You are on page 1of 35

Berita acara presentasi portofolio Pada hari ini tanggal : ........................................................telah dipresentasikan portofolio oleh : Nama : .....................................................................................................................

No ID Peserta : ...................................................................................................................... dengan judul / topik : ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... . No. ID dan Nama Pendamping No. ID dan Nama Wahana Nama Peserta Presentasi 1. ............................................ . 2. ............................................. . 3. ............................................. . 4. ............................................. . 5. ............................................. . Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesingguhnya. Pendamping ..................................... ................................... ..................................... ................................... ..................................... ................................... ..................................... ................................... :.............................................................................................. :.............................................................................................. No. ID Peserta .................................... Tanda tangan ...................................

(dr. Annta kern) No. ID : .........................................

No. ID dan Nama Peserta : dr. Muallim Hawari No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kota Surakarta Topik : Kegawat daruratan Tanggal (kasus) : april 2013 Nama pasien : ny. S No. RM : 017402 Tanggal presentasi : 16 april 2013 Nama pendamping : dr. annta kern Tempat presentasi : RSUD Kota Surakarta Objektif presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Neonatus Deskripsi: Manajemen Anak Masalah Dewasa Istimewa Lansia Bumil

Bayi

Remaja

Os masuk ke UGD dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 2 hari SMRS. Sesak lebih dirasakan ketika berbaring. Pasien juga mengeluhkan ngos2an walau pun hanya berjalan jarak dekat. Os tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari karena kaki tidak dapat digerakkan karena patah. Tujuan: Untuk menegakan diagnosis oedem pulmo Riset Presentasi dan diskusi Kasus Email Audit Pos

Manajemen oedem pulmo Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Cara membahas: Diskusi

Data pasien: Nama: ny. S Nama klinik: RSUD Kota Surakarta Data utama untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis / gambaran klinis :

Nomor Registrasi: 017402 Telp: Terdaftar sejak: -

Os masuk ke UGD dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 2 hari SMRS. Sesak lebih dirasakan ketika berbaring. Pasien juga mengeluhkan ngos2an walau pun hanya berjalan jarak dekat. Os tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari karena kaki tidak dapat

digerakkan karena patah. 2. Riwayat pengobatan : sudah pernah periksa untuk kaki bengkak tetapi tidak berkurang 3. Riwayat kesehatan/ penyakit : Riwayat hipertensi (+) 2th yll Riwayat pernah sakit serupa (+) Riwayat alergi disangkal Riwayat trauma (+) kaki 4. Riwayat keluarga : keluarga tidak ada riwayat hipertensi 5. Riwayat pekerjaan : tidak bekerja 6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik : Pasien adalah ibu dari 1 anak 3 cucu, pasien periksa dengan menggunakan kartu PKMS 7. Pemeriksaan Fisik : 1. Status Generalis : a) b) 36,8 C c) (?) Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-) Thoraks Inspeksi : Gerak nafas simetris, bentuk dada normal, ictus cordis tidak terlihat Keadaan Tubuh : Kepala : Mesosefal Kulit Mata : Turgor kurang (-), Pucat (-), Sianosis (-) : Konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor, refleks pupil Kesan Umum : Kesadaran : Composmentis , GCS 15 Status Gizi : status gizi obesitas Tanda tanda Vital : TD: 150/90 mmHg Nadi : 110x/menit, RR : 40x/menit, t :

(+/+), sklera ikterik (-/-), diplopia (-), kabur (-) Hidung : darah (-/-) Telinga : Discharge (-/-), gg.pendengaran (-) Mulut Leher : Kering (-), sianosis (-), : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, JVP

Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri, ictus cordis tidak teraba Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru Batas paru lambung : sela iga VIII garis axillaris anterior kiri Batas paru hepar : sela iga VI midklavikularis kanan Peranjakan paru : 1 intercostal space Batas atas jantung : sela iga III garis parasternal kiri Batas kiri jantung : sela iga V garis diantara midklavikular kiri dan linea axilaris anterior Batas kanan jantung: sela iga IV medial garis parasternal kanan Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-, ronkhi basah basal paru +/+, murmur -, gallop Abdomen : : Datar, dilatasi vena : Supel, turgor cukup, tidak ada nyeri tekan dan Nyeri lepas, : Timpani di seluruh lapangan abdomen

Inspeksi Palpasi Perkusi Ekstrimitas Planning O2 3 L/m Inf. NaCl 10 tpm (mikro) Inj. Furosemid 2 amp IV Inj. Ceftriaxon 1 gr/12jam Inj. Ranitidin 1A/12jam Pasang DC Genital Anus

hepar dan lien tidak teraba membesar, abdominojugular refluk (-).

Auskultasi : BU (+) normal : Akral dingin (-), oedem (+/+) : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak dilakukan pemeriksaan

PO : Spironolacton 1 x Renapar 1x1 Digoxin 1x1 EKG & Lab Ranap

Hasil lab DL : HB : 10,4 gr/dl AE : 3,46 juta/mm3 AT : 204 rb/ mm3 AL : 9,0 rb/ mm3 HMT : 30 % Lym : 12,1 % Granulosit : 83,4 % Mid cell : 4,5 % MCH : 30,0 Pg MCV : 34,3 g/dl MCHC :87,5 fl

Kimia darah : GDS 137 mg/dl Follow up 6 april bangsal S : sesak + O : TD 150/90 Cardiomegali + Oedem eks +/+ A : CHF ec. IHD/HHD HT Stroke lama Fraktur lama collum femoris P: O2 3 L/m Inf. NaCl 10 tpm (mikro) Inj. Furosemid 2 amp IV Inj. Ceftriaxon 1 gr/12jam Inj. Ranitidin 1A/12jam PO : Spironolacton 1 x Renapar 1x1 Digoxin 1x1 ISDN 3x5mg Ureum 54 mg/dl Kreatinin 1,26 mg/dl

T Aspilet 1 x 80 mg Captopril 2x12,5mg

EKG : sinus takikardi (110x/m), OMI anteroseptal 7 april S : sesak berkurang, sulit tidur O : TD: 170/110 T : 36C N : 86x/m RR : A : CHF ec. IHD/HHD HT Stroke lama Fraktur lama collum femoris P : Tx lanjut GDS : 90 mg/dl 8 april S : sesak berkurang O : TD: 150/100 A : CHF ec. IHD/HHD HT Stroke lama Fraktur lama collum femoris

P: O2 3 L/m Inf. D5% 10 tpm (mikro) Inj. Furosemid 2 amp IV Inj. Ceftriaxon 1 gr/12jam Inj. Ranitidin 1A/12jam PO : Spironolacton 1 x Renapar 1x1 Digoxin 1x1 ISDN 3x5mg T Aspilet 1 x 80 mg Captopril 2x12,5mg

Daftar Pustaka : 1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV 2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrisons principle of internal medicine.2005; ed XVI 3. Batrum C. Real Time Ultrasound A Manual for Physicians and Technical Personell. Ed II. W.B. Saunders Co. 1987 4. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with heart failure. A statement for healthcare professionals from The Cardiovascular Nursing Councils of The American Heart Assiciation Circulation 2000 5. Thomas G, Patrizzio C, Pierre S, et all. 1999. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema. Departement of Diagnostic and Interntional Radiology University Hospital Center Swizsterland
6. Abdurachman N. 1987. Gagal Jantung. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI.

Jakarta. Hal 193 204 7. Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. 2009. Surabaya: Airlangga University Press. h.323 8. Guyton and Hall. Textbook of Medical Physiology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1997. 2007. pp 622 - 633

BAB I Gagal Jantung Gagal jantung atau Heart failure adalah Sindrom klinis yang terjadi pada pasien karena didapatkan suatu kelainan struktur atau fungsi jantung, sehingga menimbulkan gejala klinis (dispnea, kelelahan, edema & lainnya) yang mengakibatkan pasien sering rawat inap, kualitas hidup yang buruk, dan harapan hidup pendek. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung dan respon kompensatoriknya mengakibatkan kelainan pada tiga penentu utama dari fungsi miokardium, yaitu beban awal (preload), kontraktilitas, dan beban akhir (afterload). Beban awal (preload) Beban awal adalah derajat peregangan serabut miokardium pada akhir pengisian ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai titik tertentu memperbanyak tumpang tindih antara filamen-filamen aktin dan miosin , sehingga kekuatan kontraksi dan curah jantung meningkat. Hubungan ini dinyatakan dengan Hukum Starling, yaitu peregangan serabut-serabut miokardium selama diastole akan meningkatkan kekuatan kontraksi pada sistole. Beban awal dapat meningkat dengan bertambahnya volume diastolik ventrikel, misalnya karena retensi cairan, sedangkan penurunan beban awal dapat terjadi pada diuresis. Secara fisiologis, peningkatan volume akan meningkatkan tekanan pada akhir diastole untuk menghasilkan perbaikan pada fungsi ventrikel dan curah jantung, namun pada ventrikel yang gagal, penambahan volume ventrikel tidak selalu disertai perbaikan fungsi ventrikel. Peningkatan tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan bendungan paru atau sistemik, edema akibat transudasi cairan, dan mengurangi peningkatan lebih lanjut dari volume dan tekanan. Perubahan dalam volume intrakardial dan perubahan akhir pada tekanan bergantung pada kelenturan daya regang ruang-ruang jantung. Ruang jantung yang sangat besar, daya regangnya dapat menampung perubahan volume yang relatif besar tanpa peningkatan tekanan yang bermakna. Sebaliknya, pada ruang ventrikel yang gagal dan kurang lentur, penambahan volume yang kecil dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang bermakna dan dapat berlanjut menjadi pembendungan dan edem.

Kontraktilitas Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan kontraksi atau keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-perubahan dalam panjang serabut. Pemberian obat-obat inotropik positif seperti katekolamin atau digoksin, akan meningkatkan kontraktilitas, sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan kontraktilitas. Pada gagal jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium. Beban akhir (afterload) Beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai untuk mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum Laplace, ada tiga variabel yang mempengaruhi tegangan dinding yaitu ukuran atau radius intraventrikel, tekanan sistolik ventrikel dan tebal dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan retensi cairan dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian vasodilator dan hipertrofi ventrikel sebagai konsekuensi lain dari gagal jantung dapat mengurangi beban akhir. Dahulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa jantung, sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas, dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban jantung. Sekarang gagal jantung dianggap sebagai remodeling progresif akibat beban atau penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral (neurohumoral blocker) seperti ACE-inhibitor, angiotensin reseptor blocker dan beta-blocker diutamakan disamping obat konvensional (diuretik dan digitalis), ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti bedah rekonstruksi ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti. Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka yang selamat dari serangan infark jantung akut akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak orang yang hidup dalam keadaan disfungsi ventrikel kiri, yang selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis, dan semakin banyak yang dirawat akibat gagal jantung kronis.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI Etiologi Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri: penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi (tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan: gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenois katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif. 1. Gangguan mekanis a. Peningkatan beban tekanan b. Peningkatan beban volumen c. Hambatan pengisian ventrikel d. Retriksi endokardial atau miokardial e. Aneurisma ventrikular 2. Kelainan miokardial a. Primer b. Sekunder 3. Gangguan irama jantung Ventrikular standstill Ventrikular fibrilasi Takhikardi atau bradikardi Gangguan konduksi Klasifikasi Gagal jantung sistolik dan diastolik Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan fisik, kemampuan aktivitas fisik menurun, dan gejala hipoperfusi lainnya. Sedangkan gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Kedua jenis ini tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan doppler-ekokardiografi

Gagal jantung high output dan low output Gagal jantung curah tinggi disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan pagets disease. Gagal jantung curah rendah ditemukan pada hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup, dan perikardium. Gagal jantung kanan dan kiri Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel kiri, ventrikel kiri gagal untuk memompa darah, maka akan terbendung kemudian terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri serta vena-vena di belakangnya (vena pulmonalis), menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi bila terdapat kelainan yang melemahkan ventikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti pada vena-vena sistemik yang menyebabkan oedem perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis. Gagal jantung akut dan kronik Gagal jantung akut terjadi bila pasien yang secara awal sehat secara keseluruhannya, lalu mendadak mengalami penurunan curahjantung, terjadi penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contohnya terjadi robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Gagal jantung akut biasanya adalah sistolik. Gagal jantung kronik secara khas diamati pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvuler yanhg berkembang secara lambat. Kongesti perifer sangat mencolok, tapi tekanan darah kadang masih terpelihara dengan baik. PATOFISIOLOGI Pompa yang tidak adekuat dari jantung merupakan dasar terjadinya gagal jantung. Pompa yang lemah tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. Sebagai reaksi dari hal tersebut, awalnya dinding jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah karena hal ini, maka otot jantung menebal untuk memom pa lebih kuat. Sementara itu ginjal menyebabkan tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah yang beredar melalui jantung dan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kenaikkan yang progresif pada tekanan pengisian sistemik rata-rata dimana tekanan atrium kanan meningkat sampai akhirnya jantung mengalami peregangan yang berlebihan atau menjadi sangat edema

sehingga tidak mampu memompa darah yang sedang sekalipun. Tubuh kemudian mencoba untuk berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat jantung bekerja lebih keras. Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan gejala-gejala gagal jantung mulai timbul. Seperti gelang karet yang direntang berlebihan, maka kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali akan berkurang. Otot jantung menjadi terentang secara berlebihan dan tidak dapat memompa darah secara efisien. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaankeadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel, sedangkan stenosis aorta dan hipertensi sistemik akan meningkatkan beban akhir. Kontraktilitas miokardium dapat menurun karena infark miokardium dan kardiomiopati. Selain dari ketiga mekanisme fisiologis tersebut, ada faktor-faktor fisiologis lain yang dapat juga mengakibatkan jantung gagal bekerja sebagai pompa, seperti stenosis katup atrioventrikularis dapat mengganggu pengisian ventrikel, perikarditis konstriktif dan tamponade jantung dapat mengganggu pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel, sehingga menyebabkan gagal jantung. Diperkirakan bahwa abnormalitas penghantaran kalsium di dalam sarkomer atau dalam sintesisnya atau fungsi dari protein kontraktil merupakan penyebab gangguan kontraktilitas miokardium yang dapat mengakibatkan gagal jantung. Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer terjadi yaitu: meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi kurang efektif. Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : 1. Norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas miosit 2. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan saraf simpatis 3. Aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium 4. Endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas miosit

5. Vasopresin menyebabkan vasokontriktor dan resorbsi air 6. TNF merupakan toksisitas langsung miosit 7. ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada miosit 8. Interleukin-1 dan interleukin-6 bersifat toksis terhadap miosit. Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastole atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP (Left Atrium Pressure), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru. Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmoner, yang mana hipertensi pulmoner akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis gagal jantung secara umum : Dispnea, atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paruparu yang mengurangi kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.

Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun karena dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru interstitial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri daripada dispnea atau ortopnea. Asma kardial adalah mengi akibat bronkospasme dan terjadi pada waktu malam atau karena aktivitas fisik. Batuk non produktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru, terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat transudasi cairan paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru sesuai pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial sekunder dari distensi vena. Distensi atrium atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi esophagus dan disfagia atau kesulitan menelan. Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ) umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik, yang mana klasifikasinya sebagai berikut :

Klasifikasi menurut ACC/AHA Heart Failure Practice Guidelines 2001

Klasifikasi menurut KILLIP

Klasifikasi menurut CCS (Canadian Cardiovasculer Society ) Klasifikasi menurut CCS (Canadian Cardiovascular Society), mengklasifikasikan pasien dengan gejala angina dalam beberapa kelompok berdasarkan keparahan dari gejalanya dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Klasifikasi menurut Stevenson Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki

basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

DIAGNOSA Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan karakteristik forward or backward, left or right heart failure. Kriteria diagnosis gagal jantung Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart Study : Kriteria mayor : a. Paroksismal nokturnal dispneu b. Ronki paru c. Edema akut paru d. Kardiomegali e. Gallop S3 f. Distensi vena leher g. Refluks hepatojugular h. Peningkatan tekanan vena jugularis Kriteria minor : a. Edema ekstremitas b. Batuk malam hari c. Hepatomegali

d. Dispnea deffort e. Efusi pleura f. Takikardi (120x/menit) g. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pemeriksaan Penunjang Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut ini : 1. EKG EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung, tetapi EKG tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung. 2. Foto thorax Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik karena ukuran biasa terlihat normal. Selain itu, pada pemeriksaan foto toraks didapatkan adanya kongesti vena paru-paru, berkembang menjadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang lebih berat, redistribusi vaskular pada lobus atas paru-paru, dan kardiomegali. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. 3. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan perubahan yang khas pada kimia darah, seperti adanya hiponatremia, sedangkan kadar kalium dapat normal atau menurun sekunder terhadap terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat sekunder terhadap perubahan laju filtrasi glomerulus. Urin menjadi lebih

pekat dengan berat jenis yang tinggi dan kadar natriumnya berkurang. Kelainan pada fungsi hati dapat mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang ringan. Dapat pula terjadi peningkatan bilirubin dan enzim-enzim hati, aspartat aminotransferase (AST) dan fosfatase alkali serum, terutama pada gagal jantung yang akut. Kadar kalium dan natrium merupakan prediktor mortalitas. Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT-pro BNP (N Terminal protein BNP. Kegunaan pemeriksaan BNP adalah untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi pasien dengan gagal jantung, deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta untuk membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan konsentrasi BPN lebih akurat mendignosis gagal jantung. 4. Ekokardiografi Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Doppler echocardiography dua dimensi dapat digunakan untuk menentukan penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and ventricular filling pressures). Harus dilakukan secara rutin untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi, dan abnormalitas gerakan. 5. Tes fungsi paru 6. Uji latih beban jantung 7. Kardiologi nuklir. KOMPLIKASI Komplikasi gagal jantung meliputi: 1. Cachexia jantung Jika pasien gagal jantung dengan kelebihan berat badan, kondisi mereka cenderung lebih parah. Indikator penting dari kondisi memburuk adalah terjadinya cachexia jantung, yang ditandai dengan berat badan yang cepat menurun (kehilangan sedikitnya 7,5% dari berat normal dalam waktu 6 bulan).

2. Gangguan fungsi ginjal Gagal jantung melemahkan kemampuan jantung untuk memompa darah, hal ini dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh termasuk ginjal. Penurunan fungsi ginjal umumnya terjadi pada pasien dengan gagal jantung, baik sebagai komplikasi gagal jantung dan sebagai komplikasi berbagai penyakit lainnya yang berhubungan dengan gagal jantung (seperti diabetes). 3. Aritmia Fibrilasi atrium adalah mengalahkan cepat bergetar di ruang atas jantung. Ini adalah penyebab utama stroke dan sangat berbahaya pada penderita gagal jantung. Takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel adalah aritmia serius yang dapat terjadi pada pasien ketika fungsi jantung secara signifikan terganggu. 4. Depresi Studi menunjukkan bahwa depresi mungkin memiliki efek biologis yang merugikan pada sistem kekebalan tubuh dan saraf, pembekuan darah, tekanan darah, pembuluh darah, dan irama jantung. 5. Angina dan serangan jantung Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama gagal jantung, pasien dengan gagal jantung memiliki risiko lanjutan untuk angina dan serangan jantung. 6. Kongesti paru 7. Cardiac arrest 8. Sudden death. PENATALAKSANAAN Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung secara umum ditujukan pada lima aspek yaitu mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi : Non medikamentosa Umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar benar dengan tirah

baring mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat. Sering tampak gejala gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari. Program penatalaksanaan non medikamentosa ini dapat berupa: Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, bagaimana upaya jika timbul keluhan Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas sosial, serta rehabilitasi Edukasi pola diet, control asupan garam, air, dan kebiasaan alkohol Monitor berat badan, berhati-hati dengan kenaikan berat badan tiba-tiba Mengurangi berat badan pada pasien obesitas Berhenti merokok Perlu perhatian khusus jika akan melakukan perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas Konseling mengenai obat, efek samping, dan perlunya menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil, diltiazem, antidepresan trisiklik, steroid, dihidropiridin efek cepat. Medikamentosa Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu, pendekatan awal adalah memperbaiki berbagai gangguan yang mampu untuk menghilangkan beban kardiovaskular yang berlebihan, seperti mengobati hipertensi, mengobati anemia, mengurangi berat badan atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal jantung yang tetap bergejala walaupun penyakit yang mendasarinya telah diobati, memerlukan pembatasan aktivitas fisik, pembatasan asupan garam dan obat. Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). Digitalis semula merupakan obat yang selalu diberikan pada klien gagal jantung, tetapi ternyata efektivitas diuretik pada gagal jantung sama dengan digitalis, terutama pada klien dengan edema sebagai gejala utama gagal jantung, sehingga pada strategi pengobatan gagal jantung pilihan pertama adalah pemberian diuretic. Diuretic yang digunakan

adalah grup II, Loop diuretic yaitu furosemid. Furosemid menghambat reabsorpsi Na, Cl, pada ascending limbloop of Henle, sedikit efek pada tubulus proksimalis. ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretic dan ACEinhibitor tersebut diberikan. Digitalis diberikan bila ada arritmia supraventikuler (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau bila ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi apabila fungsi ginjal menurun atau kadar kalium rendah. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Operatif Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially curable. Pemakaian alat dan tindakan bedah antara lain : Revaskularisasi bedah) Operasi katup mitral Aneurismektomi Kardiomioplasti External cardiac support (perkutan, Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular Implantable cardioverter defibrillators (ICD) Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart Ultrafiltrasi, hemodialisis.

Algoritma Terapi CHF

BAB II Edem Pulmo Akut Definisi Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006) Mekanisme Edem Paru Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru: a. Membran kapiler alveoli Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik. b. Sistem limfatik Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat

kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006) KLASIFIKASI: Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus Ketidak-seimbangan Starling Forces: Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: 1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral). 2. 3. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema). Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru. Peningkatan tekanan negatif intersisial: Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah: 1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

Peningkatan tekanan kapiler paru

2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma). Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik. 2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force. Pneumonia (bakteri, virus, parasit). Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO). Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea). Aspirasi asam lambung. Pneumonitis radiasi akut. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin). Disseminated Intravascular Coagulation. Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks. Pankreatitis Perdarahan Akut. 3. Insufisiensi Limfatik: Post Lung Transplant. Lymphangitic Carcinomatosis. Fibrosing Lymphangitis (silicosis). 4. Tak diketahui/tak jelas High Altitude Pulmonary Edema. Neurogenic Pulmonary Edema. Narcotic overdose. Pulmonary embolism Eclampsia

Post cardioversion Post Anesthesia Post Cardiopulmonary Bypass Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasamya. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006)

Gambar 3 perbedaan mekanisme edem paru kardiogenik dan non kardiogenik Manifestasi Klinik Edema Paru Kardiogenik Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Sering kali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan

pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Manefestasi klinis dapat diketahui dari: Edema Paru Kardiogenik Akut Merupakan proses sekunder, dapat dilihat pada dilatasi jantung yang akut selama perjalanan penyakit jantung yang kronis, terutama gangguan ventrikel kiri atau pada stenosis mitral. Penderita tiba-tiba sesak, dada tertekan dan sering sianosis. Ada ronki pada bagian basal atau menyeluruh. Kronis Sering terdapat pada kegagalan jantung kiri dan stenosis mitral, tetapi dapat juga pada retensi cairan atau pada penderita yang lama berbaring karena suatu penyakit. Pada tahap pertama terdapat ronki basah halus pada basis atau pada posisi tidur di satu sisi. Pada keadaan lebih lanjut, penderita sesak sekali, suara napas berkurang dan kadang-kadang terdengar suara

bronkovaskular. Bahkan pada keadaan bendungan yang hebat, akan terjadi hidrotoraks.( Alsagaff Hood, 2009) Edema non-kardiogenik Gejala klinis dari gagal nafas adalah nonspesifik dan mungkin minimal, walaupun terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidemia yang berat. Tanda utama dari kecapaian pernafasan adalah penggunaan otot bantu nafas, takipnea, takikardia, menurunnya tidal volume, pola nafas ireguler atau terengah-engah (gasping) dan gerakan abdomen yang paradoksal.( Palililingan JF, 2012) Anamnesis. Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam. Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (frothy sputum). Pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat. Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau alveolar. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution, 2006) Foto thoraks. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih utamanya terpusat plus yang menyinggung dari jantung vertebral dan pembuluh-pembuluh darah tulang-tulang

column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasusyang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya. Gambaran Radiologi yang ditemukan: 1. 2. 3. 4. 5. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus) Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral) Kranialisasi vaskuler Hilus suram (batas tidak jelas) Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

Gambar 4: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).

Gambar 5: Kardiomegali dan edema paru 1. 2. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru) Edema butterfly atau Bats Wing (edema sentral)

Gambar 6: Bats Wing 1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan sebelumnya, contoh: emfisema). (Faruq, 2012)

Gambar 7 peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan edema (Thomas G, 1999) CT-Scan CT-Scan resolusi tinggi dapat menunjukkan konsolidasi wilayah udara luas, yang mungkin memiliki distribusi yang dominan di daerah paru-paru. Sebuah pola retikuler dengan distribusi anterior mencolok sering ditemuin pada CT-Scan pada penderita ARDS, hal ini terkait dengan durasi tekanan-dikendalikan ventilasi, invers-rasio.
[5]

Gambar 8 ct scan paru Laboratorium. Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi. EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006) Ekokardiografi.

Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yangakan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya. Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakanantara cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU) setting. (Faruq, 2012) Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK) EPK Anamnesis Acute cardiac event Penemuan Klinis Perifer S3 gallop/kardiomegali (+) Dingin (low flow state) (+) Jarang Hangat (high flow meter) Nadi kuat (-) EPNK

JVP Ronki Laboratorium EKG Foto toraks ENzim kardiak PCWP Shunt intra pulmoner Protein cairan edema JVP: jugular venous pressure

Meningkat Basah

Tak meningkat Kering Tanda penyakit dasar

Iskemia/infark DIstribusi perihiler Bisa meningkat > 18 mmHg Sedikit < 0.5

Biasanya normal Distribusi perifer Biasanya normal < 18 mmHg Hebat > 0.7

PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006) Berdasarkan Gambaran radiologis nya Tabel 2 Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE

Alogaritma dalam diagnosis edem paru kardiogenik vs non kardiogenik

Algoritma Terapi Edem Pulmo

You might also like