You are on page 1of 25

Menjembatani Langit dan Bumi

Publikasi 03/02/2003 08:54 WIB

eramuslim - Kebijakan-kebijakan pemerintah yang melakukan divestasi Indosat,


privatisasi asset-asset negara, menaikkan harga-harga BBM, Tarif Dasar Listik (TDL),
Telepon yang menyebabkan kenaikan di berbagai sektor lainnya. Semakin
menegaskan jarak antara pemerintah dengan rakyat yang jelas-jelas menolak semua
kebijakan tersebut. Rakyat berpikir, semua kebijakan pemerintah itu tak satupun yang
didasari atas kepentingan jangka panjang, atas kepentingan dan kemaslahatan orang
banyak, melainkan kepentingan sesaat yang semakin memburukkan keadaan rakyat
sudah terperosok selama sekian tahun sejak krisis ekonomi melanda negeri ini.

Kebijakan pemerintah dan harapan rakyat ibarat langit dan bumi. Yang pada
kenyataannya, selama malaikat pesuruh Allah belum meniupkan sangkakala pertanda
hari akhir, tidak akan pernah langit menyatu dengan bumi. Namun jika secara fisik
keduanya tidak bisa bertemu, bukankah masih ada harapan kesenyawaan itu tercipta
ketika hati dan pikiran orang-orang yang dilangit menjemput yang di bumi? Jika
terlalu berat bagi yang dibumi untuk menghusung hati ke atas, bukankah lebih ringan
bagi yang berada diatas untuk turun?

Penguasa yang cerdas selalu peduli terhadap pola pikir rakyat yang diperintahnya.
Itulah salah satu kunci keberhasilan suatu kepemimpinan yang paling mendasar. Saat
ini, pemerintah mempunyai pola pikirnya sendiri, sementara masyarakat juga
memiliki pola pikirnya sendiri. Memaksakan pola pikir yang satu terhadap yang lain
tentulah hanya akan melahirkan konflik. Selanjutnya, sudah pasti akan muncul
berbagai praktek kekerasan yang timbul akibat tumbuhnya benih-benih perlawanan,
ketidaksukaan dan perbedaan.

Maraknya aksi-aksi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat akhir-akhir ini,


awalnya hanya sekedar ‘pemaksaan’ pola pikir pemerintah yang tidak sejalan dengan
kepentingan rakyatnya. Pemaksaan yang dilanjutkan dengan sikap tegas dan represif
kekuatan kekuasaan terhadap siapapun yang tidak sejalan, sesungguhnya merupakan
potret awal keruntuhan. Teori manapun yang pernah kita pelajari berkenaan dengan
perubahan mengajarkan, tidak akan pernah suatu perubahan (progresif) tercipta tanpa
adanya kesatuan antara orang-orang yang di depan dengan mereka yang memberikan
kepercayaan penuh kepada yang di depan. Membangun sebuah peradaban baru, perlu
kesatuan yang utuh antara orang-orang berpendidikan, intelektual yang dipercaya
sebagai pemimpin suatu bangsa, dengan anggota masyarakat dari bangsa itu sendiri
(Ali Syari’ati).
Masalahnya kemudian, ada kesenjangan hubungan, tidak adanya kontak dari hati ke
hati antara langit dan bumi. Sekali lagi, untuk sementara langit memang takkan
pernah menjumpai langit, tapi sejauh apapun jarak itu bukankah tetap bisa tersatukan
ketika hati dan pikiran keduanya duduk menyatu dalam satu kepentingan, dalam satu
tujuan selayaknya orang-orang terdahulu di negeri ini melakukannya saat
merumuskan bentuk dan kelahiran bangsa, ketika bahu membahu membidani
perjuangan memerdekakan negeri bernama Indonesia ini.

Semestinya setiap penguasa belajar dari sejarah, bahwa kejatuhan yang pernah
dialami oleh hampir semua pemimpin adalah saat langkahnya tak lagi seiring dengan
orang-orang yang dipimpinnya. Begitu juga dengan negeri ini, mendiang Presiden
Pertama RI, Soekarno sangat menyadari artinya rakyat bagi sebuah bangsa,
pemahaman yang teramat mendalam dari Soekarno itu tercermin dari pidatonya pada
tahun 1957: “Dulu itu kita semua adalah ‘rakyati’, dulu itu kita semua adalah ‘volks’.
Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan
angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan
kita dulu itu adalah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat.”

Kalaulah Allah begitu teramat sering menjumpai hamba-hamba-Nya di bumi, melihat


langsung dari dekat setiap bulir air mata ummat yang menetes di sepanjang malam.
Begitu juga dengan para malaikat (makhluk langit lainnya) yang penuh kearifan
menghampiri anak-anak Adam dan melaporkan kepada Tuhan setiap aduan, keluhan
atau bahkan jeritan ketidakberdayaan manusia menjalani hidup. Kalaulah para Nabi
dan Rasul Allah memberikan teladan bagaimana menyentuh hati rakyat, mengangkat
yang jatuh, menggandeng yang lemah dan bahkan mengutamakan kepentingan rakyat
diatas semua kepentingan diri dan keluarganya. Jika pemimpin-pemimpin di negeri
ini masih menjadikan Allah sebagai sesembahan mereka, masih percaya adanya
malaikat-malaikat yang senantiasa hadir bersamanya, dan menempatkan Rasul
sebagai teladan hidup, semestinya mereka mau turun ke bumi.

Menikmati Hidup
Publikasi 16/01/2003 08:27 WIB

eramuslim - Kawan, ingin kuceritakan padamu indahnya menggenjot pedal sepeda


membelah persawahan, menempuh jarak 5 sampai 10 kilometer. Angin segar
menerpa, cicit burung dan lenguhan kerbau mengiringi setiap putaran roda. Kehijauan
sawah sepanjang mata memandang, berbatas cakrawala langit yang biru dengan
saputan awan putih di ketinggian. Sebenarnya semua itu biasa saja, karena aku anak
desa. Tapi sungguh, keindahan itu menjadi terasa lebih indah karena lima tahun
terakhir aku nyaris tak lagi menyentuh sepeda onthel. Ya, lima tahun terakhir aku
lebih banyak naik motor atau menggunakan kendaraan umum. Bahkan ke warung
tetangga berjarak dua ratus meter pun selama ini aku tak mau lagi naik sepeda.

Indah karena sambil menggenjot pedal aku mengenang masa-masa sebelum lima
tahun yang lalu. Saat tiap hari aku menempuh puluhan kilometer di atas sepeda jengki
atau sepeda mini, bersaing dengan bis kota di atas sadel sepeda. Bermandi peluh saat
matahari siang bolong panas membakar, atau bernafas embun saat kabut pagi masih
melingkupi. Kini, lima tahun kemudian, aku naik sepeda hanya sebagai selingan,
sekedar sarana untuk berolahraga dan berekreasi.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, ingin kuceritakan padamu nikmatnya mengurus ternak. Mencari dan memberi
makan ayam, bebek dan kambing. Juga membersihkan kandang mereka dari ranting-
ranting sisa makanan, juga dari kotorannya. Bau khas ayam, serudukan kambing dan
kotorannya terasa nyaman. Beberapa jam berkutat dengan mereka memang
melelahkan, tapi sungguh terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana tidak nikmat
dan menyenangkan, sedang aku mengerjakan semua itu hanya sekali dua, saat
menjalani liburan. Dulu, lima tahun yang lalu, aku harus melakukan pekerjaan itu tiap
hari. Dan kini, rasanya indah sekali, mengenang betapa beratnya pekerjaan itu dulu.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, ingin kubagi padamu tentang asyiknya menimba air dari sumur dengan tali.
Meskipun lengan sempat kram dan pegal selama beberapa hari, derit roda katrolnya
menimbulkan sensasi yang menggembirakan. Tempelasan air yang menerpa teramat
menyenangkan. Segar. Dan keasyikan itu berubah menjadi perasaan yang indah,
mengenang lima tahun yang lalu aku harus bercapai-capai menimba berpuluh-puluh
ember untuk seluruh kegiatan rumah tangga, juga usaha batu bata ibu. Sedang kini,
aku hanya perlu menimba saat listrik mati.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, aku ingin engkau tahu, menyenangkan sekali memasak dengan kayu bakar.
Kuhembus bara-bara dengan sepenuh tenaga, agar makanan di tungku menjadi masak.
Meskipun itu berarti abu berhamburan mengotori baju, keringat berleleran karena
udara panas di sekitar tungku, dan panci-panci menjadi menghitam serta butuh usaha
ekstra untuk mencucinya. Kata orang, memasak dengan api tungku lebih enak. Tapi
bukan itu yang paling nikmat dari memasak dengan tungku dan kayu bakar, tapi
karena aku sudah lebih dari lima tahun tak melakukannya. Ya, selama ini untuk
memasak aku tinggal menyalakan kompor minyak atau kompor gas, menanak nasi
dengan rice cooker, memasak air dengan ketel listrik. Dan kini, aku menikmati
memasak dengan kayu bakar seperti sedang berpiknik. Lima tahun lalu, tiap hari aku
bergulat dengan kayu bakar, abu dan tungku.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, hari ini di sini, nikmat sekali aku mengunyah potongan apel, pir dan jeruk
mandarin. Buah-buahan itu beberapa tahun terakhir rasanya tak terlalu istimewa
bagiku, bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Namun kini, rasanya lain sekali.
Saat mengulumnya ingatan tentang masa lima tahun yang lalu melintas-lintas. Ya,
lima tahun lalu, aku menahan air liur untuk sekedar dapat mencicipi melon, mangga,
semangka apatah lagi buah pir, apel merah dan anggur. Tak ada uang untuk sekedar
membeli sepotong, sedang jajan di sekolah pun hanya seminggu sekali, ketika ada
pelajaran olah raga.

***

Kawan, hari ini, aku ingat sekali, sudah lebih dari lima tahun aku menjadi pegawai
negeri. Banyak orang mengatakan, menjadi pegawai negeri itu enak. Kerjanya santai,
gaji tetap.

Tapi selama ini aku merasa tidak nyaman. Pertama karena aku tidak suka bersantai-
santai. Kedua, karena peningkatan prestasi dan karir berjalan sangat lambat. Ya, aku
merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang bisa sekolah lagi, kemudian
bekerja di tempat swasta dengan gaji besar. Aku merasa kurang beruntung dibanding
teman-teman yang sudah menjadi para profesional, dengan gelar akademis tinggi. Aku
merasa kurang dibanding teman-teman yang sudah mencapai keberhasilan jauuh di
atasku: dalam hal keluarga, karir, pendidikan maupun aktifitas sosial.

Tapi hari ini aku tahu, bahwa aku pun telah mendapat pencapaian besar. Dulu aku
naik sepeda ontel, kini dapat naik motor dan naik bus kemana-mana. Dulu aku harus
mengurus ternak untuk biaya sekolah, kini aku memelihara binatang untuk teman.
Dulu aku harus berhemat air agar hemat tenaga untuk menimba, kini aku bisa mandi
sepuasnya tanpa usaha. Dulu aku harus puas dengan ubi, pisang dan pepaya dari
kebun, kini aku bisa sarapan tiap pagi dengan apel dan jeruk.

Maka nikmat Allah yang manakah yang (dapat) aku dustakan?


Mensyukuri nikmat. Phrase ini terdengar teramat klise. Karena ia adalah salah satu
ajaran agama Islam dan agama lain yang hampir semua orang ernah mendengarnya.
Namun kekliseannya tidak membuat kalimat tersebut gampang diaplikasikan. Ada
saat-saat dimana kata-kata tersebut begitu abstrak, sulit dimengerti dan berat
dilaksanakan. Atau malahan mudah diucapkan, tapi perbuatan tak sesuai dengan yang
dikatakan. Padahal ternyata, phrase itu ternyata bisa teramat sederhana.

Mengenang kembali lima tahun yang lalu itu, ternyata semua biasa saja. Dulu aku
sanggup hidup sedemikian, maka mengapakah sekarang aku lebih tak bahagia?
Mengapa aku harus membandingan diri dengan orang lain dan selalu merasa kurang?

Dulu aku sanggup menikmati apa yang ada, apa yang diberikan Allah padaku. Dulu,
dengan status anak kos sejak kelas 1 SMA, aku sanggup hidup dengan uang 3-5 ribu
rupiah seminggu untuk makan, ongkos jalan dan fotocopy. Oke saja bagiku berjalan
kaki maupun ngontel berkilo-kilo. Mie sebungkus untuk dua kali makan pun tak
masalah. Dan semua itu dahulu biasa saja. Karena saat itu aku malah belum mengenal
dunia, dan apa yang kuperoleh sudah terasa cukup.

Menikmati hidup. Tampaknya itu saja kuncinya. (Azi_75@yahoo.com, hari-hari


seputar lebaran)

Depan > Konsultasi > Oase

Terima Kasih, Allah


Publikasi 11/07/2002 09:43 WIB

eramuslim - Pagi ini sinar mentari menembus celah-celah jendela rumah dan kamar
menghangatkan tubuh yang semalaman dibalut kesejukkan malam. Sementara
nyanyian burung-burung terdengar merdu mengiringi bergulirnya titik-titik embun
diatas dedaunan. Warna-warni bunga yang cerah pun seperti menyapa menyambut
hari. Indahnya alam, berserinya tempat berpijak dan begitu mengagumkannya
perhiasan hidup ini, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.

Ketika sejuknya air membasuh tubuh di waktu pagi, hembusan angin menerpa saat tapak-tapak ini menyusuri jalan
memulai semua aktifitas. Hingga saat sore menghadirkan senjanya yang mempesonakan. Semua yang diberikan alam
ini, segala yang hadir untuk kita nikmati sepuas-puasnya, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.

Dia menghadiahi makhluk dengan berbagai kenikmatan, udara segar yang takkan pernah habis dihirup, air yang
mengalir tanpa hentinya memuaskan dahaga dan segala kebutuhan kita akannya, buah-buahan yang menyegarkan,
sayur dan bahan makanan yang masih bisa kita nikmati pagi, siang dan malam hari. Berbagai aroma yang masih
mungkin kita rasai kelezatannya. Untuk jumlah tak terhingga atas kenikmatan yang telah dan akan diterima, hanya satu
kata terucap, terima kasih Allah.

Rumah dan pekarangan yang memberikan keamanan dan kenyamanan, rekreasi dan kesenangan yang masih sempat
kita lakukan. Istri sholehah yang memberikan kedamaian atau suami yang mampu membimbing dan memberikan
teladan, kehangatan yang senantiasa menyeruak oleh hadirnya anak-anak dan cucu yang manis-manis lagi
membanggakan. Atas semua keceriaan hidup ini, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.

Ada saat-saat manusia merasai kehilangan nikmat kesehatan, disitulah terasa begitu mahalnya sebuah nikmat sehat.
Saat masih tersisa satu kesempatan bagi kita sementara sekian banyak orang menyia-nyiakan kesempatannya dan waktu
lapangnya terbuang sia-sia, juga ada masa-masa dimana Allah masih melimpahkan kekayaan dan rizki yang cukup dan
kita mampu memanfaatkan sebaik-baiknya sebelum masa-masa sulit datang menggantikan masa kaya. Waktu muda
dengan segala kekuatan, kelebihan kemampuan, keelokan paras penampilan tak memperdayakan kita hingga datangnya
waktu-waktu dimana Allah menghilangkan satu-persatunya dari kita, dan hingga detik ini masih ada kesempatan bagi
kita melihat dunia sebelum ajal menjemput, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah.

Kemudian Dia pun terus mengalirkan kasih sayang-Nya kepada segenap makhluk tanpa pilih kasih, membuka selalu
tangan-Nya untuk setiap taubat hamba yang khilaf, menyediakan tempat-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang ingin
selalu merapat dan mendekatkan diri, mendengar, menampung semua keluh-kesah dan mengabulkan pinta orang-orang
yang meminta, menguji dengan kesenangan dan kesedihan, dan pada akhirnya memberikan sanksi seadil-adilnya
kepada semua makhluk atas setiap perbuatannya, serta membukakan pintu surga untuk melengkapi semua nikmat yang
diberikan-Nya. Untuk semua yang terasa, terlihat, terlewati, yang tak terhitung bahkan yang luput dari ingatan kita dan
tak pernah terpikirkan, hanya satu kata terucap, terima kasih Allah. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Indahnya Cinta karena Allah


Publikasi 22/07/2002 10:47 WIB

eramuslim - Sesungguhnya dalam Islam, cinta dan keimanan adalah ibarat dua sisi
mata uang. Antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Cinta tidak dapat
digambarkan tanpa iman. Dan iman pun tidak dapat dibayangkan tanpa cinta. Dengan
cinta dan keimanan inilah hati setiap mukmin yang satu dengan lainnya terikat kuat.
Bila mukmin yang satu sakit, maka mukmin yang lain pun merasakan hal yang sama.
Karenanya, tak berlebihan bila seorang ulama Mesir yang telah syahid, Al Ustadz
Imam Hasan Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap inilah Islam
diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak, jikalau dengan
iman dan cinta, persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun akan
terpecahkan.

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. At Taubah : 71).

Hal itu juga tidak lain karena orang mukmin itu laksana sebuah bangunan. Bagian
yang satu akan mengokohkan bagian yang lain. Sebaliknya, jika bagian yang satu
hancur, maka yang lain pun akan merasakan kehancurannya. Karena itu, hadits
Rasulullah saw juga menegaskan: "Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling
mencintai, saling mengasihi, dan saling berempat di antara sesama mereka adalah
laksana satu tubuh, jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh
anggota tubuh akan ikut merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."

Sejarah Islam telah menggoreskan pena emasnya, betapa para generasi pendahulu kita
mempunyai kehidupan yang sangat mulia dan jarang kita temui dalam kehidupan kita
saat ini. Mereka selalu saling tolong menolong, sepenanggungan dalam suka dan
duka, mempunyai rasa empati yang tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan
saudara seimannya daripada kepentingannya sendiri (itsar).

Abu Bakar as Shiddiq, misalnya, beliau rela menginfaqkan seluruh hartanya demi
kejayaan Islam. Ketika Rasulullah saw menanyakan pada beliau, "Harta apakah yang
kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?" Beliau menjawab, "Saya tinggalkan Allah dan
Rasul-Nya untuk mereka." Karena kedermawanan dan keikhlasan Abu Bakar inilah,
maka Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada harta seorang pun yang memberikan
manfaat kepadaku melebihi harta Abu bakar."

Kaum Anshor pun tak kalah tingginya memiliki sifat itsar. Dalam sebuah kisah
disebutkan bahwa suatu hari kaum Anshor datang menemui Rasulullah saw
mengutarakan pendapatnya, "Wahai Rosulullah bagilah menjadi dua tanah yang kami
miliki untuk kami dan saudara kami muhajirin". Rasulullah menjawab, "Jangan
lakukan itu, tapi cukupilah kebutuhan mereka dan bagilah hasil panen kepada mereka.
Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian". Maka kaum Ansor berkata, "kami ridho
atas keputusan engkau wahai Rasulullah."

Dalam kisah lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menawarkan
kepada para sahabat, siapakah di antara mereka yang bersedia menjamu tamu
Rasulullah saw, maka salah seorang dari kaum Anshor berdiri dan menyatakan
kesediaannya. Padahal, ketika ia pergi enemui keluarganya, teryata istrinya
mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai makanan, kecuali untuk anak-anaknya.
Maka, orang Anshor ini mengatakan kepada istrinya, "Kalau begitu, bila anak-anak
hendak makan malam, tidurkanlah mereka. Dan kemarilah kamu, matikan lampu,
tidak apa-apa kita tidak makan pada malam ini."

Pagi-pagi sekali, ketika orang Anshor ini datang kepada Rasululloh saw, bersabdalah
beliau, "Allah kagum atas perbuatan si fulan dan fulanah." Maka Alloh swt berfirman:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs.Al Hasyr :9).

Akhlaq mulia kaum Anshor dalam mengutamakan kepentingan kaum muhajirin tidak
hanya sampai di situ. Dalam hadits disebutkan bahwa kaum Anshor berkata kepada
kaum Muhajirin agar mereka memilih salah satu dari dua istrinya yang mereka
senangi. Kemudian kaum Anshor akan menceraikan istri tersebut lalu menikahkannya
dengan istri yang telah diceraikannya itu.

Sifat itsar juga melahirkan refleks-refleks yang tidak dibuat-buat, tapi murni dari hati
yang salim (bersih). dalam satu peperangan dikisahkan, seorang mukmin terkena
pukulan pedang musuh di tengkuknya. Ia tidak berteriak atau mengaduh karena sakit,
tapi ia langsung jatuh tersungkur dan pada akhirnya syahidnya menjemputkan . Tetapi
yang menakjubkan ketika mukmin itu terpukul pedang tersebut, justru mukmin lain
yang melihatnya lah yang mengaduh kesakitan dan merasakan perihnya ketajaman
pedang menembus tubuhnya, seakan-akan pukulan itu mengenai dirinya. Dan ucapan
yang terlontar dari mulut mukmin yang mengaduh tersebut adalah, "Saudaraku,
engkau mendahuluiku menuju surga!" Ucapan itu merupakan refleksi kebahagiaan
dari seorang mukmin melihat indahnya ‘masa depan’ yang akan dialami oleh mukmin
lainnya.

Kisah lain yang tak kalah mengesankan indahnya ukhuwah adalah suatu ketika
sepasukan dari kaum muslimin keluar untuk berperang. Posisi antara pasukan kaum
muslimin dengan musuh terbatasi oleh sebuah sungai. Kedua pasukan tersebut saling
berhadapan. Komandan pasukan muslim berkata, "Bagaimana pendapat kalian
menghadapi musuh-musuh kalian, sementara mereka bisa memperoleh perbekalan
dan air tanpa harus susah payah? Bagaimana pendapat kalian?" Salah seorang dari
mereka kemudian menjawab, "Kita seberangi saja sungai ini, lalu kita perangi mereka
di tempat mereka berada." Mereka pun akhirnya menceburkan diri bersama kuda-
kuda mereka melintasi sungai agar dapat bertempur dengan musuh. Di depan mereka
terlihat pasukan musuh sudah siap siaga untuk menghunuskan pedang mereka. Tiba-
tiba, salah seorang di antara pasukan kaum muslimin ada yang berteriak, "Qab
(Kantung air bejana yang terbuat dari kayu) –ku……… Qab-ku…jatuh ke air". Sang
komandan pun berkata, "Carilah dulu Qab milik saudara kalian yang hilang". Mereka
pun sibuk mencarinya. Sementara, pasukan musuh sedang menanti mereka dan
kematian pun mengitari kepala mereka. Ketika komandan pasukan musuh itu melihat
perilaku pasukan muslim, ia berkata, "Apa-apaan mereka itu?" Bawahannya
menjawab, "Salah seorang dari mereka kehilangan Qab-nya, dan mereka pun sibuk
mencarinya."

Komandan ini pun berkata, "Jika karena masalah Qab saja mereka sudah seperti itu,
lalu bagaimana jika kalian membunuh salah seorang saja dari mereka? Pasukan.......!
Berdamai sajalah dengan mareka sesuai dengan apa yang mereka inginkan!"

Subhanallah, demikianlah sejarah kaum salaf telah memperlihatkan kepada kita


bahwa kumpulan manusia itu seluruhnya adalah laksana satu tubuh, melakukan
aktivitas yang satu, serta merasakan perasaan yang sama, walau pun dalam kondisi
yang teramat sulit. Dan Betapa 'pancaran ukhuwah' saja telah mampu mengalahkan
musuh dan memenangkan kaum mukminin, sekaligus menaklukkan kota itu.

Itulah buah dari persaudaraan dan kesatuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Kemesraan ukhuwah seperti itu tidaklah terbentuk begitu saja, sikap takaful (saling
membantu) yang mereka lakukan terbentuk karena ada proses lain yang sebelumnya
mereka jalin. Kemesraan ukhuwah tersebut mereka mulai melalui proses ta’aruf atau
saling mengenal. Dari mulai fisik, karakter, kadar keseriusan taqarruf (kedekatan)
pada Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya.

Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama
muslim. Ia juga dapat membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit
perpecahan. Bila wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum
(saling memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah.
Karena, ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan
saling kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan
satu sama lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang
mukmin dengan mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang sama.

Setelah dua proses itu berjalan barulah terbentuk sikap takaful yang darinya lahir sifat
itsar, puncak amal ukhuwah Islamiyah.

Sungguh, kemesraan 'pancaran ukhuwah' yang telah dicontohkan oleh generasi dahulu
adalah ukhuwah Islamiyah yang tak lapuk oleh waktu dan musim. Ia akan panjang
usia dan kekal hingga hari akhirat kelak. Oleh karenanya, patutlah kita bercermin
pada generasi awal Islam dan para salafussalih dalam berukhuwah. Dengan demikian,
'pancaran ukhuwah' yang demikian tingginya dimiliki oleh mereka, tidaklah sekedar
menjadi kisah yang sering kita dengar dan kita baca, tetapi juga menjadi bagian dari
hidup kita, Insya Allah.

"Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang
yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan
para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika
ditanya oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang
yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling
kunjung karena Allah". (HR. Tirmidzi). Wallahu’alam bishshowaab. (Nurul Huriah
Astuti, Schleidener Strasse 58 52076 Aachen, Germany, e-mail: nurulha@t-
online.de)

Sumber :
1. Hadits Tsulatsa, Ceramah-ceramah Hasan Al-Banna, Intermedia, Februari 2000 2.
Majalah Tarbawi, Edisi 2 Th I, 20 Juli 1999 M / 7 Robi’ul Akhir 1420 H 3. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Gema Insani, Jakarta 2000

Depan > Konsultasi > Oase

Selamat Datang Pagi


Publikasi 23/07/2002 09:01 WIB

eramuslim - Entah sudah berapa ratus syair tergubah yang terinspirasi oleh indahnya pagi, dari Cat Stevens sampai si
imut Tasya pun bersenandung pagi. Juga, mungkin sudah jutaan kata terangkai menjadi puisi-puisi indah tentang pagi,
satu bentuk Kemahasempurnaan hasil kreasi Allah dari jumlah yang tak terhingga kemahasempurnaan lainnya yang
semuanya diperuntukkan bagi hamba-Nya tanpa mengharap imbalan apapun. Bahkan jika hamba-hamba itu bersyukur
dan memuji, pastilah Dia akan menambahkan nikmat-nikmat itu. Maha Suci Allah atas nikmat pagi dengan segala
keajaibannya.

Dengarlah kicau burung-burung bernyanyi, setelah sebelumnya unggas lainnya berlomba saling
bersahut memecahkan keheningan fajar. Titik-titik embun di dahan berjatuhan membasahi tanah
seiring bergulirnya sang mentari menatap bumi, memberi isyarat kepada manusia untuk segera memulai hari yang
teramat cerah. Maka, siapapun yang tetap terlena berselimut tebal, pastilah dia orang-orang yang merugi bahkan
kesuksesan pun makin menjauh.

Selamat Datang Pagi, sebaiknya cukup dalam hati saja mengucapkannya. Patutlah kita mensyukuri nikmat Allah yang
satu ini, karena pagi begitu memberikan harapan bagi segenap makhluk, termasuk bagi manusia yang bercita-cita
meraih sukses dan kemenangan, semuanya bermula di pagi hari. Jika saja, ayam-ayam jantan sudah menyambut awal
kemenangannya dengan lantang di waktu fajar, sementara sang betina dengan sabar menggiring anak-anak mereka
mencari makan. Burung-burung hilir mudik terbang kesana kemari mengitari alam, kicaunya yang tak henti mengiringi
kepakan sayap mereka mencari dahan-dahan tempat berpijak untuk kemudian terbang kembali ke sangkar mereka
dengan setumpuk makanan di paruhnya untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Binatang-binatang melata ditanah
pun menggeliat, mereka teramat tahu bahwa tanpa geliat itu mereka takkan mendapatkan rizki untuk bisa bertahan
hidup. Sungguh, masih adakah manusia yang tetap bermalas dengan badan lurus terlentang merapat di ranjang hangat?
Tentu mereka orang-orang yang jauh dari rizki dan kesuksesan.

Selain itu, datangnya pagi hari ini juga wajib kita syukuri karena belum tentu esok kita kan menikmati keindahannya,
atau bahkan mungkin esok mentari terbit dari arah yang berlawanan dari arah yang biasanya. Itu berarti, bisa jadi ini
adalah pagi terakhir yang dapat kita rasa, dan sentuhan hangat mentari pagi ini juga yang terakhir bagi kita. Oleh karena
itu, bangkitlah segera dan mulailah hari ini dengan penuh semangat karena mungkin saja semangat kita tak berguna lagi
di esok hari. Raihlah prestasi sebaik-baiknya hari ini, baik prestasi dunia maupun prestasi sebagai bekal di akhirat,
karena boleh jadi kecemerlangan amal dan prestasi hari ini yang tercatat sebagai amal yang menyelematkan kita dari
azab-Nya.

Jika memang ini pagi terakhir, tentu bukan menjadi alasan untuk menghabiskan hari dengan berpangku tangan tanpa
berbuat satu apapun. Bekerjalah seolah akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan esok ajal kan datang, satu
nasihat yang bagus untuk didengarkan. Ada keseimbangan yang patut dipertahankan dalam hidup ini, meski waktunya
pun tinggal sehari. Rasulullah pernah menegur salah seorang dari pengikutnya yang selalu berada di masjid sepanjang
hari, dan menyuruhnya untuk keluar bekerja mencari nafkah.

Mencari rizki maupun mencari ilmu terus menerus tanpa kenal patah semangat untuk memacu prestasi, dan pada saat-
saat yang sudah ditentukan kita duduk bersimpuh, merapatkan kening diatas bentangan sajadah, mengadu dan
memohon dikuatkan hati dalam menggapai segala harapan. Kemudian bersegera kembali meneruskan pekerjaan sambil
tak hentinya hati dan bibir ini menyebut nama Allah sebagai sumber kekuatan. Hingga senja pun hadir, semburat
cahaya kemerahan yang terlukis di langit menghantarkan kita merenda lelah. Dan malam pun tiba menawarkan
kesejukannya seiring terpejamnya mata, mengumpulkan tenaga untuk kembali menyambut pagi yang senantiasa
menjanjikan harapan. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Abi Iqna)

Bunga-Bunga Kehidupan
Publikasi 25/07/2002 09:19 WIB

eramuslim - Salah satu keindahan yang Allah ciptakan untuk


dapat dinikmati manusia adalah bertebarannya bunga-bunga
cantik nan menyejukkan dengan aroma dan warna-warni yang
tak membosankan. Apabila musim semi tiba, perlahan kelopak-
kelopak bunga merekah seraya menyemai kecerahan hari. Kuning yang
menghangatkan, kesejukkan yang ditawarkan dari warna putih, merah yang menyala-
nyala membangkitkan gairah hidup, semua warna, semua aromanya mewarnai hidup
menambah semerbak alam tempat berpijak.

Tidak hanya bunga-bunga yang demikian yang memang diperuntukkan untuk manusia
(juga kumbang sang penikmat bunga tentunya), namun ada banyak bunga yang juga
hadir menyemangati hidup, mengiringi langkah ini dan menjadikan hari-hari yang kita
lewati begitu indah dan menyenangkan. Dari sekian melati yang bertebaran di bumi
ini, ada satu yang terindah yang telah kita petik untuk ditanam di taman hati. Dipupuk
dengan segenap cinta tanpa akhir, disirami oleh kasih sayang yang takkan habis dan
dipelihara dengan segala bentuk pengorbanan yang tak kenal lelah, maka ia pun
senantiasa menjadi bunga yang menyenangkan hanya dengan memandangnya,
membasuh peluh, menghapus lelah ketika disentuh dan menyegarkan seluruh rongga
dada ketika mengecupnya sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan. Ya, istri atau
suami yang sekarang menjadi pasangan jiwa kita adalah bunga kehidupan.

Dari melati yang telah dipetik itu, mungkin kan datang Lily, Tulips, Mawar atau
bunga-bunga lain yang semakin meramaikan taman hati ini dengan aroma khas dan
warna yang membuat hidup terasa lebih indah. Keceriaan yang dihadirkan anak-anak
selaku bunga-bunga kecil mampu menghiasharumi hati. Mereka, bunga-bunga kecil
yang dengan keindahannya membuat kita selalu tersenyum, menjadi pelepas dahaga
kedamaian dan pengobat rindu akan kehangatan. Dengan curahan kasih sayang yang
tiada henti, sentuhan pendidikan yang tidak memenjarakan kebebasan berpikir dan
memasung kreativitasnya, semoga tetap menjadikan mereka bunga-bunga yang dapat
dibanggakan, bukan malah menjadi bunga-bunga liar yang berserakan di trotoar dan
pinggir jalan. Dengan menghiasi hati mereka akan keagungan nama penciptanya, dan
kemuliaan nama Rasulnya, akan menjadikan mereka bunga-bunga yang tak pernah
kusut, layu atau bahkan hancur oleh terjangan angin, panas, hujan ataupun buasnya
unggas.
Ketika beranjak keluar melewati pagar, kita akan menemukan bunga-bunga lain yang
tak kalah indahnya, mereka tersenyum dan menyapa dengan hangatnya. Seperti kita
yang juga menjadi bunga kehidupan bagi mereka, bunga-bunga diluar pagar itupun
hadir memberikan makna kebersamaan dan saling mencintai, memberi juga mengasihi
sebagai saudara karena Allah. Jagalah kedekatan, binalah kebersamaan dengan bunga-
bunga itu, karena mereka jugalah yang mungkin akan membantu, menolong dan
meringankan beban berat ataupun terpaan badai kehidupan.

Sebanyak apapun bunga yang kita miliki, jangan juga melupakan bunga-bunga yang
telah melahirkan dan membesarkan kita menjadi bunga saat ini. Mungkin bunga-
bunga itu sudah mulai layu, atau tangkainya sudah terkulai lemah. Jangan biarkan
mereka semakin layu, sirami dengan air cinta meski yang kita miliki tak sebanding
dengan air cinta yang pernah mereka curahkan. Jadilah kaki penyangga tangkainya
agar kita tetap bisa melihatnya berdiri, segar dan melangkah berdampingan hingga
Sang pencipta segala bunga menentukan kehendaknya.

Namun ada satu bunga, yang bersemayam paling dalam di lubuk hati ini, yang tak
boleh kita biarkan tak tersirami oleh air yang tercipta dari rangkaian indah nama-nama
Sang Pencipta segala bunga, dari berdiri, duduk dan sujud yang kita tegakkan, dari
senandung-senandung yang menyuarakan ayat-ayat-Nya dan dari rasa berserahdiri
akan segala kehendak dan ketentuan-Nya. Ialah bunga kehidupan utama yang
tanpanya takkan berarti, takkan terasa indah, takkan menyejukkan aroma bunga
lainnya, seindah dan seharum apapun bunga-bunga yang lain itu. Hingga jika bunga
utama itu kuat, ia pun akan menguatkan diri ini sehingga teramat tegar menepis duri-
duri kemaksiatan yang menyakitkan, atau unggas-unggas kejahatan agar menjauh dari
taman hati ini. Dengan keindahan dan kedamaian yang kita tawarkan selaku bunga,
kita dapat memperbanyak bunga-bunga baru untuk hadir dan bersama-sama saling
menjadi bunga kehidupan di taman hati masing-masing. Wallahu ‘a’lam bishshowaab
(Abi Iqna, teruntuk bunga-bunga di taman hatiku)

Depan > Konsultasi > Oase

Jangan Pernah Berhenti Berdoa


Publikasi 30/07/2002 10:16 WIB

eramuslim - Orang bijak mengatakan, doa tanpa usaha adalah bohong dan usaha tanpa doa adalah sombong. Doa dan
usaha adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa hanya berdoa saja tanpa melakukan usaha
semaksimal mungkin untuk mengapai tujuan kita. Kita juga tidak bisa hanya berusaha saja, tanpa berdoa dan
mengabaikan Allah sebagai penentu berhasil atau tidaknya tujuan kita.

Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu intinya adalah ibadah, doa adalah
senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala kebaikan. Seluruh hamba sangat bergantung kepada penciptanya.
Setiap hamba memang harus berdoa, sebab kita diciptakan dalam keadaan penuh dengan keterbatasan-keterbatasan.
Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan segala kelebihan-kelebihannya, namun
dibalik kelebihan itu manusia juga memiliki segudang kelemahan.

Bayangkan jika kita sedang berada ditengah lautan. Tiba-tiba kapal yang kita tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri
karena badai yang tiba-tiba saja datang menghantam. Nahkoda memberi peringatan tanda bahaya. Tidak ada tempat kita
meminta bantuan karena seluruh alat komunikasi terputus. Apakah yang akan kita lakukan pada saat itu? Masih
pentingkah gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, harta kekayaan yang melimpah, serta kecantikan? Tentu tidak, bagi kita
keselamatan menjadi puncak harapan. Namun siapakah yang dapat memberikan keselamatan kala itu, kalau bukan
kepada Allah SWT kita meminta?

Dibalik kelebihan-kelebihan yang kita miliki, kita menyimpan kelemahan-kelemahan yang tidak dapat kita tutupi,
untuk itu kita perlu meminta kepada Allah SWT, berdoa dengan penuh kekhusuan, penuh harapan, tulus, pasrah dan
ikhlas, seperti yang difirmankan Allah, "Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah, dan Dia-lah Yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) Yang Maha Terpuji." (QS Faathir: 15).

Ada sebuah kisah tentang masyarakat Basrah yang waktu itu sedang dilanda kemelut sosial. Kebetulan mereka
kedatangan ulama besar yang bernama Ibrahim bin Adham. Masyarakat Basrah pun mengadukan nasibnya kepada
Ibrahim bin Adham, "Wahai Abu Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), Allah berfirman dalam Al-Quran agar kami
berdoa. Kami warga Basrah sudah bertahun-tahun berdoa, tetapi kenapa doa kami tidak dikabulkan Allah?"

Ibrahim bin Adham menjawab, "Wahai penduduk Basrah, karena hati kalian telah mati dalam sepuluh perkara.
Bagaimana mungkin doa kalian akan dikabulkan Allah! Kalian mengakui kekuasaan Allah, tetapi kalian tidak
memenuhi hak-hak-Nya. Setipa hari kalian membaca Al-Quran, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya. Kalian selalu
mengaku cinta kepada rasul, tetapi kalian meninggaklan pola prilaku sunnah-sunnahnya. Setiap hari kalian membaca
ta’awudz, berlindung kepada Allah dari setan yang kalian sebut sebagai musuhmu, tetapi setiap hari pula kalian
memberi makan setan dan mengikuti langkahnya. Kalian selalu mengatakan ingin masuk syurga, tetapi perbuatan
kalian justru bertentangan dengan keinginan itu. Katanya kalian takut masuk neraka, tetapi kalian justru
mencampakkan dirimu sendiri kedalamnya. Kalian mengakui bahwa maut adalah keniscayaan, tetapi nyatanya kalian
tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kalian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap
kesalahan sendiri kalian tidak mampu melihatnya. Setiap saat kalian menikmati karunia Allah, tetapi kalian lupa
mensyukurinya. Kalian sering menguburkan jenazah saudaramu, tetapi kalian tidak bisa mengambil pelajaran dari
peristiwa itu."

Terakhir ia mengatakan, "Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda nabi, "Berdoalah kepada Allah, tetapi kalian harus
yakin akan dikabulkan. Hanya saja kalian harus tahu bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan doa dari hati yang lalai
dan main-main."

Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa kepada Allah. Jangan pernah
berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah
senjata kita. Perhatikan ada-adab berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya (elsandra/el-sandra@lycos.com)

Lihatlah Lebih Dekat ...


Publikasi 22/08/2002 15:46 WIB

eramuslim - Didalam kendaraan umum yang lumayan padat, seorang wanita


berjilbab yang duduk dibangku dekat jendela terlihat sedang khusyu’ membaca Al
Qur’an sakunya. Hingar bingar pedagang asongan dan peminta-minta tak mengusik
konsentrasinya. Sementara disebelahnya, seorang wanita lainnya, menyodorkan
sejumlah receh kepada peminta tak berkaki yang melewati mereka dengan cara
ngesot. Seringkali di dalam sebuah kendaraan umum kita menyaksikan fenomena
seperti itu, entah si pembaca Al Qur’an atau orang-orang yang cukup dermawan
menyisihkan sebagian rezekinya untuk kaum dha’if, bahkan keduanya.

Kita yang biasa berkendaraan umum, juga sudah sangat hapal dengan teriakan-
teriakan ‘artis-artis’ jalanan, ataupun para penyair bus kota setelah mereka beraksi.
“Kami hanya harapkan bunga-bunga sosial dari anda, tidak perlu berpura-pura tertidur
dan jangan berlagak sombong jika tak memberi. Senyuman dan tangan terangkat anda
sangat lebih kami hargai” begitu kira-kira. Namun rupanya, masih banyak diantara
kita yang malas sekedar mengangkat tangan –dan melebarkan senyum- dibarengi kata
“maaf” pertanda tidak memberi. Bisa bermacam persepsi orang, tidak ada receh,
susah ngambil uangnya, sebal dengan pengamennya (baik lagu yang dibawakan atau
tampilan yang tidak sedap) atau memang dasarnya pelit.

Sopan, hormat dan sangat menghargai anda sebagai orang yang dimata mereka, sudah
sukses dan mendapatkan kesempatan hidup lebih baik. Meski harus diakui ada
sebagian kecil yang terang-terangan bersikap kasar sewaktu meminta dengan dalih
kapok masuk penjara, plus tampang yang rada kriminal. Masalahnya kemudian,
pantaskah sikap angkuh kita perlihatkan hanya karena kebetulan memiliki rezeki
sedikit lebih (dari mereka). Haruskah hingar bingar suara gitar dan teriakan suara
sumbang mereka dibalas dengan cibiran? Atau yang juga perlu ditanyakan dalam diri
ini, apakah Islam membedakan kaumnya berdasarkan profesi, lusuh-rapihnya pakaian,
kumal-klimisnya penampilan atau aroma tubuh seseorang?
Ditempat lain, kita begitu rela menghabiskan sekian puluh, ratusan ribu untuk
mentraktir kolega dan rekan kerja yang kalau mau jujur nilainya cuma sampai dimata
para kolega itu. Namun jumlah yang tidak sepersepuluhnya yang kita keluarkan untuk
para fakir miskin, anak yatim, peminta-minta, sumbangan masjid dan lain-lain.
Padahal recehan yang kita lemparkan untuk kaum dhu’afa itu sungguh jauh lebih
bernilai, hingga dimata Allah.

Banyak ayat yang sudah kita baca yang semestinya menyadarkan bahwa ayat Al
Qur’an yang membahas ibadah sosial lebih banyak ketimbang ibadah ritual. Mungkin
itu sangat terkait dengan posisi manusia sebagai makhluk sosial, yang juga merupakan
makna dibalik penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bahwa keberadaan
manusia yang satu tidak bisa terlepas dari keberadaan manusia (makhluk) lainnya. Itu
artinya, keberadaan mereka yang lemah juga terkait dengan diri ini yang mungkin saja
menjadi bagian dari proses keterpurukan mereka. Atau setidaknya menambah lekat
status lemahnya dari sikap arogansi dan kikir kita.

Padahal sesungguhnya, sangat banyak keuntungan yang kita raih dari orang-orang
miskin, kaum fakir, anak-anak yatim piatu dan sebagainya. Setidaknya, predikat kita
sebagai kaum the have, dan sebagai orang sukses karena mereka yang berstatus
miskin dan tertinggal. Tidak ada sebutan orang kaya jika tidak ada orang miskin.
Selain itu, bayangkan jika tidak ada mereka, tidak ada yang akan melakukan
pekerjaan-pekerjaan seperti mengeruk sampah, menjadi pembantu rumah tangga,
sopir dan kondektur, penyapu jalan, tukang koran, pelayan toko dan lain sebagainya.
Bayangkan jika kita harus melayani semuanya sendiri tanpa bantuan mereka.
Disinilah makna kebersamaan hidup, berdampingan dan saling membutuhkan
berdasar aturan simbiosis mutualis dan win-win solution.

Belum lagi keuntungan yang dapat kita raih yakni berupa surga Allah hanya dengan
menghormati hak-hak kaum dhu’afa, mengangkat yang jatuh dan membela yang
lemah. Membangkitkan mereka dari keterpurukan yang mungkin saja menyeretnya
kepada kekafiran. Dan itu bisa juga menyeret kita didepan pertanggungjawaban Allah
karena membiarkan orang-orang miskin di depan mata kita berpaling dari agamanya
karena kemiskinan. Tentu kita bisa belajar dari Abu Dzar Al Ghifari, sahabat
Rasulullah yang mendapat gelar pahlawan kaum lemah, pembela kaum tertindas
diyakinkan Rasulullah menjadi salah satu penghuni surga.

Jadi lihatlah lebih dekat, tak perlu membusungkan dada hanya untuk memperjelas
status sosial dihadapan mereka. Sekedar senyum mungkin sedikit membebaskan kita
dari tuntutan pengadilan Allah. sentuhan kasih sayang dan cinta yang kita berikan
kepada saudara kita itu, bukan hanya menorehkan do’a dari mulut mereka akan kita,
melainkan juga mengembalikan kunci surga yang pernah kita biarkan lewat begitu
saja selama ini. Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Iqna)

Depan > Konsultasi > Oase

4 Plus 1 Karakter Manusia Maju


Publikasi 26/08/2002 08:49 WIB

eramuslim - Kalau boleh menyesal atau protes tentu kita akan teramat sangat menyesal dan berteriak keras-keras
karena telah dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Kalau boleh memilih, tentu kita lebih memilih dijajah oleh Inggris
ketimbang negeri Kincir Angin itu. Karena kedatangan Belanda pada masa penjajahan dulu hanya sebatas menguras
habis harta kekayaan Indonesia, tidak lebih. Sehingga hasil yang terlihat sampai sekarang adalah bangsa Indonesia yang
tidak lebih maju dibanding negara tetangga yang dijajah oleh Inggris. Meski ada yang membenarkan, nampaknya itu
ungkapan orang-orang yang begitu pesimis dan pasrah menerima kenyataan bangsa yang carut marut seperti saat ini.
Karena yang jelas, hukum alam membuktikan, siapa yang punya kemauan dan tekad kuat untuk maju, dialah yang maju
dan akan meninggalkan jauh dibelakang mereka yang malas dan pasif.

Ya pasif, satu dari tiga karakter manusia selain Proaktif dan Aktif. Seperti dikatakan Steven R Covey dalam “Tujuh
Kebiasaan Manusia Efektif”, Proaktif adalah satu pondasi utama yang mendukung proses perkembangan dan kemajuan
manusia. Jadi jika seorang individu dengan diikuti oleh individu lainnya menciptakan satu kelompok manusia proaktif,
jelas perubahan besar yang mereka dapatkan. Itu belum ditambah enam kebiasaan lainnya. Aktif saja tidak cukup,
karena orang aktif belum tentu memiliki inisiatif ataupun inovasi untuk senantiasa mencoba dan memulai hal-hal baru,
yang lebih baik. Orang aktif hanya melaksanakan program-program yang sudah diset dan tida melakukan diluar dari
itu. Sementara masalahnya, setuju atau tidak, satu karakter bangsa ini adalah malas, satu item dari sekian banyak item
orang-orang pasif. Dan yang lebih menyakitkan, karena Indonesia adalah pemeluk agama Islam terbesar di dunia, maka
orangpun melekatkan malas (dan selebihnya, pasif) itu pada muslim. Satu analisa yang masih boleh disanggah.

Maaf jika tidak setuju, bisa dikatakan saat ini (dan mungkin sampai akhir zaman) bangsa eropa akan selalu lebih
leading dibandingkan bangsa-bangsa lainnya, apalagi Asia. Kalaupun harus mengesampingkan beberapa faktor yang
dikemukakan John Naismith dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 dimana hampir seluruh sektor kehidupan
orang Asia (termasuk Indonesia) dikuasai oleh eropa, tetapi kita bisa melihatnya dari sikap dan karakter bangsa eropa
yang membuat mereka menjadi bangsa yang maju. Bahkan Yusuf Qaradhawi sendiri melihat kalaupun akan ada
kebangkitan Islam, maka itu pasti bermula dari eropa, bukan Asia (apalagi Indonesia) seperti yang pernah ‘dicita-
citakan’ muslim Indonesia. Berkenaan dengan itu Yusuf Qaradhawi menyitir sebuah hadits yang kurang lebih berbunyi:
empat karakter yang membuat bangsa romawi (eropa) selalu lebih maju sampai di akhir zaman, pertama, mereka lebih
cerdas meski dalam kondisi terkena fitnah. Kedua, cepat bangkit setelah jatuh, ketiga, cepat maju setelah mengalami
kemunduran, dan keempat, terbaik dalam mu’amalah. Sementara satu tambahan karakter lagi yakni, tidak menerima
dizhalimi (oleh penguasa). (HR. Bukhari)
Karakter pertama menjelaskan betapa orang-orang eropa memiliki tingkat pengendalian diri, emosi yang baik.
Sehingga dihadits dikatakan meski dalam keadaan fitnah sekalipun mereka tetap rasional. Berbeda dengan kita yang
terkadang kerap mengkedepankan emosi dan bertindak reaktif mensikapi sesuatu tanpa berpikir matang terlebih dahulu.
Karakter kedua menjelaskan kemampuan recovery yang dimiliki kebanyakan bangsa di eropa. Bandingkan dengan
bangsa kita yang bahkan sampai sekarang masih menyalahkan penjajahan Belanda sebagai penyebab kesengsaraan.
Kita terlalu lama meratapi dan mengharap belas kasih agar bangsa lain menolong kita. Ini seperti anak kecil yang
terjatuh ketika bermain lari-larian bersama temannya, ia tidak akan bangun sebelum seorang temannya mengasihani
dan menghulurkan tangannya. Sikap yang diambil temannya tak perlu dipermasalahkan, karena itu yang disebut
empati. Tapi justru sikap menunggu huluran tangan orang lain itulah yang sampai dewasa pun ternyata menjadi
kebiasaan.

Karakter selanjutnya, jelas terkait dengan dua karakter sebelumnya, berangkat dari pengendalian diri yang baik serta
kemampuan recovery yang tinggi, meski sempat mengalami kemunduran biasanya mereka cepat sadar dan berupaya
untuk memperbaiki nasib bangsa sehingga cepat pula merengkuh keberhasilan. Dan karakter keempat menjadi satu
sindiran yang begitu kentara betapa seharusnya ummat Islam jauh lebih baik dalam urusan relationship dan berbuat
baik dengan sesama. Baik kepada orang-orang miskin, yang sakit maupun mereka yang lemah. Dan satu lagi karakter
tambahan yang awalnya Rasulullah menyebut empat namun dikeseluruhan hadits beliau menambahkan satu yakni,
harga diri yang tinggi untuk tidak diam ketika dizhalimi, termasuk oleh penguasa. Bagaimana dengan kita? Kita malah
meminta ‘maaf’ kepada orang yang tidak sengaja menginjak kaki kita, atau diam saja ketika bangsa lain mengeruk
harta kekayaan bangsa ini, juga berterima kasih kepada IMF yang jelas-jelas mengobok-obok Indonesia.

Meski harus diakui, penjelasan tentang karakter-karakter diatas tidak harus digeneralisir sedemikian rupa karena
nyatanya, masih banyak juga orang muslim yang hebat, yang maju, tidak emosional, baik dalam muamalah, bangkit
dan bergerak ketika ditindas. Sementara di beberapa negeri eropa, secara individu sangat banyak dijumpai berupa
penindasan, pelanggaran hak, tindakan asusila, amoral dan lain sebagainya. Di negeri ini, setidaknya reformasi menjadi
bukti walaupun selama puluhan tahun juga tidak mampu berbuat apa-apa. Sampai-sampai pernah ada satu satire yang
boleh direnungkan oleh bangsa ini yang kurang lebih berbunyi, bangsa eropa banyak bicara banyak bekerja, bangsa
Afrika sedikit bicara sedikit bekerja, bangsa Asia banyak bicara sedikit bekerja, sementara disebutkan bangsa Jepang
(yang masih bangsa Asia) sedikit bicara banyak bekerja. Yang paling menyakitkan diakhir tulisan itu dikatakan, bangsa
Indonesia lain bicara lain yang dikerjakan. Entahlah.

Selain hadits diatas, Rasulullah yang sangat peduli terhadap ummatnya juga menghadiahi sebuah do’a yang patut kita
baca setiap hari guna menghindari kekalahan sedemikian rupa dengan bangsa barat. Satu do’a yang menggambarkan
problematika ummat secara sistematis dari sekedar rundungan sedih hingga dominasi orang terhadap diri ini. “Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka. Aku berlindung dari lemah dan malas. Aku
berlindung kepada-Mu dari sifat bakhil dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan
orang”
Nampaknya do’a diatas sepantasnya dilafazkan oleh seluruh ummat Islam di negeri ini, karena do’a itu sangat tepat
mewakili apa yang selama ini menjadi permasalahan kita. Sangat berhubungan erat dengan empat plus satu karakter
yang diterangkan dalam hadits diatas. Dari mulai rundungan sedih dan duka yang kemudian meningkat menjadi
penyakit lemah dan malas. Orang-orang malas biasanya bakhil dan kikir sehingga dari semua masalah itu jadilah kita
bangsa yang terbebani hutang dan tidak bisa melepaskan diri dari penindasan bangsa lain.

Sekarang coba bayangkan, dengan empat plus satu karakter manusia maju seperti digambarkan diatas, ditambah
sentuhan nilai-nilai Islam. Subhanallaah. Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)

Depan > Konsultasi > Oase

Pengabdian Sang Rumput


Publikasi 17/09/2002 07:08 WIB

eramuslim - Menjadi rumput di keluasan padang yang menghampar. Dengan hijaunya dan tebaran hewan-hewan yang
merumput untuk memenuhi hajat kehidupan. Di atasmu mereka berbiak, bergembira, mencari makan, juga
mengotorimu, menginjak-injak dan kemudian meninggalkanmu ketika kau tak lagi subur, kering bahkan sekarat
mendekati kematian.

Namun kebahagiaan apa yang paling berharga bagi rumput kalau bukan atas kemanfaatannya. Menjadi rantai pertama
energi yang kemudian mengalir sampai puncak rantai makanan yaitu pada hewan-hewan predator. Dari rumput, irama
kehidupan dimulai sampai semua kembali lagi menghampiri dalam sebuah ajal ketika tiba merenggut. Terus
bermanfaat, memancar tiap hari, tiap detik dan pada setiap hembusan nafas makhluk yang melata di muka bumi. Tidak
ada kata terkira inilah pengabdian yang terindah dan teragung yang pernah kau berikan.

Kemudian musim kering yang tandus menghantam. Dengan halus kau usir hewan-hewan untuk meninggalkanmu agar
mencari tempat yang lebih baik dan menjanjikan. Bukan pada padangmu, bukan pada dirimu. Karena kau tak akan
pernah ingin berbagi penderitaan dengan mereka. Cukup kau tanggung sendiri.

Lalu jilatan api melumat tubuh-tubuh kurus keringmu. Disertai hembusan angin sepoi yang bersorai, memanasi api
hingga dengan cepat membesar, kemudian menghanguskan seluruh tubuhmu. Akhirnya hanya meninggalkan puing-
puing jelaga yang hitam.

Suasana kesenduan tanpa kehidupan yang membalut luka terbakar, seakan semua kenangan indah terhapus hangus
dalam pori-pori tanah yang panas terpanggang api dan teriknya matahari. Namun kau belum mati.

Dalam ketakzimannya rumput-rumput tentu tak berdosa, namun pengabdian dan doa-doanya terus meluncur sepanjang
waktu atas karunia yang dilimpahkan untuk dirinya. Karunia teragung yaitu kehidupan itu sendiri, "Ya Rabb, hidupkan
generasi pengganti kami dari akar-akar hamba yang sengaja kau selamatkan di pori-pori bumi dari amukan api yang
telah menjadikan tubuh-tubuh kami sebagai pupuk untuk generasi kami mendatang. Jadikanlah generasi penggantiku
adalah generasi yang kau cintai dan hanya mencintaiMu. Karena sebuah kemuliaan yang tiada tara selain sebuah
kecintaan pada-Mu dan kemanfaatan dari kami yang dapat dipetik dari makhluk-MU yang melata di muka bumi ini".

Maka, tatkala bergulung-gulung mendung hitam membawa kabar baik untuk semua kehidupan di bumi. Bersama
tercurahnya hujan, sang akar rumput pun bercucuran dan berlinang air mata kesyukuran. Dengan hujan, bumi dibasahi
dan dilunakkan air yang menggenangi danau-danau, kubangan-kubangan dan relung-relung hati yang sebelumnya
kering dari tetesan air keindahan dan kasih sayang. Sang rumput bangkit dengan tunas-tunas yang baru, kemudian akar
semakin sibuk mengumpulkan zat-zat kehidupan yang telah diwariskan generasi sebelumnya. "Aku akan lebih baik dari
pendahuluku", tekad sang rumput muda, akan kuundang semua makhluk hidup dengan ranumnya tubuhku yang takkan
habis dimakan. Namun akan senantiasa tumbuh dengan kehijauan lagi lezat di mulut makhluk yang memamahnya.
Sampai semua kehidupan ini secara berantai termakmurkan karena hijaunya tubuhku.

Sang rumput muda tumbuh dengan gemuk kehijauannya. Menyimpan gizi yang tinggi tiada tara bagi makhluk-makhluk
pemamah biak. Demikian juga sang akar menyesap dengan gairah semangat kehidupan yang diwariskan pendahulunya,
untuk menyediakan semua kebutuhan gizi bagi sang rumput muda.

Kehidupan di padang telah pulih kembali, bersamaan dengan binatang-binatang yang dulu mengungsi saat kemarau dan
kebakaran melanda. Dengan keletihan dan tubuh kurus, hewan-hewan tersebut bersua kembali dengan telaga kehidupan
padang rumput yang sungguh tak terkira sebelumnya. Mata-mata berbinar penuh kesyukuran, karena Allah telah
menyediakan rizki yang tak terkira baginya. Rumput-rumput ranum hijau yang menyegarkan pandangan, menguatkan
dan menggemukkan. Seakan mereka sudah kenyang walau hanya memandangnya saja. Kehidupan di padang itu
menjadi hidup dan lebih hidup lagi.

Sang rumput berlinang air mata, bukan karena kesedihan, namun karena Allah telah menghamparkan amanah baginya,
dan air mata itu adalah kesyukuran atas amanah yang ditunaikannya.

Syahdan, angin kemarau yang tandus dan kering menggulung, mengabarkan bagi seluruh kehidupan untuk bergerak
ataupun bertahan. Kemudian hewan-hewanpun berhijrah meninggalkan padang untuk bertahan ke tempat yang lebih
baik. Ketika semua telah mengungsi maka berlahan-lahan, tubuh sang rumput mengering disapu oleh angin kemarau
yang menyedot air dalam tubuh-tubuh renta yang berlumuran pengabdian yang tak akan ternilai oleh apapun. Dengan
keikhlasan dan keridhoan Rabbnya, jiwa itu akan berlabuh di keridhoan itu. Namun ada satu yang tak terlupa dari
mulut sang rumput, "Ya Tuhanku ijinkanlah hamba-Mu untuk memanjatkan doa; Jadikanlah generasi penggantiku
adalah generasi yang mencintai dan Engkau cintai ya Rabb, generasi pengganti kami yang lebih baik dari kami".
Dengan cucuran linang air mata sang rumput menuntaskan doanya, dan dengan keikhlasan dan keridhoaan dari Sang
Rabb ajalnya dilabuhkan ke sisi keridhoaan-Nya. Angin berhembus kehilangan, demikian panas terik matahari meratapi
kepergian sebuah pengabdian. Namun semua mempunyai penuntas, semuanya mempunyai keberakhiran, semuanya
mesti dipergantikan. Wallahu'alam bishshowab (Warsito Suwadi warsuwadi@yahoo.com)

Agar Dapat Melihat Surga


Publikasi 18/09/2002 07:39 WIB

eramuslim - Seorang anak dengan gayanya yang lugu bertanya kepada ibunya, “bu,
apa itu cinta?”. Cinta ada adalah kemurnian jiwa, kesejukan bathin dari kenikmatan
memberi dan kerelaan berkorban, jawab sang ibu. “Karena itukah banyak orang
mengagungkan cinta?” tanya sang anak lagi. Dengan sabar dan penuh cinta ibunya
menerangkan, bahwa keagungan cinta hanya berada pada cinta Sang Agung, Si
pencipta cinta itu sendiri. Dan jika ada yang mengagungkan cinta diatas segalanya,
sebenarnya ia tidaklah tengah mengagungkan cinta melainkan perasaan dan nafsunya
yang tengah bergumul sehingga meluap menjadi nafsu berbaju cinta. Padahal jika
mau membuka tabir sebenarnya, tentu mereka akan sadar kalau tengah terombang-
ambing oleh arah cinta yang salah. “ini wajar nak, karena kebanyakan manusia hanya
sebatas menggunakan mata kepala dan mengabaikan mata bathinnya, sehingga ia lupa
bahwa cinta bersemayam dan bergetar-getar dihati, bukan di kepala, apalagi dimata.

Cinta harus dilihat dengan mata bathin, dan kebanyakan manusia memandang cinta
hanya berhenti di mata kepala, sehingga seringkali tidak mampu menangkap
kemurnian jiwa, kesejukan bathin dari mencinta dan dicinta. Karena itu, mereka yang
senantiasa mampu menggunakan mata bathinnya untuk melihat segala hal, ia akan
melihat siapapun dan apapun dengan cinta. “Karena Allah pun teramat cinta kepada
yang mempersembahkan cinta kepada-Nya”.

“Lalu kenapa ada orang yang saling membenci, bertengkar dan saling bermusuhan?”
tanyanya lagi. Itulah kehebatan Allah. Dia ciptakan manusia dengan bentuk yang
sempurna sehingga dengan kesempurnaan yang dimilikinya itu, manusia bisa
menangkap kesan yang lain, tidak hanya cinta. Ada benci, marah, kecewa, senang,
tertawa, sedih dan masih banyak lagi. Tak perlu takut, semua itu salah satu anugerah
dari-Nya yang patut kita syukuri. Sudah menjadi fitrah manusia tidak menyukai
sesuatu yang tidak disenanginya, artinya sesuatu hal yang tidak berkenan, tidak sesuai
dengan hati nuraninya, adalah sangat manusiawi jika dibenci. Dan adalah fitrah
manusia juga untuk kecewa jika sesuatu tak seperti harapannya, tak seindah
mimpinya.
Masalahnya kemudian, bagaimana manusia mengkondisikan hatinya agar senantiasa
condong kepada kebenaran, sehingga benci, marah dan kecewa serta sedihnya hanya
kepada kebathilan, kesemena-menaan, kezhaliman, keserakahan dan bahkan
kesombongan diri, juga dosa yang dilakukannya.

“Bagaimana dengan tersenyum dan tertawa?” Senyum dan tawa adalah sebuah
refleksi, sama seperti benci, marah dan sedih. Hanya bedanya, biasanya senyum dan
tawa adalah cermin dari keberhasilan, kemenangan dan prestasi seseorang akan
sesuatu. Tak perlu merasa bersalah hanya karena tersenyum dan tertawa. Mungkin
Allah menciptakan rasa itu untuk melatih manusia. “Bukankah semua hamba-Nya
yang sholeh kelak akan tersenyum di hadapan Allah yang menghadirkan keagungan
wajah-Nya?” jelas sang Ibu sambil mengusap kening anaknya yang serap-serap mulai
terbuai ke alam tidurnya.

Lama ia dibuai cinta sang Ibu, dengan sentuhan lembut ibunya ia memainkan
nyanyian dawai-dawai indah yang bergelung-gelung dialam mimpinya. Ia merasakan
kehangatan hidup, keceriaan dunia. Mungkin karena usianya yang memang belum
pantas merasakan kegetiran dan kepahitannya. Untuk sementara ibunya membiarkan
mimpi anaknya tak terusik oleh kepayahan mencari sesuap nasi yang dijalaninya, juga
hantaman kerikil di sepanjang jalan yang disusurinya. Terik dan hujan menjadi
baluran tubuhnya sehari-hari, demi satu cita, tak kan membiarkan dimasa depan
anaknya mengeluarkan keringat dan darah seperti yang dialaminya kini. Mungkin
semua orangtua mempunyai mimpi yang sama. Hingga dengan demikian sang ibu
semakin sadar bahwa hanya Tuhanlah yang selama ini menguatkan, mempertebal
kesabaran serta menanamkan keyakinan dihatinya, bahwa esok matahari masih akan
terbit.

Dan menjelang fajar, seusai kesejukan membasuh seluruh tubuh untuk kemudian
bersimpuh dihadapan-Nya. Tak terasa air bening mengalir membasahi pipi, untaian
kata pinta yang tak pernah berhenti, yang tak pernah berhias putus asa, yang tak
diiringi penyesalan akan beban hidup yang saat ini diamanahkan kepadanya.
Terkadang ada tangis yang begitu keras sekeras benturan kehidupan yang
menerpanya, hingga tak sadar tangisannya itu menyentuh relung bathin anaknya
sampai terbangun.

“Kenapa ibu menangis?” Menangis adalah satu anugerah Allah lainnya nak. Menangis
adalah wujud dari kelemahan manusia yang jelas-jelas kekuatannya sangat terbatas.
Menangis adalah pembuktian akan adanya Yang Maha Kuat yang memiliki kehendak
diatas segala mau dan keinginan manusia. Tak perlu malu untuk menangis, karena
dengan menangis kita tengah melunturkan kesombongan, kepekatan hati yang penuh
noda hitam dari setiap detik hidup yang berlumur salah, juga menghilangkan
penyakit-penyakit lainnya yang kerap hinggap di kalbu.

Menangis tidak mesti dengan air mata, meski biasanya selalu dengan itu. Air bening
yang membasahi mata akan membasuh dosa yang berawal dari penglihatan manusia.
Kemudian airnya turun menyejukkan wajah kita. Itulah cara Allah membersihkan
wajah manusia yang coreng-moreng oleh kekhilafannya. Maka dengan menangis
setiap hari, wajah menjadi bersih, hati pun sejuk kembali dan kebeningan mata yang
sudah terhapuskan pekatnya, memberikan keindahan tersendiri. Semua itu, hanya agar
manusia dapat melihat surga. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Senyumlah …
Publikasi 05/11/2002 12:16 WIB

eramuslim - Jangan bermuka masam, karena Allah sangat tidak menyenangi


perbuatan itu. Bahkan Rasulullah pun pernah ditegur-Nya karena bermuka masam dan
memalingkan muka terhadap Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta
yang mengharap agar Rasulullah Saw membacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an
yang telah diturunkan Allah. Pada saat itu Rasul tengah menerima dan berbicara
dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam.

Kisah teguran Allah kepada Rasulullah diatas merupakan asbaabunnuzul (sebab-


sebab turunnya) surah ‘Abasa (bermuka masam) yang dapat menjadi pelajaran bagi
sekalian manusia betapa Allah tidak senang dengan sikap demikian. Pelajaran pertama
yang bisa kita ambil, bahwa Rasulullah pun manusia biasa yang masih mungkin
melakukan kesalahan dan kedua, terkait dengan sikap bermuka masam alias acuh
terhadap orang lain (siapapun) yang tidak dibenarkan oleh Allah.

Sebelas ayat pertama surah ‘Abasa menjelaskan secara lengkap larangan bermuka
masam atau sikap mengacuhkan orang lain. Bahkan ditegaskan Allah dengan kalimat
“Sekali-kali jangan (demikian)!” pada ayat ke sebelasnya. Peringatan itu tentu
menjadi pelajaran yang berharga bagi baginda Rasul, dan hendaknya demikian juga
bagi kita pengikutnya.

Manusia memiliki ego pada dirinya masing-masing, dan dengan (pengaruh) ego-nya
itulah setiap watak dan karakter manusia terbentuk. Meski ada anasir lain yang
membentuk watak dan karakter manusia, namun keberadaan ego sangatlah penting,
makanya menjadi kepentingan utama juga bagi setiap manusia untuk menjaga,
memenej dan mengolah ego-nya agar terkendali sehingga teraplikasi dengan baik.
Mereka yang tidak mampu mengendalikan ego-nya, lazim disebut sebagai orang yang
egois, mau menang sendiri dan tidak toleran. Salah satu ciri khas dari orang egois
adalah berbuat dengan sekehendaknya, artinya apa yang menurutnya benar maka ia
itulah yang dikerjakannya.

Masalahnya kemudian, tidak semua orang memiliki tingkat pemahaman yang baik
tentang ‘benar-salah’ menurut norma maupun nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam. Sehingga yang terjadi adalah pembenaran atas kebenaran subjektifitas,
dan inilah pangkal awal dari kesalahan orang bersikap dan bertindak.

Soal pilah-pilih sahabat misalnya. Baik sih jika yang menjadi patokan adalah,
kesesuaian norma dan nilai yang dipegang (dalam hal ini misalnya, tidak bertentangan
secara aqidah) atau standar akhlak dan kebiasaan. Tapi kalau yang menjadi ukuran
adalah soal, pantas tidak pantas, like or dislike, ataupun hal-hal subjektif lainnya,
tentu tidak bisa dibenarkan.

Subjektifitas itulah yang kemudian dengan bebasnya menentukan siapa yang pantas
disikapi dengan baik siapa yang tidak, siapa yang didahulukan siapa yang harus
‘dicuekin’, atau bahkan siapa yang akan dijadikan sahabat dan siapa yang semestinya
dimusuhi. Sikap ramah misalnya, seringkali kita hanya bersikap ramah kepada orang-
orang yang kita kenal dan baik hati. Atau senyum, biasanya terkhususkan bagi siapa
yang menurut kita pantas untuk disenyumi.

Padahal Islam tidak mengajarkan demikian, selain pelajaran tentang teguran Allah
terhadap Rasulullah diatas, Rasulullah pun mengajarkan tentang keutamaan sikap-
sikap kebaikan terhadap sesama, meski hanya sekedar menebarkan senyum, terhadap
siapa saja yang kita jumpai. Tidak membeda-bedakan sikap berdasarkan kepentingan,
atau mengukur prioritas pelayanan dari seberapa menguntungkannya orang tersebut
buat kita.

Sebuah pelajaran lain bisa kita dapatkan dari cerita ketika para sahabat sedang
berkumpul bersama Rasulullah, maka dihadapan mereka lewat seorang dengan
pakaian compang-camping dan beberapa sahabat berujar dan menilai orang yang
barusan tidak mendapatkan kemuliaan Allah. Mendengar itu, Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan jasad kamu. Tetapi
sesungguhnya Allah melihat hati-hati kamu.”

Keberkahan Allah, tidak hanya datang dari orang-orang dermawan yang kerap
menyisihkan sebagian hartanya untuk diinfakkan, melainkan juga dari tangan-tangan
terbuka para pengemis yang setiap hari lalu lalang di depan kita. Rahmat Allah, tidak
hanya singgah kepada mereka yang diberi kesempatan untuk menikmati hidup
berkecukupan di dunia ini, karena Rahmat itu juga sesungguhnya ada pada yang tak
memiliki harta karena Allah sayang padanya sehingga tak membebaninya dengan
pertanggungjawaban harta yang bertumpuk. Kasih sayang Allah tidak hanya tercurah
kepada segelintir orang, sesungguhnya Ia Maha Adil atas Rahmaan dan Rahiim-Nya,
hanya saja kita sering salah mengartikannya atau tidak mampu mencernanya.

Maka semestinya, senyuman dan sikap ramah menjadi keutamaan sikap terhadap
siapapun. Karena dengan itu modal utama penerimaan orang lain terhadap kita.
Dengan senyum ramah itulah kita bisa berharap besar akan kebaikan orang lain.
senyum dan ramah jugalah yang mampu meluluhkan amarah dan kebencian orang
terhadap kita. Dan karena dengan itu jugalah Allah menyapa hamba-hamba-Nya di
surga kelak. Wallaahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

You might also like