You are on page 1of 3

Abuse of Power sebagai Suatu Kejahatan

Oleh Purwaning M. Yanuar Selasa, 27 Oktober 2009

Polisi telah menetapkan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua Wakil Ketua KPK nonaktif, sebagai tersangka dengan dugaan telah melakukan penyalahgunaan wewenang atas pencekalan terhadap Anggoro dan Djoko S Tjandra dalam dua kasus yang berbeda. Isu hukum yang muncul adalah apakah soal penyalahgunaan wewenang itu merupakan suatu kejahatan dan berada dalam ranah hukum pidana atau hanya merupakan pelanggaran administratif dan berada di ranah hukum administrasi negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara. Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk memberantas kejahatan korupsi. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa kejahatan korupsi itu merupakan salah satu bentuk praktik abuse of power oleh para pejabat negara. Oleh karena itu, kepercayaan publik yang diberikan kepada KPK untuk memberantas kejahatan korupsi sama dan sebangun dengan kepercayaan memberantas praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan ini. Publik menaruh kepercayaan kepada KPK untuk memberantas kecenderungan purba kekuasaan guna melakukan korupsi seperti pernah diungkapkan John Emerich Edward Dalberg Acton yang dikenal dengan nama Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton tahun 1887, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Untuk dapat melaksanakan kepercayaan publik ini, KPK sendiri harus bebas dari praktik-praktik abuse of power. Salah satu cara untuk menjamin bebasnya KPK dari praktik penyalahgunaan kekuasaan adalah dengan membangun sistem pengawasan melekat di dalam tubuh KPK itu sendiri, khususnya pada level kepemimpinan KPK. Inilah yang menjadi raison d'etre ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menetapkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) anggota KPK. Pada bagian Penjelasan Umum UU ini, dalam alinea ke-9, dinyatakan bahwa pimpinan tersebut terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK. Hal ini pula yang jadi raison d'etre ketentuan pasal 21 ayat (5) UU tersebut yang menetapkan bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK. Jika seorang pejabat KPK sebagai salah satu unsur pimpinan KPK membuat keputusan sendiri, pejabat tersebut tidak hanya melanggar ketentuan pasal 21 ayat (5) UU itu, tetapi juga dia telah merusak sistem pengawasan melekat, yang berakibat pada terjadinya praktik abuse of power. Setidak-tidaknya ada dua akibat buruk yang terjadi ketika seorang pejabat KPK melakukan praktik abuse of power. Pertama, pejabat tersebut mengkhianati kepercayaan publik (public trust). Dalam demokrasi, seperti diungkapkan senator Amerika Serikat (AS) John Kerry, kita tidak dapat menoleransi penyalahgunaan kepercayaan publik seperti ini. Kedua, penyalahgunaan kekuasaan itu membahayakan dan mengancam kebebasan dan kemerdekaan yang merupakan salah satu inablienable right manusia. James Madison, presiden keempat AS (1809-1917), pernah mengungkapkan bahwa liberty may be endangered by the abuse of liberty, but also by the abuse of power. Bahayanya, seperti diungkapkan filsuf dan negarawan Inggris Edmund Burke (1729-1797), adalah the greater the power, the more dangerous the abuse. KPK itu sering disebut sebagai suatu super body yang memiliki kekuasaan yang sepertinya jauh lebih besar. Maka praktik penyalahgunaan kekuasaannya bisa jauh lebih besar pula. William Antonio Boyle, Ph. D. (1999), mengungkapkan bahwa abuse of power dapat menjadi sumber utama (prime source) dan esensi sejati (true essence) dari kejahatan moral (moral evil). Kejahatan, menurut Boyle, adalah abuse of power. Penyalahgunaan wewenang ini terjadi ketika seseorang mempunyai kekuasaan yang menentukan dan memengaruhi realitas orang lain. Dalam konteks ini kewenangan adalah kekuasaan yang berasal dari persetujuan masyarakat atau hukum suatu negara. Menurut Boyle, abuse of power is the illegitimate use of power. Dari perspektif pandangan Boyle ini, penyalahgunaan kekuasaan yang

dilakukan pejabat KPK merupakan illegitimate use of power yang menyebabkan orang lain kehilangan kebebasan dan kemerdekaan. Ini merupakan suatu kejahatan. Setidak-tidaknya merupakan suatu moral evil. Karena abuse of power itu merupakan kejahatan, maka tidak lagi tepat dimasukkan ke dalam ranah hukum administrasi negara, tetapi harus berada dalam ranah hukum pidana, seperti halnya di dalam Hukum Pidana Bangladesh 1860. Dalam sections 211, 330, 331, 344, 348, dan 448 Hukum Pidana Bangladesh ini diatur mengenai hukuman bagi polisi dan penegak hukum lain yang melakukan praktik abuse of power. Perkembangan hukum pidana dewasa ini dari perspektif perlindungan hak asasi manusia (HAM) telah mengategorikan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sebagai perbuatan pidana yang disebut sebagai criminal abuse of power. Hal ini pun secara jelas dinyatakan dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985). Dalam huruf B deklarasi ini tentang victims of abuse of power, pada poin 18 dinyatakan, "Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts of omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights. Jika tindakan pencekalan yang dilakukan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto terbukti sebagai illegitimate use of power yang tidak lain merupakan praktik abuse of power, maka tindakan itu merupakan kejahatan dan menyebabkan adanya korban sebagaimana dirumuskan dalam huruf B poin 18 dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Persoalannya adalah dalam delik pidana manakah tindakan tersebut dimasukkan dalam hukum pidana kita yang belum mengatur abuse of power sebagai suatu kejahatan seperti dalam hukum pidana Bangladesh? Ini tantangan bagi Kepolisian Republik Indonesia.* Penulis adalah advokat, doktor di bidang hukum

You might also like