You are on page 1of 10

Alkisah tentang seorang anak yang telah sukses.

Meeting pun selesai, Irf pun ber pamitan dengan para klien dengan mendapatkan hasil yang menggembirakan. Jabat ta ngan erat menghangatkan pada hiruk pikuk malam yang basah dan pertemuan dengan k liennya pun usai. Seperti biasa, apabila hasil yang di inginkan tercapai, manusi a akan tersenyum senang. Waktu telah menunjuk pukul 12 malam, Irf pun beranjak pulang. Tampak teramat let ih karena sejak pagi bekerja tanpa henti menguras pikiran. Seperti biasa pak Bidin adalah teman setia Irf yang selalu mengantar kemana saja Irf bekerja. Pak Bidin telah bekerja dengan Irf sudah sejak 10 tahun lalu. Tiba - tiba kemana ya Pak Bidin? Ucap Irf. Harusnya dia ada disini, wong parkirannya jug a tidak begitu luas. Dengan rasa penasaran Irf lihat kiri dan ke kanan, Pak Bidin pun tak kunjung kel iatan. Sampai akhirnya Irf pun memencet tuts ponselnya. Hallo Pak Bidin Dimana? Kok enggak ada di tempat parkiran?

Iya pak maaf, lima menit lagi saya sampai pak Ucap Pak Bidin yang sepertinya dalam perjalanan menuju ke tempat Irf meeting dengan para kliennya. Lima belas menit pun berlalu, tak ada terlihat lampu mobilnya Irf masuk ke halam an parkiran. Irf makin kian gelisah tak menentu. Sempat terpikir untuk naik taks i saja pulang ke kantor. Akhirnya Pak Bidin yang di tunggu sejak tadi sudah data ng, Irf yang kesal langsung masuk mobil dan karena letih dan lelah bekerja ditam bah lamanya menunggu, hampir saja Irf menumpahkan kekesalannya kepada Pak Bidin, bila Pak Bidin tak segera menyambut dengan senyum dan permintaan maaf. Saat Irf menghidupkan radio mobil, matanya menoleh ke sesuatu yang dibungkus den gan pastik berwarna hitam. Dan ternyata sebuah plastic inilah yang membuat Pak B idin datang terlambat. Tercium bau seperti Nasi Ayam kuah yang menusuk hidung da ri bungkus plastik tersebut. "Nasi Ayam ini buat ibu saya pak, tapi ngantrinya lama banget, maaf ya pak," kata Pak Bidin sekali lagi. Ibu saya sudah tua dan sangat susah menemukan selera makannya. Nah, biasanya deng an menu nasi ayam ini dia mau makan pak dan biasanya lahap," cerita Pak Bidin te ntang Si Sang Ibu yang kini tersisa dan Ayahnya sudah lama wafat. Ibu dan ayah m ertuanya pun demikian. Mendengar ceritanya Pak Bidin, pikiran Irf berterbangan entah ke mana-mana. Dan yang pasti, nasi ayam ini jika diletak dalam mobil sudah pasti akan cepat dingin . Sementara perjalanan ini masih cukup panjang. Pertama, Pak Bidin harus mengant arkannya pulang ke rumah. Lalu Pak Bidin kembali ke kantor untuk mengembalikan m obil perusahaan. Nah setelah itu Pak Bidin masih harus menempuh perjalanan belas an kilometer dengan sepeda motornya dan sudah pasti jadi anyep nasi nasi ayam in i. "AC-nya dimatikan saja Pak Bidin, dingin banget, saya juga pengen merokok." Dalam hatinya Irf ingin agar nasi ayam yang dibawa Pak Bidin tak begitu dingin. Begitu AC dimatikan , Irf pun membakar rokoknya. Dalam asap yang tersembur melalui kaca mobil, pikirannya tiba-tiba melayang pada ibunya yang sudah sejak kapan tahun yang berada di sudut kota. Sudah lama dia t idak menyambangi ibunya itu. Entah kesibukan pekerjaan dan berbagai aktivitas ya

ng harus dihadapinya, sering kali kerap membuatnya lupa untuk sekadar mungkin ha nya meneleponnya. Pak Bidin saja, yang penghasilannya pas-pasan bila dibandingkan dirinya, berusah a mati-matian menyisihkan sedikit uang untuk membeli sebungkus nasi ayam. Sedang kan dirinya, apa?!! Irf nyaris melupakan semuanya tentang ibunya, tentang perempuan yang melahirkan dan membesarkannya dengan segala suka dan dukanya melalui kedua tangan keriput I bunya. Dan dia tahu, ibunya sangat menyukai goreng pisang dan segelas kopi hanga t yang katanya selalu menjadi menu romantis bersama Sudri, Ayahnya Irf. Irf meng ambil ponselnya untuk menelepon ibunya. Sayang tak ada jawaban. Kemungkinan suda h tidur. Erfin, Iren dan Indah, ketiga adiknya yang setia menemani ibunya juga p asti terlelap. Tak lama setelah melewati perempatan jalan, Irf pun menyuruh Pak Bidin menghenti kan mobilnya. Padahal jarak menuju ke kantor masih sangat jauh. "Gini aja pak, pak Bidin langsung saja pulang, bawa saja mobil kantor ini pulang kerumah. Motor Pak Bidin biarkan di titip dikantor. Nanti Pak Bidin kemalaman s ampai di rumah, kasian Ibu Pak Bidin menunggunya nanti kelamaan" Irf memilih untuk meneruskan perjalanan dengan menggunakan taksi. Betapa indahny a hidup Pak Bidin, yang teramat sangat menyayangi ibunya. Tak lama kemudian, Irf menyetop taksi. Di kursi belakang taksi berwarna kuning i tu, perasaan haru, bersalah, rindu bergelojak menjadi satu. Sebuah janji yang pernah tercatat dalam hatinya, akhir pekan ini dia akan mengun jungi ibunya. Bersama dengan Biyah, putri mungil juga cucu pertama dari keluarga Irf dan Mayarni sang istri tercinta. Mother : how are you today?Don't worry mom,I'm fine. Promise me to see you this summer. This time there will be no delay with Biyan and Mayarni. *****TRANSLATE IN INDONESIA***** Ibu : bagaimana kabarmu hari ini ? Jangan kawatir bu, aku baik-baik saja. Janjiku untuk melihatmu pagi ini Sahabatku....... Seberapa banyak waktu untuk kerja? Seberapa banyak waktu untuk Orangtua? Sibukah dengan sejuta aktivitas kerja yang sehingganya membuat lupa akan kehidup an pribadi, kehidupan dimana kamu kecil dirumah. Segudang aktivitas yang membuat terlena, bahwa dibalik kesuksesan kerja ada mere ka yang mendidik, membesarkan, mencari nafkah susah payah demi kesuksesan kita. Sejuta pekerjaan yang membuat kesombongan itu ada, membuat lupa bahwa kita tidak ada apa-apanya tanpa mereka. Entah apa yang dikejar hingga membuat kita sering lupa siapa diri ini sebelumnya . Diri yang dulu hanya bisa merangkak, hanya bisa menangis, hanya bisa meminta. Bagi Ayah dan Ibu itu sederhana Kepada Anak ku

Ingatlah kepada kedua tangan kami. Terima kasih ibu dan ayah atas perhatianmu kepada kami. kalian adalah sebuah kis ah yang tak pernah usai kami ceritakan. Janganlah pernah kita melupakan orang tua kita yang telah melahirkan kita,merawa t kita dari kecil hingga sukses,dan selalu mendoakan setiap mereka solat.Ingat,s esungguhnya sampai kapanpun jasa orang tua kita tak akan dapat kita balas sampai mati pun tidak bisa!Jadi berusahalah semaksimal mungkin untuk membuat orang tua kita bahagia

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah Budi Makmur ini. Sekolahku berada di daera h pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingny a terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, a tau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami ter buat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter men ggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turu n, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek. Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalny a, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu b ertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali! Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Ri zal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena ru mah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan s etapak dan hutan belantara. Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut? tanyaku. Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Be sok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing d i sungai! janji Pak Nantan. Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanj at kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang u ntuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pan dai berhitung memang patut diacungi jempol. Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke ka mpungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa me mberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan me ngajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka ta k pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan k eadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman. Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. mu, Jang? Apa cita-cita

Aku ingin jadi seperti Bapak! jawabku mantap. Menjadi guru? Pak Nantan ter-senyum. Aku mengangguk, Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju! Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung in i. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah. Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa me mbimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tida k pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk m engajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah Bagaimana mungkin? Apa aku bi sa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun m engajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung. Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakm u membaca, menulis dan berhitung, ujar Abah memujiku. Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja, kata Emak la lu mencium kepalaku. Terima kasih, ucapku terharu. Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkank u hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta. Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin se mua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, te man-teman! Read more: http://www.jualbeliforum.com/cerpen/236553-cerpen-pendidikan-smp.html #ixzz2f9rOiyPW

Nama gue Bella, dan loe bisa manggil gue Bell atau Abel. Biasanya sih, gue lebih sering dipanggil Abel dari pada Bell. Dan kalau kalian mau manggil gue Bell kek , Abel kek, nggak apa-apa kok!

Gue punya satu cerita yang satu-satunya bikin gue merinding dari cerita-cerita h orror lainnya. Ini cerita beda banget sama cerita-cerita horror yang lainnya. Ce rita ini emang nggak nyata, tapi ini seperti nyata tapi di dalam mimpi. Yup! Ini cuma mimpi. Dan mimpi ini lebih mengerikan dari pada mimpi-mimpi yang lain. Hii i Gue setengah tidur, setengah bangun, alias setengah sadar, dan setengah nggak sa dar. Samar-samar gue dengar percakapan bokap sama nyokap gue. Gini nih kalau cer ita yang gue dengar waktu itu. Bokap: kita ziarah yuk! Nyokap: nanti, Pa! Mama lagi bersih-bersih bareng adek (adek yang dimaksud adekny a nyokap gue). Bokap: okeh! Nanti siang, ya? Nyokap: iya, Pa! Nah, dibilang mau ziarah, gue baru inget kalau gue baru aja udah belajar tutoria l hijab baru. Pengeeennn banget gue ikut! Pah, Abel ikut, ya? pinta gue. Tapi nyokap maupun bokap gue nggak ada yang ngejawa b. Akhirnya, gue tidur, terus bangun, dan tidur lagi. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Banguuun! Tidur lagiii! Nah, dari bangun-tidur-bangun-tidur lagi, di sinilah cerita mimpi kayak nyata it u datang.

Gue bangun. Masih merasa kayak di dalam mimpi. Kepala gue agak pusing. Tapi gue bergegas nyari baju buat pergi ziarah kubur. Karena waktunya kepepet banget, akh irnya nyokap gue turun tangan ngebantuin gue sambil ngomel-ngomel karena gue lam bat bangun dan bentar lagi bokap gue bakalan pergi. Jadi, tanpa perlu mandi, gue udah pake baju. Entahlah, gue juga nggak ingat. Tiba-tiba aja gue udah pake baj u yang dipilihin nyokap gue barusan. Setelah selesai pake baju (padahal udah kepake dengan ajaibnya), ternyata bokap gue nggak jadi ingin pergi ziarah. Jadi, sebagai gantinya, gue dititipin sama ta nte gue yang kebetulan mau ziarahan juga. Untung aja gue ada temen. Fiona dan Na uzan. Gue pun keluar dari rumah dan lari-lari nemuin Fiona dan Nauzan. Padahal, gue ma les banget lari-lari kayak gitu. Takutnya kehausan, karena lagi puasa. Tapi lebi h baik lari dari pada ditinggalin. Ini yang bikin gue kesel! HA-RUS JA-LAN KA-KI!!! Huuuhhh Udah capek, tante gue d an Nauzan lagi semangat, dan Fiona yang jalannya duuuhhh nggak kebayang gimana c epatnya! Lebih cocok dibilang lari dari pada jalan. Dan dari semua yang pergi zi arah, cuma gue! Gue seorang yang paaaling lemes! Tinnn tiiinnn!!! Terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakang. Gue berbalik dan gue te muin kakak gue yang lagi make sepeda motor. ngapain, Kak? Tanya gue basa-basi. tadi, disuruh Papa nganterin kamu biar kamu nggak kecapean! jawabnya. Karena jawaban dari kakak gue, gue jadi seneeeng banget! Karena akhirnya gue ngg ak perlu lagi capek-capek ngikutin tante gue yang jalan kaki. Gue pikir, kenapa nggak manggil taksi biar nggak kecapean? Tapi biarlah, itu urusan tante sama yan g lainnya. Tapi, baru setengah jalan, eeeh, kakak gue malah nyetop deket jembatan. kenapa setop, Kak? Tanya gue. jembatannya diperbaikin orang! ujar kakak gue. Gue bingung. Perasaan, jembatan yan g diperbaikin itu jembatannya masih jauh dari sini. Pas gue lihat, ternyata bene r! Jembatannya diperbaiki! Tapi tunggu, katanya dibaikin, kok, orang yang lagi b aikinnya nggak ada, ya? Terus, kenapa nggak dibikin jembatan darurat? Biar mudah

lewatnya. kita naik getek aja! usul kakak gue. Sebelum lanjut, kalian tahu nggak getek itu apaan? Apa? Getek itu semacam perahu yang ditarik menggunakan tali dari satu pulau ke pulau lain. oke! jawab gue seneng. Gue seneng karena jarang-jarang gue bisa naik getek. Nggak kayak temen sekolah lainnya yang terpaksa naik getek karena jembatannya yang sed ang diperbaiki. Kakak gue kelihatan celingak-celinguk lihat ke sungai. Gue pikir, ngapain celing ak-celinguk? Geteknya aja udah kelihatan dari sini. Setelah celingak-celinguk, k akak gue naik sepeda motor. Gue ikut naik tanpa mengatakan kalimat apapun. Seped a motor pun pergi beberapa meter, lalu setop lagi. Dan lagi-lagi kakak gue celin gak-celinguk lihat ke sungai. Gue bingung lagi. Udah tahu geteknya di sini adany a cuma satu. eh, nggak jadi deh, naik geteknya. Kata kakak gue lemes. Lemeees banget! kenapa? Tanya gue. Kakak gue diem, dan sekejap, gue baru ingat sesuatu. oya! Kakak takut naik getek, kan? Tanya gue yang baru aja ingat kakak gue pernah bilang kala u dia takut naik getek. Duuuh, udah gede masiiih aja takut naik beginian. Dari sini gue mulai bingung. Kakak gue tiba-tiba aja ngilang entah kemana. Gue m erasa kembali lagi menjadi anak kecil walaupun dari segi fisik nggak sedikit pun berubah menjadi anak kecil. Gue berpaling ke arah belakang, dan gue temuin Fion a, Nauzan dan tante gue. Tapi mereka nggak bertiga aja. Ada lima cowok lain. Sep ertinya mereka bukan berasal dari Indonesia, tapi Korea! Jika dilihat, penampila n mereka terlihat seperti sebuah boyband dari pada warga biasa. Salah satu dari Orang Korea yang berambut biru (ya, rambutnya biru hasil dari ny emir) manggil gue supaya mendekat ke sana. Entah mengapa kaki gue serasa ada yan g menggerakkin. Padahal niat gue ke sana buat nemuin Fiona, Nauzan, sama tante g ue. Tapi arahnya berpindah pada cowok-cowok Korea itu. Yang berambut biru tadi l angsung meluk gue. Iiih! Sebenernya gue ogah dipeluk-peluk kayak gituan. Tapi gi mana lagi? Badan gue serasa lemah, nggak ada kekuatan. Lalu cowok itu ngegelitik in gue. Gue mau ketawa kencang dan meminta tolong, tapi rasanya suara gue udah h ilang, dan yang bisa gue perbuat hanyalah ketawa-ketawa tanpa suara. gue mau ini! Gue mau ini! Gue mau ngebeliin cewek gue ini! hah?! Sepintas terpikir oleh gue, kok, cowok Korea bisa ngomong bahasa Indonesia? Dan ngapain dia pegan g-pegang kaos dalam gue? gue mau ngebeliin cewek gue ini! Ini rok yang diidam-ida mkan cewek gue! sambungnya. Hah?! Rok?! Panca indranya kemana, sih? Kaos dalam dibilang rok! Udah tahu gue n ggak pake rok! cewek loe pasti seneng tuh, kalau loe beliin rok kayak gituan! ujar temennya yang berambut pirang. Dengan paksaan, gue melepaskan diri dari pelukan cowok gila itu. Dan sekarang te rjadi kejadian yang aneh lagi. Tiba-tiba aja di depan gue ada tiga anak cewek ya ng gue kenal dan masih dibawah umur gue lagi tidur-tiduran di teriknya panas mat ahari. Mereka adalah Nausara, Vynna dan Liza. Yang anehnya lagi, mereka bertiga tidur-tidurannya pake bantal! Itu tidur, atau bener-bener tinggal di pinggir jal an? eh, Kak Abel! Ayo, Kak istirahat dulu di sini! ujar Vynna sambil nepuk-nepuk banta l kapuk yang tel*njang (tel*njang ya maksudnya nggak pake sarung). Entahlah semua kejadian ini terasa ada yang mengendalikan. Seperti seorang Scrip t Writer yang sedang menuliskan kejadian gila ini. Mungkin sekarang dia sedang m enuliskan Abel pun ikut beristirahat bersama tiga anak perempuan itu . Pantas aja g ue tiba-tiba aja mau ikut sama mereka di bulan puasa ini berjemur di teriknya pa nas matahari tanpa ada rasa haus. Gue melirik ke arah lima cowok Korea yang gila tadi. Gue kaget! Kenapa? Gimana n ggak kaget? Di sini cahaya mataharinya terik banget! Dan di sana terlihat mendun g dan sejuk. Di tambah lagi ada kakaknya Fiona yang lagi ngobrol-ngobrol sama li ma cowok Korea gila dengan gaya Chibi-Chibi gitu. Kak, Kak, Kak! ujar Vynna menyolek bahu gue. Gue berbalik arah pada Vynna. Kak Abel

lihat cowok yang berambut biru itu, kan? tanyanya. Gue mengangguk. dia itu bekerj a di kantor ayahku, Kantor RisaRira. Ujarnya. Kantor RisaRira. Baru kali ini gue dengar ada kantor namanya RisaRira. Gue lirik lagi cowok berambut biru yang meluk-meluk gue tadi. Wajahnya mirip banget sama Guru Doong Ju, dokter hewan yang ada di film My Girlfriend is Gumiho. Miriiip ba ngeeet! Cuma rambutnya aja yang berbeda. Dia kurang tersenyum. Dari raut wajahny a, dia lebih sering melamun. Sama seperti halnya Guru Doong Ju. Suasananya seperti fast motion. Cepat banget berlalu. Matahari telah tenggelam. Dan dengan rasa lemas, gue berjalan menuju rumah sendirian. Malam hari di rumah, gue mandi dan saat sedang make baju, ada kejanggalan yang b ikin gue bingung. Seperti ada yang memata-matai gue. Gue lirik ke arah jendela, dan gue lihat ada sebuah bola aneh berwarna biru. Benda itu gue ambil dan gue pe rhatikan dengan detail. Bola itu mempunyai satu mata yang besar dengan tiga tand a segitiga di atas matanya. Karena gue takut, gue banting tuh bola aneh. Dan saa t dibanting, keluar lendir berwarna biru seperti putih telur mentah. Tiba-tiba aja, ada bola aneh itu lagi. Tapi kali ini ada tiga! Dua buah berwarna biru, dan satu berwarna merah. Dan ciri-cirinya sama dengan bola yang pertama. Mata besar, dan tiga buah tanda segitiga di atas mata mereka. Karena gue takut b akalan semakin parah, akhirnya gue keluar kamar dan memutuskan untuk keluar ruma h aja sekalian. Dan what happened? Di sini lebih parah dari pada saat gue berada di dalam kamar. Di sini banyak sek ali bola-bola aneh tadi. Dan bukan hanya itu! Di sini juga banyak benda aneh sep erti selang yang ujungnya mempunyai mata, seperti Tali Penegak Keadilan milik Do raemon yang tugasnya mengikat orang-orang yang berbohong atau nakal. Warnanya pu n beragam. Ada kuning, hijau, merah, dan biru. Benda-benda aneh ini membuat tera s rumah gue berantakan. Ini aneh! Aneh sekali! Gue nggak pernah ngalamin hal sep erti ini. Gue pengin teriak minta tolong. Tapi entahlah, suara gue serasa tercek at di tenggorokan. Gue lirik ke sekitar dan gue ketemu pulakunya! Pelakunya tiada lain dan tiada bu kan adalah lima cowok Korea gila tadi siang! Tapi kali ini mereka berdua saja, y ang bertiga lagi gue nggak tahu di mana. Cowok yang mirip Guru Doong Ju itu kali ini nggak lagi serba biru. Kali ini dia berubah menjadi serba kuning. Malah tem ennya yang mirip Cha Dae Woong, seperti di film yang sama, My Girlfriend is Gumi ho, itu yang serba biru. Cowok yang mirip Guru Doong Ju itu melempar bola aneh b erwarna biru, dan cowok yang mirip Cha Dae Woong itu melempar bola aneh berwarna merah ke arah gue.

Kali ini gue bangun. Bangun beneran namun masih merasa di alam bawah sadar gue. Dan akhirnya gue tidur lagi.

Gue ambil salah satu bola aneh warna merah. Gue berencana untuk menanyakan pada Vynna tentang hal ini. Gue lari menuju rumah Vynna yang nggak jauh dari rumah gu e. Tapi gue tak bisa berlari lagi karena gue dikepung oleh lima cowok Korea gila itu. Dua di depan gue sambil membawa 2 ekor kucing putih bertutul merah dan bir u, dan tiga di belakang gue sedang membawa bola-bola aneh berwarna merah, biru, dan kuning. Waktu itu, gue sebaaal banget! Gue cenggram kuat-kuat bola yang ada di tangan gu e dan yang terjadi bukannya pecah, malah terbelah menjadi empat bagian dengan uk uran yang lebih kecil dari sebelumnya yang berukuran seperti bola voli. Dua cowok yang lagi megang kucing itu langsung melempar dua kucing yang dipegang nya ke arah gue. Karena gue takut, gue tendang tuh kucing sehingga tak bisa bers ama lagi, walaupun sebenarnya gue ini pecinta kucing. Gue tahu, pasti salah satu kucing itu betina dan satunya lagi jantan. Jika sel sperma kucing jantan memasu ki sel telur sang betina, maka akan terjadi pembuahan yang pastinya akan mengelu

arkan bola aneh barusan. Entah apa yang mereka perbuat pada dua ekor kucing yang cantik itu, yang pasti kucing hasil kloning itu akan mengeluarkan telur, bukann ya anak.

Semua terjadi dengan saaangat cepat! Gue tak ingat lagi apa yang terjadi setelah gue menendang dua kucing cantik itu. Yang pasti, gue bangun dengan suhu yang pa nas. Gue ngebayangin lagi tuh mimpi kayak gimana. kenapa nggak ada yang nolongin gue? pikir gue. mungkin waktu di dalam mimpi nggak ada orang lain di sekitar. Hany a gue dan lima cowok Korea gila itu. Itu semua terjadi entah karena gangguan Syaitan atau karena teguran dari Tuhan. Tapi, jika gue pikir lebih lanjut, sepertinya ini bukan karena gangguan Syaitan, namun karena teguran Tuhan. Kenapa gue bisa yakin dengan itu? Karena gue ngedap etin mimpi yang Super Duper aneh itu di bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, pintu Neraka dikunci dan para Jin, Iblis, dan Syaitan dipenjara di dalam Neraka. Itu berarti mimpi aneh ini adalah teguran dari Tuhan. Tuhan menyuruh gue untuk bangu n dan nggak molor-molor melulu di atas tempat tidur. Karena sebelum gue molor ke lamaan, gue lupa baca do a. Astaghfirullahal azhiiim

Di balik matahari yang mulai mengantuk, di sela-sela jari kaki Gunung Semeru; ya ng mereka sebut sebagai negeri di atas awan walaupun masih (selalu) di bawah sek otak misteri-Nya. Seorang pemuda kencing di balik semak. Pesing tak kentara, baunya tercium sampai Ranu Kumbolo. Surga pun tercemar karen a bau pesing itu. Sembari mengutuk dinginnya angin yang baru saja menemaninya pu lang turun dari puncak gunung, pemuda itu berbalik dengan selangk*ngan yang masi h hina. Seorang Bapak berumur 40-an menghampirinya; padahal si pemuda belum selesai mena rik resleting celana PDL kotornya. Bajunya coklat kumal tak karuan. Mungkin terbuat dari kulit binatang hewan yang hidup di sekitar sini, pikir si pemuda. Ada sedikit bercak darah kering di lenga n baju Bapak itu. Dik, lain kali jangan kencing di sini. Tangan Bapak itu kasar, mungkin karena haru s melawan kerasnya alam Semeru; paku Pulau Jawa. Atau mungkin hanya karena terla lu lama memegang kapak untuk mencari kayu bakar untuk makan malam atau untuk sek edar bersenang-senang belaka. Ah oh i iya Pak. Maaf, maaf uknya hampir terjepit. Nanti yang nungguin marah. Pemuda itu agak bergidik mendengar kata akhayul. nungguin walaupun dia tak percaya dengan t

buru-buru pemuda itu menarik resletingnya sampai jari telun

Waduh, iya, Pak. Saya nggak akan kencing di sini lagi. Iya, jangan lagi. Bapak itu menepuk pundak si pemuda dengan ramah. Larunglah niat si pemuda untuk segera kabur dari sana. Dari teguran halus Si Bapak, datanglah pembicaraan sederhana di sebelah semak ta di: di atas kayu rontok yang sepertinya sudah lama terbaring di sana. Sepuntung Rok*k Gudang Garam Filter menemani bibir kering si pemuda. Asapnya menjadi orang ketiga dari obrolan mereka. Bapak mau rok*k? Saya udah lama nggak ngerok*k. Saya udah janji ke istri saya Kalau Bapak punya anak di sini? Punya, tapi sudah meninggal. Wah, maaf, Pak. Sudah, tak apa. Sudah lama sekali lagipula. Kalau istri, Pak? Meninggal bersama kedua anak saya. Merasa tak nyaman membicarakan orang yang sudah tidak ada, si pemuda mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang sedang hangat Wanita, Indonesia, hingga Gayus Tambunan menyangkut dalam satu setengah jam yang tak terasa. Hingga akhirnya si pemuda merasa sudah terlalu senja. Dia harus ber temu temannya di pos awal untuk mengejar kereta. Pak, maaf, saya harus ke teman-teman saya. Mereka udah nunggu di bawah. Oh, silahkan, silahkan. Si pemuda mengambil ransel-delapan-kiogramnya dan bersiap untuk kembali berangka t. Kembali, merasa tidak enak jika pergi tanpa memberi sebuah pertanyaan penutup , si pemuda memberi pertanyaan terakhir. Oh iya, Pak, maaf, kalau rumah Bapak di mana? Di sana. Bapak itu menunjuk semak-semak tempat si pemuda kencing tadi.

You might also like