan bising usus (2) Keluhan rektal penuh (3) Keluhan tekanan pada rectum (4) Mengejan dan nyeri waktu defekasi (5) Perasaan pengosongan yang tidak adekuat 3) Kriteria hasil Klien menunjukkan pola eliminasi (defekasi) yang adekuat 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1 2

4 Mandiri Auskultasi bising usus Anjurkan klien meningkatkan aktivitas

Tingkatkan faktor-faktor yang membantu memperbaiki pola eliminasi (diit tinggi serat, masukan cairan yang adekuat) Kolaborasi Berikan pelunak feses, suposituria gliserin sesuai indikasi Adanya bising usus menunjuk-kan kembalinya peristaltik Aktivitas mempengaruhi eliminasi usus dengan memperbaiki tonus otot abdomen dan merangsang nafsu makan serta peristaltic Serat membantu merangsang peristaltik. Masukan cairan yang adekuat diperlukan untuk meningkatkan konsistensi feses Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan/evakuasi feses

i. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kelemahan, kehilangan mobilitas 1) Definisi Keadaan dimana individu mengalami kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif menyebabkan penurunan kemampuan dalam melakukan setiap aktivitas perawatan diri 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Tidak mampu makan sendiri (2) Tidak marnpu mandi sendiri (termasuk menggosok gigi, menggunting kuku, mengikat rambut, dan memakai kosmetik) (3) Tidak mampu memakai baju sendiri (4) Tidak mampu melakukan toileting sendiri (5) Tidak mampu memakai peralatan sendiri 3) Kriteria hasil

Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan fisiknya. 4) lntervensi No Intervensi Rasional 123 1 2

3 4 Mandiri Kaji kemampuan saat ini dan hambatan untuk partisipasi dalam perawatan Ikutsertakan Mien dalam formulasi rencana perawatan pada tingkat kemampuan Dorong perawatan diri, bekerja dengan kemampuan yang sekarang Berikan perawatan fisik sesuai kebutuhan Mengidentifikasi kebutuhan intervensi yang diperlukan Meningkatkan perasaan kontrol dan meningkatkan kerja sama dan perkembangan kemandirian Melakukan untuk dirinya sendiri akan meningkatkan perasaan harga diri. Perawatan dasar penting untuk mempertahankan hygiene yang baik saat klien tidak dapat melakukannya sendiri j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan 1) Definisi Suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami kekurangan pengetahuan kognitif atau keterampilan psikomotor mengenai suatu keadaan dan rencana tindakan pengobatan. 2) Batasan karakteristik a) Mayor (1) Menyatakan kurang pengetahuan atau keterampilan/meminta informasi. (2) Mengekspresikan persepsi yang tidak akurat terhadap kondisi kesehatannya. (3) Menampilkan secara tidak tepat perilaku sehat yang diinginkan atau yang sudah ditentukan.

b) Minor (1) Kurang integrasi rencana tindakan ke dalam kegiatan sehari-hari (2) Menunjukkan atau mengekspresikan gangguan psikologis, misal cemas, depresi yang diakibatkan oleh salahnya informasi atau kurang informasi 3) Kriteria hasil Klien mengungkapkan pemahaman proses penyakit dan perawatan yang dianjurkan serta berpartisipasi dalam program pengobatan 4) Intervensi No Intervensi Rasional 123 1

2 3 Mandiri Tinjau ulang prosedur dan harapan pasca operasi Diskusikan pentingnya masu-kan cairan adekuat, kebutuhan diit Demonstrasikan perawatan luka/mengganti balutan yang tepat Memberikan dasar pengeta-huan dimana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi Meningkatkan penyembuhan dan narmalisasi fungsi usus Meningkatkan penyembuhan, menurunkan resiko infeksi, memberikan kesempatan untuk mengobservasi pemulihan luka 123 4 Identifikasi gejala-gejala yang memerlukan evaluasi medis, seperti demam menetap, bengkak, eritema, atau terbukanya tepi luka Tinjau ulang pembatasan aktivitas, misal tidak mengangkat benda berat selama 6-8 minggu, meng-hindari latihan/olahraga keras Anjurkan peningkatan aktivitas bertahap sesuai toleransi dan keseimbangan dengan periode istirahat yang adekuat Pengenalan dini dari komplikasi dan intervensi segera dapat mencegah progresi situasi serius Menurunkan resiko regangan/ trauma insisi, pembentukan hernia

Mencegah kelelahan, merang-sang sirkulasi dan normalisasi fungsi organ, meningkatkan penyembuhan 4. Implementasi Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan ; melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan. (Marilynn E. Doenges, ect, 1998 : 105) 5. Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dan proses keperawatan. Proses kontinyu yang penting untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang diberikan, dilakukan dengan meninjau respons klien untuk menentukan keefektifan rencana perawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. (Marilynn E. Doenges, ect, 1998 : 119).

You might also like