You are on page 1of 28

BAB 2 DAFTAR PUSTAKA 2.

1 DEFINISI Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis(1). Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.(2) 2.2 ETIOLOGI Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhirakhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. (1) Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.(2)

Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea. (2) 2.3 PATOGENESIS(1) Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari

sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. 2.4 PATOLOGI(1) Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu : 1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema. 2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. 3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. 4. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas. 2.5 KLASIFIKASI PNEUMONIA(1) 1. Berdasarkan klinis dan epideologis : a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised

Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan. 2. Berdasarkan bakteri penyebab a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus c. Pneumonia interstisial 2.6 DIAGNOSIS(1) 1. Gambaran klinis a. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada

perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. 2. Pemeriksaan penunjang a. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. b. Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik 2.7 PENGOBATAN(1) Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 2.8 ANTIBIOTIK 2.8.1 DEFINISI ANTIBIOTIK Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh. Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring. (2) 2.8.2 TERAPI ANTIBIOTIK PNEUMONIA KOMUNITI Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : (1) Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin TMP-SMZ Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Marolid baru dosis tinggi

Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa Aminoglikosid Seftazidim, Sefoperason, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin Karbapenem : Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) Vankomisin Teikoplanin Linezolid

Hemophilus influenzae TMP-SMZ Azitromisin Sefalosporin gen. 2 atau 3 Fluorokuinolon respirasi

Legionella Makrolid Fluorokuinolon Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae Doksisiklin Makrolid Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae Doksisikin Makrolid Fluorokuinolon

Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti . Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumonia yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (ATS 2001) (1) a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alkohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multipel b. Bakteri enterik Gram negatif Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multipel Riwayat pengobatan antibiotik c. Pseudomonas aeruginosa Bronkiektasis Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir Gizi kurang Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.

10

Pilihan Kombinasi Antibiotik Pneumonia Komuniti (1)

2.8.2.1 TERAPI SULIH (SWITCH THERAPY) (1) Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.

11

2.8.2.2 TERAPI SULIH PADA PNEUMONIA KOMUNITI(1) Pada tabel dibawah ini dapat dilihat pemilihan antibiotik untuk alih terapi pada pneumonia komuniti

Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti : Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna

12

Penderita sudah tidak panas 8 jam Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk) Leukosit menuju normal/normal 2.8.3 TERAPI ANTIBIOTIK PNEUMONIA NOSOKOMIAL Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah : 1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat 2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. 3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis. 4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR 5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk 6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan. (2)
Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004) (2) Patogen potensial Streptocoocus pneumoniae Haemophilus influenzae Metisilin-sensitif Staphylocoocus aureus Antibiotik yang direkomendasikan Betalaktam + antibetalaktamase (Amoksisilin klavulanat) atau Sefalosporin G3 nonpseudomonal

Antibiotik sensitif basil Gram (Seftriakson, sefotaksim)


13

negatif enterik - Escherichia coli - Klebsiella pneumoniae - Enterobacter spp - Proteus spp - Serratia marcescens

atau Kuinolon respirasi (Levofloksasin, Moksifloksasin)

Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu ATS / IDSA 2004) (2) Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi Sefalosporin antipseudomonal atau Karbapenem antipseudomonal Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) Acinetobacter sp Methicillin resisten Staphylococcus aureus (MRSA) (Meropenem, imipenem) atau -laktam / penghambat laktamase (Piperasilin tasobaktam) ditambah Fluorokuinolon antipseudomonal (Siprofloksasin atau levofloksasin) atau Aminoglikosida (Amikasin, tobramisin) ditambah Linesolid teikoplanin Tabel 3. Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004) (2) atau vankomisin atau gentamisin atau

Patogen MDR tanpa atau dengan (Sefepim, seftasidim, sefpirom) patogen pada Tabel 1

14

Antibiotik Sefalosporin antipseudomonal Sefepim Seftasidim Sefpirom Karbapenem Meropenem Imipenem laktam / penghambat laktamase Piperasilin-tasobaktam Aminoglikosida Gentamisin Tobramisin Amikasin Kuinolon antipseudomonal Levofloksasin Siprofloksasin Vankomisin Linesolid Teikoplanin

Dosis 1-2 gr setiap 8 12 jam 2 gr setiap 8 jam 1 gr setiap 8 jam 1 gr setiap 8 jam 500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap 8 jam 4,5 gr setiap 6 jam 7 mg/kg BB/hr 7 mg/kg BB/hr 20 mg/kg BB/hr 750 mg setiap hari 400 mg setiap 8 jam 15 mg/kg BB/12 jam 600 mg setiap 12 jam 400 mg / hari

Gambar 1. Skema terapi empirik untuk HAP dan VAP(2) 15

2.8.3.1 LAMA TERAPI (2) Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari. 2.8.3.2 RESPONS TERAPI (2) Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain). Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai. 2.8.4 TERAPI ANTIBIOTIK PNEUMONIA ATIPIKAL(1)

16

Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp.Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus. Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan : Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) Fluorokuinolon respiness Doksisiklin 2.8.4.1 PENGOBATAN COMMUNITY ATIPICAL PNEUMONIA PADA PASIEN BEROBAT JALAN MENURUT IDSA IDSA merekomendasikan pemberian makrolid (eritromisin, clarithromisin, atau azithromisin), floroquinolon (levofloksacin, gatifloksacin, motifloksacin) dan doxycyclin.(3) Menurut CDC sama halnya dengan IDSA hanya diberikan pemberian lactam(cefuroxim, ceftriakson, amoksisilin, atau amoksisilin klavulanat), dan membatasi penggunaan fluoroquinolon, dimana fluoroquinolon disiapkan untuk penderita yang lebih tua dimana sudah tidak respon lagi dengan pengobatan sebelumnya atau pada penderita alergi dengan obat lain, serta terbukti resisten dengan obat lain. (4) 2.8.4.2 PENGOBATAN COMMUNITY ATIPICAL PNEUMONIA PADA PASIEN RAWAT INAP MENURUT IDSA IDSA merekomendasikan pemberian parenteral -lactam (cefuroxime, ceftriakson, ampicilin-sulbactam, atau piperacillin-tazobactam) ditambah makrolid (eritromisin, clarithromisin, atau azithromisin), pilihan lain adalah floroquinolon (levofloksacin, gatifloksacin, motifloksacin) yang dapat diberikan sendirian. (3)

17

Menurut CDC menganjurkan pemberian parenteral -lactam (cefuroxime, ceftriakson, ampicilin-sulbactam, atau piperacillin-tazobactam) ditambah makrolid (eritromisin, clarithromisin, atau azithromisin), pilihan lain adalah floroquinolon (levofloksacin, sparfloksasin) diberikan sendirian. (4) Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia tidak mempunyai dinding sel peptidoglycan, oleh karena itu pemberian obat -lactam tidaklah efektif karena -lactam bekerja menghancurkan protein dinding sel kuman. Chlamydia pneumonia dan Legionella penumophilla membelah diri intraseluler, sehingga dibutuhkan anti mikroba yang mampu bekerja secara intraseluler. Pilihan obat yang tepat adalah golongan Makrolid atau Fluoroquinolon. (3,4) 2.8.5 TERAPI ANTIBIOTIK PNEUMONIA VIRUS(5) Tujuan pengobatan adalah memberikan terapi suportif, karena infeksi virus tidak akan memberikan respon terhadap antibiotik. Terapi suportif terdiri dari: - udara yang lembab - tambahan asupan cairan - tambahan oksigen. Untuk mencegah dehidrasi, mungkin penderita anak-anak dan lanjut usia perlu menjalani perawatan di rumah sakit. Kadang diberikan obat antivirus (misalnya ribavirin atau amantadin, untuk virus influenza tipe A), terutama pada bayi dan anak-anak. Untuk pneumonia karena virus herpes dan cacar air bisa diberikan acyclovir. 2.8.6 TERAPI ANTIBIOTIK PNEUMONIA KARENA JAMUR(6) Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Penyakit (AIDS). Trimetoprim-Sulfametoksazol ini merupakan salah satu penyebab kematian penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodefi ciency Syndrome

18

Merupakan obat pilihan terapi PCP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi prospektif membandingkan pemberian trimetoprimsulfametoksasol dengan pentamidin menunjukkan bahwa obat tersebut memperbaiki oksigenasi serta daya tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi adalah skin rash dan gangguan fungsi hati pada 20% penderita. Tidak dilaporkan efek samping yang dapat menyebabkan penderita sampai dirawat di rumah sakit. Pentamidin Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua;. merupakan antiprotozoa yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui. Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan kadar kreatinin dan trombositopenia. Klindamisin dan Primakuin Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran atau gagal pada pengobatan trimetoprimsulfametoksasol atau pentamidin. Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia, gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia. Dapson Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif digunakan untuk PCP derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi berupa methemoglobinemia, hiperkalemia ringan, anemia 2.8.7 JENIS ANTIBIOTIK 2.8.7.1 Golongan Betalaktam(8) Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin. Obat-obat antibiotic beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organism Gram-positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir

19

dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dindingsel bakteri. (7) A. Kelompok Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadangkadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal. 1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) 2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan. 3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada

20

penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 3045% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan. 4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008). 5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin. 6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis . B. Kelompok Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungankeuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin. Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan

21

parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal . Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas . Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah: 1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak. 2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif

22

terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N.. 3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim. 4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas . C. Antibiotika Laktam Lainnya 1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam. Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal. 2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam.

23

2.8.7.2 Golongan Makrolida Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum. a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari. b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t1/213 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong. Golongan Aminoglikosida

24

Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin. a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari. b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol. Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis. Golongan Fluorokuinolon a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang

25

sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia. b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam . c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air. Sebab-Sebab Kegagalan Terapi Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi: a. Dosis kurang Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih tinggi daripada

26

dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama. b. Masa terapi yang kurang Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat terlihat. c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat. d. Pilihan antibotika yang kurang tepat Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin. e. Faktor pasien Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS. (9) Drug Related Problems ( DRP ) Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related Problems (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki.

27

DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya menurut standar disajikan sebagai berikut: A. Indikasi tanpa obat 1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru. 2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat. 3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi. 4. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau premedication. B. Terapi Obat yang Tidak Perlu 1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi. 2. Pasien yang keracunan karena obat atau hasil pengobatan. 3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok. 4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy. 5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan. 6. Pasien dengan terapi obat dengan penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya. C. Salah Obat 1. Pasien dimana obatnya tidak efektif. 2. Pasien alergi. 3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. 4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat. 5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly. 6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman. 7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan. D. Dosis Terlalu Rendah 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan. kombinasi

28

2. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drugs dapat memberikan pengobatan yang tepat. 3. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon. 4. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang diharapkan. 5. Obat prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan terlalu cepat. 6. Dosis dan flexibility tidak cukup untuk pasien. 7. Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien. 8. Pemberian obat terlalu cepat. 9. Pasien alergi E. Reaksi Obat yang Merugikan 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan. 2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien. 3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien. 4. Efek dari obat diubah enzyme inhibitor atau induktor dari obat lain. 5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding cite oleh obat lain. 6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain. F. Dosis Terlalu Tinggi 1. Dosis terlalu tinggi 2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas therapeutic range obat yang diharapkan. 3. Dosis obat meningkat terlalu cepat. 4. Obat, dosis rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. 5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat G. Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat, pemberian, pemakaian). 2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan. 3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

29

4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti. 5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat.

30

You might also like