You are on page 1of 25

BAB I KASUS

1. DATA PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Agama Status Pendidikan Alamat Dikirim oleh Nomor CM Dirawat di Ruang Masuk bangsal : Tn. J : 50 thn : Laki Laki : Islam : Menikah : Tamat SLTA : Sragen : Keluarga : 190807 : Melati 5 : 20 Juli 2013

2. Anamnesis : Ananmnesis dilakukan pada tanggal 22 juli 2013 Keluhan Utama : Bengkak sekujur tubuh. 3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan bengkak pada bagian perut sejak tiga 3 hari yang lalu. Keluhan bengkak juga dirasa muncul diseluruh bagian tubuh. Keluhan disertai dengan demam, pusing dan sesak pada dada. Selain itu pasien mengeluh muntah berwarna kecoklatan

Anamnesis sistem Cerebrospinal : pusing (-), nyeri kepala (-), demam (+), penurunan kesadaran (-), pingsan (-) Cardiovaskuler Respiratori Digesti : nyeri dada (-), berdebar(-) : batuk(+), pilek (-), sesak napas (+) : BAK sedikit, nyeri saat BAK (-), BAB sulit, keras, sedikit-sedikit, nafsu makan menurun, mual (+), muntah (+) 1 kali. Muskuloskeletal Integumentum Ekstremitas : nyeri sendi (-), pegal-pegal (-), lemah (+) : bercak kemerahan (-), gatal (-) : oedem (+)

4. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat Keluhan serupa (+) Riwayat Hipertensi (-), DM (+) Riwayat Batuk lama (-) Rawat inap di rumah sakit 2 kali karena keluhan yang sama. Konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama.

5. Riwayat Penyakit Keluarga: Terdapat pihak keluarga yang menderita diabetes melitus.

6. Kebiasaan dan Lingkungan Tinggal di lingkungan perkampungan yang tidak padat penduduk, lingkungan bersih, makan teratur.

Pasien sudah mengatur pola makannya setelah mengalami sakit diabetes melitus.

7. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Tenang Kesadaran: compos mentis Vital Sign: TD 110/80 mmHg Frek.nadi Kepala Mulut Leher Thorax Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada. : peristaltik (+), bising aorta (-). : redup di 4 kuadran (+) ascites (+). : massa (-), nyeri tekan (+) Hepatomegali (-) Splenomegali (-) : dinding dada normal, gerak pernafasan simetris, ictus cordis kuat angkat. : tidak ada nyeri tekan, pulsasi ictus kordis teraba. : sonor di kedua paru, besar jantung normal. : cor: bunyi jantung 1 2 reguler, suara tambahan (-). pulmo: vesikuler, ronkhi (-) : 84 kali/menit, Frek.nafas: 24 kali/ mneit, Suhu: 35,5C : Conjungtiva anemis (-) sklera ikterik (+) : stomatitis (-) : peningkatan JVP (-), pembesaran limfonodi (-)

Muskuloskeletal: jimpe (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-), reflek patologis (-). Integumentum: ptekie(-), edema (+).

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 20 juli 2013 Pemeriksaan Hb Eritrosit Hematokrit Index eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit RDW-CV MPV Hitung jenis Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Total neutrofil Total lymphosit Total monosit Total eosinofil Total basofil Golongan Darah Kimia Klinik GDS Fungsi hati SGOT SGPT Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin Hasil 10,7 g/dL 3,41 juta/dL 31,5% 92,3 fL 31,2 pg 33,8 g/dl 18.60/l 150.000/l 12,8% 6.27 fL 90,4% 6,5% 2,6% 0,0% 0,5% 16,8 ribu/l 1000/ l 480/ l 0,0 ribu/ l 0,009 O 53 mg/dl 86 u/L 25 u/L 61,0 mg/dL 2,66 mg/dL Nilai normal 12,2-18,1g/dl 4,04-6,13 juta/dl 37,7-53,7% 80-97 fL 27-31,2 pg 31,8-35,4g/dl 4.6-10.2/ l 150.000-450.000/ l 11,5-14,5% 0-99,9 fL 37-80% 19-48% 0-12% 0-7% 0-2.5% 1,5-7 ribu /l 1-3700 l

<200 mg/dl <37 u/L <42 u/L 10-50 mg/dL 0,60-1,1 mg/dL

Hasil Lab Tanggal 21 juli 2013 Jenis pemeriksaan GDS Hasil Lab tanggal 22 juli 2013 Hasil 140 mg/dL Nilai normal <200 mg/dL

Jenis pemeriksaan Makroskopis Warna Kejernihan Kimia urine Berat jenis pH EWITZ/protein urine Urobilinogen Reduksi/glukosa Bilirubin Keton Nitrit Blood Mikroskopis urine Eritrosit Lekosit Epitel Silinder Kristal Lain-lain

Hasil Kuning Agak keruh 1.015 6,0 (+) Positif Lemah Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif (++) positif 2 17-19/ LP 4-5 /LP 5-6 /LP Silinder granula kasar Negatif Negatif

Nilai normal Kuning Jernih 1.005-1.030 4,8-7,4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 0-1 /LP 3-5 /LP 1-15 /LP 0-1 (hialin) Negatif Negatif

Hasil lab tanggal 23 juli 2013 Jenis pemeriksaan Kimia klinik Lemak Cholesterol total Trigliserida Fungsi hati Albumin Hasil Lab tanggal 24 juli 2013 Pemeriksaan Hb Eritrosit Hematokrit Index eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit RDW-CV Hasil 12,0 g/dL 3,78 juta/dL 34,6% 91,6 fL 31,7 pg 34,6 g/dl 10.80/l 156.000/l 12,8% Nilai normal 12,2-18,1g/dl 4,04-6,13 juta/dl 37,7-53,7% 80-97 fL 27-31,2 pg 31,8-35,4g/dl 4.6-10.2/ l 150.000-450.000/ l 11,5-14,5%
5

Hasil 91 mg/dL 222 mg/dL 2.39 mg/dL

Nilai normal <200 mg/dL <150 mg/dL 3.8-4.4 mg/dL

MPV Hitung jenis Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Total neutrofil Total lymphosit Total monosit Total eosinofil Total basofil Golongan Darah Kimia Klinik GDS Fungsi hati Albumin Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin

6.52 fL 88,5% 8,5% 1,6% 0,1% 1,4% 9,55 ribu/l 1000/ l 0,17/ l 0,0 ribu/ l 0,15 O 257 mg/dl 2.57 g/dL 91,1 mg/dL 1,75 mg/dL

0-99,9 fL 37-80% 19-48% 0-12% 0-7% 0-2.5% 1,5-7 ribu /l 1-3700 l

<200 mg/dl 3.8-4.4 g/dL 10-50 mg/dL 0,60-1,1 mg/dL

Hasil Lab tanggal 25 juli 2013 Jenis pemeriksaan Fungsi hati Albumin Fungsi ginjal Ureum Kreatinin Hasil 2,39 g/dL 107,8 mg/dL 2,14 mg/dL Nilai normal 3.8-4.4 g/dL 10-50 mg/dL 0,60-1,1 mg/dL

Hari dan Tanggal 21/07/13 DPH I

Subyektif Perut dan kaki bengkak (+) Mual (+) Muntah(+)

Obyektif KU : Lemah Kesadaran : compos mentis Tanda Vital: Nadi : 80x/menit Tekanan Darah: 110/80 Pernafasan : 22 x/menit, regular, Suhu : 35,40C Kepala : Sklera ikterik(+) Leher : dbn Thorax : Paru: dbn Jantung : dbn Abdomen: nyeri tekan (+) Ektrimitas : oedem +/+

Assesmen t Ckd Chirosis hepatis Sindr. nefrotik

Plan & Terapi Terapi: Inf RL 20tpm makro Inj.Ceftriakson 1gr/24j Inj Furosemid Amp 1/6 j Inj. As. Traneksamat 1/8j Valsatron tab 1x1 Anemolat tab 2x1 Aminefron tab 1x1

22/07/13 DPH II

Kaki bengkak (+) Sesak(+) Batuk (+) Mual (-) Muntah(-) BAK (+) sedikit BAB (+) Cair

KU : Lemah Kesadaran : compos mentis Tanda Vital: Nadi : 80x/menit Tekanan Darah: 110/80 Pernafasan : 22 x/menit, regular, Suhu : 34,80C Kepala : sklera ikterik (+) Leher : dbn Thorax : Paru: dbn Jantung : dbn Abdomen: nyeri tekan (+) Ektrimitas : oedem +/+

CKD Sindr. Nefrotik Chirosis hepatik

Terapi: Inf RL 20tpm makro Inj.Ceftriakson 1gr/24j Inj Furosemid Amp 1/6 j Inj. As. Traneksamat 1/8j Valsatron tab 1x1 Anemolat tab 2x1 Aminefron tab 1x1

23/07/13 DPH III

Perut sebah (+) muntah (+) Mual (+) sesak (+)

KU : Lemah, Kesadaran : compos mentis Tanda Vital: Nadi : 80x/menit Tekanan Darah: 120/80 Pernafasan : 22 x/menit, regular, Suhu : 34,40C Kepala : Sklera ikterik (+) Leher : dbn

CKD Chirosis hepatik Sindr. nefrotik

Terapi: Inf RL 20tpm makro Inj.Ceftriakson 1gr/24j Inj Furosemid Amp 1/6 j Inj. As. Traneksamat 1/8j Valsatron tab 1x1 Anemolat tab 2x1 Aminefron tab 1x1 Inf Albumin 100cc
7

BAB II PEMBAHASAN

Terdapat beberapa masalah yang diderita Tn. J yaitu Diabetes Mellitus dan sindroma nefrotik. Diabetes mellitus (DM) sering disebut sebagai the great imitator dissease, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang bersifat adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, gangguan insulin atau keduanya. Pada diabetes melitus terjadi salah satu komplikasi diantara komplikasi lainnya berupa mikroangiopati

diabetika yang menyebabkan berbagai perubahan pada pembuluh darah kecil. Salah satu perubahan tersebut nampak pada glomerulus-glomerulus ginjal. Kerusakan/penebalan pada membran basalis pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput endotelial, trombosis, adalah karakteristik mikroangiopati diabetik dan mulai timbul setelah periode satu atau dua tahun menderita DM. Mikroangiopati diabetik timbul akibat kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya glikosilasinprotein pada membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis, dan terjadi penumpukkan zat serupa glikoprotein membran basalis pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak, dan aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomerulonefritis yang berlanjut menjadi glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron. Manifestasi dari hal tersebut adalah nefropati dibetikum (ND), dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang kemudian menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap DM. Perubahan histopatologik pada nefropati diabetik meliputi perubahan pada glomerulus yang mengenai kapiler glomerulus membrana basalis dan kapsul, perubahan pada vaskular ginjal yaitu terjadi arteriosklerosis, perubahan pada tubulus dan interstitial yang dapat berupa endapan hialin pada tubulus proksimal, deposit glikogen pada tubulus proksimal, atropi tubulus dan fibrosis interstitial. Nefropati diabetik adalah suatu penyakit menahun dari DM yang ditandai dengan adanya mikro atau makroproteinuri, penurunan GFR (glomerular filtration rate), peningkatan tekanan darah yang perjalananya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. Pada Tn, J hasil lab menunjukkan penurunan laju filtrsi glomerulus dengan hasil perhitungan GFR menggunakan rumus Kockcroft-Gault menunjukkan nilai 28,19 ml/mnt, terlihat Tn, J sudah mengalami kerusakan ginjal dengan LFG berat.

Sindroma nefrotik merupakan salah satu gambaran klinis penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif disertai hipoalbuminemia, edem anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.

BAB III Tinjauan Pustaka Sindrom nefrotik Definisi Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Epidemiologi

10

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.

Etiologi Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti berikut: A. glomerulonefritis (GN) primer: GN lesi minimal (GNLM) Glomerulosklerosis fokal (GSF) GN membranosa (GNMN) GN membranoproliferatif (GNMP) GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat: i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C - sifilis, malaria, skistosoma - tbc, lepra ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma multiple, dan karsinoma ginjal iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid

11

iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.

Klasifikasi
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok: I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

II. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh: Malaria kuartana atau parasit lain.

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.

12

Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu : a. Kelainan minimal Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron) Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus Lebih banyak terdapat pada anak Prognosis baik b. Nefropati membranosa Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel Prognosis kurang baik c. Glomerulonefritis proliferatif Eksudatif difus Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma tersumbat.

endotel yang menyebabkan kapiler

Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular. Dengan bulan sabit (crescent) Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Glomelurosklerosis membranoproliferatif Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental


Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus Prognosis buruk

13

Patofisiologi Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal

14

natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein). Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol

15

acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.

Manifestasi Klinis Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat. Gejala Klinis Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma nefrotik adalah sebagai berikut: 1. Proteinuria Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus. 2. Hipoalbuminemia Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Pada SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin dan derajat

16

hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 3. Hiperlipidemi Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. 4. Sembab atau edema Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema.

17

Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.

DIAGNOSIS Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu : 1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik dimana dalam urin terdapat protein 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/ 24 jam, atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik 2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin. 2. Hipoalbuminemia Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak dengan gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru akan terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut. 3. Oedem 4. Hiperlipidemia Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl).

18

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Gambaran laboratorium

Darah

: - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl) - Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%) - Kalsium menurun - Ureum Normal - Hb menurun, LED meningkat

Urin

: - Volumenya : normal sampai kurang - Berat jenis : normal sampai meningkat - Proteinuria masif (>29gr / 24 jam) - Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal - Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

Pemeriksaan urin yang didapatkan: Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin

19

sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%). Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari. Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam. Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada. Berat jenis urin meningkat. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III). Terdapat leukosit Pemeriksaan darah yang didapatkan: Hipoalbuminemia terbalik. Hiperkolesterolemia Penatalaksanaan Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin

20

antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai

1200 ml/ hari

Medikamentosa: Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma. Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler

21

berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala. Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang. Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome.

22

Komplikasi Sindrom Nefrotik


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik: Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin. b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3. Gangguan tubulus renalis Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.

4. Gagal ginjal akut.

23

Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG. 5. Anemia Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria. 6. Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. 7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. 2.

A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009 Sukamana, N. 2009. Hipertensi. Divisi Ginjal _hipertensi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. http://www.internafkui.or.id/? page=article.detail&id=2

3.

Tim Editor. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran. Universitas Airlangga: Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.

4.

Wachyudi, R. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Padjadjaran.

5.

Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008: vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]

25

You might also like