You are on page 1of 10

BELENGGU ADAT MENGUNGKUNGPOTENSIPROFESIONALISME MANUSIABALI? Oleh W.

Sumatika Benarkah manusia Bali (Hindu red) begitu sulit memenangkan persaingan dalam dunia kerja lantaran belenggu adat yang begitu kuat mengungkung? Pertanyaan itulah yang acapkali mengusik ketika menyaksikan keterpinggiran dan ketidakberdayaan manusia Bali dalam memperebutkan posisi strategis di tempatnya bekerja. Di sektor pariwisata, misalnya. Posisi top management hotel-hotel berbintang di Bali cenderung dikuasai kaum ekspatriat maupun tenaga kerja luar Bali. Keterpinggiran serupa juga diyakini terjadi di sektor-sektor lainnya. Ketika kekalahan demi kekelahan dalam persaingan ini terus berlanjut, maka telunjuk pun ditudingkan ke arah institusi adat sebagai kambing hitam pemicu kondisi itu. Konon, tenaga kerja Bali kurang profesional lantaran kesulitan melepaskan diri dari belenggu adat yang begitu kuta mecengkeram. Mereka tidak bisa fokus bekerja karena konsentrasinya senantiasa harus terbagi dengan padatnya aktivitas adat. Alhasil, stempel tenaga kerja Bali tidak disiplin, kurang profesional dan etos kerja rendah pun melekat kuat yang selanjutnya mengerdilkan posisi tawar mereka di dunia kerja. Dihubungi Jumat (11/1) kemarin, peneliti dan konsultan adat Bali Wayan P. Windia dan pemerhati masalah hukum politik, agama dan sosial budaya Bali IDG Ngurah Swastha mengaku sangat tidak sepakat jika adat-istiadat dan budaya Bali dijatikan kambing hitam keterpinggiran manusia Bali di dunia kerja. Kendati begitu, dia menyadari bahwa keterikatan manusia Bali dengan sistem adatnya memang sangat kuat. Namun, katanya sondisi itu bisa disiasati jika manusia Bali bisa me-manage diridan waktunya dengan baik. Kapan saatnya larut dalam dunia kerja yang menuntut disiplin dan professionalisme tinggi dan kapan larut dalam aktivitas adat.Semuanya itu sebenarya masih bisa disiasati. Di tegaskan adat Bali beserta segala aktivitas yang terkait dengan adat dan agama di Bali itu merupakanbagian dari budaya agraris. Sementara dalam realita kekinian, bali saat ini tidak lagi sepenuhnya agraris. Sebagian aktivitas kehidupan sudah mengarah kepada industri dan jasa. Masing-masing aktivitas ini punya budaya sendiri dengan ragam aturannya sendiri yang satu dengan lainnya berbeda. Masyarakat dengan aktivitas industri, maka masyarakat yang diusungnya adalah budaya industri. Sementara masyarakat agraris, maka budayanya juga agraris. Begitu pula halnya dengan masyarakat yang menggantungkan sektor penghidupannya di sektor jasa. Kondisi inilah yang saat ini terjadi di Bali. Masyarakat Bali tidak lagi bersifat homogen atau masyarakat tidak sepenuhnya lagi murni mengusung budaya agraris karena secara realita sebagian dari mereka sudah memilih sektor industri dan jasa sebagai sumber penghidupan. Sedangkan di pihak lain, adat yang dipegang teguh di Bali sangat kental dengan nuansa agraris kendati aktivitasmasyarakatnya tidak lagi sepenuhnya di bidang agraris. Tidak sedikit dari masyarakat Bali juga berusaha di sektor industri dan jasa di mana mereka wajib tunduk pula terhadap aturan maupun budaya kerja masyarakat industri dan jasa, ujarnya. Menyikapi realita masyarakat Bali yang bergerak ke arah heterogen ini, kata Windia, sikap arif bijaksana sangat diperlukan. Masyarakat yang kesehariannya hidup dari sektor agraris mau tidak mau harus ikut menyelaraskan aturan kehidupantermasuk adatnya dengan budaya industri dan jasa. Kearifan serupa juga wajib dikembangkan oleh masyarakat Bali non-agraris.

Jangan belum apa-apa sudah mengklaim adat Bali membelenggu profesionalisme. Pasti, selalu ada jalan keluar sehingga masyarakat Bali yang bergerak di sektor industri dan jasa tetap punya peluang meraih prestasi kerja setinggi-tingginya tanpa harus menelantarkan kewajibannya selaku masyarakat adat, katanya mengingatkan. Trik Orang Malas Pendapat senada juga dilontarkan Swastha. Nayaka Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali ini menegaskan, pelaksanaan adat yang terkesan ketat di Bali tidak boleh dijadikan kambing hitam kekalahan krama Bali dalam memenangkan persaingan di dunia kerja, khususnya sektor industri dan jasa. Sebab, realitanya sangat banyak tokoh Bali yang terbukti tetap bisa eksis di dunia kerja tanpa harus melepaskan diri dari komunitas adatnya. Mereka masih tetap bisa meraih prestasi optimal di dunia kerja, namun di sisi lain secara intensif mampu melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas adat. Dengan kata lain, antara profesionalisme dan adat masih bisa seiring sejalan. Saya melihat banyak sekali tokoh Bali yang sibuk di adat, sibuk memikirkan budaya dan sebagainya, tetapi tetap bisa tampil sebagai profesional yang mumpuni. Dalam komunitas adatnya, tokoh-tokoh itu pun sangat dihormati, ujarnya. Fenomena keterpinggiran manusia Bali dalam dunia kerja, tegas Swastha, tidak sepenuhnya bersumber dari ketatnya belenggu adat yang mengikat. Dia melihat faktor dominan yang menyebabkan hal itu justru terletak pada mentalitas. Selama ini ada kesan manusia Bali terjebak pada mentalitas priyayi, pilih-pilih pekerjaan dan mengembangkan pola hidup hedonis. Maunya serba enak, inginnya jadi pegawai negeri dan pegawai bank dan pekerjaan lainnya yang enak-enak. Akibatnya, banyak sekali peluang kerja yang sebenarnya bisa ditangkap harus terbuang sia-sia, katanya mengkritisi. Dia juga membantah tegas jika pola hidup berbagi beban yang diimplimentasikan dalam konsep ngayah (gotong royong red) sebagai biang keladi yang memicu ketidak mandirian manusia Bali dalam dunia kerja. Ketidak mandirian yang akhirnya melahirkan sebuah stigma miring bahwa tenaga kerja Bali tidak profesional sehingga kalah bersaing. Ditegaskan, etos kerja yang tidak optimal itu tidak akan ada sangkut-pautnya dengan sistem adat yang dikembangkan manusia Bali. Justru, katanya, semangat kegotong-royongan itu merupakan nilai-nilai sosial-religius yang harus tetap dipertahankan dan ditumbuh kembangkan. Kalau pun manusia Bali terutama generasi mudanya akhirnya kalah bersaing, itu bukan karena kita melaksanakan sistem adat tersebut. Tetapi karena kita sering malas, tidak mau berwiraswasta dan mengembangkan mental priyayi itu. Jiwa kewiraswastaan, jiwa keberanian untuk berusaha dan menghadapi tantangan itu yang tidak ditumbuh kembangkan, tegasnya. Ditegaskannya, mengkambinghitamkan adat sebagai penghambat prestasi kerja hanyalah trik-trik orang malas semata. Buktinya, banyak sekali manusia Bali yang berwiraswasta, punya aktivitas kerja yang padat tetapi masih bisa melaksanakan kegiatan adatnya dengan baik. Sejatinya, kata dia, kegiatan adat itu bisa fleksible. Kalau tidak bisa mengikuti kegiatan adat pada pagi hari karena bentrok dengan jam kerja, mereka sebenarnya bisa menggantikan hal itu siang hari. Kapan ada waktu luang, saat itulah kita instens berpartisipasi dalam kegiatan adat. Selalu ada celah bagi kita untuk melibatkan diri dalam menunjang adat. Jangan adat dijadikan kambing hitam kalau gagal dalam persaingan dunia kerja yang ketat, tegasnya. Windia dan Swastha mengingatkan, pranata adat yang mengikat manusia Bali semestinya tidak dijadikan alasan pembenar jika kalah bersaing pada dunia kerja. Pasalnya, peluang dan kesempatan untuk maju, berkembang dan meraih prestasi puncak dalam dunia kerja ituterbuka lebar untuk semua orang. Tidak mengenal sekat etnis, ras, budaya dan sebagainya. Hanya, katanya, memang tidak semua manusia Bali jeli melihatdan menangkap ruang tersebut. Tidak semua orang Bali kok terpinggirkan dalan dunia kerja. Persoalannya berpeluang kembali, bagaimana mereka bisa menunjukkan kualitas diri sehingga layak untuk mendapatkan posisi

strategis di institusi tempatnya bekerja, kata Swastha yang dibenarkan oleh Windia. http://svdbali-library.com/index.php/artikel/budaya/belenggu-adat-mengkungkungpotensi-orang-bali++++++++++++++ Rebut Kue Pariwisata di Rumah Sendiri Krama Bali Mesti Berani Bersaing Bali memang tiada duanya. Gemerincing dolar atas kemajuan pariwisatanya menjadi sumber pendapatan daerah dan negara. Logikanya, masyarakat daerah ini mestinya sudah sejahtera menikmati kue pariwisata. Kenyataannya, sesuai hasil jajak pendapat Bali Post, pariwisata belum sejahterakan Bali. Sepertinya berkah yang ada masih semu, karena porsi kue pariwisata Bali sebagian besar diperebutkan investor luar daerah dan mancanegara. Terus, apa yang mesti dilakukan merebut kue pariwisata di rumah sendiri? KENYATAAN yang ada masih banyak masyarakat Bali yang terpaksa hanya bisa jadi penonton di tengah gemerlap kepariwisataan yang berlangsung di depan mata mereka. ''Kendati begitu, pertumbuhan sektor pariwisata juga terbukti telah mampu menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya seperti industri kerajinan dan perdagangan, termasuk menyediakan lapangan kerja yang cukup luas bagi masyarakat Bali,'' papar Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua Bali Dr. I Nyoman Madiun, Senin (18/7) kemarin. ''Akademisi asal Wangaya Kelod, Denpasar ini tidak menampik bahwa kue pariwisata belum dinikmati secara merata oleh masyarakat Bali. Sebenarnya, pertumbuhan sektor kepariwisataan Bali memberikan harapan yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali. Namun untuk saat ini, harus diakui pendistribusian dan pemerataan kue pariwisata itu belum berjalan maksimal,'' katanya. Dikatakannya, keterlibatan atau partisipasi masyarakat Bali dalam gemerlap kepariwisataan Bali bisa dikategorikan dalam tiga kelompok yakni kelompok masyarakat yang melakoni partisipasi secara semu, partisipasi yang dipaksakan dan partisipasi aktif. Dari ketiga kelompok itu, hanya kelompok ketiga yang mampu menangguk manfaat secara maksimal dari sektor pariwisata, mengingat mereka memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh dunia kepariwisataan, sehingga mampu bersaing dengan kompetitor dari luar Bali yang umumnya didukung dengan permodalan yang kuat. Sedangkan dua kelompok lainnya yang tidak didukung dengan kompetensi yang memadai sangat potensial tersingkir dari persaingan. Meskipun mereka ikut berpartisipasi di sektor pariwisata, mereka akan sangat kesulitan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari sektor pariwisata tersebut. ''Satu-satunya cara untuk bisa eksis di tengah-tengah persaingan sektor kepariwisataan yang sangat ketat, masyarakat Bali mau tidak mau harus terusmenerus memacu diri guna meningkatkan kompetensi diri. Tanpa berbekal kompetensi, eksistensi masyarakat Bali di sektor pariwisata akan makin terpuruk untuk selanjutnya harus pasrah hanya jadi penonton di tengah gemerlap pariwisata yang berlangsung di tanah kelahirannya sendiri,'' katanya mengingatkan. Soal masyarakat lokal Bali hanya diposisikan sebagai pekerja rendahan di dunia pariwisata, menurut Madiun, memang belum ada data akurat tentang ketersisihan tenaga kerja asli Bali. Kendati begitu, ia tidak membantah bahwa proporsi tenaga kerja asli Bali yang berhasil menduduki top manajemen di sektor pariwisata seperti hotel-hotel besar di Bali masih sangat rendah jika dibandingkan dengan kaum ekspatriat. Dikatakan, penempatan top manajemen itu biasanya sangat berkaitan erat dengan faktor penyertaan modal. Mengingat sebagian besar hotel-hotel di Bali merupakan investasi yang ditanamkan pihak asing, maka ada kecenderungan

posisi top manajemen itu juga dikuasai oleh kaum pemodal. ''Namun, saya melihat mulai ada kepercayaan yang lebih besar dari pemodal untuk menempatkan tenaga kerja-tenaga kerja lokal Bali di posisi manajemen. Tentunya, kepercayaan ini diberikan karena melihat tenaga kerja lokal Bali memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk menduduki posisi strategis itu. Jadi, semuanya berpulang kembali kepada masalah kompetensi diri,'' tegasnya seraya meminta masyarakat lokal Bali terus-menerus meningkatkan kompetensi diri. Berbasis Masyarakat Di sisi lain, anggota Komisi B DPRD Denpasar I Wayan Suadi Putra, Senin (18/7) kemarin mengemukakan, pola pengelolaan pariwisata di Bali saat ini ternyata hanya dirasakan segelintir orang. ''Pola pengelolaan paiwisata mesti mulai diarahkan yang bisa menyentuh langsung sebagian besar masyarakat Bali,'' paparnya. Dikatakannya, keberadaan wisatawan yang banyak datang menikmati keindahan alam dan karamahtamahan masayrakat Bali, tidak harus menginap di hotel. Wisatawan bisa langsung menginap di rumah-rumah penduduk desa. ''Pola ini sejatinya sudah dipopulerkan ketika Gubernur Bali dijabat I.B. Mantra,'' kata Suadi Putra. Potensi pariwisata yang dimiliki daerah bisa dikelola masyarakat setempat, dan pemerintah hanya sebagai fasilitatornya. Bukan hanya itu, pemerintah juga tidak harus berlomba untuk mencari investor luar dalam pengembangan pariwisata di daerah tertentu. Melibatkan masyarakat jauh lebih baik di bidang pariwisata, sehingga apa yang diperoleh dari dunia pariwisata dinikmati langsung oleh masyarakat. Sementara itu, praktisi pariwisata asal Legian I Nyoman Rutha Ady, S.H. mengakui, kemajuan pariwisata memang belum merata bisa dinikmati masyarakat. Bahkan, dalam perkembangannya selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, porsi kue pariwisata Bali sebagian besar diperebutkan oleh investor dari luar daerah dan mancanegara. Faktanya bisa dilihat dari kecilnya kuantitas atau jumlah penduduk lokal Bali menjadi tuan rumah pengendali operasional bisnis kepariwisataan. Oleh karena itu, devisa pariwisata lebih banyak dinikmati oleh kalangan birokrasi (pemerintah) melalui pendapatan sektor pajak dan retribusi. Dikatakannya, fenomena ini terjadi akibat penduduk Bali yang memiliki aset berupa lahan jarang menerapkan pola bisnis profesional dengan keberanian memanfaatkan dana pinjaman besar dari lembaga keuangan atau bank. ''Kebanyakan orang Bali melakukan bisnis dengan cara-cara konvensional karena takut menanggung risiko. Penduduk lokal lebih menyukai sistem SK atau sewakontrak untuk mendapatkan berkah pariwisata,'' ujar mantan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung itu. Bisnis pariwisata, katanya, merupakan perpaduan padat modal dan padat karya. Kemampuan untuk mengelola keuangan dan sumber daya manusia (SDM) menghadapi persaingan yang makin ketat akan menentukan keberhsilannya. Sebaliknya cara-cara pengelolaan bisnis yang konvensional sebagaimana banyak dilakukan oleh penduduk lokal hanya akan menunggu kebangkrutan. ''Fenomena ini membuat kue pariwisata yang makin besar ternyata sedikit sekali dinikmati secara langsung oleh orang Bali,'' ujarnya. Ke depan, ia berharap muncul keberanian komunitas lokal yang memiliki aset lahan dan modal ditambah bekal ilmu serta pengalaman, akan lebih banyak terjun langsung mengelola bisnis pariwisata berskala besar dengan profesionalisme yang tinggi. Hanya dengan keberanian merebut peluang bisnis bersaing dengan pemilik modal dari luar, eksistensi sektor pariwisata Bali akan terjaga untuk memberikan manfaat positif bagi kesejahteraan masyarakat. Kenikmatan dari berkah pariwisata sekarang ini bagi Bali masih bersifat semu. ''Bali memang punya nama besar di

bidang pariwisata, tetapi hasil yang dinikmati langsung untuk masyarakat lokal masih belum seimbang,'' tegasnya. (ian/ara/ded) http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=32&id=53982 20 Juli 2011 | BP +++++++++++++++++++++++ Catatan Akhir Tahun 2009 SDM Bali Tak Profesional, Adat Dikambinghitamkan Benarkah manusia Bali (Hindu-red) begitu sulit memenangkan persaingan dalam dunia kerja lantaran kewajiban adat yang begitu kuat mengungkung? Pertanyaan itulah yang acapkali mengusik ketika menyaksikan keterpinggiran dan ketidakberdayaan manusia Bali dalam memperebutkan posisi strategis di tempatnya bekerja. Di sektor pariwisata, misalnya, posisi top management hotelhotel berbintang di Bali cenderung dikuasai kaum ekspatriat maupun tenaga kerja luar Bali. Keterpinggiran serupa juga diyakini terjadi di sektor-sektor lainnya.

KETIKA kekalahan demi kekalahan dalam persaingan itu terus berlanjut, maka telunjuk pun ditudingkan ke arah institusi adat sebagai kambing hitam pemicu kondisi itu. Konon, tenaga kerja Bali kurang profesional lantaran kesulitan melepaskan diri dari belenggu adat yang begitu kuat mencengkeram. Mereka tidak bisa fokus bekerja karena konsentrasinya senantiasa harus terbagi dengan padatnya aktivitas adat. Alhasil, stempel tenaga kerja Bali tidak disiplin, kurang profesional dan etos kerja rendah pun melekat kuat. Akibat selanjutnya adalah mengerdilkan posisi tawar mereka di dunia kerja. Lalu bagaimana pendapat peneliti Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan P. Windia dan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Undiknas University Prof. Dr. I Nyoman Budiana, S.H., M.Si., dosen IHDN Denpasar Drs. Gde Rudia Adiputra, M.Ag. dan dosen Unhi Denpasar Drs. Wayan Budi Utama, M.Si. tentang hal tersebut? Wayan P. Windia dan Nyoman Budiana mengaku sangat tidak sepakat jika adatistiadat dan budaya Bali dijadikan kambing hitam keterpinggiran manusia Bali di dunia kerja. Kendati begitu, kedua guru besar ini menyadari bahwa keterikatan manusia Bali dengan sistem adatnya memang sangat kuat. Namun, kondisi itu tetap bisa disiasati jika manusia Bali bisa me-manage diri dan waktunya dengan baik. Kapan saatnya larut dalam dunia kerja yang menuntut disiplin dan profesionalisme tinggi dan kapan larut dalam aktivitas adat. Windia dan Budiana tidak menampik bahwa manusia Bali dewasa ini berada dalam situasi transisi. Adat Bali beserta segala aktivitas yang terkait dengan adat dan agama di Bali itu merupakan bagian dari budaya agraris. Sementara dalam realita kekinian, Bali saat ini tidak lagi sepenuhnya agraris. Sebagian aktivitas kehidupan sudah mengarah kepada industri dan jasa. Masing-masing aktivitas ini punya budaya sendiri dengan ragam aturannya sendiri yang satu dengan lainnya berbeda. Kondisi inilah yang saat ini terjadi di Bali. Menyikapi realita masyarakat Bali yang bergerak ke arah heterogen ini, kata Budiana, sikap arif bijaksana sangat diperlukan. Masyarakat yang kesehariannya hidup dari sektor agraris mau tidak mau harus ikut menyelaraskan aturan kehidupan, termasuk adat dengan budaya industri dan jasa. Kearifan serupa juga wajib dikembangkan oleh masyarakat Bali nonagraris. Fenomena terpinggirkannya manusia Bali dalam dunia kerja, tegas Budiana, tidak sepenuhnya bersumber dari ketatnya belenggu adat. Dia melihat faktor dominan yang menyebabkan hal itu justru terletak pada mentalitas. Selama ini ada kesan manusia Bali terjebak pada mentalitas priyayi, pilih-pilih pekerjaan dan

mengembangkan pola hidup hedonis. Dia juga membantah tegas jika pola hidup berbagi beban yang diimplementasikan dalam konsep ngayah (gotong royong - red) sebagai biang keladi yang memicu ketidakmandirian manusia Bali dalam dunia kerja. Ketidakmandirian yang akhirnya melahirkan sebuah stigma miring bahwa tenaga kerja Bali tidak profesional sehingga kalah bersaing. Kendati tidak sepakat ketatnya pranata adat di Bali dituding sebagai faktor penghambat tenaga kerja Bali meraih prestasi kerja optimal, Windia maupun Budiana mengakui bahwa manusia Bali memang sangat terikat dengan komunitas adatnya. Kondisi ini mengharuskan dirinya tidak bisa tutup mata dengan aktivitasaktivitas yang berlangsung di lingkungan adatnya. Terkadang, aktivitas adat itu bentrok dengan aktivitas kerja sehingga manusia Bali pun mau tidak mau harus terjebak dalam situasi yang dilematis. Mana yang mesti didahulukan, apakah aktivitas adat ataukah aktivitas kerja yang memang menuntut disiplin superketat? Harus diakui, tidak semua orang bisa menempatkan diri secara harmonis di dua bidang yang sama-sama menuntut konsentrasi. Mereka sepakat jika sejumlah klausul dalam pranata adat direvisi. Artinya, ada bagian-bagian tertentu yang perlu diperlunak sehingga tidak terlalu memasung krama-nya yang bekerja. Hal yang sama dikatakan Drs. Gde Rudia Adiputra, M.Ag. dan Drs. Wayan Budi Utama, M.Si. Kata Rudia, adat-istiadat Bali secara umum tidak membelenggu atau menghalangi krama-nya untuk maju. Tetapi, di tengah perkembangan zaman seperti sekarang, adat-istiadat mestilah menyesuaikan. Artinya, sanksi adat yang sudah tak cocok dengan semangat zaman mesti ditinggalkan. Wayan Budi Utama mengatakan, orang Bali mengenal konsep desa, kala dan patra. Oleh karena itu adat juga tak boleh kaku. Dia harus selalu didekonstruksi, konstruksi dan rekonstruksi sesuai dengan kondisi dan situasi sehingga menjadi fungsional dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat atau krama desa. (ian/lun) http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberita&kid=21&id=27212 29 Desember 2009 | +++++++++++++++++++++++++ Susah Cari Manajer, Pengusaha Indonesia Pilih Impor Jakarta - Fenomena perusahaan lokal di Indonesia mempekerjakan tenaga kerja untuk level atas seperti manajer dari orang-orang asing, sudah menjadi hal yang biasa. Alasannya, selain kemampuan yang sudah teruji, manajer impor ini lebih memiliki komitmen dibanding pekerja lokal. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Tenaga Kerja Benny Soetrisno di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (29/5/2013) "Cari manajer itu susah. Akhirnya kita impor manajer. Saya melihat kita (orang Indonesia) belum ada semangat dari orang lokal kita untuk merebut posisi itu," katanya. Dari segi kemampuan, menurut Benny bisa diidentifikasi berdasarkan pendidikan dan pengalaman kerja. Namun, yang terpenting sebenarnya adalah komitmen antara pengusaha dan pekerjanya. "Kalau saya merekrut manajer dalam negeri tentu saya penuhi aturan sesuai undang-undang. Kalau ekspatriat, ada keuntungannya karena kita bisa mengatur dia sesuai perjanjian dan ada komitmennya. Karena perjanjian khusus termasuk saat pemberhentian," jelas Benny yang juga seorang pengusaha tekstil dan produk

tekstil (TPT). Akan tetapi, untuk memberhentikan pekerja dalam negeri, menurutnya ada proses yang rumit. Sehingga pengusaha menghadapi banyak kesulitan. "Kalau kita kan ikut UU 13 tahun 2003 (tentang ketenagakerjaan), agak kurang tegas karena walaupun orang nabok (mukul) kita itu memberhentikan nggak gampang," ucapnya. Benny menyarankan agar pembentukan manajer di Indonesia dapat dilakukan secara dini. Tidak hanya secara keilmuan, namun juga pembiasaan untuk praktek di lapangan. "Saya akan memilih orang Indonesia sendiri walaupun dia agak sedikit di bawah expatriat kemampuannya, karena kita juga inginkan orang kita berjaya kan," tutupnya. http://finance.detik.com/read/2013/05/29/110453/2258838/4/susah-cari-manajerpengusaha-indonesia-pilih-impor 29/05/2013 ++++++++++++++++++++ Kriteria SDM yang Baik seperti Apa, Sih? KOMPAS - Senin, 1/3/2010 Kadang, dalam sebuah perusahaan, sering kali terasa ada dinding pemisah antarbagian. Idealnya, bagian sumber daya manusia atau SDM adalah yang berwenang untuk menjembatani hal ini. Namun, bagaimana jika justru bagian yang seharusnya menjadi jembatan inilah yang memutus hubungan baik? Donna Turner, praktisi Sumber Daya Manusia Experd, menjelaskan, Manajemen SDM sebenarnya merupakan suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer, dan tenaga kerja lainnya. Manajemen ini hadir untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit yang biasanya mengurusi SDM adalah departemen sumber daya manusia atau HRD (Human Resources Department). Nah, fungsi operasional dalam Manajemen SDM sendiri menjadi dasar pelaksanaan proses Manajemen SDM yang efisien dan efektif dalam pencaaian tujuan organisasi/perusahaan. 5 Fungsi Fungsi operasional ini terbagi lima bagian, yakni: 1. Fungsi Pengadaan Berurusan dengan proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai kebutuhan perusahaan ( the right man in the right place). 2. Fungsi Pengembangan Mengurusi proses peningkatan keterampilan teknis, teoretis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan. 3. Fungsi Kompensasi Menangani pemberian balas jasa langsung dan tidak langsung berbentuk uang atau barang kepada karyawan sebagai imbal jasa (output) karyawan kepada perusahaan. 4. Fungsi Pengintegrasian Mengatur kegiatan mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan

karyawan sehingga tercipta kerja sama serasi dan saling menguntungkan. Pengintegrasian merupakan hal penting dan kompleks dalam manajemen SDM karena mempersatukan dua aspirasi atau kepentingan yang bisa saja saling bertolak belakang antara karyawan dan perusahaan. 5. Fungsi Pemeliharaan Tugasnya mengurusi kegiatan memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan agar tercipta hubungan jangka panjang. Jadi, dapat dilihat bahwa fungsi SDM tak sekadar menjalankan fungsi tradisional kegiatan administrasi, yang berkaitan dengan perekrutan pegawai staffing,coordinating yang dilakukan oleh bagian personalia saja. Kriteria HR Manager Benar bahwa HR perlu menjembatani karyawan dengan perusahaan, sesuai fungsi pengintegrasian Manajemen SDM. Proses ini sendiri bukan proses yang mudah. HR dituntut perlu memahami dan mengakomodasi kepentingan, nilai-nilai, kebutuhan, harapan dari banyak pihak internal ataupun eksternal perusahaan. HR juga dituntut bekerja sama dengan beberapa unit dan lembaga terkait tanpa keluar dari koridor regulasi yang ada. Pihak internal perusahaan ini seperti tenaga kerja dari berbagai strata dan unit perusahaan, serta pihak share holderperusahaan. Sementara pihak eksternal perusahaan, seperti kondisi lingkungan masyarakat lokal, nasional, dan global yang relevan dengan pihak perusahaan. Mengenai kriteria HR Manager yang baik, antara lain dapat me- managemanajemen SDM agar dapat menjalankan ke-5 fungsi di atas dengan optimal. HR bisa saja diaudit oleh pihak yang memiliki wewenang dan kapasitas mengaudit. Namun, akan lebih ideal apabila audit dilakukan oleh pihal eksternal perusahaan sehingga lebih netral. Kebutuhan perlu tidaknya pengauditan HR memang bisa datang dari para karyawan yang mengajukan usulan ke top manajemen. Namun, wewenang perlu tidaknya HR diaudit tetap diputuskan oleh manajemen atas. Buktikan dan Konsultasikan Jika Anda merasa HR Manager tidak melakukan tugasnya dengan baik, atau bahkan menyalahgunakan wewenangnya, ada baiknya untuk mengajukan usulan ditunjang dengan bukti-bukti obyektif dan alasan yang rasional. Dengan begitu, usulan Anda dianggap kuat untuk dipertimbangkan. Konsultasikan masalah Anda dengan pihak yang mengerti masalah HR dan manajemen HR. Jadi, sebelum Anda maju untuk mengajukan usulan audit, Anda yakin bahwa langkah Anda sudah benar. Biasanya, sebelum dilakukan langkah formal, akan dilakukan langkah-langkah informal ataupun mediasi antara karyawan dan pihak HR. Ini bisa dilakukan melalui forum dialog ataupun forum lain yang didasari itikad baik untuk menyelesaikan masalah dengan tujuan baik demi kepentingan semua pihak. ++++++++++++++++++++++ SPC, Jakarta Menakertrans, Muhaimin Iskandar mengatakan dalam rangka pengendalian jumlah tenaga kerja asing pemerintah mempertimbangkan beberapa aspek antara lain menyangkut pengembangan SDM di Indonesia. Dalam arti keberadaan TKA itu harus memberikan kemajuan bagi pengembangan kualitas yaitu dengan cara alih-keterampilan dan alih-teknologi Para TKA yang bekerja di Indonesia harus mengalihkan pengetahuan kepada tenaga kerja lokal. Oleh karena itu pemberi kerja atau perusahaan harus memastikan TKA mengalihkan keahlian dan keterampilan kepada tenaga kerja local yang bekerja di perusahaannya, kata Muhaimin. Pertimbangan lainnya adalah asas manfaat dan aspek legalitas. Selain harus melengkapi dokumen dan perijinan, penggunaan tenaga kerja asing mendorong pembukaan lapangan kerja yang luas terutama bagi pekerja lokal.

Saat kebutuhan tenaga kerja asing itu diajukan, maka kita akan lihat seberapa banyak manfaat yang bisa diperoleh bagi tenaga kerja lokal. Kalau tidak sesuai dengan kebutuhan, tentunya kita akan menolak, ujar Muhaimin. Muhaimin memastikan kualitas tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dengan para TKA yang hendak bekerja. Salah satu buktinya, Indonesia dapat meraih gelar juara umum dalam ASEAN Skills Competition (ASC) IX tahun 2012 yang baru diadakan pada 11-20 November 2012. Prestasi ASC ini membuktikan sumber daya manusia khususnya tenaga kerja muda khususnya di Indonesia telah mencapai kompetensi sesuai dengan perkembangan teknologi dan tuntutan pasar kerja global, kata Muhaimin. Peningkatan standar kompetensi kerja itu dikatakan Muhaimin telah menjadi suatu keharusan agar tenaga kerja negara-negara ASEAN pada umumnya dan tenaga kerja Indonesia pada khususnya dapat bersaing dengan pekerja di luar negeri maupun pekerja asing di dalam negeri. Dalam upaya membenahi sistem penggunaan TKA dan meningkatkan daya saing pekerja Indonesia dalam menahan gempuran TKA yang masuk Indonesia, Muhaimin meminta pemerintah daerah harus menjadikan perencanaan Tenaga kerja sebagai pedoman untuk pengembangan SDM sesuai kebutuhan dan keunggulan daerah. Pemerintah daerah harus siap menghadapi persaingan pasar kerja yang semakin ketat dimasa depan dengan menyiapkan SDM yang terdidik dan terampil dengan mengoptimalkan 13 Balai Latihan Kerja (BLK) milik pusat dan 258 BLK milik pemda, kata Muhaimin. Sebelumnya, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengeluarkan Keputusan Menakertrans (Kepmen) No.40/2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing. Kepmen mengantisipasi globalisasi sektor jasa atau sektor tenaga kerja dalam 5 tahun hingga 10 tahun mendatang. Kepmen ini berdasarkan kepada pasal 46 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur Tenaga Kerja Asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. Dalam aspek pengawasan,, Muhaimin mengatakan Pengawasan dilakukan langsung Pengawas Ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ke perusahaan. Pemeriksaan dokumen dan perijinan antara lain meliputi dengan pemeriksaan RPTKA, IMTA, SK TKI Pendamping, KITAS dan Polis Asuransi. (SPC-20/ant) http://suarapengusaha.com/2012/11/22/tenaga-kerja-asing-harus-legal-danbermanfaat-bagi-pekerja-lokal/ ++++++++++++++++++

Meningkatkan Kualitas dan Keterlibatan SDM Pariwisata Bali Oleh I Nengah Subadra, S.S., M.Par.
SUMBER daya manusia pariwisata Bali khususnya orang-orang Bali belummemiliki kualifikasi yang sesuai dengan permintaan wisatawan. Ini dapat dilihatdengan jelas di kebanyakan, industri pariwisata yang m ana orang-orang Balihanya menduduki posisi-posisi sebagai front liner yang memiliki pekerjaancukup berat namun mendapatkan penghasilan yang jauh lebih sedikit daripada posisi-posisi di tingkat manajer (managerial position) yang umumnya dipegangoleh orangorang dari luar Bali dan bahkan luar negeri. Ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya realitas ini. Pertama,pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah pariwisata dari tingkat SMKsampai Diploma atau Program Setara Diploma adalah lemba ga pendidikan yangmendidik sumber daya manusia untuk menjadi pekerja pariwisata yangberkompeten si (memiliki pengetahuan, keahlian, dan perilaku). Namunsayangnya pendidikan dan pelatihan yang dib erikan ditujukan untuk posisi-posisikelas bawah seperti waiter, waitress, cook, bellboy, room attendant, engineer,dan lain-lain. Marak dan menjamurnya sekolah-sekolah menengah kejuruan pariwisata danlembaga pendidikan yang memberikan pelatihan setingkat Diploma I memangdapat membantu mengurangi jumlah pengangguran karena setelah tamatmereka mendapatka n pekerjaan dan menghasilkan sejumlah uang. Tetapi jikadilihat dari posisi yang didapat di tempatnya bekerja dan ditelusuri lebih jauh,maka secara tidak langsung telah turut serta berkontribusi terhadap penciptaankemiskinan yang terstruktur (structural

poverty) karena penghasilan yangdiperoleh biasanya hanya cukup untuk makan, transportasi, dan meny ewa rumahatau kamar. Sehingga uang yang diperoleh tidak bisa lagi dialokasikan untukmeningkatkan k esejastraannya dan menjamin kehidupannya kelak. Kedua, keanekaragaman adat dan budaya yang dimiliki Bali bukan hanya sebagaipeluang (opportunity) tetapi juga ancaman (threat). Kegiatan keagamaan danadat-istiadat yang merupakan bagian dari buday a Bali merupakan faktorpenghambat majunya sumber daya manusia Bali di industri pariwisata jika tida kdisikapi dengan baik dan diadakan penyesuaian terhadap awig-awig(kesepakatan yang dijadikan oleh anggota desa adat). Kewajiban untukmengikuti kegiatan keagamaan dan adat merupakan hal yang mutl ak dilakukanoleh setiap orang Bali karena mereka sebagai masyarakat sosial yang terikatdengan adatistiadat di desa asalnya. Melihat kondisi ini maka sangat tidakmungkin bagi orang Bali untuk bisa bekerj a secara profesional sesuai dengantuntutan industri pariwisata. Sedangkan sumber daya manusia luar B ali yangbekerja di industri pariwisata sangat siap untuk bekerja secara profesionalkarena mereka tidak dit untut dan melaksanakan kewajiban sebagaimanalayaknya sumber daya manusia Bali. Banyak peran yang bisa dimainkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata.Masyarakat lokal seme stinya dilibatkan dalam proses perencanaan,pembangunan, pengawasan, dan pengevaluasian pariwisat a. Namun usahapelibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata mengalami kendala-kendala dal am penerapannya, karena: (1) sumber daya masyarakat lokal kurangdan bahkan tidak mengetahui visi pembangunan pariwisata se cara jelas; (2)rendahnya minat dan kesadaran (awareness) sumber daya masyarakat lokalterhadap pentingnya pari wisata; (3) rendahnya kemampuan sumber dayamasyarakat lokal dalam bidang kepariwisataan; (4) kesenjangan budaya (cultural barrier) antara sumber daya masyarakat lokal dan wisatawan; (5) sumber dayamasyarakat lokal tidak memiliki kemampuan ekonomi dan investasi. Faktor-faktor inila h yang menjadikan masyarakat lokal hanya menjadi objek danpenonton saja dan bukan sebagai subjek atau pelaku pariwisata. Masalah-masalah tersebut hanya dapat diatasi dengan pemberian pendidikandan pelatihan yang cukup atau memadai kepada masyarakat lokal agar memilikipengetahuan yang lebih luas dan mengglobal. Ini merupakan PR dan tantanganyang sangat berat bagi pemerintah dan para pendidik baik itu pendidik di pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi agar mampu menciptakansumber daya manusia yang berkompetensi internasional. Penulis, dosen di Akpar Triatma Jaya, Dalung-Bali

http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/4/9/o3.htm ++++++++++++++++++

You might also like