You are on page 1of 11

Mixed Infection with Beijing and Non-Beijing Strains and Drug Resistance Pattern of Mycobacterium tuberculosis

Infeksi Campuran Strain Beijing dan Non-Beijing dan Pola Resistensi Obat Mycobacterium tuberculosis
Han-Yu Huang, 1,2 Yau-Sheng Tsai, 3 Jen-Jeh Lee, 4 Man-Chin Chiang, 5 Ying-Huei Chen, 6 Chen YuanChiang, 7 Nien-Tsung Lin, 2 dan Pei-Jane Tsai 5 * Divisi Unit Medis Intensive Care, 1 Divisi Kedokteran Dada, Departemen Penyakit Dalam, 4 dan Departemen Laboratorium Kedokteran, 6 Rumah Sakit Umum Buddha Tzu Chi, Hualien, Taiwan, Institut Pascasarjana Ilmu Kedokteran, Tzu Chi University, Hualien, Taiwan2, Institute Kedokteran Klinikal3 dan Departemen Laboratorium Medis Sains dan Bioteknologi, 5 National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan, dan Kesatuan Internasional Melawan Tuberculosis dan Penyakit Paru, Paris, Perancis7

Diterima 10 Mei 2010/Dikembalikan untuk modifikasi 12 Agustus 2010/Diterima Oktober 11, 2010

Infeksi campuran antara strain Mycobacterium tuberculosis Beijing dan non-Beijing telah pernah dilaporkan dan telah dikatakan bertanggungjawab kepada ketinggian tingkat reinfeksi di daerah yang tingginya insidensi tuberkulosis (TB). Untuk mengevaluasi prevalensi infeksi dengan kedua strain M. tuberculosis Beijing dan non-Beijing di bagian timur Taiwan, wilayah dengan kejadian TB tertinggi di Taiwan, 185 pasien TB paru aktif didaftarkan di Rumah Sakit Umum Tzu Chi dari Oktober 2007 sampai September 2008. Sebuah metode modifikasi multipleks PCR dikembangkan untuk membedakan strain Beijing dan non-Beijing secara langsung menggunakan dahak pasien. Dari 185 pasien, 46,5% terinfeksi dengan strain Beijing, 42,2% terinfeksi dengan strain non-Beijing, dan 11,3% terinfeksi dengan kedua jenis strain. Infeksi campuran dengan kedua jenis strain tidak terkait dengan riwayat pengobatan TB atau insidensi tinggi kelompok ras, kaum pribumi. Selain itu, tingkat kejadian infeksi campuran adalah sama tinggi antara sebelum pengobatan dengan obat anti-TB dan pasien dengan riwayat pengobatan anti-TB. Analisis lebih
1

lanjut mengungkapkan bahwa kerentanan antibiotik strain Beijing sendiri memiliki tingkat resistensi multidrug tertinggi (17,5%), infeksi campuran memiliki tingkat tertinggi perlawanan terhadap setidaknya satu obat (23,8%), dan strain non-Beijing memiliki tingkat sensitivitas tertinggi terhadap semua obat (79,5%), menyiratkan bahwa strain Beijing adalah dominan dalam perkembangan resistensi obat tuberkulosis.

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah umum utama global, dan prevalensi resistensi obat tuberkulosis telah meningkat (3). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis dan yang paling penting tetap menjadi infeksi fatal pada manusia, menyebabkan sekitar 1,3 juta kematian dan 9,27 juta kasus di seluruh dunia pada tahun 2007 (5, 28). Jumlah kasus tertinggi pada tahun 2007 adalah di Asia (55%), diikuti oleh Afrika (33%) (28). Sebuah ancaman khusus kepada masyarakat Asia tingginya adalah prevalensi strain Beijing (25), strain ini lebih umum di negara-negara Asia Timur, termasuk Taiwan, dan berhubungan dengan frekuensi yang lebih tinggi terhadap resistensi multidrug (MDR) (8, 12, 16, 18, 22) dan resistensi obat yang luas (XDR) (12). Khususnya, 46,2% pasien TB yang ditemukan terinfeksi dengan strain Beijing di Taiwan Timur dalam sebuah studi oleh Jou et al. (8).

Tingkat kejadian TB di daerah Hualien, yang terletak di bagian timur Taiwan, pada tahun 2005 adalah 180,9 kasus per 100.000 penduduk, yang mana adalah 2,86 kali tingkat kejadian ratarata di Taiwan secara keseluruhan (63,2 kasus per 100.000 penduduk) (11). Selain itu, tingkat insiden TB di tiga kota pribumi (Sioulin, Wanrong, dan Jhuosi) di daerah Hualien adalah 639,8, 249,4, dan 330,1 kasus per 100.000 penduduk, masing-masing, semua jauh lebih tinggi daripada di seluruh daerah Hualien (11). TB telah menjadi salah satu penyebab utama kematian di Taiwan selama berdekade, dan angka kematian akibat TB yang tertinggi adalah di Taiwan Timur (6). Namun, faktor yang mendasari mediasi kejadian TB yang tinggi terus-menerus dan tingkat kematian di kawasan timur Taiwan masih tidak dapat disimpulkan.

Secara tradisional, infeksi dan kambuhnya TB telah diyakini disebabkan oleh infeksi primer atau reaktivasi dari strain tunggal (21). Namun, infeksi dengan beberapa strain M. tuberculosis, disebut infeksi campuran, pada individu telah semakin didokumentasikan dan baru-baru ini
2

menarik perhatian dokter dan program pengendalian TB (2, 17, 19, 26). Secara umum, infeksi campuran mengacu kepada infeksi satu strain yang tidak melindungi terhadap infeksi dengan strain yang lain (21). Telah didokumentasikan bahwa infeksi campuran dapat mempengaruhi penilaian tentang pengobatan klinis dan pengembangan vaksin (1). Selain itu, resistensi obat antiTB mungkin muncul pada pasien dengan infeksi campuran (19, 23, 26), karena strain yang tidak terdeteksi (1). Dengan demikian, adalah sangat penting untuk secara akurat dan cepat membedakan infeksi campuran dengan strain yang berbeda dari M. tuberculosis secara bersamaan pada individu tunggal.

Warren dkk. mengembangkan metode PCR singleplex berdasarkan data komparatif genomik dari M. tuberculosis untuk membedakan antara garis keturunan evolusi M. tuberkulosis Beijing dan non-Beijing pada isolat dari pasien dalam studi epidemiologi di kota di Afrika Selatan (26). Studi mereka menunjukkan bahwa infeksi campuran dengan kedua strain Beijing dan nonBeijing M. tuberculosis lebih sering terjadi pada kasus pengobatan ulang (23%) berbanding kasus baru (17%). Dalam penelitian ini, kami mendaftarkan 185 pasien TB paru aktif di daerah kejadiantinggi di Taiwan untuk mengevaluasi prevalensi infeksi strain Beijing dan / atau non-Beijing M. tuberculosis. Tersedia metode PCR multipleks sensitif untuk secara cepat membedakan garis keturunan evolusi M. tuberculosis aktif pada pasien TB paru, metode PCR multipleks dimodifikasi digunakan dalam penelitian ini untuk membedakan strain Beijing dan non-Beijing secara langsung menggunakan dahak pasien.

BAHAN DAN METODE Studi populasi. Subjek yang didaftar dalam penelitian ini adalah pasien di Rumah Sakit Umum Tzu Chi (TCGH) yang diduga pengidap TB paru aktif dengan spesimen dahak dikumpulkan dari Oktober 2007 hingga September 2008. Semua pasien adalah penduduk di situs epidemiologi di Hualien, Taiwan Timur. Diagnosis akhir TB paru dikonfirmasi dengan kultur sputum. Jadual diperiksa kembali untuk memperoleh informasi berikut: usia, jenis kelamin, ras (pribumi atau non-pribumi), riwayat pengobatan TB, hasil BTA dengan pewarnaan tahan asam bagi M. tuberculosis, kavitasi pada rontgen dada, penggunaan steroid, dan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, kanker, sirosis hati, uremia, pneumokoniosis, dan AIDS. Studi ini disetujui oleh komite etika TCGH.
3

Persiapan spesimen. Spesimen sputum secara mekanis dihomogenkan, dicairkan dengan dithiothreitol dalam air suling, dan kemudian dibagi untuk dua analisis, satu untuk kultur medium BACTEC (BD, Franklin Lakes, NJ) dan yang lainnya untuk persiapan DNA. Persiapan DNA dahak dilakukan sesuai dengan instruksi pabrikan itu (RMtb-PCR, Roche Diagnostics PCR, Somerset, NJ). Secara singkat, volume 100 ul dari setiap spesimen dicampur dengan 500 ul Solusi Pencuci Dahak (Sputum Wash Solution) dan disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 10 menit. Pelet disuspen dengan 100 ul Reagen Lisis Dahak, diinkubasi pada suhu 60 C selama 45 menit, dicampur dengan 100 ul dari Reagent Netralisasi dahak, dan disimpan selama kurang dari 1 minggu.

Pembedaan-multiplex PCR Beijing dan non-Beijing. Sebuah Metode PCR multipleks dimodifikasi dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan primer yang dijelaskan oleh Warren et al. (26). Multiplex PCR menggunakan dua set primer untuk daerah langsung-ulang (flanking the direct repeat) dari strain Beijing dan non-Beijing. Untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dengan silsilah evolusi Beijing, komplementer primer hingga ke 3 akhir elemen IS6110 dan Rv2820 (5ACCGAGCTGATCAAACCCG-3 dan 5-ATGGCACGGCCGACCTGAATGAACC-3) telah digunakan dan produk amplifikasi positif dari 239 bp diperoleh. Untuk menentukan adanya strain M. tuberkulosis asal selain evolusi turunan Beijing, komplementer primer Rv2819 (5-GATCGCTTGTTCTCAGTGCAG3 dan 5-CG AAGGAGTACCACGTGGAG-3) telah digunakan dan produk amplifikasi positif 569 bp diperoleh. PCR dilakukan dengan menggunakan volume total 25 uL dalam thermal cycler DNA (Perkin Elmer-Corporation, Norwalk, CT) yang telah diprogram untuk 35 siklus 1 menit pada 94 C, 1 menit pada 60 C, dan 2 menit pada 72 C.

Validasi Spoligotyping. Spoligotyping dilakukan seperti studi kami yang lepas (7). Hanya strain yang hibridisasi ke semua sembilan spacer terakhir oligo-nukleotida (spacer 35-43) didefinisikan sebagai strain Beijing, dan semua spoligotypes strain M. tuberculosis lain didefinisikan sebagai strain non-Beijing. Kami memilih isolate spoligotyping-terkonfirmasi strain Beijing dan non-Beijing secara acak untuk memvalidasi hasil metode modifikasi multipleks PCR.

Uji Kerentanan Obat. Tes kerentanan terhadap obat dilakukan dengan metode proporsi agar tidak langsung (Buddha TCGH) seperti yang direkomendasikan oleh WHO. Semua inokulum untuk uji kerentanan ditumbuhkan dari kultur primer atau subkultur, dan tes dilakukan dengan menggunakan media agar Middlebrook 7H10 diresapi dengan isoniazid (INH), rifampin (RIF), etambutol (EMB), dan streptomisin (SM). Konsentrasi antibiotik dalam medium adalah 1,0g / ml untuk INH, 1,0 g / ml untuk RIF, 10,0 g / ml untuk EMB, dan 10,0 g / ml untuk SM. Bakteri di mana pertumbuhan pada obat yang mengandung media yang mewakili lebih dari 1% dari jumlah koloni yang berkembang pada media obat bebas dianggap resisten terhadap agen. Resistensi primer didefinisikan sebagai keberadaan kerentanan obat pada isolat dari pasien TB yang belum pernah menerima pengobatan sebelumnya, sementara resistensi yang diperoleh (acquired resistant) didefinisikan sebagai keberadaan suseptibilitas obat pada isolat dari pasien TB yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. Isolat yang resisten terhadap baik INH dan RIF didefinisikan sebagai M. tuberculosis MDR, sedangkan isolat yang resisten terhadap setidaknya satu obat yang ditunjuk sebagai M. tuberculosis non-MDR.

Analisis statistik. Data dianalisis dengan SPSS 11.5 for Windows (SPSS Inc Chicago, IL). Variabel kategori dianalisis menggunakan Uji Chi-square atau Uji Fisher. Sebuah nilai P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL Deskripsi pasien. Selama masa penelitian, 185 TB pasien dengan kultur sputum positif untuk M. tuberkulosis terdaftar (Tabel 1), termasuk 128 (69,2%) laki-laki dan 57 (30,8%) perempuan dengan usia rata-rata 52,4 19,6 tahun (Kisaran, 2-92 tahun). Jumlah pasien pribumi dan non-pribumi adalah 90 (48,6%) dan 95 (51,4%), masing-masing. Radiografi dada menunjukkan kavitasi pada 61 pasien (33,0%) dan tidak ada kavitasi pada 124 pasien (67,0%). Penyakit bersamaan yang dicatat dalam 59 (31,9%) pasien, 1 pasien telah diagnosis dengan AIDS menurut catatan grafik. Apusan sputum positif dicatat pada 96 (51,9%) pasien. Antara seluruh kelompok pasien, 144 (77,8%) belum pernah diobati dengan obat anti-TB.

Pembedaan-multiplex PCR Beijing dan non-Beijing. Untuk membedakan strain Beijing dan non-Beijing, secara langsung menggunakan dahak dari pasien yang terdaftar, kami membentuk metode multipleks PCR dimodifikasi didasarkan pada apa yang dijelaskan oleh Warren et al. (26). Dalam rangka untuk melakukan pembedaan-multiplex PCR strain Beijing dan non-Beijing dalam campuran reaksi tunggal, pertama-tama kita menerapkan kombinasi dua set primer pada DNA yang diekstrak dari kultur M. tuberculosis strain Beijing dan non-Beijing, divalidasi oleh spoligotyping pada studi kami yang lepas (7). Sebuah produk amplifikasi dari 239 bp diidentifikasi dalam DNA dari strain Beijing saja (Gambar 1A, baris 1), sedangkan produk amplifikasi dari 569 bp diidentifikasi dari strain non-Beijing saja (Gambar 1A, baris 2). Kami kemudian mencampur DNA dari dua strain dan campuran diamplifikasi dengan dua set primer, yang menghasilkan dua produk PCR dari 239 bp dan 569 bp (Gambar 1A, baris 3). Validasi lebih lanjut dengan spoligotyping dilakukan pada 10 isolat strain Beijing yang dipilih secara acak (no. 1 hingga 10) dan sembilan strain isolat non-Beijing yang dipilih secara acak (no. 11 sampai 19) (Gambar 1B). Strain isolat Beijing (no. 1 hingga 10) menunjukkan produk amplifikasi 239 bp, sedangkan strain isolat nonBeijing (no. 11-19) menunjukkan produk amplifikasi dari 569 bp (Gambar 1C). Dengan demikian, diskriminasi strain dengan PCR adalah sesuai dengan yang oleh secara spoligotyping. Hasil ini menegaskan bahwa sensitivitas dan spesifisitas dari sistem deteksi multipleks PCR dalam membedakan antara strain Beijing dan non-Beijing M. tuberculosis.

Deteksi strain menular M. tuberculosis. Strain Beijing dan non-Beijing dibedakan-dengan multiplex PCR dan kemudian digunakan untuk menentukan adanya strain Beijing dan / atau nonBeijing, langsung menggunakan spesimen sputum. Wakil dari assay PCR dari 21 spesimen dahak yang dipilih secara acak ditampilkan dalam Gambar. 2. Sebuah produk amplifikasi PCR dari 239 bp dari dahak spesimen menunjukkan adanya strain Beijing dalam dahak dari pasien 1, 3, 5, 8 sampai 9, 11, 13, dan 16 sampai 21. Produk amplifikasi positif 569 bp dari spesimen sputum menunjukkan adanya strain non-Beijing dalam sputum pasien 2, 6, 7, 10, 12, dan 15. Dua produk amplifikasi PCR 239 bp dan 569 bp dari spesimen dahak menunjukkan kehadiran kedua strain Beijing dan nonBeijing dalam dahak pasien 4 dan 14. Atas dasar 185 sampel klinis, kami mengidentifikasi 86 pasien (46,5%) sebagai terinfeksi dengan strain Beijing, 78 pasien (42,2%) dengan strain nonBeijing, dan 21 pasien (11,3%) dengan kedua strain Beijing dan non-Beijing (Tabel 1). Di antara
6

pasien yang terinfeksi dengan Beijing, non-Beijing, dan kedua jenis strain, tidak ada perbedaan nyata dengan terhadap jenis kelamin, usia, ras, penyakit penyerta, riwayat pengobatan TB, hasil BTA, atau kavitasi pada foto toraks (Tabel 1).

Analisis kerentanan obat. Sesuai dengan rekomendasi-rekomendasi dari program pengendalian TB (11), pengujian kerentanan terhadap obat dengan metode proporsi secara rutin dilakukan untuk semua kultur yang dikonfirmasikan dengan kasus TB. Hasil suseptibilitas obat dari 185 isolat M. tuberculosis dikumpulkan dalam studi, dianalisis dan dirangkum dalam Tabel 2. Tingkat keseluruhan kepekaan obat pan-suseptibilitas M. tuberculosis (sensitif terhadap semua obat), M. tuberculosis non-MDR (resisten terhadap setidaknya satu obat tetapi tidak MDR M. tuberculosis), dan M.tuberculosis MDR (tahan terhadap INH dan RIF setidaknya) masing-masing adalah 74,6%, 15,1%, dan 10,3%,. Resisten obat individu adalah sebagai berikut: 7,0% resisten terhadap INH, 7,6% ke SM, 1,1% menjadi RIF, dan 1,1% untuk EMB. Tingkat suseptibilitas obat utama M. tuberculosis pan-suseptibilitas, M. tuberculosis non-MDR, dan M. tuberculosis MDR masing-masing adalah 79,2%, 15,3%, dan 5,6%, , dan tingkat resistensi yang diperoleh masingmasing adalah 58,5%, 14,6%, dan 26,8%,. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kerentanan obat antara pasien dengan riwayat pengobatan TB (resistensi diperoleh) dan mereka yang tidak memiliki riwayat pengobatan TB (resisten primer) (P < 0,001 dengan uji chisquare). Secara khusus, pasien dengan riwayat pengobatan TB memiliki tingkat infeksi yang lebih rendah oleh M. tuberculosis pan-suseptibilitas berbanding mereka yang tidak mempunyai sejarah pengobatan TB yang memiliki tingkat yang lebih tinggi infeksi M. tuberculosis MDR.

Kerentanan obat strain yang berbeda dari M. tuberculosis. Analisis lebih lanjut dari distribusi kerentanan obat di kelompok terinfeksi Beijing, non-Beijing, dan kedua jenis strain mengungkapkan bahwa tingkat ketahanan M. tuberculosis pan-suseptibilitas masing-masing adalah 70,9%, 79,5%, dan 71,4%, (Tabel 3); tingkat resistensi M. tuberculosis non-MDR masingmasing adalah 11,6%, 16,7%, dan 23,8%, , dan tingkat resistensi M. tuberculosis MDR masingmasing adalah 17,4%, 3,8%, dan 4,8%,. Analisis statistik mengidentifikasi perbedaan yang signifikan dalam tingkat resistensi obat di antara kelompok terinfeksi strain Beijing saja, strain non-Beijing saja, dan campuran dari kedua jenis strain (P = 0,035 dengan uji eksak Fisher). Antara
7

tiga kelompok, kelompok terinfeksi dengan strain Beijing sendiri memiliki tingkat infeksi M. tuberculosis MDR tertinggi, 17,4%. Selain itu, kelompok yang terinfeksi dengan kedua jenis strain memiliki tingkat infeksi tertinggi M. tuberculosis non-MDR, 23,8%, sedangkan kelompok terinfeksi dengan jenis non-Beijing sendiri memiliki tertinggi tingkat infeksi M. tuberculosis pansuseptibilitas, 79,5%.

Kerentanan obat strain yang berbeda dalam sub-kelompok dengan sejarah pengobatan TB. Kami selanjutnya menganalisis distribusi dari kerentanan obat pada pasien terinfeksi strain Beijing dan / atau non-Beijing dalam sub-kelompok dengan sejarah pengobatan TB (Tabel 4). Distribusi obat-suseptibilitas pada pasien terinfeksi Beijing, non-Beijing, dan kedua jenis strain dalam sub-kelompok resistansi primer menunjukkan bahwa tingkat ketahanan M.tuberculosis pansuseptibilitas masing-masing adalah 46,5%, 44,7%, dan 8,8%,; dengan resisten tingkat M. tuberculosis non-MDR masing-masing adalah 27,3%, 50,0%, dan 22,7%, , dan tingkat resistensi M. tuberculosis MDR masing-masing adalah 75,0%, 25,0%, dan 0%,. Dalam sub-kelompok resistensi yang diperoleh, tingkat resistensi pada pasien yang terinfeksi dengan Beijing, non-Beijing, dan kedua jenis strain M.tuberculosis pan-suseptibilitas masing-masing adalah 33,3%, 45,8%, dan 20,8%,; tingkat resistensi M. tuberculosis non-MDR masing-masing adalah 66,7%, 33,3%, dan 0%,; dan angka resistensi M. tuberculosis MDR masing-masing adalah 81,8%, 9,1%, dan 9,1%,. Sementara tidak ada perbedaan yang signifikan pada resistensi obat antara kelompok terinfeksi dengan strain Beijing saja, strain non-Beijing saja, dan campuran kedua jenis strain yang diidentifikasi dalam setiap sub-kelompok dengan sejarah pengobatan TB. Kelompok yang terinfeksi dengan strain Beijing saja memiliki tingkat tertinggi MDR di kedua resistensi primer dan resistensi yang diperoleh sub-kelompok.

PEMBAHASAN Diagnosis laboratorium M. tuberculosis oleh BTA dan kultur dahak olahan telah digunakan selama beberapa dekade, namun ada beberapa kelemahan metode diagnostik ini untuk M. tuberculosis tentang sensitivitas diagnostik, intensitas tenaga kerja, dan waktu yang dibutuhkan. Diagnosis awal dan dapat diandalkan untuk mendeteksi dengan akurat M. tuberculosis sangat penting untuk perlindungan dan pengobatan kasus yang dicurigai TB. PCR baru-baru ini telah
8

digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis dengan langsung menggunakan sputum atau isolat kultur dahak dalam pengaturan klinis (9, 20, 27). Dalam studi ini, kami melakukan PCR multiplex dimodifikasi untuk membedakan antara strain M. tuberculosis Beijing dan non-Beijing menggunakan langsung dahak penderita TB paru aktif. Hasil sensitivitas dan spesifisitas PCR multipleks divalidasi dengan spoligotyping kultur isolat. Menurut studi oleh Jou et al., yang melibatkan analisis oleh metode spoligotyping, proporsi pasien terinfeksi TB strain Beijing di Taiwan timur adalah 46,2% pada tahun 2003 (8). Proporsi yang sama (46,5%) pasien TB ditemukan terinfeksi dengan strain Beijing dalam penelitian kami, menegaskan akurasi dan keandalan dari metode deteksi yang digunakan dalam penelitian ini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa insidensi di sub-Sahara Afrika adalah hampir 363 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2007 (28), yang hampir dengan populasi pribumi kami tetapi jauh lebih tinggi daripada yang di timur Taiwan secara keseluruhan (180,9 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2005 (11). Tingkat kejadian yang relatif rendah di bagian timur Taiwan ini menjelaskan proporsi infeksi campuran yang relatif rendah yang diidentifikasi dalam penelitian kami (11,3% [21/185] dalam penelitian ini dibandingkan 18,8% [35/186] dalam studi Warren dkk.). Tingkat kejadian TB pada populasi pribumi jauh lebih tinggi daripada populasi non-pribumi Taiwan timur (11). Namun, kami menemukan bahwa infeksi campuran tidak terkait secara signifikan dengan kelompok ras yang tinggi insidensi (10,0% untuk pribumi dibandingkan 12,6% untuk non-pribumi) atau riwayat TB pengobatan (14,6% untuk penafsiran dibandingkan 10,4% untuk pengobatan baru) (Tabel 1). Penemuan ini berbeda dari penelitian orang sebelumnya, di mana ia menunjukkan bahwa infeksi campuran adalah terkait dengan insidensi tingkat reinfeksi yang tinggi komunitas perikanan (19, 24, 26). Sebaliknya, hasil kami menunjukkan bahwa tingkat kejadian infeksi campuran pada pasien yang tidak sebelumnya meminum obat anti-TB adalah setinggi pada mereka dengan riwayat pengobatan TB, yang tersirat bahwa sebelum pengobatan dengan obat anti-TB, infeksi dengan satu strain M. tuberculosis tidak melindungi terhadap infeksi dengan strain M. tuberculosis yang lain. Oleh karena itu, penemuan kami memiliki signifikansi pada strategi pengobatan dan pergembangan vaksin, yaitu vaksin terhadap satu strain tunggal yang mungkin tidak memberikan perlindungan terhadap strain lainnya.
9

Dalam penemuan kami, bahwa dari tingkat resistensi keseluruhan, 15,1% adalah karena resistensi terhadap setidaknya satu obat dan 10,3% disebabkan MDR (Tabel 2) mirip dengan hasil penelitian kami sebelumnya pada tahun 2001 (28,6% dan 12,7%, masing-masing) (13). Hasil menunjukkan bahwa tingkat kejadian M. tuberculosis pan-suseptibilitas lebih rendah pada pasien dengan riwayat pengobatan TB (Tabel 2), yang konsisten dengan kesimpulan dari studi Chiang dkk. (3). Selain itu, penemuan dari tingkat yang tinggi MDR strain Beijing mirip dengan hasil lainnya studi (4, 10, 14, 15, 22). Sementara penelitian kami tidak mengungkapkan hubungan yang signifikan antara infeksi dengan strain Beijing dan riwayat pengobatan TB (Tabel 1), isolat dari pasien ini menunjukkan tingkat MDR tertinggi (Tabel 3), yang menyarankan bahwa obat anti-TB mungkin tidak memberikan kontribusi pada prevalens MDR strain Beijing. Hasil ini menyiratkan bahwa strain Beijing adalah dominan dalam perkembangan resitensi obat TB. Di antara kelompok yang terinfeksi M. tuberculosis yang berbeda strain, kelompok infeksicampuran memiliki tingkat tertinggi dari resistensi untuk setidaknya kepada satu obat (M. tuberculosis non-MDR; 23,8%) (Tabel 3), dan tingkat sensitivitas terhadap semua obat (M. tuberculosis pan-suseptibilitas, 71,4%) dalam kelompok infeksi-campuran itu serendah pada kelompok yang terinfeksi dengan strain Beijing saja (70,9%). Meskipun tidak jelas apakah koeksistensi strain campuran M. tuberculosis di host yang sama akan meningkatkan kemungkinan mutasi genetik, strain MDR yang tidak terdeteksi pada infeksi campuran mungkin lebih di atas berbanding strain yang rentan terhadap obat selama pengobatan antibiotik (1). Dalam mendukung gagasan ini, infeksi campuran telah dilaporkan menjadi perubahan yang mendasari faktor penting dalam pola kerentanan terhadap obat di daerah kejadian tinggi (23). Hasil penelitian kami menunjukkan proporsi yang lebih rendah dari strain sensitif terhadap semua obat dan proporsi tertinggi strain yang resisten terhadap setidaknya satu obat pada kelompok infeksi campuran menunjukkan bahwa kelompok infeksi campuran merupakan kelompok risiko menengah, dan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko MDR. Oleh karena itu, identifikasi awal infeksi campuran akan memungkinkan pengobatan yang tepat dengan rejimen obat yang lebih tepat dan memberikan hasil yang lebih sukses.

10

Ada beberapa keterbatasan penelitian ini. Pertama, jumlah kasus infeksi campuran relatif kecil dibandingkan dengan bahwa dalam studi oleh Warren dkk. (21 vs 35), yang mungkin mengurangi kekuatan statistik dan mempengaruhi kesimpulan pentingnya infeksi campuran yang dibuat dalam penelitian kami. Kedua, diskriminasi akurat strain M. tuberculosis berasal dari reinfeksi eksogen atau reaktivasi endogen masih terbatas dalam penelitian ini. Ketiga, pemisahan semua strain M. tuberculosis ke strain Beijing dan non-Beijing dalam penelitian kami mungkin telah disederhanakan, dan demikian proporsi kasus infeksi-campuran mungkin karena telah diremehkan. Akhir sekali, karena pola resistensi obat tinggi yang diidentifikasi dalam penelitian ini, khususnya di strain Beijing, studi lebih lanjut dari epidemiologi dan XDR pola strain Beijing dan / atau non-Beijing diperlukan. Sebagai kesimpulan, kami mengembangkan metode pembedaan PCR multiplex Beijing dan non-Beijing dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi strain M. tuberculosis Beijing dan / atau non-Beijing dengan langsung menggunakan dahak penderita dalam satu langkah, dan hasilnya ditunjukkan bahwa infeksi campuran hadir pada pasien dengan aktif TB paru di Taiwan Timur. Perbandingan parameter klinis pasien yang terinfeksi dengan strain tunggal dan mereka terinfeksi dengan jenis campuran tidak mengungkapkan perbedaan yang signifikan. Selain itu, nfeksi

campuran tidak ditemukan ada kaitannya dengan riwayat pengobatan TB atau insidensi tinggi kelompok ras, suku pribumi. Akhirnya, hasil penelitian ini, yang dilakukan di wilayah endemik TB Taiwan, menunjukkan bahwa infeksi campuran, yaitu, kehadiran secara bersamaan strain M. tuberculosis Beijing dan non-Beijing dalam satu individu, adalah tinggi pada pasien yang tidak menerima pengobatan obat-obatan anti-TB. Dengan demikian, resep regimen pengobatan yang tidak tepat dan ketidakmampuan untuk secara akurat membedakan strain M. tuberculosis dan pola resistensi dalam kasus infeksi campuran dapat memfasilitasi munculnya bakteri resisten dan strain MDR.

11

You might also like