You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN OPEN FRAKTUR TIBIA-FIBULA (CRURIS) SINISTRA GRADE II

A. PENGERTIAN Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2002). Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. (Suratun, dkk. 2008). Fraktur terbuka merupakan salah satu klasifikasi jenis fraktur. fraktur terbuka (compound) dalah fraktur yang menyebabkan robeknya kulit (Corwin, Elizabeth J. 2009). Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat/ grade (pusponegoro A.D.,2007), yaitu: Derajat I : terdapat luka tembus kecil seujung jarum, luka ini di dapat dari tusukkan fragmen-fragmen tulang dari dalam. Derajat II : luka lebih besar disertai dengan kerusakan kulit subkutis. Kadangkadang ditemukan adanya benda-benda asing disekitar luka. Derajat III : luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi. Jadi, Open fraktur tibia-fibula (cruris) sinistra grade II adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang menembus kulit samapai lapisan subkutis pada tulang tibia dan fibula di bagian kaki kiri.

B. ANATOMI EKSTREMITAS BAWAH Ekstremitas bawah terdiri dari tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal, metatarsal, dan tulang-tulang phalangs.

Pelvis Pelvis terdiri atas sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang pipih. Masing-masing tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur.

Femur Femur merupakan tulang betis, yang di bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal berartikulasi dengan tibia melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, dihubungkan oleh garis intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan condyle medial untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di bagian distal posterior terdapat fossa intercondylar.

Tibia Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.

Fibula Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal.

Tarsal Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan tibia di proksimal dan dengan metatarsal di distal. Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus, talus, cuboid, navicular, dan cuneiform (1, 2, 3). Calcaneus berperan sebagai tulang penyanggah berdiri.

Metatarsal

Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari) terdapat 2 tulang sesamoid.

Phalangs Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki. Terdapat 2 tulang phalangs di ibu jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.

C. ETIOLOGI Penyebab fraktur meliputi pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter mendadak, dan kontraksi otot ekstrim. fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari pada diabsorpsinya. fraktur pada tulang dapat menyebabkan edema jaringan lemak, persarafan ke otot dan sendi terganggu, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.

D. PATOFISIOLOGI Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis pada tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan diskontinuitas tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam beberapa fragmen tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut, perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah keperawatan berupa kerusakan integritas kulit. Perlukaan kulit oleh fragmen tulang dapat menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena dan arteri di area fraktur sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada vena dan arteri yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama dapat menimbulkan penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada pembuluh darah sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika perdarahan tidak segera dihentikan. Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu sendiri. Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga muncul masalah keperawatan berupa gangguan

mobilitas fisik. Pergeseran fragmen tulang sendiri keperawatan berupa nyeri.

memunculkan masalah

Beberapa waktu setelah fraktur terjadi, otot-otot pada area fraktur akan melakukan mekanisme perlindungan pada area fraktur dengan melakukan spasme otot. Spasme otot merupakan bidai alamiah yang mencegah pergeseran fragmen tulang ke tingkat yang lebih parah. Spasme otot menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah kapiler dan merangsang tubuh untuk melepaskan histamin yang mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga muncul perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial turut membawa protein plasma. Perpindahan cairan intravaskuler ke interstitial yang berlangsung dalam beberapa waktu akan menimbulkan edema pada jaringan sekitar atau interstitial oleh karena penumpukan cairan sehingga menimbulkan kompresi atau penekanan pada pembuluh darah sekitar dan perfusi sekitar jaringan tersebut mengalami penurunan. Penurunan perfusi jaringan akibat edema memunculkan masalah keperawatan berupa gangguan perfusi jaringan. Masalah gangguan perfusi jaringan juga bisa disebabkan oleh kerusakan fragmen tulang itu sendiri. Diskontinuitas tulang yang merupakan kerusakan fragmen tulang meningkatkan tekanan sistem tulang yang melebihi tekanan kapiler dan tubuh melepaskan katekolamin sebagai mekanisme kompensasi stress. Katekolamin berperan dalam memobilisasi asam lemak dalam pembuluh darah sehingga asamasam lemak tersebut bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli dalam pembuluh darah sehingga menyumbat pembuluh darah dan mengganggu perfusi jaringan.

E. MANISFESTASI KLINIS Tanda dan gejala fraktur adalah sebagai berikut (Lukman & Ningsih, 2011): 1. Nyeri dan terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian yang fraktur tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap regid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. 3. Pada fraktur tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya terjadi karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur 4. Saat tempat fraktur di periksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.

F. PENANGANAN FRAKTUR Ada empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu: 1. Rekoknisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada pristiwa yang terjadi serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan keluhan dari klien 2. Reduksi fraktur (pengembalian posisi tulang ke posisi anatomis) a. Reduksi terbuka. Dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (missal pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batang logam) b. Reduksi tertutup. Ekstremitas dipertahankan dengan gip, traksi, brace, bidai dan fiksator eksterna

3. Imobilisasi. Setelah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan. Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna 4. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi: a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi b. Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan c. Memantau status neuromuskuler d. Mengontrol kecemasan dan nyeri e. Latihan isometric dan setting otot f. Kembali ke aktivitas semula secara bertahap

G. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur meliputi (Suratun, dkk. 2008 dan Black, J.M, et al, 1993): 1. Komplikasi awal: a. Syok : dapat terjadi berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur b. Emboli lemak : dapat terjadi 24-72 jam. Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. c. Sindrom kompartemen : perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan. Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu:

1)

Pain (nyeri) Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.

2)

Pallor (pucat) Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.

3) 4) 5)

Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) Parestesia (rasa kesemutan) Paralysis: Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen.

d. Infeksi dan tromboemboli : System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat e. Koagulopati intravaskuler diseminata 2. Komplikasi lanjut a. b. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. c. d. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali Nekrosis avaskular tulang: Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia e. Reaksi terhadap alat fiksasi interna

H. PENGKAJIAN Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas: a. Pengumpulan Data 1) Anamnesa a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995) c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian

tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995). e) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995). f) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995). g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991) (4) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999). (5) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). (6) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (9) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995). 11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995). 2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. (c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. (d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan) (f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. (g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. (j) Paru (1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (k) Jantung (1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (l) Abdomen (1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (m) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem

muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,

pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

I.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang pada fraktur meliputi: 1. Pemeriksaan rotgen (sinar X) untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma. 2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI untuk memperlihatkan fraktur.

Pemeriksaan penunjang ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3. 4. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler. Hitung darah lengkap Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal setelah trauma. 5. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 6. Profil koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN & FOKUS INTERVENSI Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan fraktur antara lain (Donges Marilynn, E. (2000): 1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.

Tujuan

: Klien menyatakan nyeri hilang,

menunjukkan

penggunaan

ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi. Intervensi : a. Kaji lokasi, intensitas, dan tipe nyeri. Gunakan skala peringkat nyeri. b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring sampai fraktur berkurang. c. Pertahankan traksi yang diprogramkan dan alat-alat penyokong. d. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena. e. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan. f. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif. g. Ajarkan teknik relaksasi, contoh : distraksi, stimulasi kutaneus. h. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, misal : ubah posisi. i. Kolaburasi pemberian analgesik.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler. Tujuan : Klien mendapatkan mobilitas pada tingkat optimal,

mempertahankan aktivitas. Intervensi :

posisi fungsional, menunjukkan teknik mampu melakukan

a. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan. b. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik. c. Instruksikan klien untuk/bantu klien dalam rentang gerak pasif/aktif pada ektremitas yang sakit dan yang tidak sakit. d. Awasi tekanan darah dan perhatikan keluhan pusing. e. Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan napas dalam. f. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur. Tujuan : Klien dapat melakukan perawatan diri secara sederhana dan mandiri. Intervensi : a. Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan. b. Tingkatkan harga diri dan penentuan diri selama aktivitas perawatan diri. c. Tingkatkan partisipasi optimal.

d. Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri. e. Libatkan keluarga/orang dekat dalam membantu klien melakukan perawatan diri.

4. Aktual/resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur. Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi. Intervensi : a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna kelabu, memutih. b. Massage kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan. c. Ubah posisi dengan sering (4 jam sekali). d. Amati kemungkinan adanya tekanan pada bagian luka khususnya pada pinggir atau bawah bebat. e. Anjurkan klien untuk menggerakkan bagian anggota tubuh lain yang tidak sakit.

5. Aktual/resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan. Tujuan : Klien akan menunjukkan penyembuhan luka sesuai waktu dengan bukti luka tidak terdapat pus. Intervensi : a. Observasi keadaan umum luka. b. Pantau penyembuhan luka dengan memperhatikan hal berikut : bukti luka tidak terdapat pus. c. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan berbicara. d. Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerakan dengan edema lokal / eritema ekstremitas cedera. e. Lakukan perawatan luka aseptik dan antiseptik. f. Lakukan prosedur isolasi. g. Tutup luka dengan kasa steril.

6. Ansietas berhubungan dengan gangguan status kesehatan/krisis situasi. Tujuan : Klien tidak rewel, terlihat tenang dan relaks, ikut serta dalam aktivitas.

Intervensi : a. Pantau tingkat ansietas klien. b. Berikan penekanan penjelasan dokter mengenai pengobatan dan tujuannya, klarifikasi kesalahan konsep. c. Berikan dan luangkan waktu untuk mengungkapkan perasaan. d. Ajarkan dan bantu dalam teknik penatalaksanaan stress. e. Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang telah berhasil digunakan untuk mengatasi pengalaman yang lalu. f. Berikan dorongan untuk berinteraksi dengan orang terdekat, teman serta saudara. g. Jelaskan semua prosedur dan pengobatan, libatkan klien dalam perencanaa, berikan pilihan, berikan dorongan untuk membuat keputusan yang aman.

7. Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang tindakan perawatan diri saat pulang, kurang sistem pendukung yang adekuat. Tujuan : Klien mampu :

Mengungkapkan pengertian, prognosis, pengobatan, & program rehabilitasi. Memperagakan kemampuan untuk merawat alat bantu imobilisasi. Mengekspresikan pengetahuan tentang gejala, potensial komplikasi.

Intervensi : a. Tekankan pentingnya rencana rehabilitasi aktivitas, istirahat, dan latihan. b. Berikan dan tinjau ulang instruksi diet pengenai tipe dan jumlah, perlunya menghindari penambahan berat badan bila mungkin. c. Diskusikan tentang obat-obatan : nama, tujuan, jadwal, dosis, dan efek samping. d. Diskusikan tanda dan gejala untuk dilaporkan pada dokter : nyeri hebat, perubahan suhu badan, warna, atau sensasi pada ekstremitas, bau yang menyengat atau drainase dari luka. e. Jelaskan tentang gips, bebat, slang sesuai indikasi. f. Berikan dorongan untuk melakukan kunjungan tundak lanjut pada dokter.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC. Suratun, dkk. (2008). Klien Gangguan System Musculoskeletal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995 Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994. Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995 Donges Marilynn, E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC

You might also like