You are on page 1of 11

Tugas Zoonosis Veteriner

TEKNIK PENGENDALIAN FILARIASIS


Oleh: KELOMPOK 4-A

YUSNI MULYANA BARADILLAH ABDYAD RENI AYUNANDA SASTIKA RANI SYINTA RAMADHANI TIA ZALIA BTB ABDUL HAYI AMARTA A. MEGI SATRIA AFRIO ARISMAN

( 1002101010122 ) ( 1002101010125 ) ( 1002101010123 ) ( 1002101010118 ) ( 1002101010121 ) ( 1002101010129 ) ( 1002101010124 ) ( 1002101010130 ) ( 1002101010131 )

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2012

A. Pengertian Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005). B. Etiologi Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori (Gandahusada, 1998). C. Vektor Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostrismerupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit, dan tempat istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat perindukan nyamuk berbedabeda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya (zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda (Depkes RI, 2005). D. Hospes 1. Manusia Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi

karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998). 2. Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005) E. Cara Penularan Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250m x 10-17m dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300m x 15-30m dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400m x 20m. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).

Gambar. Cara Penularan

F. Pola Penyebaran Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa. Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba. Brugia timorii tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara (Gandahusada, 1998). G. Gejala Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut) ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis) ditandai dengan pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap (Depkes RI, 2005). H. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan Filariasis Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah: 1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara. 2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan. 3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. 4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular. 5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur. Cara Pencegahan 1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).

2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air (Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut. 3. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk. 4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine); Pengobatan ini terbukti lebih efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap bulan menggunakan DEC dosis rendah (25-50 mg/kg BB) selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g garam) selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis (lihat Onchorcerciasis, reaksi Marzotti). Ivermectin dan Albendazole juga telah digunakan; saat ini, pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif. Cara mengatasi

Untuk mengatasi hal ini di Indonsia sudah mulai diterap-kan dengan pemberian pengobatan dengan dosis rendah yangtelah dirintis dengan penelitian oleh team FKUI di Flores(Partono dkk.) dan disusul oleh penelitian-penelitian lainnya(Haryani, Lifwarni dll.) Gagasan pengobatan dosis rendah initimbul karena berhasilnya pengobatan filariasis di pulauKinmen (Taiwan) dengan cara pemberianmedicated salt. Karena di Indonesia cara ini diperkirakan akan menemuikesukaran (filariasis banyak terdapat di daerah pantai danorang banyak yang memakai garam buatan sendiri), makadicoba pemberian dosis rendah seminggu sekali sejumlah50 mg untuk dewasa dan 25 mg untuk anak-anak yang lebihdapat diramalkan masukan obatnya. Dengan cara ini efek samping dapat ditekan sehingga minimal teratasi.Masalah terbesar dari cara ini adalah lamanya waktu pengobatan yang mencapai kurang lebih satu tahun. Maka ke-mudian dilakukan berbagai penelitian untuk mengurangi jangka waktu itu dan mendidik beberapa tokoh masyarakatmelalui penyuluhan untuk melakukan pembagian obatnya.Pengobatan dengan medicated salt juga dapat berhasil (Har-yani). Penelitian dengan dosis rendah ini hingga sekarang masihdilakukan. Meskipun sudah ada kata sepakat bahwa peng-obatan filariasis sebaiknya dilakukan dengan dosis rendah,namun masih dilakukan berbagai penelitian untuk menetapkan lamanya pengobatan dan jarak antara pemberian obat,dan peran serta masyarakat dalam pengobatan ini.Masalah ke tiga adalah penjangkauan penduduk yang di-obati (coverage). Meskipun orang bersedia minum obat,namun sukar sekali untuk rnencapai coverage 100%. Sering-kali ada saja orang yang tidak ada di tempat waktu ada pem- berian obat,

karena sedang ada di ladang, sedang pergi kedaerah lain ataupun untuk sementara menetap di daerah lainuntuk sekolah atau bekerja. Meskipun obat diberikan, di-sangsikan apakah obat tadi diminum atau tidak. Orang-orangini jika kembali dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain.Selain dari itu, setelah pengobatan selesai, ada saja orangdari daerah lain (yang positif) masuk karena perkawinan, bekerja, sekolah dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini, maka pengobatan harus di ulang-ulang dari masa ke masa sampaisemua daerah telah terjangkau oleh pengobatan. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor filariasis di Indonsia belum dilaku-kan secara khusus. Pengendalian vektor dapat dilakukandengan berbagai cara: pengendalian secara kimiawi dan nonkimiawi misajnya pengendalian vektor dengan pengelolaanlingkungan, pengendalian vektor secara biologik dan genetik. Pengendalian vektor secara kimiawi Dalam pengendalian vektor secara kiiniawi digunakan ber- bagai bahan kimia untuk membunuh ataupun menghambat pertumbuhan serangga.Di Indonsia hingga sekarang yang banyak dipakai dalam pengendalian vektor malaria yang seringkali sekaligus dapatmengendalikan vektor filariasis, adalah penggunaan insektisidayang ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa dengancara penyemprotan tempat menggigit dan tempat istirahatvektor. Hal ini seringkali tidak mencapai sasaran, karena yang biasanya disemprot adalah rumah tinggal, sedangkan nyamuk menggigit atau istirahat di luar rumah, dan pada filariasisinfeksi seringkali terjadi jauh dari pemukiman misalnya diladang dan tepi hutan, yang tidak terjangkau oleh insektisida.Selain dari itu, karena vektor filariasis di Indonesia me-nyangkut lebih dari 20 spesies nyamuk dengan bionomik yangberbeda-beda pula, cara penyemprotan tidak dapat di-seragamkan sebelum ada datayang lengkap tentang bionomik vektor. Masalah lain adalah terjadinya resistensi vektor ter-hadap insektisida yang digunakan yang kebanyakan telahdiketahui pada vektor malaria, sehingga perlu diadakan alter-natif-alternatif cara pemberantasan lain atau menggunakaninsektisida lain. Penyemprotan pada waktu ini terutama di-lakukan terhadap vektor malaria dan pengendalian vektor filariasis dapat terjadi sebagai efek samping atau bonusnya. Pengendalian vektor secara non kimiawi Pengendalian vektor filariasis secara ini di Indonesia se- benarnya secara khusus belum dilakukan. Yang sudah terjadiadalah efek samping dari pengelolaan lingkungan yang dituju-kan untuk hal lain terutama untuk pertanian seperti per-ubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga mengurangitempat perindukan nyamuk, atau membersihkan batangbatang air dari tumbuh-tumbuhan air seperti Echornia cras- sipes dan Pistia,kangkung dan rumput-rumput yang jugamengurangi tempat perindukan nyamuk. Sebaliknya per-ubahan lingkungan dapat juga menambah tempat perinduk-an. Di daerah transmigrasi digali berbagai saluran air di daerah pemukiman, yang kemudian dimasuki tumbuh-tumbuhan air,sehingga tempat perindukan nyamuk lebih mendekati pe-mukiman. Pembuatan kolam ikan di dekat rumah yang diberitumbuh-tumbuhan air, juga mendekatkan tempat perindukannyamuk pada pemukiman. Cara mengurangi kontak antara vektor dan manusia didaerah pedesaan masih belum terlaksana, terutama karenamasih kurang pengertian masyarakat dan keadaan ekonomiyang rendah. Pemakaian kelambu masih belum difahamikegunaannya, dan penduduk seringkali hanya memakaikelambu bila dingin. Juga penggunaan repellent seperti minyak sereh belum

membudaya di Indonesia. Untuk cara pengendalianini masih diperlukan penyuluhan yang baik.Pengendalian vektor filariasis secara biologik di Indonesia belum dilakukan. Untuk vektor malaria pengendalian vektor dengan memakai ikan sebagai pemangsa sedang diteliti secara- luas. Pemakaian patogen seperti Bacillus thuringiensis dan Nematoda Romanomermis baru dalam taraf penelitian labo-ratorium saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengendalianvektor filariasis di Indonsia secara biologik masih dalam penelitian dini sekali.Dengan demikian dapat 'dikatakan bahwa pengendalianvektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara baik .Cara-cara yang dapat dikembangkan adalah :1) Penggunaan insektisida, yang didahului dengan penelitian bionomik vektor, sehingga penyemprotan dapat mencapaisasarannya.2) Pengendalian vektor secara non kimiawi dengan cara pengelolaan lingkungan, balk untuk mengurangi, menghilang-kan tempat perindukan ataupun mencegah, atau menghindarikontak dengan vektor. Untuk hal ini perlu kerjasama lintassektoral dan yang lebih penting adalah peranserta masyarakatyang dapat ditingkatkan melalui penyuluhanpenyuluhanyang adekuat. Pengendalian Hospes Reservoir

Hingga sekarang belum ada data tentang pengendalianhospes reservoir filariasis di Indonesia. Kera merupakan hewanyang dilindungi, sehingga sukar untuk membunuhnya secara besar-besaran. Selain dari itu kera yang menjadi vektor fila-riasis sangat liar dan sukar ditangkap. Barangkali pengendaliandapat dilakukan dengan menjauhkan kera dari manusia, se-hingga nyamuk yang didekat manusia tidak terkena infeksidari kera itu. Kucing sebagai hospes reservoir juga merupakanmasalah yang tidak mudah dipecahkan. Jika mungkin barang-kali dilakukan pengobatan masal pada kucing-kucing, tapi jangkauan akan jauh lebih rendah daripada manusia. Pemberantasan Filariasis Melalui Bioteknologi

Penggunaan bioteknologi dalam pemberantasan filariasisdi Indonsia masih dalam taraf penelitian dini. Yang sedangdikembangkan pada waktu ini adalah penggunaan bioteknologidalam hal imunologi untuk lebih memahami patogenesis penyakit, imunodiagnosis dan deteksi vektor di lapangan. I. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya 1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang: di daerah endemis tertentu di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, Kelas 3 C (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Laporan penderita disertai dengan informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya wilayah transmisi di suatu daerah. 2. Isolasi: tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan. 3. Desinfeksi serentak: tidak ada. 4. Karantina: tidak ada. 5. Pemberian imunisasi: tidak ada. 6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi: dilakukan sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan masyarakat (lihat 9 A dan 9 C). 7. Pengobatan spesifik: Pemberian diethylcarbamazine (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine) dan Ivermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mikrofilaria dalam jumlah sedikit mungkin saja muncul kembali setelah pengobatan. Dengan demikian

pengobatan biasanya harus diulangi lagi dalam interval setahun. Mikrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik konsentrasi. DEC, umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria; reaksi ini biasanya di atasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid. Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi karena matinya cacing dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala sisa pada sistem limfa yang disebabkan oleh infeksi bakteri. J. Penanggulangan Wabah Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan dalam penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang tidak lengkappun dengan menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang. K. Teknik Pengendalian Filariasis 1. Pengendalian secara alami (Natural Control) Gunung, lautan, danau dan sungai yang luas merupakan rintangan penyebaran serangga, Ketinggian tertentu menyebabkan serangga tidak tahan hidup, Musim, cuaca panas, dingin, kering, tanah tandus, angin besar, dan curah hujan tinggi. Burung, katak, cicak, binatang lain yang memangsa serangga. 2. Pengendalian secara buatan (Artificial / applied control) Dilakukan Pengendalian atas usaha manusia. Macam-macampengendalian buatan yaitu : Lingkungan (Environmental control) Mengelola lingkungan (enviromental management) yaitu mengatur lingkungan sehingga tidak cocok dan membatasi Modifikasi lingkungan (Enviromental perkembangan vektor. Modification cara ini paling aman terhadap lingkungan karena tidak merusak keseimbangan alam dan tidak mencemari lingkungan tetapi harus dilakukan terus menerus. 3. Manipulasi Lingkungan (Enviromental Manipulation) Lingkungan (enviromental manipulation)Membersihkan dan memelihara secara fisik tempat perindukan atau tempat istirahat serangga. Mengelola lingkungan sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vektor Modification Lingkungan Tidak merusak keseimbangan alam, tidak mencemari lingkungan, harus dilakukan terus menerus Pengaturan sistem irigasi Penaganan sampah Pengaliran air tergenang hingga kering. 4. Pengendalian secara Mekanik Cara ini dapat dilakukan dengan gerakan 3M (mengubur kaleng-kaleng atau tempattempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan lingkungan yang berpotensial dijadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp.

5. Pengendalian secara Biologi Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organism pemangsa, parasit,pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp.Misalnya ikan pemangsa larva (ikan kepala timah, gambusia ikan mujaer, nila) di bakdan tempat yang tidak bisa ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau. Larva dapat dimakan oleh ikan tersebut. Mengembangbiakkan dan memanfaatkan pemangsa dan parasit sebagai musuh secara alami serangga Pengendali larva nyamuk : Nematoda: Ramanomermis iyengari & Ramanomermis culiciforax menembus tubuh larva dan hidup sebagai parasit sehingga larva mati Bakteri : Bacillus thuringiensis untuk Anopheles Bacillus sphaerincus untuk Cx. quinquefasciatus Protozoa : Pleistophora culicis dan Nosema algerae Jamur : Langenidium giganticum dan Coelomyces stegomydae untuk larva nyamuk Tolypocladium cylindrosporum utk larva nyamuk & larva lalat Virus : Cytoplasmic polyhidrosis untuk larva kupu-kupu 6. Pengendalian secara Kimiawi Insektisida adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk memberantas serangga. Berdasarkan stadium serangga yang dibunuhnya maka insektisida serta ovisida yang PermetrhineMerupakan senyawa ditujukan untuk membunuh telurnya. insektisida piretroid generasi ketiga pertama yang bersifat fotostabil, dan pada awalnya digunakan dalam pertanian. Daya kontaknya cepat, dan daya residunya sedang hingga baik. Toksisitas iritasi pada mamalia rendah, sehingga banyak diminati pada program pengendalian hama pemukiman. Senyawa ini tidak menyebabkan iritasi pada manusia sehingga tepat digunakan untuk pengendalian vector penyakit. 7. Pengendalian secara genetik Tujuan: mengganti populasi serangga yang berbahaya dengan polulasi baru yang tidak merugikan.Mengubah kemampuan reproduksi serangga : jantandisebut sterile male technic release:bahan kimia (TEPA) dan radiasi (Cobalt 60) merusak DNA kromosom sperma tanpa mengganggu proses pematangan, Radiasi dapat juga mengubah letak susunan kromosom : chromosome translocation, antimitotik, antimetabolit, bazarone (ekstrak tanaman jantan dan betinaJantan dan betina Aeorus calamus). di alam disterilkan menggunakan chemosterilants dicampur makanan kesukaan serangga. Telah dicoba pada lalat rumah (Musca domestica) yang diberi TEPA dicampur 67% tepung jagung, 15% gula, 15% susu bubuk dan 2,5% tepung telur.

KEPUSTAKAAN Arbain Joesoef, JHCross. Distribution and prevalence of cases of microfilaria in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Publ.Hlth. 1978; 9 : 4808.2. Brug SL. Filariasis in Nederlandsch Indie I. Geneesk. T. Ned. Ind.1928; 68 681704.3. Chin James. 2000. Manual pemberantasan penyakit menular.Bakti husada.Jakarta Lie KJ, Rees DM. Filariasis in Indonesia: distribution, incidenceand vectors. Proc. Int. Congr. Med. and Malaria, Lisbon, 1958;11 : 360.4. Lim Boo Liat, M. Sudomo, JW Mak. Studies of filariasis in KebanAgung and Gunung Agung villages in Southeast Bengkulu, Suma-tera, Indonesia V; Animal filariasis. Hemera Zoa, 1984; 71 : (3)199.5. Lim Boo Liat. Distribution of Brugia malayi in relation to lands-cape ecology, reservoir hosts and mosquito vectors in Indonesia,Tropical Biomedicine, 1985; 2 : 3439.6. Mak JW, Cheong WH, Yen PKF, Lim PKC, Chan WG. Studieson the epidemiology of subperiodic Brugia malayi in Malaysia:Problems in its control Acta Tropica., 1982; 39 : 23745.7. Mak JW, Yen PKF, Lim PKC, Ramiah N. Zoonotic implicationsof cats and dogs in filarial transmission in Peninsular Malaysia.Tropical and Geographical Medicine 1980; 32 : 25964.8. Palmieri JR, Purnomo, Vernon H Lee, David T Dennis, HarijaniAM. Parasites of the silvered leaf monkey, Presbytis cristataEscholts, with a note on a Wuchereria like nematode. J. Parasitol1980;66 64551.9. Oemijati S, Liam Kiat Tjoen. Filariasis in Timor. Proc. 11th.Pacific. Sci. Congr. (Tokyo) 1966; 8 : 5.10. Kurihara T, Oemijati S. Tiinor type microfilaria found in Floresisland, Indonesia Jap J Parasit. 1975; 2 ; 7880.11. Sudomo M, Suwarto, Lim Boo Liat. Studies of filariasis in KebanAgung and Gunung Agung villages in South Bengkulu, SumateraIndonesia. Health Studies in Indonesia, 1984a; 12 : (1) 51-60.12. Klokke AH. Filariasis due to Brugia malayi in South Borneo,Indonesia. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1961; 55 : 433439. Partono F, Djakarik, Sri Oemijati, Arbain Joesoef; MD Clarke,WC Cole, JC Lien, JH Cross. Filariasis in West Kalimaptan (Bor-neo), Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th. 19.77a;8 : 549.14. Sudomo M. Lim Boo Liat, N. Sustriayu, YH Bang. Survey of fila-riasis at Waru village and Bkbulu Darat Transmigration schemeEast Kalimantan. Southeast Asian J. Trop. Med. PubL Hlth. 1980;13 : 584.15. Kirnowardoyo S, Z Bahang, L Saafi, N Bende, Lim Boo .Liat.Malayan filariasis studies in Kendari Regency, Southeast Sulawesi,Indonesia III : Survaillance of Mansonia

mosquitoes with referenceto seasonal and ecological aspects of Ma. uniformis and Ma.indiana. Health Studies in Indonesia 1984; 12 : (1).16. Brug SL, Rook H de. Filariasis in Nederlandsch Indie. IV: Geneesk T. Ned. Ind. 1933; 73 : 264279.17. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT, Poernomo. Anopheles barbirostris (Diptera: Culicidae) as a vector of the Timor filariaon Flores Island : Preliminary observation. J. Med. Entomol.1977; 13 61113.18. Atmosoedjono S, Van Peenen PFD, Putrali J. Anopheles barbi-rostris (Van der Wulp) still an efficient vector of Brugia malayiin Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. Trans Roy Soc Trop MedHyg 1976; 70 : 259.19. Putrali J, Caleb YM. Mass treatment of filariasis in Sidondo,Central Sulawesi. Health Studies in Indonesia 1974; 2 : (1) 1316.20. Putrali J, Caleb YM, PFD van Peenen, J Sulianti Saroso. Masstreatment of malayan filariasis in the Gumbasa irrigation area of Central Sulawesi. Southeast Asian J. Trop. Med. Publ. Hlth. 1975;6 : 206210.21. Ibrahim B, Utuh Rafii, Ahmad Jusuf, Harijani AM, Fauzi Darwis,Masbar S, Sugiani. The effect of migration of people on thedistribution of Brugia malayi in South Kalimantan with regardsto filariasis control National Seminar on Parasitologi I. Bogor.1977.22. Partono F, Poernomo, A Suwarta. A simple method to controlBrugia malayi by diethylcarbamazine administration. Trans. Roy.Soc. Trop. Med. Hyg. 1979; 78 : 3702.23. Bahang Z, L Saafi, N Bende, S Kirnowardoyo, Lim Boo Liat.Malayan filariasis studies in Kendari Regency, Southeast Sulawesi,Indonesia II : Surveillance of mosquitoes with reference to twoAnopheles vector species. Health Studies in Indonesia, 1984;12, (1).24. Harijani A Marwoto, Sakai Tuti, Fauzi Darwis, S Ompusunggu.Penelitian pengobatan B. malayi subperiodik di KalimantanSelatan Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran Indonesia II.Surabaya, 1820 September. 1983.25. Jan Rush, Palmieri JR, Dennis DT, T Ibrahim, Harijani A Marwoto.The impact of filariasis mass treatment using DEC, conductedin a long-term and short-term period on clearance of microfi-leremia and its side effect. Cermin Dunia Kedokteran, 1980;55 58.26. Kanda T, Arbain Joesoef, Yukimichi Imai, Hideki Suzuki, Kimi-hiro Yoneyama. Mircofilarial periodicity analysis of the surveydata from six locatities in Indonesia. Southeast Asian J. Trop.Med. Publ. Hlth. 1979; 10 : 3250.27. Lie KJ. The distribution of filariasis in Indonesia. Southeast AsianJ. Trop. Med. Publ. Hlth. 1970; 1 : 366376

You might also like