You are on page 1of 7

MEMBANGUN EPISTEMOLOGI ASWAJA : DARI TATHBIQ AL-TSAQAFI KE TATHBIQ AL-HADLARIi Oleh: DR. H.

Achmad Muhibbin Zuhri, MA ii Pendahuluan Sebagaimana NU, PMII juga menegaskan Aswaja sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak secara individual maupun dalam berorganisasi. Aswaja dalam hal ini disebut sebagai sumber Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dan sekaligus cara pandang atau metode berpikir PMII dalam menyikapi realitas historis yang dihadapinya. Meskipun demikian, diskursus pemaknaan kembali (redefinisi) atau formulasi ulang (reformulasi) Aswaja masih terus berlangsung dan dirasa perlu untuk memelihara relevansinya bagi PMII menghadapi dinamika pemikiran dan perubahan konteks yang meliputinya. Aswaja adalah akronim dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah . Akan tetapi, tidak sekadar akronim, ia telah menjadi semacam merek paten yang mengandung formula teologis tertentu dan mencirikan kedirian NU, sekaligus membedakannya dengan komunitas lain. Disebut demikian, karena terdapat fakta sosiologis dimana organisasi-organisasi keagamaan (Islam) lain juga mengklaim sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah Meskipun karakter dan orientasi keagamaan mereka berbeda dan bahkan vis--vis. Secara dominan, diskursus ekspansi wahhabisme pada tingkat lokal dan internasional menjadi faktor dominan berdirinya NU. Dalam hal ini, ditegaskan bahwa tujuan didirikannya NU adalah berlakunya syariat Islam menurut faham Ahl alSunnah wa al-Jama'ah di tengah masyarakat. Pada konteks lokal, kelahiran NU diwarnai oleh respons serius terhadap dakwah kelompok-kelompok keagamaan baru yang mengusung gagasan pembaharuan Islam. Isu purifikasi Islam dari anasir-anasir bidah pada keberagamaan muslim tradisional yang menjadi agenda utama gerakan ini, dapat dipandang merupakan kelanjutan dari ekspansi faham wahhabi yang telah berkembang sebelumnya di Timur Tengah. Di Jawa, para penyokong gerakan dakwah ini mengkonsolidasikan dakwahnya melalui organisasi Jamiat al-Khayrat, al-Irsyad, Persis, dan Muhammadiyah. Mereka ini juga mengklaim diri sebagai Ahl al-Sunnah wa alJama'ah. Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sendiri adalah teologi klasik yang telah mengalami pelembagaan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ia dinisbatkan kepada dialektika pemikiran kalam, fiqh dan tasauf yg menjadi bagian dari fenomena historis era klasik, yang kemudian dikenal sebagai Sunnisme atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebagai madzhab atau aliran pemikiran. Teologi ini menjadi mainstream dan diklaim sebagai representasi dari al-sawad ala'zam (kelompok mayoritas umat), sebuah komunitas yang berkarakter alnajiyah (selamat) ditengah polarisasi umat. Klaim ini secara normatif berakar dari berbagai riwayat hadits nabi tentang firqah (friksi) umat Islam sepeninggal nabi. Seperti juga disinggung dalam salah satu hadits, Karakter utama dari kelompok ini adalah konsistensinya mengikuti sunnah-sunnah nabi dan para sahabat atau salaf al-shalih (ma ana `alayh wa ashhabi). Kemudian, mengingat luasnya spektrum teologi itu, juga karena secara historis ia diklaim sebagai identitas teologis dari berbagai aliran, maka dalam perjalanannya
1

mengalami pelembagaan-pelembagaan. Dalam hal mana ia telah melalui proses pemaknaan melalui dialektika historis yang panjang, tak terkecuali eksistensinya di NU. Oleh karena itu, tepat jika penyebutannya menggunakan istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah al-Nahdliyyah, atau Aswaja. PMII yang interdependen terhadap NU, memiliki hubungan historis, sosiologis dan kultural dengan NU. Sebagaimana halnya kebanyakan kalangan muda NU, kesadaran akademis kader-kader PMII mengantarkan pada pengamatan kritis terhadap fungsi teologi Aswaja. Eksistensinya dirasa kurang aktual dan kompatibel terhadap dinamika kehidupan yang serba berubah. Lebih dari itu, pemaknaan yang cenderung sempit, rigid terhadap sebuah teologi mengantarkan pada kegagalan sebuah teologi Aswaja untuk menyentuh problematika riil masyarakat modern yang kompleks. Aswaja akhirnya menjadi semacam kodifikasi tema-tema teologis masa lalu yang tidak memiliki relevansi dengan dinamika kekinian, apalagi mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, politik, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Sebenarnya NU juga telah bergerak dari kesadaran ini dengan menyatakan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Hanya saja, masih perlu perumusan epistemologis yang lebih mapan tentang bagaimana aktualisasinya dalam berbagai dimensi kehidupan : sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Kerangka Epistemologi Aswaja Secara epistemologis, Aswaja mengandung konsep teologis mengenai bagaimana umat Islam di sepanjang zaman dan tempat memperoleh ajaran agamanya secara otentik dan selanjutnya mengaktualisasikannya sesuai kehendak Allah sebagai Syari. Dalam kerangka ini, Aswaja mengandaikan prosedur baku dan parameter yang dalam derajat tertentu membedakannya dengan epistemologi aliran salafis. Otentitas ajaran dipandang sangat penting, karena dapat menjamin terwujudnya fungsi Islam sebagai anugerah bagi semesta alam (rahmatan li al-`alamin) dan secara khusus terbangunnya Izzul-Islam wa al-Muslimin. Dalam hal ini, jangkauan umat terhadap pesan-pesan ideal Islam mesti melalui mata rantai periwayatan (sanad) yang berantai (tasalsul). Sistem kemadzhaban dalam Aswaja adalah bagian dari paradigma ini. Dengan bermadzhab, umat Islam dapat sampai kepada mata air syariat (syuhud ayn al-Syari`ah), dan dengan demikian akan terhindar dari bidah-bidah yang mungkin timbul dari pemaknaan langsung terhadap sumber ajaran, lebih-lebih oleh pihak-pihak yang tidak kredibel tanpa me- refer kepada para mujtahid sebelumnya. Masih terkait dengan transmisi ajaran tadi, maka sanad atau transmitter menempati posisi yang sangat penting dalam epistemologi Aswaja. Ulama dalam hal ini adalah transmitter ajaran Islam. Oleh karenanya, ia menempati posisi strategis dan merupakan bagian dari Islam itu sendiri. Inilah yang oleh Syed Hossen Nasr dipandang sebagai ciri epistemologi tradisionalism. Ulama diikuti karena kredibilitasnya sebagai perantara ajaran Islam, dan sebab itu pula ia disebut sebagai pewaris nabi (waratsat alanbiya). Secara filosofis, karena otoritasnya itu, ulama adalah sumber
2

pengetahuan di luar nash, dan karena itu umat berkumpul di majlis-majlis ulama untuk mendapatkan pengetahuan tentang agama dan segala aspek kehidupan. Sistem penghormatan terhadap ulama ini telah mengakar sedemikian kuatnya di tengah komunitas NU hingga melahirkan patronase umat terhadapnya, termasuk dalam politik. Demikian halnya secara struktural, jamiyah NU telah mengukuhkan kepemimpinan ulama yang tercermin dalam lembaga syuriyah. Secara umum, hal ini dapat disebut sebagai salah satu kekuatan sekaligus kelemahan komunitas NU. Melihat posisi ini, maka ulama atau kaum terdidik memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kemaslahatan umat. Ia dituntut memberikan pencerahan (li yundziru qawmahum), membebaskan mereka dari belenggu kebodohan, himpitan ekonomi, dan penindasan politik, sebagaimana dikehendaki oleh Islam itu sendiri. Tugas-tugas seperti inilah, yang mengharuskan ulama memiliki tiga kompetensi sekaligus : alim (mewarisi ucapan dan kecerdasan nabi) ; abid (mewarisi perilaku dan ketekunan nabi dalam beribadah), dan ; arif (mewarisi kebijaksanaan dan sifat-sifat mulia nabi). Tiga kompetensi tersebut menggambarkan tipe ideal ulama sebagai intelektual organik yang tidak hanya memiliki keunggulan akademik, tetapi komitmen sosial dan politik yang tinggi dan diwujudkan dalam aksi-aksi riil. Paradigma di atas, selanjutnya melahirkan cara pandang yang eklektik terhadap realitas historis. Dialektika normatifitas Islam sebagai muatan wahyu dengan historisitas Islam dalam hal ini menemukan momentumnya dalam sistem matarantai periwayatan ini. Kalangan salafis-puritan cenderung menjustifikasi dialektika ini sebagai sumber bidah di kalangan umat Islam, dan oleh karenanya mereka menyerukan kembali kepada sumber-sumber otentik Islam (ruju ila al-quran wa al-sunnah) secara skriptualis dan menggunakan jargon muhyi atsar al-salaf (menghidupkan tradisi salaf : era nabi dan generasi sahabat). Oleh karena ini pula mereka merasa lebih layak disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Dalam pandangan Aswaja, ulama sebagai transmitter, mereka berijtihad dalam kerangka penerapan maksud Syari dalam berbagai konteks (zaman wa makan) yang berbeda dan berkembang. Hasilnya, kadang-kadang berupa afirmasi terhadap tradisi lokal, atau formula ritual dan tradisi keagamaan tertentu yang sangat beragam dan menjadi bagian dari khazanah Islam itu sendiri. Seringkali formula-formula itu tidak didapati secara formal pada era nabi dan sahabat. Dalam bidang politik, penerimaan NU terhadap Pancasila dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan contoh bagian dari cara pandang ini. Meskipun demikian, afirmasi Islam tidak boleh mengarah kepada sikap permissif dan sinkretik. Hadratus Syaikh memberikan banyak contoh dalam hal ini. Semuanya dilakukan justeru untuk menjamin otentitas Islam itu sendiri. Misalnya dalam beberapa fatwanya tentang tradisi peringatan mawlid yang disertai acara-acara berbau maksiyat ; tradisi tarekat yang berisi pengkultusan mursyid dan klaim kewalian, serta pengamalan-pengamalan lain yang walaupun menyertakan simbol agama, tetapi tidak mengandung kemaslahatan, atau jelas-jelas menyalahi ketentuan syariat. Ia juga mengkritik sementara ulama yang menggiring umat kepada satu pendapat atau satu madzhab saja. Di sini tampak sekali usahanya untuk melepaskan
3

umat dari fanatisme (taassub) yang hanya akan membentuk pola pikir yang eksklussif dan kaku. Selanjutnya, Moderasi merupakan karakter par-exellence dari epistemologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Prinsip al-Tawasuth wa al-Iqtishad secara normatif terdapat dalam ajaran Islam dan sekaligus menjadi karakter agama ini, secara historis juga dibuktikan telah menjadi karakter Ahl alSunnah wa al-Jamaah . Prinsip ini secara konsisten ditarik menjadi bagian dari Aswaja NU. Pemikiran Hadratus Syaikh dalam hal ini dapat dijadikan contoh, bagaimana ia memoderasi ekstremitas pemikiran kaum salafi di satu sisi dan komunitas muslim tradisional di sisi lain. Pemikirannya dalam banyak hal membuka ruang dialog antara kedua kutub dengan melakukan pembelaan terhadap keberagamaan kalangan tradisional dan sekaligus otokritik terhadapnya. Sebagai seorang ulama sekaligus ideolog bagi organisasi yang didirikannya, Hadratus Syaikh selain menampilkan corak pemikiran yang tegas seperti tergambar pada paparan singkat di atas, ia juga luwes dalam menyikapi keadaan. Ketegasannya merupakan ekspresi dari komitmenya menjaga otentitas Islam, sementara keluwesan sikapnya merupakan ekspresi dari orientasi intelektualnya untuk mewujudkan kemaslahatan (maslahah) sebagai tujuan (maqashid) syariat. Aswaja di Tengah Tantangan Ideologi Jika pada era awal, Aswaja merupakan counter discourse (wacana tanding) orientasi ideologi puritan Islam Islam dan modernis, maka dewasa ini NU dihadapkan pada orientasi ideologi yang sangat beragam dan kompleks. Dalam hal mana, ideologi-ideologi tersebut memang memiliki benang merah dengan berbagai kecenderungan ideologi yang telah berkembang sebelumnya, namun variannya telah berkembang lebih kompleks dan tidak sebangun-sebidang dengan konteks masa lalu. Perkembangan pemikiran dewasa ini, ditandai dengan menguatnya kembali pemikiran-pemikiran yang membentang dari satu ekstremitas ke ekstremitas lainnya. Secara dominan, diwarnai dengan berkembangnya ideologi Trans-Nasional, baik yang berbasis agama (Islam) maupun sekular. Sebagai sebuah diskursus pemikiran keagamaan, sosial-politik atau ekonomi, tentu saja perkembangan pemikiran tersebut merupakan suatu keniscayaan, namun dalam konteks aplikasinya di lapangan praktis, lebih-lebih dalam konteks politik-kenegaraan, akan sangat rentan menimbulkan gesekangesekan yang tidak produktif bagi pencapaian tujuan perjuangan Izzul Islam wa al-Muslimin. Pertama, Ideologi trans-nasional berbasis Islam, dapat diamati dari gerakan-gerakan yang dipopulerkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan Hizb alTahrir al-Islamiyyah. Para penyokong gerakan gerakan itu di Mesir, mereka berfaham Sunni, sedangkan di Makkah, mereka adalah penganut faham salafi-wahhabi. Dalam bidang amaliyah diniyyah, mereka ini (khususnya yang mengenut Sunni) tidak berbeda dengan kebanyakan muslim di Indonesia, termasuk nahdliyyin. Namun mereka berbeda dengan orang-orang NU dalam orientasi politiknya. Sedangkan mereka yang menganut Salafi-Wahhabi, mereka terbagi menjadi dua Salafi Dawah dan Salafi Jihadi (politik).
4

Pemikiran-pemikiran Salafi Dawah (seperti Bin Bazz, Jafar Umar Thalib, dan lain-lain) seringkali bersinggungan dengan pemikiran keagamaan komunitas NU. Pemikiran mereka ini ini, merupakan kebangkitan kembali gagasangagasan wahhabiyyah pada era awal kelahiran NU. Sedangkan pemikiran Salafi Jihadi (seperti Zain al-Abidin al-Sururi, Abu Bakar Baasyir, dan lain-lain) lebih sering bersinggungan dengan cara pandang ulama NU pada masalah kenegaraan (bentuk negara NKRI, nasionalisme, hukum, sistem politik dan sebagainya). Selain itu, sebenarnya juga terdapat berbagai aliran keagamaan lain yang tidak dominan, tetapi merupakan pesaing dawah kalangan Nahdliyyin, seperti Syiah (LKAB, IJABI) Bahai, Druze, Sikh, Jamaah Tabligh, dan Ahmadiyah (Lahore dan Qadiyan), juga berkembangnya agama-agama lokal yang sinkretis. Kedua, Ideologi transnasional berbasis sekular, sebagaimana dapat diidentifikasi dari berkembangnnya faham Liberalisme dan Sosialisme. Faham liberal mengemuka dalam dua bentuk, yakni Liberal-Konservatif dan NeoLiberal. Jika para penyokong faham Liberal Konservatif berpandangan bahwa ekonomi ditentukan oleh pasar, maka faham Neo-Liberal lebih ekstrem dengan pendiriannya bahwa seluruh aspek kehidupan ini ditentukan oleh pasar. Faham ini Kompatibel dengan gagasan Kapitalisme Global atau NeoKapitalisme. Sementara itu faham Sosialisme yang berkembang meliputi Sosialisme Kiri mengusung gagasan-gagasa Marxisme dan disisi lain terdapat Sosialis Demokrat yang lebih moderat. Tentu saja identifikasi di atas tidak lengkap, dan cenderung menyederhanakan keragaman yang sebenarnya. Namun demikian, untuk kepentingan memperjelas posisi Aswaja, kiranya identifikasi tersebut cukup untuk mengeksplorasi prinsip al-tawassuth wa al-Iqtishad yang menjadi karakter utama Aswaja. Prinsip ini menolak segala bentuk ekstremitas pemikiran maupun gerakan keagamaan dan mencoba mencarikan jalan tengah sebagai solusi alternatif dari kecenderungan kedua ekstremitas. Meskipun begitu, Aswaja tidak serta merta menggunakan jalan puritan sebagai bagian untuk memperjuangkan keyakinannya, karena puritanisme adalah bagian dari ekstremitas itu sendiri. Aswaja lebih mengedepankan sikap toleran (al-tasa>muh}) dalam melihat realitas keagamaan dan aktualisasinya yang berbeda-beda. Aswaja tidak pernah menampakkan wajahnya yang garang di dalam perang pemikiran/pertarungan wacana ( ghazw al-fikr). Dalam konteks dinamika pemikiran Islam saat ini yang diwarnai berkembangnya berbagai aliran keagamaan (Islam), eksistensi Aswaja dapat diamati dari konsistensi memegangi kedua prinsip di atas. Secara substansial, pemikiran Aswaja dapat sama atau serupa dengan ideologi-ideologi lain, atau merupakan perpaduan sisi-sisi tertentu dari kecenderungan berbeda ideologiideologi tersebut. Namun yang pasti Aswaja selalu menampakkan platform moderasi dan toleransinya. Karakter ini, memang kadang-kadang menampakkan fleksibilitas, tetapi juga sangat rentan menimbulkan sikap opportunistik bagi kalangan pendukungnya, lebih-lebih dalam wilayah sosial, ekonomi, dan politik. Sejarah panjang Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah, juga membuktikan bahwa paham atau aliran ini selalu didukung oleh mayoritas umat Islam. Hal ini, karena secara nyata, ia mampu berada di jalan tengah bagi setiap ektremitas. Oleh karena itulah di dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama>ah juga ada prinsip al-Sawa>d al-Az}am (prinsip apresiasi terhadapmayoritas).
5

Prinsip ini juga mengandaikan kebenaran di atas dukungan mayoritas umat, yang berkesesuaian dengan demokrasi modern. Dari Tathbiq al-Tsaqafi ke Tathbiq al-Hadlari Dengan melihat karakter dan ajarannya seperti terurai di atas, Aswaja sangat potensial untuk memenangkan pertarungan wacana (ghazw al-fikr). Namun demikian ia tidak boleh berhenti pada ranah tathbiq al-tsaqafi (pengembangan pemikiran/wacana). Eksistensi sebuah ideologi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu mengadaptasi dinamika perubahan yang bergerak cepat dan juga bagaimana ideologi itu menyentuh realitas hajat hidup umat manusia. Maka Aswaja yang ideal itu, harus digerakkan lebih aktif memasuki ranah tathbiq al-hadlari (pengembangan peradaban) dalam wujud yang lebih konkret, lebih operasional dan terapan untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban. Selayaknya saat ini perdebatan konsep Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batasbatas ideologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah berikutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para ulama dan umatnya untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mutabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Di sinilah ruang aktualisasi kaum muda nahdliyyin untuk memberikan jawaban konkrit, bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderat dan toleran menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut ; Seberapa besar pola pikir (mind-sett) madzhabmadzhab (madzahib) baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan), dan ; Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Maka, selain membangun konsep-konsep ideologi transformatif berbasis pada epistemologi Aswaja, kalangan muda dan terpelajar Nahdliyyin dituntut perannya untuk melakukan obyektivasi nilai-nilai Aswaja melalui gerakan-gerakan pencerahan dan aksi-aksi konkrit sesuai kapasitas yang dimilikinya.

Dipersiapkan untuk pengantar diskusi pada kegiatan Worshop dan Pelatihan Kader Aswaja Nusantara PC PMII Kota Malang, 22-25 Desember 2011. Semoga ada manfaatnya. ii Alumni PMII ; Dosen Fakultas Tarbiyah & Pascasarjana IAIN Sunan Ampel ; Direktur Museum NU.

You might also like