You are on page 1of 15

Pengertian dan Konsep Perikatan

Segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan., demikianlah rumusan Pasal 1131 KUH Perdata. Ketentuan tersebut memberikan dua pengertian. Pertama, bahwa setiap subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajibannya sendiri, yang dalam hal ini terwujud dalam kepemilikan harta kekayaan, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. Kedua, bahwa harta kekayaan seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu, karena perikatan yang dibuat, dilakukan, maupun yang terjadi atas diri subjek hukum tersebut dari waktu ke waktu. Dengan demikian terdapat suatu hubungan yang sangat erat antara kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang dengan perikatan yang dibuat, dilakukan, maupun yang terjadi atas perorangan tersebut. Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa hukum kebendaan berbicara mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan objek hukum secara langsung, yang menunjuk pada hubungan kepemilikan atau penguasaan atau suatu kebendaan atau hak yang melekat pada diri kebendaan tertentu tersebut, yang bersifat mutlak bagi diri orang perorangan tersebut. Sedangkan perikatan mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum, yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut, akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam hubungan hukum perikatan tersebut. Hak ini adalah juga suatu bentuk kebendaan, karena hanya merupakan ubungan hukum antara dua atau lebih subjek hukum. Pengertian Perikatan Dalam buku ini digunakan secara harfiah kata perikatan sebagai terjemahan istilah verbintenis, yang merupakan pengambilalihan dari kata obligation dalam Code Civil Perancis. Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun istilah perikatan. Diawali dengan ketentuan pasal 1233, yang menyatakan bahwa : tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undangundang, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang(pihak) dalam bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.

Created by aris

Dalam rumusan diatas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurang-kurangnya membawa serta didalamnya empat unsur, yaitu : 1. bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum; 2. hubungan hukum tersebut melibatkan dua orang atau lebih orang (pihak); 3. hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan; 4. hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan. Jika kita perhatikan dengan seksama rumusan diberikan dalam pasal 1234 KUH Perdata, dimana dinyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, maka dapat kita lihat bahwa KUH Perdata sangat menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan atau untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban dan Prestasi Seperti telah diungkapan pada uraian terdahulu, KUH Perdata sangat menekankan sekali pada pentingnya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melaukan sesuatu tersebut disebut dengan prestasi. Prestasi untuk melaksanakan kewajiban tersebut diatas memiliki dua unsur penting. Pertama, berhubungan dengan persoalan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yang berkewajiban (schuld). Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah siapa yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban tersebut wajib dipenuhi(kreditor). Hal kedua berkaitan dengan pertanggung jawaban pemenuhan kewajiban dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut, tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhi kewajiban tersebut (Haftung).Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan kedua hal tersebut terletak dipundak salah satu pihak dalam perikatan, yang pada umumnya disebut debitor. Jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, juga dapat dimintakan pertanggung jawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan hukum diantara para pihak dalam perikatan tersebut dari harta kekayaan debitor tersebut. Walau demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat hubungan hukum, dimana pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban harus dipenuhi (kreditor) oleh karena tidak ada harta kekayaan yang dijaminkan untuk memenuhi perikatannya tersebut. Jadi dalam hal ini dimungkinkan terjadinya perikatan yang prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaanya (natuurlijke verbintenis). Atau dengan kata lain dimungkinkan terbentuknya perikatan yang menimbulkan schuld tetapi tanpa haftung. Pada pihak lain, juga dapat terjadi bahwa suatu prestasi dipenuhi oleh suatu pihak tertentu, yang tidak berkewajiban untuk memenuhinya. Dalam hal ini terdapat

Created by aris

haftung atas kebendaan yang dijaminkan, tetapi tidak ada schuld pada pihak yang pemberi jaminan kebendaan. Sehubungan dengan kemampuan untuk melaksanakan prestasi, dikenal adanya dua macam kemampuan, yaitu : 1. Kemampuan objektif, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kewajibanatau prestasi tanpa memperhatikan pihak yang melaksanakan kewajiban atau prestasi tersebut. 2. Kemampuan subjektif, yaitu kemampuan yang melekat pada diri individu yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu (debitor). Ditinjau dari sifat prestasi yang harus dilakukan, secara teoritis dikenal dua macam prestasi, yaitu prestasi yang hanya dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor sendiri, dan prestasi yang pemenuhannya dapat dilakukan tanpa kehadiran debitor atau prestasi yang tidak perlu dilaksanakan sendiri oleh debitor sendiri. Prestasi yang pertama bersifat spesifik, dan pada umumnya merupakan kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan untuk melakukan sesuatu, yang keberadaannya dan pelaksanaanya semata-mata digantungkan pada keahlian diri pribadi debitor. Sedangkan jenis prestasi kedua, meskipun keberadaannya bergantung pada keberadaan debitor tertentu, namun demikian pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa kehadiran atau tanpa bantuan debitor sendiri. Debitor dan Kreditor Dalam setiap hubungan yang melibatkan dua pihak atau lebih, keberadaan pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi atau debitor pada satu sisi, pada umumnya disertai dengan pihak yang berhak atas prestasi yang wajib dipenuhi oleh debitor, kecuali dalam perkatan alamiah. Jika kewajiban atau prestasi untuk melakukan sesuatu dari sudut debitor disebut hutang, maka dari sudut pihak yang berhak atas pelaksanaan prestasi tersebut, hak atas pemenuhan prestasi disebut piutang. Pihak yang berhak disebut pihak berpiutang atau kreditor. Dalam konstruksi KUH Perdata, kedudukan debitor sangat dipentingkan. Hal ini adalah akibat dari sifat pemenuhan prestasi yang dijamin dengan harta kekayaan debitor. Jadi Undang-Undang memberikan perlindungan terhadap siapa prestasi tersebut harus dipenuhi, dengan menentukan siapa yang berhak untuk memenuhinya. Hak atas piutang dapat dialihkan dari satu kreditor kepada kreditor lainnya, sedangkan kewajiban untuk memenuhi piutang tidak boleh dipindahtangankan dari debitor yang satu ke debitor yang lainnya, tanpa persetujuan kreditor yang berkepentingan. Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Meskipun bukan yang paling dominant, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh para legislator, para praktisi hukum, serta juga pada cendikiawan hukum, menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke waktu. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Created by aris

yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang Hubungan antara perikatan dan perjanjian Apakah yang dinamakan perikatan itu? Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi, adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undangundang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumebr-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi.

Created by aris

Bab II
Pembagian Perikatan Menurut Doktrin
1. Pembagian Perikatan Menurut Sumber Lahirnya Perikatan Ketentuan Pasal 1233 ayat (1) menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik Karena suatu persetujuan, maupun karena Undang-Undang. Seperti telah dijelaskan dimuka, pernyataan ini membawa konsekwensi bahwa hubungan hukum yang menerbitkan kewajiban atau prestasi dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi dari perbuatan hukum, peristiwa hukum, maupun karena suatu keadaan hukum. Perbuatan hukum tersebut dapat merupakan perbuatan yang memang dikehendaki dan diencanakan oleh para pihak yang terikat dalam perikatan tersebut, maupun merupakan suatu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh para pihak dalam perikatan tersebut. a. Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian Seperti telah disebutkan di atas ketentuan tentang Pasal 1233 ayat (1), jika kita mencoba merumuskan secara berlainan, maka dapat kita katakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Dengan membuat perjanjian salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang dijanjikan. Ini berarti diantara para pihak yang membuat perjanjian lahirlah perikatan. b. Perikatan yang bersumber pada Undang-Undang KUH Perdata membagi perikatan yang lahir dari Undang-Undang ini kedalam perikatan yang lahir karena Undang-Undang saja, dan perikatan yang lahir karena Undang-Undang yang disertai dengan perbuatan manusia. Dalam golongan yang pertama, termasuk didalamnya peristiwa hukum. Selanjutnya, terhadap perikatan yang lahir dari Undang-Undang disertai perbuatan manusia, diolongkan lagi kedalam dua jenis, yaitu perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat dari suatu perbuatan manusia yang diperbolehkan oleh hukum dan perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat dari suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Untuk yang terakhir ini sering kali disebut dengan istilah perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum. 1. Pembagian Menurut Isi Perikatan Pasal 1233 KUH Perdata membagi perikatan menurut isinya kedalam : perikatan ditunjukan untuk memberikan sesuatu; perikatan untuk berbuat sesuatu; dan perikatan untuk tidak melakukan sesuatu. a. Perikatan Untuk Memberikan Sesuatu KUH Perdata tidak memberikan definisi dari perikatan untuk memberikan sesuatu, namun dari rumusan yang ditemukan dalam pasal 1235 KUH Perdata dapat kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan periktan untuk memberikan sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitor untuk menyerahkan suatu kebendaan. Dalam hubungannya dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitor terhadap kreditor tersebut, timbul pertanyaan bagi kita semua, bagaimana halnya jika debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya? Hal tersebut dikatakan wanprestasi, untuk menjawab hal tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa debitor telah wanprestasi jika : Created by aris 5

debitor tidak menyerahkan kebendaan yang harus diserahkan pada waktunya; debitor tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diserahkan pada waktunya; debitor tidak menyerahkan kebendaan tersebut sama sekali; debitor tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diserahkan sama sekali; debitor menyerahkan sesuatu kepada debitor tetapi tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan; debitor tidak memelihara kebendaan yang akan diserahkan sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diserahkan sesuai dengan yang telah ditentukan.

b. Perikatan Untuk Melakukan Sesuatu Jika kita perhatikan Bagian Tiga Bab Satu buku III KUH Perdata dibawah judul perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, akan kita lihat bahwa tidak banyak hal yang diatur dalam bagian ketiga tersebut. Adanya rumusan Pasal 1239 yang menyatakan bahwa : tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila kreditor tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga . Ketentuan tersebut langsung menunjuk pada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditor atas wanprestasi pihak debitor. Secara logis, dapat kita katakan bahwa perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu merupakan perikatan yang berhubungan dengan kewajiban deditor untuk melaksanakan pekerjaan atau jasa tertentu untuk kepentingan kreditor. c. Ketentuan untuk Tidak Melakukan Sesuatu Perikatan bersifat larangan yang jika dilangar akan menyebabkan debitor terikat pada suatu perikatan baru, yaitu untuk : - memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga sebagai akibat dilakukannya perbuatan yang tidak diperbolehkan tersebut, yang menerbitkan kerugian pada kreditor, dan atau - menghapus segala sesuatu yang dilakukan secara bertentangan dengan perikatan; dan atau - membayarsegal biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh kreditorguna mengembalikan segala sesuatu yang dilakukan oleh debitor secara bertentangan dengan perikatan, dalam hal debitor tidak melaksanakan sendiri kewajibannya untuk menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuatnya secara bertentangan dengan perikatan. d. Mengenai Penggantian Biaya, Kerugian, dan Bunga Dalam rumusan Paal 1234 KUH Perdata dikatakan bahwa : penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila debitor, setelah dinyatakan lalai

Created by aris

memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. e. Wanprestasi dan Kelalaian Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaanya prestasi oleh debitor. Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat terwujud dalam beberapa bentuk, yaitu : debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; debitor tidak melaksanakannya kewajibannya sebagaimana mestinya/melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebaimana mestinya; debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. Dalam hal debitor memang secara sengaja tidak mau melaksanakannya, maka ketentuan yang diatur dalam : Pasal 1236 Debitor adalah berwajib memberikan ganti biaya,rugi dan bunga kepada kreditor, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya atau telah merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya. dan Pasal 1239 Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila kreditor tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Sudah tepat, oleh karena tidak memungkinkan debitor dapat dipaksa untuk melakukan segala sesuatu yang tidak dikehendakinya. Pembagian Perikatan Berdasarkan Kewajiban Pihak Dalam Perikatan Untuk Melakukan Prestasi Selanjutnya dalam uraian sebelumnya juga telah dikatakan bahwa dalam suatu perikatan terlibat atau terikat dua pihak, yaitu debitor dan kreditor. Debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi yang telah ditetapkan pada waktu yang telah disepakati para pihak. Sedangkan kreditor adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi yang harus diberikan oleh debitor. Selain perjanjian yang bertimbal balik, KUH Perdata juga mengakui adanya perjanjian yang hanya melahirkan perikatan pada salah satu pihak dalam perjanjian. Perjanjian yang demikian disebut dengan nama perjanjian sepihak, sebagaimana dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1666 KUH Perdata yang mengatur mengenai hibah. Menurut Pasal 1666 KUH Perdata : Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pemberi hibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Created by aris

Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selainnya hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup. Dari rumusan diatas dapat kita lihat hibah adalah perikatan yang lahir dari perjanjian sepihak. Kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya ada di pihak pemberi hibah tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah. Oleh karena perikatannya hanya lahir pada salah satu pihak, maka perjanjian (sepihak) ini seringkali juga disebut dengan nama perjanjian tanpa beban, dengan pengertian bahwa salah satu pihak memberikan prestasi atau kewajiban tanpa membebankan pihak lain untuk melakukan kontra prestasi atau kontra kewajiban. Pembagian Perikatan Menurut Sifat Keutamaan Perikatan Dalam berbagai uraian terdahulu telah kita bicarakan mengenai perikatan pokok/asal dengan perikatan tambahan. Yang dimaksud dengan perikatan asal adalah perikatan yang semula terbentuk diantara para pihak dalam perikatan. Sedangkan yang disebut dengan perikatan tambahan adalah periktan yang lahir sebagai akibat tidak dipenuhinya perikatan pokok/asal, yang terwujud dalam bentuk penggantian biaya, kerugian, dan bunga. Kedua macam perikatan tersebut, baik perikatan pokok/asal maupun perikatan tambahan dapat lahir karena Undang-Undang maupun karena perjanjian para pihak.

Pembagian Perdata

Perikatan

Menurut

Undang-Undang

Hukum

Perikatan Bersyarat Dan Perikatan Sederhana Perikatan bersyarat, sebagaimana diatur dalam pasal 1253 KUH Perdata dirumuskan dalam suatu pernyataan yang secara lengkap berbunyi ; suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yangmasih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dari rumusan diatas, terdapat adanya dua macam syarat dalam perikatan, yaitu : - Syarat yang menangguhkan berlakunya perikatan - Syarat yang membatalkan perikatan a. Perikatan dengan Syarat Tangguh Pengaturan khusus mengenai perikatan dengan syarat tangguh dapat ditemukan pada Pasal 1263 KUH Perdata, yang merumuskan : suatu perikatan dengan suatu syarat tanguh adalah suatu perikatan yang tertanggung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum akan terjadi, atau yang tergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak. b.Perikatan dengan Syarat Batal

Created by aris

Pasal 1265 KUH Perdata mengatur mengenai perikatan dengan syaratperikatan dengan syarat batal, yaitu: suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. a. Syarat dalam perjanjian berdasarkan Saat Pemenuhannya Berdasarkan pada waktu pemenuhannya, praktik hukum mengenal tiga macam syarat, yaitu: Syarat Dimuka : syarat dimuka atau condition precedent merupakan syarat yang terwujud dalam suatu keadaan, peristiwa atau kejadian yang berada diluar perjanjian, maupun suatu prestasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak dalam perjanjian, sebelum perjanjian yang dibuat tersebut melahirkan kewajiban pada pihak lainnya untuk melaksanakan prestasi lebih lanjut. Syarat konkuren : Syarat ini hanya ada pada perjanjian timbale balik, dimana kewajiban dari salah satu pihakuntuk melaksanakan prestasi baru terbit jika telah terdapat cukup bukti yang menunjukan bahwa pada waktu yang dijanjikan, pihak lainnya telah menunjukan itikad baik atau kehendak untuk melaksanakan prestasinya. Syarat yang mengikuti (condition subsequent) : Syarat ini merupakan syarat yang dengan terjadinya keadaan, peristiwa, atau kejadian yang disyaratkan akan membebaskan salah satu pihak dalam perjanjian dari kewajibannya untuk melaksanakan prestasinya yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mendasarinya. b. Mengenai Syarat Tersurat dan Syarat Tersirat - Syarat tersurat ini merupakan syarat yang secara tegas disebutkan dalam perjanjian. Pada umumnya syarat tersurat ini merupakan suatu bentuk perjanjian bersyarat dimana jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pihak dalam perjanjian ini tidak diwajibkan untuk melaksanakan prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian. - Syarat yang tersirat adalah adakalanya dalam perjanjian tertentu dapat kita temukan adanya ketentuan-ketentuan tersirat yang mengsyratkan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan hukum atau prestasi tertentu yang harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum suatu prestasi lainnya dalam perjanjian tersebut dilaksanakan. c. Perikatan atau Perjanjian yang dapat Dibatalkan KUH Perdata memberikan kemungkinan bahwa suatu perikatan atau Perjanjian dapat dibatlkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksannannya akan merugikan individu tertentu. Dalam hal ini pihak yang jika dengan dilaksanakannya perikatan atau perjanjian tersebut akan menderita kerugian dapat mengajukan pembatalan atas perikatan atau perjanjian tersebut, baik sebelum perikatan perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah perikatan perjanjian tersebut dilaksanakan. d. Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Meskipun ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata tampak dibuat untuk kepentingan para pihak dalm perikatan atau perjanjian, namun jika diteliti lebih jauh, rumusan tersebut hanya dibuat untuk kepentingan pihak yang beritikad baik dalam perikatan atau perjanjian. Alasan-alasan yang dikenal dalam ilmu hukum sebagai alasan

Created by aris

subjektif. Disebut subjektif , karena berhubungan dengan diri dari subjek yang menerbitkan perikatan tersebut. Pembatalan perjanjian dapat dimintakan jika : telah terjadi kesepakatan secara palsu dalam suatu perjanjian karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipun pada salah stu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 KUH Perdata). Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum (pasal 1330 sampai dengan pasal 1331 KUH Perdata). e. Pembatalan Perjanjian oleh Pihak Ketiga di Luar Perjanjian Pada prinsipnya perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuat. Walau demikian untuk melindungi kepentingan pihak ke tiga yang beritikad baik, KUH Perdata mengakui hak dari seseorang pihak ketiga yang dirugikan untuk melakukan penuntutan pembatalan atas perikatan yang dibuat oleh suatu pihak tertentu. Hak tersebut yang diatur dalam Pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata yang disebut dengan actio pauliana. f. Perjanjian yang Batal Demi Hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektifsahnya suatu perjanjia. Keharusan akan adanya objek dalam perjanjian, dirumuskan dalam pasal 1332 sampai dengan 1334 KUH Perdata; yang diikuti dengan pasal 1335 sampai dengan pasal 1336 KUH Perdata yang mengatur mengenai rumusan causa yang halal, yaitu causa yang diperbolehkan oleh UndangUndang. g. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak Suatu kebatalan disebut dengan relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu tertentu saja, dan disebut mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. 2. Perikatan Dengan Ketetapan Waktu Berbeda dengan perikatan bersyarat, suatu perikatan dikatakan sebagai perikatan dengan ketetapan waktu jika perikatan tersebut menetapkan suatu waktu dalam pelaksanaannya, tetapai penetapan waktu tersebut tidaklah menununda eksistensi perikatan itu sendiri hingga waktu yang telah ditentukan tersebut. Demikianlah Pasal 1268 KUH Perdata menyatakan bahwa Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan pelaksannanya. Dengan demikian perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan sederhana yang berlaku seketika pada saat perikatan dibentuk, dengan pengertian bahwa kewajiban debitor sudah ada semenjak perikatan dibuat, hanya saja pelaksnaan kewajibannya atau prestasi tersebut baru dilakukan pada suatu waktu yang ditentukan di masa yang akan datang. 3. Perikatan Tanggung Renteng atau Perikatan Tanggung Menangung Perikatan tanggung renteng adalah : suatu perikatan dengan lebih dari satu kreditor di satu sisi dengan satu debitor, di sisi lain, atau suatu perikatan dengan lebih dari satu debitor pada satu sisi dengan satu kreditor dengan sisi lain, atau suatu perikatan dengan lebih dari suatu kreditor di satu sisi dengan lebih dari satu debitor, di sisi lain, dimana : dalam hal terdapat lebih dari satu kreditor, masing-masing kreditor berhak untuk menuntut pemenuhan perikatannya dari debitor,

Created by aris

10

dalam hal terdapat lebih dari satu debitor, masing-masing debitor dapat dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditor, dan : dalam hal terdapat lebih dari satu kreditor, pemenuhan perikatan kepada salah satu kreditor adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditor dalam hal terdapat lebih dari satu debitor, pemenuhan perikatan oleh salah satu debitor adalah pemenuhan periktan oleh semua debitor. Dikenak ada dua macam perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung, yaitu : perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung yang bersifat aktif, yaitu suatu perikatan dengan lebih dari satu kreditor berhak untuk menuntut pemenuhan perikatannya dari debitor, dan pemenuhan perikatan kepada salah satu kreditor adalah pmenuhan perikatan kepada semua kreditor; dan perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung yang bersifat pasif, yaitu perikatan dengan lebih dari satu debitor, dimana masing-masing debitor dapat dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditor, dan pemenuhan perikatan oleh salah satu debitor adalah pemenuhan perikatan oleh semua debitor. 4. Perikatan dengan Ancaman Hukuman Pasal 1304 KUH Perdata memberikan definisi perikatan dengan ancaman hukumna sebagai suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagi jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan untuk melakukan sesuatu, manakala perikatan tersebut tidak dipenuhi olehnya. KUH Perdata tidak membatasi jenis hukuman yang dapat dikenakan, melainkan dengan hanya menyatakan bahwa debitor yang lalai dapat dikenakan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Bermacam-macam perikatan yang lain Perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni. Disamping bentuk yang paling sederhana itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan yang agak lebih rumit. Bentuk-bentuk yang lain itu, adalah: a. perikatan bersyarat, yaitu suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.

Created by aris

11

b. Perikatan dengan ketetapan waktu, berlainan dengan suatu syarat suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. c. Perikatan mana suka (alternatif), dalam perikatan semacam ini si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang jika hak ini tidak secara tegas diberikan pada si berpiutang. d. Perikatan tanggung-menanggung, pada perikatan ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak debitur (dan ini yang paling lazim) maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya, begitu pula pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur lainnya. e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi, suatu perikatan dapat atau tak dapat dibagi adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perikatan itu. f. Perikatan dengan ancaman hukuman, adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berutang untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Asas-asas umum hukum perjanjian Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. a. Asas Personalia. Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi hanya akan berlaku dan menngikat untuk dirinya sendiri. b. Asas Konsensualitas. Memperlihatkan pada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :

Created by aris

12

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang. c. Asas Kebebasan Berkontrak. Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang tercantum diatas. Dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Unsur-unsur dalam perjanjian Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsure dalam perjanjian : a. Unsur esensialia. Unsur ini dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. b. Unsur naturalia. Merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. c. Unsur aksidentalia. Merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Syarat-syarat sahnya perjanjian Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu pokok persoalan tertentu; d. suatu sebab yang tidak terlarang Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang Berkembang, digolongkan ke dalam : a. dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan b. dua unsure pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Batal dan pembatalan suatu perjanjian Dalam hal mengenai syarasyarat untuk sahnya perjanjian, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal) maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula tidak

Created by aris

13

ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Apabila pada waktu pembuatan perjanjian ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif sebagaimana dapat dilihat, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Cara-cara hapusnya perikatan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut adalah : a. pembayaran; b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau penitipan; c. pembaharuan utang; d. perjumpaan utang atau kompensasi; e. percampuran utang; f. pembebasan utang; g. musnahnya barang yang terutang; h. batal atau pembatalan; i. berlakunya suatu syarat batal dan j. lewatnya waktu. Sepuluh cara tersebut diatas belum lengkap karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjianperjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.

SUMBER : PERIKATAN PADA UMUMNYA, oleh Kartini dan Gunawan serta Subekti

Created by aris

14

Created by aris

15

You might also like