You are on page 1of 165

lemetooo 1etombo kotooq l

KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga terselesaikannya Laporan Akhir Pemetaan Terumbu Karang di
Teluk Lampung dengan baik. Laporan ini merupakan lanjutan dan perbaikan dari
Laporan Draf Laporan Akhir yang sudah dibuat sebelumnya.
Laporan Akhir (Final Repport) pelaksanaan pekerjaan Pemetaan Terumbu Karang di
Teluk Lampung ini secara sistematis tersusun menjadi : Bab I Pendahuluan, Bab II
Gambaran Umum Wilayah, Bab III Pendekatan dan Metodologi, Bab IV Pemetaan
Terumbu Karang dan permasalahannya, Bab V Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu
Karang Teluk Lampung.
Kami berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya
tentang kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung, sehingga hasil kajian ini
dapat dijadikan referensi dan bahan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan
pemerintah dalam mengantisipasi fenomena Global Warming yang sudah terjadi. Untuk
kemudian dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan aksi untuk melakukan
pelestarian, rehabilitasi, dan pengawasan terumbu karang di Teluk Lampung.
Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan
terima kasih.



Bandar Lampung, Desember 2007



PT. TARAM


lemetooo 1etombo kotooq ll
DAFTAR ISI



Halaman

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GRAFIK vii

BAB I PENDAHULUAN I-1
1.1 Latar Belakang I-1
1.2 Maksud dan Tujuan I-4
1.3 Sasaran I-4
1.4 Keluaran Kegiatan I-5
1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan I-5

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH II-1
2.1 Provinsi Lampung II-1
2.2 Profil Wilayah Pesisir Lampung II-3
2.3 Teluk Lampung II-5
2.3.1 Iklim II-8
2.3.2 Sungai dan DAS II-8
2.3.3 Geologi II-9
2.3.4 Hidro Oseanografi Teluk Lampung II-11
2.3.4.1 Batimetri Perairan Teluk Lampung II-11
2.3.4.2 Pasang Surut II-12
2.3.4.3 Arus Laut II-14
2.3.4.4 Gelombang II-18
2.3.4.5 Suhu dan Salinitas II-20
2.3.4.6 Pencemaran Laut II-20
2.3.5 Tsunami II-22
2.3.6 Kondisi Biologi Teluk Lampung II-23
2.3.6.1 Mangrove II-23
2.3.6.2 Terumbu Karang II-24
2.3.6.3 Padang Lamun II-24
2.3.6.4 Algae II-25
2.3.6.5 Echinodermata II-25
2.3.6.6 Crustacea II-25
2.3.6.7 Mollusca II-25
2.3.6.8 Ikan II-25
2.3.7 Sosial Kependudukan II-27
2.3.7.1 Kota Bandar Lampung II-28
2.3.7.1 Kabupaten Lampung Selatan II-28

BAB III PENDEKATAN DAN METODELOGI III-1

lemetooo 1etombo kotooq lll
3.1 Metode Pendekatan Studi III-1
3.2 Metode Pengumpulan Data III-4
3.2.1 Metode Manta Tow III-5
3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT) III-8
3.2.3 Citra satelit Landsat III-12
3.2.4 Faktor-faktor Oseanografi III-14
3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya III-15
3.3 Analisis Data III-15
3.3.1 Analisis Data Terumbu Karang III-15
3.3.2 Analisis Citra satelit III-15
3.3.3 Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya III-16
3.3.4 Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu
Karang
III-21

BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN
PERMASALAHANNYA

IV-1
4.1 Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung IV-1
4.1.1 Pulau Tangkil IV-8
4.1.2 Pulau Tegal IV-10
4.1.3 Pulau Maitem IV-13
4.1.4 Pulau Kelagian IV-15
4.1.5 Pulau Puhawang IV-17
4.1.6 Pulau Siuncal IV-20
4.1.7 Pulau Legundi IV-22
4.1.8 Pulau Tiga IV-27
4.1.9 Pulau Condong IV-29
4.1.10 Pulau Pedada IV-31
4.1.11 Pulau Lelangga IV-37
4.1.12 Ketapang IV-41
4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda IV-43
4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih IV-46
4.1.15 Lokasi Batu Bara IV-49
4.1.16 Kepulauan Sebuku IV-50
4.1.17 Kepulauan Sebesi IV-53
4.1.18 Pesisir Pantai Bandar Lampung IV-46
4.2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung IV-58
4.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung IV-60
4.4 Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung IV-64

BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
TELUK LAMPUNG

V-1




Ftmt|iia Itrtmlt Kiria)

l|IF IlLL



BAB I PENDAHULUAN 1-1
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1
Tabel 2.1 Amplitudo Komponen Pasut Utama di Perairan Teluk Lampung 2-13
Tabel 2.2 Kisaran Tinggi Muka Laut di Panjang, Teluk Lampung 2-14
Tabel 2.3 Kecepatan dan Arah Arus Musim di Selat Sunda 2-15
Tabel 2.4 Kecepatan dan Arah Angin di Panjang dan Perkiraan Kuat Arus
yang ditimbulkan

2-16
Tabel 2.5 Kecepatan Arus pasang Surut Maksimal di Selat Sunda 2-18
Tabel 2.6 Tinggi Gelombang di Sekitar Perairan Panjang 2-19
Tabel 2.7 Kondisi Gelombang di Sekitar perairan antara Pulau Maitem dan
Pulau Kelagian

2-19
Tabel 2.8 Nilai Parameter Kualitas Air di Teluk Lampung 2-21
Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar
Lampung

2-28
Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten
Lampung Selatan

2-29
Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamtan Pesisir Kabupaten Lampung
Selatan

2-30
Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan pesisir, Kab
Lam-Sel

2-30
Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab.
Lampung Selatan

2-30

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1
Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar 3-11
Tabel 3.2 Data Hasil Transek 3-12
Tabel 3.3 Kategori Sensor MSS (Multi Spectrum Scanner) 3-13
Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Thematic Mapper) 3-14

BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN
PERMASALAHANNYA

4-1
Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dan Beberapa Lokasi
Penyelaman di Teluk Lampung

4-2
Tabel 4.2 Persentase Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk
Lampung

4-16
Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk
Lampung

4-65


Ftmt|iia Itrtmlt Kiria)

0II8 0N88



BAB I PENDAHULUAN 1-1

Gambar 1.1 Foto Ilustrasi Pengeboman Ikan yang dilakukan oleh Nelayan 1-2
Gambar 1.2 Bintang Laut Berduri (Acanthaster planci) 1-3
Gambar 1.3 Komoditi Perikanan Tangkap dan Budidaya yang sangat tergantung
dengan Kelestarian Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung
1-5

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1
Gambar 2.1 Peta Wilayah Propinsi Lampung 2-2
Gambar 2.2 Peta Potensi Abrasi dan Sedimentasi di Perairan Teluk Lampung 2-4
Gambar 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung 2-5
Gambar 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman 2-6
Gambar 2.4 Gempa dan Tsunami Teluk lampung dan Pantai Selatan Jawa 2- 23

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1
Gambar 3.1 Gambar Diagram Alir Tahapan Kegiatan Pemetaan 3-3
Gambar 3.2 Tekanan yang diberikan Terhadap Ekosistim Terumbu Karang 3-4
Gambar 3.3 Teknik Survey Terumbu Krang dengan Metode Manta Tow 3-5
Gambar 3.4 Terumbu Karang yang Rusak dari Kegiatan Pengeboman 3-6
Gambar 3.5 Estimasi dari Persentase Tutupan Karang 3-7
Gambar 3.6 Manta Board, Papan Pengamatan yang digunakan sebagai Pencatat
Data

3-8
Gambar 3.7 Cara Pencatatan data koloni Karang pada Metode Transek garis 3-10
Gambar 3.8 Teknik Line Interception Transect (LIT) 3-12

BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4-1
Gambar 4.1 Penambangan Terumbu Karang untuk Bahan Bangunan 4-4
Gambar 4.2 Pulau Tangkil 4-9
Gambar 4.3 Teluk Tegal sering digunakan oleh Kapal-kapal Ikan untuk
Beristirahat

4-10
Gambar 4.4 Kondisi Terumbu Karang yang masih baik di Teluk Tegal 4-11
Gambar 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)yang ada di Perairan
Pulau Tegal

4-12
Gambar 4.6 Pulau Maitem dengan Perairan yang Dangkal Kerap didatangi
Nelayan untuk menangkap ikan

4-13
Gambar 4.7 Beberapa Variant Biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)
4-14
Gambar 4.8 Pulau Kelagian yang Berbukit Dilihat dari Arah Laut 4-15
Gambar 4.9 Karang Lunak Jenis Sinularia flexibilitas Banyak ditemukan di
Kedalaman 7 Meter

4-16
Gambar 4.10 Bangunan Jaring Apung yang Banyak terdapat di Perairan Pulau
Puhawang

4-18
Gambar 4.11 Lokasai Peristirahatan dan Beberapa Kondisi Karang di Pulau
Puhawang Lunik

4-18
Gambar 4.12 Jangkar Perahu Berpotensi Merusak Keutuhan Karang 4-19
Gambar 4.13 Pulau Siuncal di Lihat dari Arah Selat Siuncal 4-20
Gambar 4.14 Pelabuhan Kapal di Pulau Legundi 4-23
Gambar 4.15 Tumpukan Karang untuk Bahan bangunan di Pulau Legundi 4-23
Gambar 4.16 Beberapa Bentuk Tumbuh Karang, Lobster dan Bintang Laut

Ftmt|iia Itrtmlt Kiria)

Berduri 4-24
Gambar 4.17 Pecahan Karang Mati (rubble) akibat Pengeboman 4-25
Gambar 4.18 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Seserot 4-25
Gambar 4.19 Beberapa Spesies Karang yang dibudidayakan untuk Ekspor di
Pulau Unang-unang

4-26
Gambar 4.20 Pulau Tiga dilihat dari Arah Canti Kabupaten Lampung Selatan
4-27
Gambar 4.21 Pembangunan Tanggul Penahan Pantai yang Menggunakan Karang
4-29
Gambar 4.22 Pembangunan Fasilitas Peristirahatan dan Budidaya Laut dengan
Jaring Tancap di Pulau Condong

4-30
Gambar 4.23 Kondisi Perairan Teluk Kucangreang yang terdiri Batuan Cadas,
Karang Mati, Lunak serta Makro Algae


4-32
Gambar 4.24 Pos Penjagaan Kompleks Budidaya di Pulau Balak 4-33
Gambar 4.25 Sponge Jenis Callyspongia aerizusa di Perairan Pulau Lok
4-34
Gambar 4.26 Pulau Lunik 4-35
Gambar 4.27 Pualu Tanjung Putus dilihat dari Arah Laut 4-36
Gambar 4.28 Acropora cytherea, dan beberapa Spesies Karang Lunak di Perairan
Pulau Lelangga Balak

4-38
Gambar 4.29 Pulau Lelangga Lunik di Lihat dari Laut dan Kondisi Terumbu
Karang yang rusak di Perairan Pulau Lelangga Lunik


4-39
Gambar 4.30 Pintu Gerbang Kawasan Militer TNI AL Lili, Laut dan Hamparan
Karang Jari Acropora irregularis

4-42
Gambar 4.31 Makro Algae Halymenia durvillae, Caulerpa racemosa dan
Turbinaria decurrens di Canti

4-45
Gambar 4.32 Aktifitas Wisata di Pantai Pasir Putih, Sampah dan Kondisi Karang
di Dasar Perairan

4-47
Gambar 4.33 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebuku dan di Pulau Elang
4-51
Gambar 4.34 Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebesi pada Kedalaman 10
Meter

4-54
Gambar 4.35 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan Sea Grass Jenis
Enhallus di Dasar Perairan Bandar Lampung


4-57
BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
TELUK LAMPUNG

V-1





tmt|iia Itrtmlt Kiria)

l|IF CF|lK



BAB I PENDAHULUAN 1-1
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1
BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN
PERMASALAHANNYA

4-1

Grafik 4.1 Persentase Tutupan Karang di Teluk Lampung 4-2
Grafik 4.2 Persentase Tutupan Karang di Pulau Tangkil 4-8
Grafik 4.3 Persentase Tutupan Karang di Teluk Pedada 4-37
Grafik 4.4 Persentase Tutupan Karang di Teluk Lelangga 4-37
Grafik 4.5 Persentase Tutupan Karang di Perairan Ketapang 4-41
Grafik 4.6 Persentase Tutupan Karang di Pantai Kalianda 4-43
Grafik 4.7 Persentase Tutupan Karang di Perairan Tanjung Selaki-
Pasir Putih

4-48
Grafik 4.8 Rata-rata Persentase Tutupan Karang di Kepulauan Sebuku 4-52
Grafik 4.9 Rata-rata Penutupan Karang di Pulau Sebesi 4-55
Grafik 4.10 Tutupan Karang di Pesisir Pantai Bandar Lampung 4-57
Grafik 4.11 Tutupan Karang di Teluk Lampung tahun 1998 4-58
Grafik 4.12 Tutupan Karang Hidup di Teluk Lampung Tahun 1998 dan
Tahun 2007

4-59

BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU
KARANG
V-1



|at++a ltaaaa |+t+a 1| l|a| |+aaa Bab I - 1
Bab I ||||||||| ||||||||| ||||||||| |||||||||

1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan wilayah yang kaya akan
keragaman hayati dan mempunyai potensi sebagai pendukung pengembangan
pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan. Secara ekologis habitat alami
pesisir menjadi pusat kehidupan dan tempat asuhan berbagai jenis biota laut lainnya,
seperti ikan, udang, moluska, echinodermata dan berbagai jenis rumput laut. Banyak
diantara biota tersebut memiliki nilai ekonomi penting dan dapat menjadi tulang
punggung pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di wilayah pesisir. Hal ini dapat
tercapai dengan cara pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan diversitas
pemanfaatan yang didasarkan pada ketersediaan data ilmiah dan kemampuan daya
dukung lingkungan serta kepedulian dari para pihak (stakeholders).
Untuk mendukung revitalisasi di bidang kelautan dan perikanan dan pengembangan
jenis komoditi sumberdaya kelautan maka salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
dengan pemetaan terumbu karang. Sumber daya kelautan dan perikanan perlu
diseimbangkan agar kelestariannya dapat terpelihara dengan baik sehingga dapat
menopang sumber-sumber ekonomi secara lestari, dengan memperbaiki lingkungan
terumbu karang melalui teknologi transpalansi karang, dan upaya pengawasan ekosistem
terumbu berbasis masyarakat.
Wilayah perairan Teluk Lampung meliputi luas wilayah 3.865 km
2
dengan panjang
garis pantai 140 km, dan jumlah pulau-pulau kecil mencapai 51 buah. Kondisi terumbu
karang di wilayah Teluk Lampung kini secara kasat mata sebagian besar sudah
rusak. Oleh karena itu perlu dilakukan studi dan pemetaan kondisi terumbu

|at++a ltaaaa |+t+a 1| l|a| |+aaa Bab I - 2
karang di Teluk Lampung untuk mengetahui kondisi aktual.
Dewasa ini sebagian besar vegetasi mangrove di Teluk Lampung telah dikonversi
menjadi lahan tambak. Kondisi pesisir sepanjang Teluk Lampung sebagian besar
bergelombang dengan bentangan yang sempit sampai pinggiran pantai yang terjal
dan berbatasan langsung dengan perbukitan. Teluk Lampung selain memiliki potensi
perikanan juga mempunyai potensi kelautan dan jasa-jasa kelautan seperti
perhubungan, wisata, ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, budidaya
mutiara dan sebagainya.
Kondisi terumbu karang telah mengalami gangguan akibat dari penangkapan ikan yang
menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati
sekitar Rangai telah mencapai 30,4 % di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang
hidup masih di atas 50 % dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Ketapang-Padang
Cermin, Kalianda-Way Muli dan Bakauheni (Bapeda Propinsi Lampung, 2003).


Gambar
1.1
loLo llusLrasl pengeboman lkan yang dllakukan oleh
nelayan. Plngga klnl aksl pengeboman lkan maslh
Ler[adl dl beberapa lokasl 1eluk Lampung yang Lldak
LerpanLau oleh aparaL penegak hukum.

Terumbu karang di Pesisir Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan
bentangan berkisar 20 meter sampai 120 meter dari bibir pantai sampai kedalaman 17
sampai 20 meter. Ancaman terhadap terumbu karang tidak hanya dari aktivitas
penangkapan oleh nelayan tetapi juga berupa pengambilan batu karang untuk bahan
bangunan dan jalan seperti yang umum dijumpai disetiap pemukiman sepanjang pantai
berkarang.

|at++a ltaaaa |+t+a 1| l|a| |+aaa Bab I - 3
Perubahan kondisi pesisir telah menimbulkan berbagai dampak secara langsung
maupun tidak langsung terhadap masyarakat, seperti menurunnya hasil tangkapan
nelayan, terjadinya abrasi dan banjir. Berdasarkan kajian proyek pesisir (2004) diketahui
beberapa isu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir di Lampung Selatan yaitu :
Belum adanya tata ruang wilayah pesisir secara rinci
Banyaknya kawasan sempadan pantai yang dikonversi menjadi peruntukan lain
dengan perencanaan yang kurang tepat
Belum jelas batas-batas peruntukan ruang laut untuk kegiatan penangkapan, budidaya, alur
perhubungan dan penempatan bagan.
Kondisi terumbu karang umumnya rusak akibat penggunaan bahan peledak, pengambilan
karang untuk bahan bangunan, dan penggunaan potassium sianida.
Berkembangnya usaha penangkapan yang bersifat merusak sumberdaya akibat dari
lemahnya pengawasan.
Menurunnya kualitas ekosistem alami wilayah pesisir.
Belum berkembangnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, baik
keterpaduan perencanaan antar sektor, keterpaduan wilayah, keterpaduan
lingkungan dan sumberdaya.

Gambar
1.2
8lnLang lauL berdurl (Acootbostet ploocll) dl aLas
merupakan hama Lerumbu karang yang sangaL berpoLensl
merusak kolonl Lerumbu karang. 1ampak karang yang
memuLlh dl sebelah klrl karena dl serang oleh predaLor lnl.

|at++a ltaaaa |+t+a 1| l|a| |+aaa Bab I - 4
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota laut yang membantu keseimbangan
ekosistem antar jenis melalui rantai pangan. Pengambilan secara berlebihan terhadap
salah satu jenis tertentu akan melumpuhkan penurunan terhadap potensi
sumberdayanya. Khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting
sebagai pelindung pantai dari arus dan ombak sementara itu berbagai jenis ikan
menggunakan terumbu karang sebagai tempat memijah, pembesaran/asuhan dan
tempat menemukan atau mencari makanan.

1.2 Maksud dan Tujuan
a Menyediakan data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang di Teluk
Lampung.
b Memberikan arahan upaya pengelolaan dan pemanfaatan habitat terumbu karang.

1.3 Sasaran
a. Tersedianya data dan informasi sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung.
b. Mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang sehingga terciptanya
kawasan konservasi terumbu karang.

1.4 Keluaran Kegiatan
Keluaran/Output yang diharapkan dari kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk
Lampung ini meliputi :
1. Teridentifikasinya kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang di
Teluk Lampung.
3. Tersedianya peta kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
4. Tersusunnya strategi pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang di Teluk Lampung.


|at++a ltaaaa |+t+a 1| l|a| |+aaa Bab I - 5

Gambar
1.3
8eberapa komodlLl perlkanan Langkap dan budldaya yang
sangaL LerganLung dengan kelesLarlan ekoslsLem Lerumbu
karang dl 1eluk Lampung.

1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan
a) Ruang Lingkup
Penyusunan rencana kegiatan.
Identifikasi lokasi dan inventarisasi potensi terumbu karang.
Pemetaan ekosistem terumbu karang yang rusak akibat kegiatan penangkapan
ikan yang tidak ramah lingkungan.
Analisis data dan informasi sekunder seperti terjadinya pencemaran laut, tsunami,
hidrooceanografi, kedalaman, pola arus, pasang surut dan sebagainya.
Pelaksanaan kegiatan pemetaan sumberdaya terumbu karang.
Mensosialisasikan kepada masyarakat.
Monitoring dan evaluasi.
Pelaporan dan diskusi.
b) Lokasi Kegiatan
Wilayah kegiatan Pemetaan Terumbu Karang adalah di wilayah Teluk Lampung.
Pemilihan lokasi studi tersebut dimaksudkan bahwa wilayah tersebut merupakan
daerah dengan aktifitas ilegal fishing yang cukup tinggi diduga kerusakan terumbu
karang mencapai lebih dari 70 % sehingga perlu dilestarikan agar sumberdaya
terumbu karang dapat berkelanjutan pemanfaatannya.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 1

Bab II. GAMBARAN UMUM WILAYAH


2.1 Provinsi Lampung
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964.
Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan
Provinsi Sumatera Selatan. Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964
tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan,
namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukan potensi
yang sangat besar.
Provinsi Lampung terletak di ujung Pulau Sumatera, yang menghubungkan Pulau
Sumatera dengan Pulau J awa melalui Selat Sunda. Provinsi Lampung mempunyai luas
daerah berkisar 35.377 km
2
termasuk pulau-pulau yang terletak di bagian ujung
Tenggara Pulau Sumatera. Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada :
Utara - Selatan : 3
0
45' LS - 6
0
45' LU
Timur - Barat : 105
0
50' BT - 103
0
40' BT
Dengan luas perairan laut Provinsi Lampung diperkirakan lebih kurang 24.820 km
2

(Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 1999).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII2














Gambar2.1
PetaWilayah
Propinsi
Lampung,(besar)
PetaTeluk
Lampung(kecil).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 3
Secara administratif, batas wilayah Provinsi Lampung adalah sebagai berikut : Sebelah
Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, Sebelah Selatan dengan
Selat Sunda, Sebelah Timur dengan Laut Jawa, dan Sebelah Barat dengan Samudera
Hindia.
J umlah penduduk Provinsi Lampung Pada tahun 2002 mencapai 6.787.654 jiwa.
Dengan luas wilayah 3.528.835 Ha berarti kepadatan penduduknya mencapai
192.35 jiwa per km
2
. J umlah wilayah administrasi di Provinsi Lampung pada
tahun 2002 tercatat jumlah kabupaten/kota sebanyak 10, terdiri dari 2 kota dan 8
kabupaten, yaitu : Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Tanggamus,
Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Selatan,
Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung
Tengah, dan Kabupaten Lampung Barat. Namun pada tahun 2007 telah ditetapkan
Kabupaten Pesawaran sebagai kabupaten baru hasil dari pemekaran Kabupaten
Lampung Selatan.
Perekonomian Lampung didominasi oleh 3 (tiga) sektor kegitan ekonomi, yakni sektor
pertanian, sektor perdagangan/hotel/restoran dan sektor industri pengolahan mata
pencaharian utama penduduk adalah sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, serta
industri kecil.
Pemanfaatan lahan di Provinsi Lampung saat ini didominasi oleh penggunaan hutan
sebesar 985.085 Ha, untuk perkebunan tercatat seluas 681.901 Ha, untuk tegalan dan
ladang seluas 631.687 Ha.

2.2 Profil Wilayah Pesisir Lampung
Wilayah pesisir Lampung merupakan pertemuan antara dua fenomena, yaitu laut (Laut
J awa dan Samudra Hindia) dan darat (pegunungan Bukit Barisan Selatan dan dataran
rendah alluvial di bagian timur propinsi ini). Wilayah pesisir ini bermula dari daratan
pasang air tinggi sampai ke pinggiran paparan benua (continental shelf). Semua itu
menunjukkan perbedaan dua habitat dengan perbedaan flora dan fauna. Fenomena alam
tersebut memberikan pengembangan proses di wilayah pesisir yang sangat unik dan
spesifik. Dengan demikian, secara ekologis wilayah pesisir ini tidak berdiri sendiri,
melainkan terpengaruh oleh faktor eksternal.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 4
Wilayah pesisir Propinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian
yaitu Pantai Barat (227 km), Pantai Timur (270 km), Teluk Semangka (200 km), dan
Teluk Lampung (160 km). Keempat wilayah tersebut mempunyai karakteristik biofisik,
sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda.
Keadaan alam daerah Lampung dapat dijelaskan sebagai berikut ; sebelah Barat dan
Selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai lanjutan
dari jalur pegunungan Bukit Barisan. Ditengah-tengah merupakan dataran rendah,
sedangkan ke dekat pantai sebelah Timur, di sepanjang tepi Laut J awa terus ke Utara,
merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas.











Terdapat perbedaan yang jelas antara wilayah pesisir Barat dengan wilayah pesisir
Timur. Pantai Barat merupakan jalur wilayah pesisir yang sempit, berlereng hingga
terjal (cliffs; rocky shores), sedangkan Pantai Timur merupakan hamparan peneplein
atau dataran pantai yang landai dan luas, jauh ke pedalaman. Iklim di perairan pesisir,
terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh
adanya angin munson dan curah hujan yang tinggi, sekitar 2.500 - 3.000 mm/tahun.
(Stasiun Kalianda, 1991). Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai
September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret.
Gambar2.2
Peta potansi abrasi dan
sedimentasi di perairan
TelukLampung.
Panah merah yang
mengarah ke garis pantai
menunjukkan adanya
potensi Abrasi di pantai
tersebut.
Sebaliknya panah merah
yang menjauhi garis pantai
mengindikasikan adanya
potensi sedimentasi di
pantai tersebut (Atlas
Lampung,1999).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 5
Gelombang besar di Pantai Timur dan Teluk Lampung terjadi pada bulan J uni-
November. Tinggi gelombang berkisar antara 0,50 - 1,00 meter. Pertumbuhan
penduduk mempunyai efek balik yang serius terhadap lingkungan pesisir karena migrasi
dari daerah lain terutama di tempat-tempat yang padat populasinya seperti Bandar
Lampung (4.500 jiwa/km
2
).
Propinsi Lampung merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera, yang sarat dengan aliran
penumpang dari J awa ke Sumatera dengan menggunakan unit kapal Ferry Merak-
Bakauheni, serta aliran barang sekitar 75.000 peti kemas/tahun melalui kapal laut yang
bongkar-muat di Pelabuhan Panjang. Kondisi tersebut menjadikan Lampung sebagai
daerah spill over pembangunan di Pulau J awa. Pada sisi lain, posisi strategis ini
memberi peluang pada perkembangan Lampung sebagai propinsi yang sedang giat
melaksanakan pembangunan.
Wilayah pesisir Lampung dicirikan dengan produktifitas ekosistem yang tinggi,
sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian Propinsi Lampung selama ini.
Ditinjau dari segi ekonomi, sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir Lampung
cukup tahan terhadap pengaruh krisis total yang melanda negara ini.







Gambar2.3 BudidayaLautdenganBaganApungmerupakansalahsatu
carabudidayayangpopulerdiTelukLampung.

2.3 Teluk Lampung
Perikanan serta jasa lingkungan, baik keindahannya maupun fungsi perlindungan
Terumbu karang, di Teluk Lampung, merupakan aset sumberdaya alam pesisir yang
mampu menopang kelestarian pantainya, merupakan kekuatan yang spesifik untuk
menunjang perekonomian di propinsi ini. Hasil survei (CRMP, 1998) menunjukkan
bahwa potensi terumbu karang sebagai obyek wisata dan habitat ikan masih cukup
besar, dengan penutupan lebih dari 50% di kawasan Teluk Lampung. Walaupun
demikian, di beberapa lokasi menunjukkan penutupan karang yang sangat rendah,

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 6
seperti di luar kawasan Teluk/gugus Krakatau yang kurang dari 10%. Potensi terumbu
karang di Lampung terdiri dari jenis karang tepi (fringing reef) dengan luasan relatif 20-
60 m
2
sampai kedalaman maksimum 17 m. Sejumlah terumbu karang menyebar (patch
reef) tumbuh dengan baik di sisi Barat Teluk Lampung. Terumbu karang di kawasan
Selat Sunda (termasuk Teluk Lampung) memiliki sekitar 113 jenis, dengan rata-rata
keanekaragaman per lokasi agak rendah (49 jenis). Sementara itu terdapat sekitar 1.600
unit perikanan bagan yang menggantungkan penghasilan tangkapannya di sekitar
terumbu karang (Renstra PWP Lampung, 2000).












Penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk propinsi ini,
karena kontribusinya dalam penyediaan protein hewani. Produksi perikanan laut yang
didaratkan di Teluk Lampung sekitar 51.000 ton/tahun, di Pantai Timur sekitar 43.000
ton/tahun, dan di Pantai Barat sekitar 10.000 ton/tahun (data 1997). Walaupun
demikian, pengelolaan terhadap sumberdaya ikan di perairan Teluk Lampung sudah
waktunya diupayakan, hal ini karena telah ada indikasi terjadinya over fishing
(tangkap lebih). Indikasi ini terlihat di Pusat Pendaratan Ikan, yaitu dengan semakin
kecilnya ukuran dan volume hasil tangkapan ikan nelayan di sekitar Teluk Lampung.
Gambar2.4
PetaSebaranHabitat
danDaerahRawan
Pengeboman(Atlas
Lampung,1999).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 7
Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan
yang besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, maupun
untuk melindungi pantai dari ancaman erosi. Tutupan mangrove di Lampung
mengalami penurunan sangat drastis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai
akibat konversi dan pembabatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya
sekitar 2.000 ha mangrove yang tersisa dari 20.000 ha mangrove yang pernah ada
(tahun 1990-an).
Habitat padang lamun dan rumput laut yang tersebar dibeberapa pantai dan pulau di
kawasan Teluk Lampung menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari
gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya
tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di
daratan.
Selain itu, padang lamun merupakan daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil dan anak-anak
penyu (tukik) yang baru menetas. Ekploitasi rumput laut alami dan perusakan yang
dilakukan terhadap ekosisten ini akan berpengaruh terhadap populasi larva ikan yang
ada dan mengakibatkan menurunnya kecerahan air laut di pantai yang menghalangi
filtrasi cahaya matahari bagi terumbu karang.
Rumput laut jenis Euchema cottonii dibudidayakan di kawasan Teluk Lampung, yaitu
di pantai Padang Cermin, sedang yang alami dipanen nelayan di pantai Kalianda, Teluk
Lampung dan daerah Bengkunat, Pantai Barat.
Potensi perairan khususnya Teluk Lampung yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya
laut (mutiara dan ikan) seluas 56.000 ha (Winanto, 1994). Dari potensi tersebut, seluas
5.000 ha telah diberikan sebagai wilayah konsesi kepada tiga PMA yaitu PT. Hikari,
PT. Kyokko Shinju, dan PT. Lampung Indah Mutiara. Produksi mutiara setiap tahunnya
dari ketiga PMA tersebut diperkirakan 500.000 butir mutiara.
Budidaya ikan kerapu dan ikan karang lainnya belum diusahakan secara optimal,
sehingga peluang pengembangannya masih terbuka. Pilot proyek budidaya Kerapu
Bebek dan Kerapu Macan sedang dilakukan antara Dinas Perikanan, Bappeda, Balai
Budidaya Laut dan swasta di Tanjung Putus. Namun dalam pengembangannya masih
terdapat kendala teknologi yang cukup besar, sehingga perlu adanya survei potensi-
potensi lokasi budidaya dan juga teknologi budidaya yang tepat untuk pengembangan
pilot proyek ini.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 8
Kecuali tipe vegetasi alami, maka pesisir Lampung memiliki berbagai ragam komoditas
tumbuhan dari jenis tanaman budidaya, antara lain : (1) Perkebunan kelapa (Cocos
nucifera), terutama di wilayah Padang Cermin, (2) Komunitas tanaman dalam areal
kebun talun, dengan jenis utama Lada (Piper nigrum) dan Pisang (Musa sp.), dan (3)
persawahan padi (Oryza sp.).

2.3.1 Iklim
Teluk Lampung, secara umum karena letaknya di bawah 5 Lintang Selatan masih
beriklim tropis dengan tiupan angin yang berasal dari Samudera Indonesia. Tiupan
angin dengan kecepatan rata-rata 5.83 km/jam dapat menjadi dua arah setiap tahunnya
yaitu ; pada bulan Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut.
Pada bulan April sampai dengan Oktober angin bertiup dari arah Timur hingga
Tenggara. Temperatur udara di wilayah Teluk Lampung berkisar antara 26-30 C pada
daerah dengan ketinggian 20-60 m dpl, sedangkan temperatur maksimal dapat mencapai
33 C. kelembaban udara pada wilayah Teluk Lampung Berkisar antara 80%-88%
sedangkan curah hujan antara 1750-2250 mm/tahun.
Wilayah Teluk lampung juga dipengaruhi oleh pergantian pusat tekanan tinggi dan
tekanan rendah di Asia dan Australia yang berlangsung pada bulan J anuari dan J uli.
Akibat pengaruh angin muson wilayah Lampung Selatan tidak mengalami musim
peralihan (pancaroba) diantara musim kemarau dan musim penghujan. Musim hujan
terjadi antara bulan Desember-Maret akan tetapi cenderung berfluktuasi. Puncak curah
hujan tertinggi pada bulan Maret yaitu sebanyak 2559 mm. musim kemarau terjadi
pada bulan April-Nopember dengan puncak hujan terendah terjadi pada bulan
Nopember yang tidak turun hujan sama sekali. Rata-rata curah hujan berkisar antara
1500-3000 (RTRW Kab. Lampung Selatan).

2.3.2 Sungai dan DAS
Wilayah teluk dibatasi oleh morfologi perbukitan, sehingga sungai-sungai yang
bermuara di Teluk Lampung relatif adalah sungai yang pendek dengan daerah aliran
sungai yang sempit. Beberapa sungai yang cukup besar yang bermuara di Teluk
Lampung, diantaranya adalah Way Sulan, Way Galih, Way Belau, Way Ratai, Way
Sabu, Way Pedada, dan Way Punduh. Pada umumnya sungai-sungai tersebut memiliki
lembah yang sempit dan terjal, dengan aliran sungai bersifat musiman, fluktuasi debit

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 9
aliran tergantung musim, pada usim hujan aliran besar dan keruh sedangkan dimusim
kemarau kecil dan jernih.

2.3.3 Geologi
Mengacu pada Peta Geologi Wilayah Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka
dalam Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka tahun 2003,
maka jenis litologi/batuan secara berurutan dari tua ke muda beserta kandungannya
yang bernilai ekonomis, adalah sebagai berikut :
1. Batuan Intrusi (Tm)
Tersusun oleh batuan beku intrusi dari granit dan dasit. Singkapan batuan intrusi ini
dijumpai disekitar bukit Batu Suluh, Pulau Kelagian dan Pulau Puhawang.
2. Komplek Gunung Kasih (Pzg)
Terdiri dari Sekis, Geneis, Kuarsit, dan lensa-lensa marmer. Di wilayah studi
batuan-batuan penyusun Komplek Gunung Kasih ini dijumpai disekitar Panjang dan
Gebang membentuk morfologi perbukitan/bergelombang. Formasi ini mengandung
mineral logam yang bernilai ekonomis yaitu adanya Sulfida Cu-Pb-Zn dan endapan
besi masif (hematit dan magnetit). Adanya lensa-lensa batu pualam/marmer juga
sudah ditambang secara luas oleh masyarakat.
3. Formasi Menanga (Km)
Terdiri dari perselingan antara serpih gampingan, batu lempung dan batu pasir
dengan sisipan rijang dan batugamping. Batuan-batuan ini dijumpai disekitar
Menanga (Padang Cermin).
4. Formasi Hulusimpang (Tmoh)
Terdiri dari breksi gunung api, lava, tuf bersusunan andesitik-basal, terubah, berurat
kuarsa dan bermineral sulfida. Formasi ini dijumpai pada morfologi perbukitan
sekitar Kecamatan Punduh Pidada.
5. Formasi Tarahan (Tpot)
Pelamparan Formasi ini di daerah studi cukup luas, disebelah timur terdapat di
daerah sekitar Way Lunik, Bukit Kunyit, sedang dibagian barat, dijumpai di sekitar
Sukamaju, Keteguhan terus ke Lempasing dan P.Pasaran. jenis batuannya terdiri
dari Tufa padu, Breksi dengan sisipan tufit. Di tempat lain oleh proses hidrothermal
dan breksiasi, formasi batuan ini memungkinkan untuk dijumpainya urat-urat yang

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 10
mengandung emas. Diwilayah studi kelompok batuan ini di tambang untuk material
bahan bangunan, seperti jalan, material urugan, split dan lain-lain.
6. Endapan Gunung Api Muda (Qhv)
Endapan gunung api muda ini tersusun oleh lava (andesit-basalt), breksi dan tufa,
dijumpai di sekitar Kupang, Pahoman, Sumur Batu terus ke arah barat utara. Hasil
lapukan batuan ini biasanya sebagai bahan untuk membuat bata dan genting.
7. Endapan Alluvial (Qa)
Endapan alluvial ini menempati daerah datar sepanjang pantai, terdiri dari kerakal,
kerikil, pasir, lempung dan gambut.
Geologi wilayah Teluk Lampung didominasi oleh struktur sesar /patahan, baik sesar
besar maupun sesar kecil dan secara umum berarah barat daya-tenggara. Sesar-sesar
tersebut merupakan suatu sistem sesar yang hampir sejajar, mempunyai umur yang
berbeda-beda dan kejadiannya berhubungan dengan penunjaman Lempeng India
Australia, yang kebetulan berada di bawah Pulau Sumatera (Katili & Hehuward, 1976).
Kenampakan sistem lembah yang lurus dan depresi-depresi memanjang yang sangat
jelas pada citra SAR, menunjukkan adanya peremajaan yang terjadi selama kuarter
terhadap struktur-struktur yang lebih tua. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
secara geologis daerah studi, berpotensi untuk terusakan melalui jalur-jalur struktur
yang ada oleh adanya gaya-gaya dari dalam bumi, seperti gempa, dan kegiatan gunung
berapi. Dipermukaan bumi kerusakan-kerusakan yang terjadi bisa menjadi bencana bila
berkaitan dengan kehidupan manusia, terlihat seperti tanah longsor,
subsidence/amblesan, kerusakan bangunan, jalan yang terpotong dan lain-lain.
Mengenai intensitas kegempaan, menurut hasil penelitian Harjono (1988), daerah
sekitar Teluk Semangka termasuk Teluk tetangganya yaitu Teluk Lampung selain
Samudera Hindia, termasuk dalam wilayah dengan tingkat seismositas tinggi. Untuk
pengaruh kegmpaan terhadap konstruksi bangunan, wilayah studi termasuk dalam
kategori beresiko sedang dengan nilai 0.1-0.2 g.
Disamping itu, kenyataan pada tahun 1883, Kota Teluk Betung terendam gelombang
tsunami setinggi 30 m akibat letusan Gunung Krakatau, meningkatnya kegiatan
gunung api Anak Krakatau belakangan ini menunjukkan daerah Teluk Lampung perlu
waspada terhadap bahaya gunung berapi dan tsunami.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 11

2.3.4 Hidro Oseanografi Teluk Lampung
2.3.4.1 Batimetri Perairan Teluk Lampung
Pengetahuan mengenai batimetri perairan sangat penting untuk kajian wilayah pesisir
dan pengembangan wilayah. Kedalaman perairan akan sangat berpengaruh terhadap
karakteristik gelombang. Energi gelombang yang terbangkitkan dengan fetch yang
panjangnya dapat mencapai ribuan kilometer akan habis teredam pada daerah dekat
pantai. Perubahan energi ini sangat dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut (bottom
friction). Dasar perairan, terutama pada perairan dangkal, juga dapat memperlambat
perambatan gerakan pasang, sehingga suatu tempat dapat memiliki lunitidal interval
yang besar.
Teluk Lampung merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata 25 m. di
mulut teluk kedalaman rata-rata berkisar pada 35 m dengan kedalaman maksimum 75 m
di sekitar Selat Legundi yang terletak di sebelah barat laut mulut teluk. Menuju arah
utara (Teluk Betung) kedalaman perairan semakin dangkal hingga isobath 5 m pada
jarak yang relatif dekat dengan garis pantai.
Secara umum, terdapat perbedaan kenampakan fisik yang sangat menonjol antara pantai
barat dan pantai timur Teluk Lampung. Pada pantai barat, garis pantai relatif lebih
berkelok-kelok dengan beberapa teluk kecil diantaranya adalah Teluk Ratai, Teluk
Punduh, dan Teluk Pedada. Sepanjang pantai bagian barat lebih banyak dijumpai
gugusan pulau-pulau kecil. Disamping itu pantai bagian barat relatif lebih landai
dibandingkan dengan pantai timur Teluk Lampung.
Di bagian barat dan kepala teluk garis isobath 10 m berada kurang dari 1 km dari garis
pantai, sedangkan dibagian selatan pantai timur Teluk Lampung garis isobath tersebut
berjarak 1 km dari garis pantai. Garis isobath 20 m berada pada jarak sekitar 500 m dari
garis pantai Panjang dan menjauh hingga kira-kira 4 km di pantai Kalianda. Di Teluk
Ratai garis isobath ini berada sekitar 3 km jauhnya dari kepala teluk sedangkan di Teluk
Pedada pada jarak kira-kira 7 km. Di kawasan pantai Panjang kedalaman perairan
antara garis pantai hingga 1-2 km ke arah laut hanya berkisar 1-2 m dan menurun
dengan cepat hingga kedalaman 10 m pada jarak 2 km tersebut.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 12
2.3.4.2 Pasang Surut
Pasang surut didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur,
dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.
Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur,
maka besarnya kisaran pasut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut.
Pengelompokan pasut berdasarkan komponennya dapat dibedakan atas: komponen
pasut harian (diurnal), pasut tengah-harian (semi diurnal), dan perempat harian
(quarternal). Komponen-komponen tersebut (terutama diurnal dan semi diurnal)
menentukan tipe pasut disuatu perairan. J ika perairan mengalami satu kali pasang dan
satu kali surut dalam satu hari, maka tipe pasut dikawasan tersebut adalah pasut tunggal
(diurnal); sedangkan jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut,
maka tipe pasutnya adalah pasut ganda (semi diurnal).
Diantara dua tipe tersebut terdapat tipe pasut peralihan antara tipe tunggal dan ganda
yang dikenal dengan tipe pasut campuran. Secara kuantitatif tipe pasut suatu perairan
dapat ditentukan oleh nisbah (perbandingan) antara amplitudo (tinggi gelombang)
komponen diurnal (K
1
dan O
1
) dengan amplitudo komponen semi diurnal (M
2
dan S
2
),
yang dinyatakan dalam bilangan Formzahl /F.
F = K1 +O1
M2 +S2

Dimana:
F=BilanganFormzahl
K
1
=Amplitudokomponendiurnalyangdisebabkangayatarikbulan
O
1
=Amplitudokomponendiurnalyangdisebabkangayatarikbulandanmatahari
M
2
=Amplitudokomponensemidiurnalyangdisebabkangayatarikbulan
S
2
=Amplitudokomponensemidiurnalyangdisebabkangayatarikmatahari

Tipe pasut dapat ditentukan sebagai berikut :


Tipe pasut ganda (semi diurnal), jika nilai F<0.25
Tipe pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan, F=0.25- 1.50
Tipe pasut campuran dengan tipe tunggal yang dominan, F=1.51- 3.00
Tipe pasut tunggal (diurnal) 3.00

Untuk mengetahui tipe pasut yang terjadi di perairan teluk lampung dapat digunakan
data pasang surut dari dinas Hidro-Oseanografi TNI AL (2003). Pada Tabel 2.1 berikut

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 13
ini disajikan data unsur pasut utama di perairan teluk lampung, sehinga dapat diketahui
tipe pasutnya berdasarkan nilai F.

Tabel2.1AmplitudokomponenpasututamadiperairanTelukLampung(cm)
No Stasiun pengukuran O
1
K
1
M
2
S
2
Nilai F
1 Panjang 9 17 32 14 0.57
2 Bakauheni 7 8 20 11 0.48
3 Tarahan 8 16 36 14 0.48
4 Teluk ratai 9 16 35 14 0.51
5 Pulau meitem 9 15 35 15 0.48
6 Pulau kelagian 11 13 34 13 0.51
Sumber:DishidrosTNIAL(2003)
Dari nilai F antara 0.48-0.57 diketahui bahwa tipe pasut di perairan Teluk Lampung
adalah pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan (mixed tide predominantly
semi diurnal), Artinya terjadi dua kali pasang surut dalam sehari, namun kisaran pasang
surut yang satu jauh lebih kecil dari pada pasang surut yang lain. Tipe pasut di Teluk
Lampung ini tidak berbeda dengan tipe pasut di Selat Sunda, yang keduanya sangat
dipengaruhi oleh kondisi pasut di Samudra Hindia. Dibawah ini grafik pola pasang
surut di Selat Sunda berdasarkan data Dishidros TNI AL dalam Pariwono (1999).








Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 14
Data unsur-unsur pasut di Panjang berdasarkan Dishidros TNI AL (2003) diketahui
bahwa kisaran perubahan tinggi muka laut diperkirakan seperti yang tertera pada Tabel
2.2.

Tabel2.2Kisarantinggimukalautdipanjang,TelukLampung(cm).
No Kisaranmukalaut Spring
tide
Neaptide Rata
rata
1 Tinggi muka laut pada air pasang ratarata
(MHWL)
141.25 110.83 126.04
2 Tinggimukalautpadaairsurutratarata(MLWL) 25.00 50.83 37.92
3 Kisaranpasangsurutratarata 116.25 60.00 88.02
4 Tinggimukalautratarata(MSL) 80
Sumber:DishidrosTNIAL(2003).
Keterangan:Datadiolahkembaliberdasarkanpembagianpasangpurnama/mati(springtide)danpasangperbani
(neaptide)selama12bulan

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kisaran muka laut rata-rata di Teluk Lampung
mencapai sekitar 88.02 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi pada waktu pasut purnama
(116.25 cm). Pasut purnama adalah pasang yang tertinggi dan surut terendah yang
dialami oleh suatu perairan yang terjadi pada waktu bulan purnama ataupun bulan mati.
Pada saat pasang purnama tinggi muka laut di Teluk Lampung dapat mencapai 150 cm
dengan rata- rata 141.25 cm. Pasut perbani terjadi pada saat bulan separuh (bulan tegak
lurus terhadap posisi matahari dan bumi), dimana kisaran pasutnya paling rendah (rata-
rata 60 cm).

2.3.4.3 Arus Laut
Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ketempat lain yang
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan
densitas, atau pasang surut. Arus laut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
lainnya, seperti sifat air laut, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, distribusi pantai
dan gerakan rotasi bumi.
Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada suatu
musim arus mengalir kesuatu arah dengan tetap, dan pada musim berukutnya akan
berubah sesuai dengan perubahan arah angin yang terjadi. Pasang surut dapat
menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di perairan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 15
tersebut. Pada saat pasang arus-arus pasang surut pada umumnya akan mengalir dari
lautan lepas ke arah pantai , sedangkan saat surut akan kembali mengalir kearah semula.
Dengan mengetahui pola sirkulasi arus di suatu perairan maka dengan mudah dapat
ditentukan arah dan sebaran materi yang dibawa oleh badan air yang mengalir bersama
arus tersebut. Informasi ini sangat diperlukan dalam kegiatan pengelolaan wilayah
pesisir.

A. Arus Musim
Arus musim yang terjadi di sekitar mulut Teluk Lampung, sangat dipengaruhi oleh arus
yang terjadi di Selat Sunda.

Tabel2.3KecepatandanaraharusmusimdiSelatSunda
Bulan Kecepatan(cm/s) Arah()
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
31
31
31
36
36
36
36
36
36
31
31
31
34
34
34
214
214
214
214
214
214
34
34
34
Sumber:DishidrosTNIAL(2003)
Keterangan:Datadiolahkembali

Menurut Wyrtki (1961) arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir
dengan tetap kearah baratdaya (225) sepanjang tahun dengan kecepatan antara 0-75
cm/s. Kecepatan arus yang kuat (75 cm/s) terjadi pada bulan J uni dan Agustus,
sedangkan yang paling lemah terjadi pada bulan Desember. Hal ini berbeda dengan
Dishidros TNI AL (2003) yang menyatakan bahwa arus yang disebabkan oleh musim di
Selat Sunda mengalir ke arah yang berlawanan tergantung musimnya. Pada musim

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 16
timur (April hingga September) arus musim mengalir menuju Lautan Hindia (arah 214)
dengan kecepatan 36 cm/s, sedangkan pada musim barat (Oktober hingga Maret) arus
musim mengalir ke arah Laut J awa (arah 34) dengan kecepatan 31 cm/s. Kecepatan
dan arah arus musim setiap bulan disajikan pada Tabel 2.3.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan maksimun arus musim
Selat Sunda terjadi pada musim timur, dan arus tersebut mengalir dari Laut J awa
menuju Samudera Hindia.
Di sekitar perairan Lampung data arus musin diperoleh dari PT. Pelindo II (2002)
berdasarkan pendugaan terhadap kecepatan dan arah angin yang terukur (lihat tabel
2.4).
Tabel 2.4 Kecepatan dan arah angin di Panjang dan perkiraan kuat arus yang
ditimbulkannya

Angin Arus Bulan


Kec.(cm/s) Arahdari Kec.(cm/s) Arahke
DesemberFebruari 25.741.2 BBLU 3.04.8 TTGS
MaretMei 25.730.9 BL 3.03.6 TG
JuniAgustus 257309 TG 30.036.0 BL
September
November
25.741.2 TGT 3.04.8 BLB
Sumber:PT.PelindoII
Keterangan:B=barat,BL=baratlaut,U=utara,TG=Tenggara,Ttimur,S=selatan

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui pada bulan J uniAgustus terjadi arus permukaan
yang paling kuat, yaitu 3036 cm/s dengan arah barat laut. Pada bulan-bulan lainnya
arus permukaan yang ditimbulkan oleh angin hanya mencapai sekira 5 cm/s
(maksimum).
Pada tahun 1999 telah dilakukan survei arus di perairan Teluk Lampung oleh Puslitbang
Oseanologi LIPI. Pengukuran arus dilakukan pada bulan J uli, September, November.
Berdasarkan hasil survei tersebut diketahui bahwa kecepatan dan arah arus di perairan
Teluk Lampung cukup bervariasi. Pada bulan J uli kecepatan arus antara 0.5 21.7 cm/s
dengan arah dominan ke tenggara. Bulan November kecepatan arus antara 4.1 43.8
cm/s dengan arah dominan menuju barat daya. Arus pada bulan September tidak

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 17
diketahui kecepatannya namun arahnya menunjukkan perbedaan antara permukaan dan
lapisan di bawahnya. Arus permukaannya menuju ke barat laut dan arus bagian tengah
dan dasar menuju ke barat daya.
Secara keseluruhan, kesepatan arus di Teluk Lampung bervariasi antara 0.5 43.8 cm/s.
Dalam arah vertikal, makin ke dalam, kecepatan arus makin berkurang atau makin
lambat. Hal ini membuktikan bahwa faktor gesekan dasar (bottom friction) ikut
berperan meredam pergerakan arus di perairan Teluk Lampung yang memang relatif
dangkal. Dibandingkan arus di perairan terbuka, yang seringkali mempunyai kecepatan
lebih besar dari 50 cm/c, maka arus perairan Teluk Lampung ini tergolong lemah.
Namun demikian, nilai kecepatan arus demikian masih dalam kondisi normal untuk
kecepatan arus di perairan teluk.

B. Arus Pasang Surut
Arus yang disebabkan oleh pasang surut terjadi setiap saat, karena kejadian pasang surut
berlangsung terus menerus. Data arus pasang surut yang terjadi di Teluk Lampung
tidak banyak diketahui, namun demikian dapat dilakukan pendugaan dari data arus
pasang surut yang terjadi di sekitar Selat Sunda.
Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda diperoleh dari Dishidros TNI AL
(2003). Pada waktu air pasang arus mengalir ke arah Timur Laut (arah 34) menuju
Laut J awa dengan kecepatan rata-rata 117.9 cm/s; sedangkan pada waktu air surut arus
mengakir kembali ke arah baratdaya (arah 214) menuju Samudera Hindia dengan
kecepatan rat-rata 101.6 cm/s. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda dapat
dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel2.5KecepatanaruspasangsurutmaksimumdiSelatSunda(cm/s).
Bulan Pasang(arah34) Surut(arah214)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 18
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
128.6
113.2
97.7
108.0
123.5
133.8
133.8
108.0
92.6
113.2
128.6
133.8
118.3
108.0
87.5
82.3
9737
113.2
118.3
102.9
87.5
87.5
102.9
113.2
Ratarata 117.9 101.6
Sumber:DishidrosTNIAL(2003)
Keterangan:Datadiolahkembali

Kecepatan arah arus pasang surut di perairan semi tertutup seperti di Teluk Lampung
pada umumnya lebih lemah dibandingkan dengan arus pasut yang terjadi di Selat
Sunda. Sebagai perbandingan, hasil survei Hidro Oseanografi yang dilakukan
Dishidros TNI AL tahun 1987 di perairan Teluk Ratai dan sekitarnya diperoleh bahwa
kekuatan arus pasut pada umumnya lemah, yaitu kurang dari 25 cm/s. kecepatan arus
lebih dari 25 cm/s dapat tejadi disekitar selat antara Pulau Kelagian dan Pulau Maitem.

2.3.4.4 Gelombang
Pada umumnya gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data
angin yang terdapat dikawasan tersebut. Hal ini berdasarkan teori bahwa sebagian besar
gelombang yang terjadi di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan hembusan angin.
Gelombang ini disebut sebagai gelombang angin yang merupakan fungsi dari tiga
faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin berhembus (duration), dan jarak dari
tiupan angin pada perairan terbuka (fetch).
Kondisi gelombang di perairan Panjang dan sekitarnya yang mencerminkan keadaan
gelombang di daerah kepala Teluk Lampung diperoleh dari PT.Pelindo II. Dari
informasi tersebut diketahui bahwa gelombang besar di sekitar perairan Panjang terjadi
pada bulan J uni November. Tinggi gelombang tersebut berkisar antara 50 100 cm
dengan kisaran seperti yang tertera pada tabel 2.6.
Tabel2.6TinggigelombangdisekitarPerairanPanjang
No Bulan TinggiGelombang(cm) Arahrambatan/menujuke)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 19
1 DesemberFebruari 5075 TTGS
2 MaretMei 5070 TG
3 JuniAgustus 50100 BL
4 SeptemberNovember 50100 BLB
Sumber:PT.PelindoII(2002)
Keterangan: ) Diasumsikan gelombang yang terjadi adalah gelombang angin, maka arah rambatannya dapat
diperkirakandariarahangin

Tinggi gelombang di pantai bagian barat Teluk Lampung tidak menunjukkan hal yang
berbeda dengan data gelombang di perairan Panjang (pantai bagian timur Teluk
Lampung). Berdasarkan pengamatan Dishidros TNI AL pada J uni 1987 1988 di
sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian diperoleh kisaran tinggi
gelombang maksimum 40 -90 cm (tabel 2.7).
Tabel2.7KondisigelombangdisekitarperairanantaraPulauMaitemdanPualuKelagian
ArahGelombang Bulan
Dominan Kisaran
Tinggimaks
(cm)
Tinggiratrata
(cm)
Periode
(detik)
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
T
TG
TG
BD
BD
STG
TG
TG
STG
STG
SBD
BL
BDLTT
TTGS
TGSBD
BDUTL
BDBBL
TTGS
TTGS
TTGS
TTGS
TGSBD
SBDB
BBLU
50
40
52
60
56
90
70
70
90
80
80
50
1525
2030
1535
2540
2535
4065
2060
2050
3050
4060
4065
1525
89
67
89
89
1011
47
67
67
57
1011
1011
67
Sumber:DishidrosTNIAL(1989)
Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T=timur, S=selatan, STG=selatan tenggara,
SBD=selatanbaratdaya
Menurut Dishidros TNI AL (1988) gelombang di Teluk Ratai merupakan gelombang
campuran antara gelombang yang disebabkan oleh angin dan alun yang datang dari
Selat Sunda. Gelombang yang merambat masuk Teluk Ratai datang terutama dari arah

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 20
tenggara. Tinggi gelombang rata-rata berkisar antara 15-40 cm dengan periode antara
4-11 detik.
2.3.4.5 Suhu dan Salinitas
Berdasarkan penelitian Puslitbang Oseano;ogi LIPI pada bulan J uli-November 1999.
diketahui bahwa variasi suhu di perairan Teluk Lampung berkisar antara 29.075-
29.43C dan tercatat rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus. Pola suhu
menggambarkan adanya pengaruh malam menurun sebesar 0.333C serta pengaruh
siang dan daratan dengan peningkatan suhu sebesar 0.487C.
Distribusi horizontal suhu di bagian permukaan perairan, baik pada musim timur (J uli-
Agustus) maupun musim peralihan II (September-November), menunjukkan bahwa
suhu pantai utara dan timur relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelah selatan
teluk. Hal ini disebabkan oleh dominannya kegiatan penduduk (pemukiman) dan
aktivitas pelabuhan.
Variasi salinitas berkisar antara 32.105-32.373 psu dan tercatat rata-rata tertinggi terjadi
pada bulan Agustus. Pola salinitas menunjukkan adanya pengaruh daratan berupa nilai
salinitas yang acak dan pengaruh masuknya massa air laut bersalinitas lebih tinggi dari
lepas pantai Teluk Lampung. Distribusi horizontal salinitas di bagian permukaan, baik
pada musim timur maupun musim peralihan, menunjukkan bahwa salinitas perairan
pantai utara dan timur laut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelah selatan
dan barat teluk. Penurunan salinitas tersebut disebabkan oleh adanya beberapa sungai
di sebelah utara dan timur yang bermuara ke laut.


2.3.4.6 Pencemaran Laut
Kualitas perairan di Teluk Lampung relatif masih dalam keadaan belum tercemar,
namun daerah disekirar kepala teluk (Teluk Betung dan Panjang) menunjukkan kondisi
perairan yang tercemar ringan. Di daerah sekitar mulut teluk (perairan Pulau Sebuku
dan Selat Legundi) kualitas perairan masih dalam kondisi yang baik. Beberapa industri
yang terdapat disepanjang pantai Teluk Betung hingga Tarahan berpotensi
menimbulkan pencemaran. Industri yang dimaksud antara lain: semen, batubara, kayu,
minyak, molase, kegiatan reklamasi patai serta kegiatan bongkar muat kapal di
Pelabuhan Panjang.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 21
Berdasarkan hasil penelitian CRMP (1999) diketahui bahwa parameter suhu, salinitas,
pH, kecerahan, kekeruhan, kandungan minyak, Cu dan coliform di Teluk Lampung
masih tergolong memenuhi syarat standar baku mutu untuk pariwisata dan rekreasi
ataupun budidaya perikanan dan biota laut. Sebaliknya COD dan kandungan Cd sudah
berada di luar batas yang diperbolehkan untuk kegiatan yang sama; sedangkan BOD,
DO, Cr, Pb dan padatan tersuspensi masih memenuhi syarat untuk tujuan rekreasi
maupun budidaya di beberapa tempat, tetapi sudah berada di luar batas yang
diperbolehkan (lihat Tabel 2.8). Oleh karena itu dibuat suatu formula yang dapat
mencerminkan kualitas perairan berdasarkan kandungan beberapa parameter kunci.
Parameter kunci tersebut adalah pestisida, logam berat, minyak, coliform, TSS, dan
bahan organik (BOD dan COD). Dengan melakukan pembobotan dan skoring serta
pejumlahan nilai, akan didapatkan nilai akhir yang mengklasifikasi kualitas perairan.
Berdasarkan formula tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraran Teluk Lampung bagian
dalam diklasifikasi memiliki kualitas perairan yang cukup baik, dengan taraf tercemar
ringan. Di beberapa lokasi, seperti beberapa industri, TPI, dan pemukiman telah terjadi
pencemaran.
Tabel2.8NilaiparameterkualitasairdiTelukLampung
No Parameterkualitasair Satuan Kisaran Bakumutu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Suhu
Salinitas
pH
PembacaanSeichidisk
Kekeruhan
Oksigenterlarut
BOD5
COD
Minyak
Coliform
TSS
Logamberat:
Hg
Cr
Pb
Cu
Cd
C
psu
-
m
NTU
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
sel/100ml
mg/l

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
28.031.5
22.833.5
7.968.22
1.137.55
1.613.37
3.26.2
1040
398123

0700
1034

<0.0010.104
0.0090.054
0.0190.069
0.0130.031
0.0210.044
Alami
Alami(10%)
6.58.5
>3
<3
>4
<40
<40

<1000
<23

0.003
<0.01
<0.01
<0.06
<0.01
Sumber:AtlasLampung(1999).

2.3.5 Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa J epang yaitu tsu=pelabuhan dan nami =gelombang. J adi
tsunami berarti pasang laut terbesar di pelabuhan. Secara singkat tsunami dapat

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 22
dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh
suatu gangguan implusif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa bumi, erupsi
vulkanik atau longsoran (land-slide).
Gangguan impulsive pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber:
1. Gempa dasar laut
2. Letusan gunung api didasat laut
3. Longsoran yang terjadi di dasar laut
Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan tsunami yaitu, kelompok
Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau J awa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau
Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai Utara Irian J aya dan hampir seluruh
pantai di Sulawesi. Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan
bencana ini. Propinsi Lampung mempunyai potensi tsunami berasal dari gempa dasar
laut dan Letusan Gunung Krakatau.
Pesisir Barat Lampung mempunyai resiko tinggi gempa bumi karena dipengaruhi oleh
patahan semangka yang memanjang dari Teluk Semangka sampai utara Pulau Sumatera.
Sumber gempa di laut selama ini sering berasal dari patahan semangka.
Sumber ancaman tsunami lainnya adalah berasal dari kemungkinan letusan Krakatau.
Kawasan Kepulauan Gunung Krakatau merupakan kepulauan yang terdiri dari Pulau
Sertung, Pulau Anak Krakatau, Pulau Krakatau Kecil dan Pulau Krakatau, terletak di
Selat Sunda. Secara administrasi kawasan ini dari wilayah Kecamatan Kalianda,
Kabupaten Lampung Selatan.
Menurut Nontji (1993) bahwa korban jiwa tsunami yang ditimbulkan oleh letusan
Gunung Krakatau di Selat Sunda, 27 Agustus 1883, yang merenggut lebih 36.000 jiwa.
Letusan ini merupakan letusan gunung api yang terbesar yang pernah tercatat dalam
sejarah, bunyinya terdengar sampai ke Pulau Rodriguez 1.600 km sebelah timur
Madagaskar, atau 4.563 km dari Krakatau. Dua pertiga bagian pulau seluas 5 x 8 km
2

yang diterbangkan pada puncak letusan. Tsunami yang ditimbulkan luar biasanya
besarnya dan malapetaka yang diakibatkan tak terkira hebatnya terutama di pantai
Sumatra dan J awa yang berbatasan dengan Selat Sunda. Di Kota Teluk Betung tsunami
menerjang dengan gelombang setinggi 20 m dan di Merak sampai setinggi hampir 40
meter. Sebuah bongkahan karang batu seberat 600 ton tercabut dari dalam laut untuk

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 23
kemudian dihempaskan ke darat. Peristiwa yang sangat dramatis menimpa sebuah
kapal uapBerouw. Kapal yang sedang berlabuh di depan Teluk Betung itu dilempar
3,3 km dari tempat semula dan tersungkur di lembah Sungai Kuripan pada ketinggian 9
m di atas permukaan laut. Boi (pelampung) tempat Berouw tetambat, terdampar di darat
pada ketinggian 20 m dan kini dijadikan monumen Krakatau. Gelombang tsunami
Krakatau merambat ke seluruh dunia. Di Samudera Hindia gelombangnya merambat
dengan kecepatan sekitar 600 km/jam. Gelombang dapat terekam sampai ke English
Channel dan Panama yang masing-masing berjarak 19.872 km dan 20.646 km dari
Krakatau.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 24

Gambar 2.5: Gempa dan Tsunami di Teluk Lampung dan Pantai Selatan J awa
2.3.6 Kondisi Biologi Teluk Lampung
Teluk Lampung memiliki luas wilayah pesisir dengan luas 48.631 ha atau sebesar
11.7% dari luas wilayah pesisir yang dimiliki Propinsi Lampung. Letak teluk ini
menghadap Selat Sunda dan sebagian Samudera Hindia. Bagian teluk sebelah timur
relatif lurus sedangkan pantai barat berlekuk-lekuk membentuk teluk yang cukup dalam
dengan pulau-pulau kecil berada di mulut teluk. Adanya teluk dengan pulau yang
berada di Teluk Lampung juga letaknya antara Selat Sunda serta merupakan perbatasan
antara Laut Hindi dan Laut Pasifik Barat memberikan komposisi flora dan fauna dan
keanekaragaman yang tinggi.
2.3.6.1 Mangrove
Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Lampung terdapat pada kawasan
pulau-pulau kecil dan disepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman
dan pertambakan. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi
(2000) dan CRMP (1989) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir Teluk

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 25
Lampung tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan
keragaman yang tinggi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) menyebutkan bahwa terdapat
27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan
sepanjang pantainya.
Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora
spp. dengan ketebalan 100 m. Pada kawasan pantai yang merupakan daerah
pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal
memiliki ketebalan <50 m, karena sudah dikonversikan sehingga diperlukan penanaman
kembali.
Hasil penelitian CRMP (1998) juga mengungkapkan bahwa pada kawasan mangrove
yang terdapat di Teluk Lampung khususnya sepanjang pantai memiliki luas sekitar 700
ha. Hasil ini berbeda dengan penelitian Zieren (1998) pada tahun 1970-an potensi
mangrove kawasan ini sangat besar sekitar 1000 ha. Penurunan kawasan magrove dapat
diindikasikan turunnya luas kawasan mangrove disebabkan konversi kawasan mangrove
menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertambakan. Pemanfaatan mangrove pada
tahun 1970-an hanya digunakan untuk penyangga dan pagar rumah serta kayu bakar
secukupnya, pada tahun 1990-an berubah menjadi eksploitasi besar-besaran menjadi
lahan tambak dan tempat wisata sedangkan mangrove yang ditebang digunakan sebagai
kayu bakar, dibiarkan membusuk dan sebagai pagar pembatas tanah pertambakan.

2.3.6.2 Terumbu Karang
Kerusakan terumbu karang pada wilayah Teluk Lampung saat ini belum banyak dikaji
secara mendalam, tetapi akibat pengambilan terumbu karang unutk bangunan,
perusakan karang akibat jangkar kapal, pengeboman ikan karang, akibat budidaya
kerapu pada daerah pantai dan pencarian cacing laut (Nereis sp) pada daerah pasang
surut disinyalir menambah kerusakan terumbu karang.

2.3.6.3 Padang Lamun
Padang lamun yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau tangkil, Pulau Puhawang, Pulau Tegal

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 26
dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan
lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya.
2.3.6.4 Algae
Algae yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi
menunjukkan jumlah dan jenis spesies yang bervariasi karena letak, tipe, dan substrat
perairannya. Secara umum algae yang terdapat di Teluk Lampung mengalami
penurunan jenin karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup
algae juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk dan pencemaran perairan yang
mengotori paparan terumbu.
2.3.6.5 Echinodermata
Echinodermata yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau
Legundi menunjukkan jumlah dan spesien yang sangat jarang dan hanya dari beberapa
jenis. Secara umum echinodermata yang terdapat di Teluk Lampung mengalami
penurunan jenis karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup
echidodermata juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk seperti pencarian tripang
(suala) dengan cara menyelam tanpa memilih ukuran serta karena pencemaran perairan
yang mengotori paparan terumbu.
2.3.6.6 Crustacea
J enis crustacea (udang-udangan) yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat
Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang
dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis yang jarang dan hanya beberapa
jenis. J enis yang paling banyak ditemui pada keempat pulau tersebut adalah Pilodius
areolatus dan Actaeodes consobrinus yang merupakan jenis crustacea kecil yang hidup
di bawah batu karang hidup atau karang mati. Pilodius areolatus dan Actaeodes
consobrinus termasuk dalam famili Xanthidae yang banyak ditemukan di daerah koral
atau pecahan batu karang yang dangkal, daerah pasang surut baik daerah tropis dan sub
tropis. Kedua jenis ini merupakan makanan bagi larva ikan.
2.3.6.7 Molusca

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 27
J enis mollusca yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau
Legundi bejumlah 66 jenis yang mewakili 30 famili. Mollusca yang terkumpul terdiri
dari 2 klas yaitu Gastropoda dari 18 famili dan Bivalva dari 12 famili yang
menunjukkan keragaman jenis spesies yang cukup banyak dan menandakan tidak
adanya kompetisi pada habitat tertentu. J enis mollusca klas Gastropoda yaitu Morula
margaliticola, Collumbela scripta, Cerithium zonatum dan Engina zonalis sedangkan
klas Bivalva adalah Atactodea striata dan Modiolus micropetrus.
2.3.6.8 Ikan
J enis ikan yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan
Pengembangan oseanografi (2000) dibagi menjadi ikan karang dan ikan dasar yang
ditangkap menggunakan trawl. Hasil penelitian pada ikan karang tersebut menunjukkan
bahwa dari hasil penelitian di lima lokasi pengamatan didapatkan 7072 individu dari 31
suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori
major fish yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9
suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis
kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1556
individu. Berdasarkan kategori ikan, kelimpahan ikan major tertinggi didapatkan di
Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di
Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu
ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur dan jumlah jenis ikan major tertinggi
dijumpai di Pulau Legundi sisi timur sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah
jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat. Kelimpahan relatif untuk
setiap jenis ikan selama pengamatan di Teluk Lampung dapat dilihat dari
keanekaragaman jenis berkisar antara 0.7711-1.77700. Keanekaragaman terendah
didapatkan di Pulau Puhawang sebelah barat dan tertinggi di Pulau Legundi sebelah
timur.
Ikan dasar yang ditangkap dengan jaring trawl menurut hasil penelitian Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanografi (2000) tidak semuanya tergolong ikan demersal (ikan
dasar). Beberapa suku seperti Dlupeidae, Engraulidae, Scrombidae, Sphyraenidae
tertangkap juga dengan alat ini dan keempat suku ini digolongkan pada ikan pelagis.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 28
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) menunjukkan
bahwa ikan karang dan ikan dasar yang terdapat pada lima pulau di Teluk Lampung
menunjukkan pada kondisi yang secara kurang baik. Kondisi ini disebabkan
banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai
habitat ikan tersebut. J enis ikan karang dan ikan dasar ekonomis penting masih dapat
ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan
mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang

2.3.7 Sosial Kependudukan
Propinsi Lampung merupakan suatu daerah yang sangat strategis baik secara geografis
maupun dari segi pengembangan wilayahnya. Prasarana perhubungan yang cepat,
murah dan aman serta lahan pertanian yang luas dan subur, merupakan daya tarik utama
mengalirnya arus migrasi dan transmigrasi ke wilayah ini. Penduduk asli Lampung
diperkirakan hanya sekitar 16 % atau sekitar 1.250.000 jiwa, sedangkan sisanya
merupakan suku-suku pendatang yang terdiri dari suku J awa (30%), Banten/Sunda
(20%), Semendo (12%), Minang (10%) dan etnis lainnya. Ragam dan heterogenitas
penduduk yang tinggi tersebut, dimana semua suku bangsa/etnis yang ada di Lampung
hampir berimbang jumlahnya, menjadi salah satu faktor penyebab tidak adanya bahasa
daerah yang dominan di Propinsi Lampung dan sebagian besar berkomunikasi dengan
menggunakan Bahasa Indonesia.
Penduduk asli Lampung mempunyai kehidupan seni budaya dan adat istiadat tersendiri
yang diturunkan dari nenek moyang mereka dan masih dijalankan sampai sekarang,
sejauh tidak bertentangan dengan syariah agama yang dianutnya. Penduduk asli
Lampung dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Peminggir dan Pepadun
(Sebatin). Lampung Peminggir adalah suku Lampung Asli yang berdiam di sepanjang
wilayah pesisir (Kalianda, Krui, Maringgai dan lain-lain), sedangkan Lampung Pepadun
adalah suku-suku yang tinggal di pedalaman (Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku,
Menggala, Mego Pak Tulang Bawang dan lain-lain)
Adat budaya Lampung yang cenderung lebih dekat ke daratan menyebabkan
pemanfaataan wilayah pesisir oleh masyarakat Lampung Asli pesisir kurang mendapat
perhatian. Masyarakat asli cenderung lebih memilih untuk mengolah lahan pertanian
dan perladangan daripada menangkap ikan di laut. Karakteristik masyarakat seperti

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 29
inilah yang membuat wilayah pesisir lebih didominasi oleh masyarakat pendatang yang
tinggal dan menetap untuk berbagai alasan.
Penduduk Pendatang, masuk ke Propinsi Lampung ini umumnya dengan berbagai
alasan antara lain karena kebijakan pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan
dengan transmigrasi (J awa, Bali), atau didorong oleh jiwa merantau mereka yang kuat
sehingga datang ke Lampung (asal Sulawesi), dan yang pindah karena dipaksa oleh
situasi politik di tempat asal. Sedangkan untuk pendatang-pendatang baru datang ke
Lampung banyak yang disebabkan oleh proyek-proyek swasta di bidang pengolahan
lahan produksi. Kedatangan penduduk pendatang ini mengubah keseimbangan suku-
suku yang tinggal di Lampung.

2.3.7.1 Kota Bandar Lampung
A. Kependudukan
J umlah penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2000 adalah 742.749 jiwa, terdiri
dari 374.184 jiwa penduduk laki-laki dan 368.565 jiwa penduduk perempuan, (Kota
bandar Lampung dalam Angka, 2001), dengan kepadatan 3.868,48 jiwa/km
2
.
Kondisi kependudukan di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung,
menunjukkan kelurahan dengan jumlah penduduk paling padat adalah Kelurahan
Kangkung (35.513 jiwa/km
2
), Kecamatan Teluk Betung Selatan diikuti oleh Kelurahan
Kota Karang (30.923 jiwa/km
2
), Kecamatan Teluk Betung Barat, sedang kelurahan
yang paling rendah kepadatannya adalah Kelurahan Sukamaju (634 jiwa/km
2
),
Kecamatan Teluk Betung Barat.

Tabel2.9KondisiKependudukanKecamatanPesisirdiKotaBandarLampung
No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Teluk Betung Barat 20,99 62.643 2.984,42
2 Teluk Betung Selatan 10,07 92.506 9.186,30
3 Panjang 21,16 61.943 2.927,36
Sumber:KotaBandarLampungdalamAngka,2006danBPS

2.3.7.2 Kabupaten Lampung Selatan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 30
A. Kependudukan
J umlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2001 adalah 1.142.435 jiwa
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan 557.423 jiwa
(Lampung Selatan dalam Angka, tahun 2001) pertumbuhan penduduk sejak tahun 1997
sampai tahun 2001 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641 jiwa dengan rata-rata
pertumbuhan per tahun 0.99%. Proyeksi penduduk Kabupaten Lampung Selatan
berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan
sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6 jiwa/km
2
.
Kecamatan Natar adalah kecamatan dengan penduduk yang paling padat dengan
kepadatan 750,54 jiwa/km
2
. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada merupakan
kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling rendah yaitu 107,70 jiwa/km
2
.





Tabel2.10KondisiKependudukandiKecamatanPesisirKabupatenLampungSelatan.
No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Penengahan 190,11 54.293 285,59
2 Kalianda 161,40 74.737 463,05
3 Sidomulyo 160,98 71.911 446,71
4 Ketibung 222,31 78.378 352,56
5 Padang Cermin 317,63 78.463 247.03
6 Rajabasa 100.39 22.420 223.33
7 Punduh Pidada 224,19 24.404 108,85
Sumber:Kab.LampungSelatandalamAngka,2006
Kondisi kependudukan di desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Selatan menunjukkan
desa dengan jumlah penduduk paling padat adalah Desa Way Urang di Kecamatan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 31
Kalianda (919 jiwa/km2) diikuti oleh Desa Bumi Agung di Kecamatan Kalianda (719
jiwa/km2) dan Desa Kunyayan di Kecamatan Punduh Pidada (23.32 jiwa/km2)adalah
desa dengan kepadatan penduduk paling rendah. Rata-rata kepadatan penduduk desa-
desa pesisir adalah 208 jiwa/km2.

B. Pendidikan
Ketersediaan sarana pendidikan akan menjadi gambaran dari kecukupan masyarakat
pada usia sekolah untuk mendapatkan kemudahan dalam mengenyam bangku sekolah di
tempat yang terdekat. Ketersediaan sekolah di kecamatan-kecamatan pesisir
Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2000 terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel2.11JumlahSekolahdiKecamatanPesisirKabupatenLampungSelatan
Sekolah Negeri Sekolah Swasta No Kecamatan
Pesisir TK SD SLTP SMU TK SD SLTP SMU
1 Penengahan - 40 2 1 4 1 3 1 -
2 Rajabasa - 17 1 - 1 - 1 - -
3 Kalianda 1 40 3 4 9 - 5 5 2
4 Padang
Cermin
- 19 2 1 1 1 3 - -
5 Punduh
Pidada
- 19 2 1 1 1 3 - -
Sumber:LampungSelatandalamAngka,2006


Tabel2.12JumlahMuridperTingkatSekolahdiKecamatanPesisir,Kab.Lamsel
Tingkat Sekolah No. Kecamatan
Pesisir SD SLTP SMU
Jumlah Siswa
1. Penengahan 8.097 1.934 384 10.415
2. Rajabasa 2.989 467 - 3.456
3. Kalianda 9.150 2.485 2.311 13.946
4. Padang Cermin 11.474 2.229 816 14.519
5. Punduh Pidada 3.840 835 393 5.068
Sumber:LampungSelatandalamAngkatahun2006.

C. Kesehatan
Untuk menggambarkan tingkat penanganan kesehatan masyarakat, dapat dilihat pada
banyaknya fasilitas yang terdapat di masing-masing kecamatan pesisir.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung


BabII 32
Tabel2.13JumlahFasilitasKesehatandiKecamatanPesisirKab.LampungSelatan
No.
Kecamatan
Pesisir
Rumah
Sakit
Rumah
Bersalin
Puskesmas
Induk
Puskesmas
Pembantu
Apotik
1 Penengahan - 1 1 3 -
2 Rajabasa - - 1 4 -
3 Kalianda 1 1 2 8 3
4 Padang
Cermin
- - 3 5 -
5 Punduh
Pidada
- - 1 3 -
Sumber:LampungSelatandalamAngkatahun2006.

D. Rumah Tangga Perikanan
J umlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang berdomisili di Kabupaten Lampung
Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP. J umlah ini terdiri dari RTP perikanan
tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP budidaya air payau/tambak
(3.427 RTP), RTP pembenuran (162 RTP), RTP budidaya di perairan umum (74 RTP),
RTP penangkapan di perairan umum (2.034 RTP), RTP budidaya air tawar/kolam
(2.002 RTP), RTP Mina Padi (108 RTP), RTP pembenihan di air tawar (121 RTP), RTP
pengolahan (527 RTP), dan RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun
1998, jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan
pada tiap usaha perikanan yang dilakukan.
J umlah tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan perikanan tangkap tahun 1999
sebanyak 6.605 tenaga kerja yang merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 1


Bab 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

3.1 Metode Pendekatan Studi

Langkah awal yang dilakukan dalam Kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk
Lampung adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer
diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan yang meliputi data oseanografi,
data titik koordinat, data persentase terumbu karang, dan data sosial budaya. Pengambilan
data sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) menggunakan metode Rapid Rural Appraisal
(RRA). Selain itu juga akan dilakukan kegiatan sosialisasi. Sedangkan data sekunder
didapatkan dengan wawancara dengan stakeholder yang terkait serta mengkaji dokumen-
dokumen pendukung atau laporan dari dinas / instansi terkait.
Seperti dikemukakan sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan
sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung terutama berkenaan dengan bentuk tumbuh
(life form), persentase hidup dan luasan penyebarannya serta untuk mengkaji sumberdaya
terumbu karang karang sebagai arahan dalam penetapan kawasan konservasi dan daerah
perlindungan laut (DPL). Untuk mewujudkan hal tersebut diatas perlu pengkajian dengan
melihat bebarapa aspek teknis pendukung.
Adapun aspek-aspek teknis dalam pemetaan terumbu karang yang diperlukan antara lain :
1. Identifikasi potensi terumbu karang yang terdapat dilokasi
2. Faktor-faktor oseanografis meliputi pasang surut air laut, suhu, dan salinitas
3. Analisa kondisi terumbu karang:
Manta tow
Line Intersept Transect

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 2


4. Identifikasi penyebaran terumbu karang
5. Penghitungan luas area terumbu karang
6. Identifikasi sosial ekonomi dan budaya
Pengamatan terumbu karang dalam kegitan ini digunakan metode Manta Tow dan Line
Intercept Transect (LIT), yang dianggap cukup dapat mengakomodir kebutuhan data
primer pada pekerjaan ini. Meskipun banyak metode survei yang ada saat ini, namun
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu
karang dengan metode-metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994), antara lain :
1. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang
berbeda.
2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga
beberapa meter.
3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu.
4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun,
dan sebagainya.
5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang
hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis
yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda.









PersiapanpenyelamandiKepulauan
Tiga,LampungSelatan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 3


Diagram alir tahapan kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung dapat dilihat
pada Gambar 3.1. sebagai berikut:



















Pemetaan Terumbu Karang di
Teluk Lampung
Observasi Studi Literatur

Identifikasi Awal
Perancangan Mekanisme
Kajian
Identifikasi Variabel-variabel
Kajian
Sosialisasi Pengambilan Data Primer

1. Jenis Terumbu Karang
2. J enis BiotaLaut
3. PersentaseHidup
4. Kondisi Terumbu Karang
5. Kualitas Perairan
6. Kondisi Oseanografi
7. Titik Koordinat Pengamatan
8. Luas Area Terumbu Karang
9. Indepth Interview
10. LIT dan PRA
11. Arahan Strategi Pengelolaan



Pengambilan
Data Sekunder
1. Hasil Penelitian/Dokumen/Laporan
Terumbu Karang
2. Ganbaran Umum wilayah : Kondisi
Topografi, Kondisi tanah, Geologi,
Hidrologi, Lereng, Vegetasi alam,
Oseonografi dan biofisik, sosial dan
budaya, Kependudukan, Etnis, Sarana
Pendidikan, Sarana Kesehatan, Mata
Pencaharian, Tingkat keejahteraan
masyarakat, Kondisi Perekonomian,
Kegiatan Ekonomi.
3. Citra Satelit.
4. Peta-peta Termatik (tutupan terumbu
karang, Peta administrasi, Peta satuan
lahan, Peta geologi, Peta arus di
perairan lampung, Peta kepadatan
penduduk)
Pengolahan dan
Analisa Hasi

Pengumpulan data
Dokumentasi Dokumentasi
1. BukuLaporanakhir(FinalRepport)
2. DraflaporanAkhir
3. DataLaporanAkhir(dalambentuk
CD)

Presentasi Asistensi
Disetujui/Revisi Tidak

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 4


3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data sekunder berasal dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang. Data ini merupakan
informasi awal yang akan digunakan untuk melihat kondisi wilayah pesisir Teluk
Lampung seperti : kondisi topografi, kondisi tanah, iklim, geologi, hidrologi, vegetasi
alam, sarana dan prasarana penunjang, kependudukan, sosial ekonomi budaya, oseanografi,
perikanan tangkap dan kebijakan secara umum daerah. Selain itu, data sekunder akan
digunakan sebagai bahan verifikasi pada saat survei untuk mengumpulkan data primer
serta bahan analisa pemetaan terumbu karang.








Gambar3.2
Ilustrasidisamping
menunjukkantekananyang
diberikanterhadap
ekosistemterumbukarang.
Dalamkegiataninijugaakan
digalidatasehubungan
denganaktifitasmanusia
yangberdampakterhadap
terumbukarang.

Data sekunder yang diperlukan dalam kegiatan ini antara lain : data citra satelit, data peta
tutupan terumbu karang, peta administrasi Propinsi Lampung, peta satuan lahan, peta
geologi, peta arus di perairan lampung, peta kepadatan penduduk, peta sebaran suku, data
sosial ekonomi dan budaya, data sarana dan prasarana penunjang. Pengumpulan data
sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 5


pemerintah dan swasta, seperti Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS, Bappeda
Lampung, Bakosurtanal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) dan lain-lain.
Selain tersebut diatas metode interview/wawancara juga dilakukan. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa responden yang langsung terlibat dalam
usaha perikanan karang dan pengelolaan terumbu karang serta wawancara dengan
stakeholder wilayah setempat.
Untuk mencapai sasaran dari kajian yang dilakukan, data yang diperlukan baik primer
maupun sekunder adalah seperti yang akan diuraikan dalam sub bab selanjutnya.

3.2.1 Metode Manta Tow
Secara umum, metoda Manta Tow ini digunakan oleh para ahli sekitar tahun 1976 sampai
1990 untuk menghitung jumlah bintang laut berduri (Acanthaster planci) yang berada di
atas terumbu karang.


Gambar
3.3
Teknik survey terumbu
karang dengan metode
Manta Tow, dilakukan
dengan menarik seorang
pengamat yang di lengkapi
dengan papan pencatat
data dan alat snorkling
lengkap.

Metoda Manta Tow ini digunakan juga di berbagai tempat di dunia seperti di Micronesia,
Laut Merah dan di Australia (Great Barrier Reef). Penelitian dengan menggunakan
metoda Manta Tow sangat mudah pada daerah terumbu karang yang luas dan
membutuhkan waktu yang sangat cepat dengan hasil pengamatan yang cukup akurat.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 6


Pada kegiatan ini, Metode Manta Tow akan digunakan untuk mengetahui secara tepat di
mana daerah terumbu karang yang masih baik dan daerah terumbu karang yang telah
rusak. Kerusakan karang tersebut lebih lanjut dipilah berdasarkan penyebab kerusakannya,
seperti kerusakan karang yang disebabkan oleh pemanasan global (bleaching), daerah
bekas pengeboman, kerusakan karang akibat badai topan dan juga kematian karang akibat
pemangsaan bintang laut berduri dalam skala yang luas. Metoda ini juga bermanfaat untuk
memilih lokasi terumbu karang yang baik dan yang terwakili dari luas terumbu karang
yang ada untuk dilakukan pengamatan yang lebih teliti yaitu dengan menggunakan metoda
Transek Garis (Line Intercept Transect).








Gambar
3.4
Terumbu karang yang rusak akibat
dari kegiatan pengeboman, (gambar
kiri).
Terumbu karang yang mengalami
pemutihan akibat kenaikan suhu air
laut.Kenaikansuhuairlautinidipicu
olehgejalaiklimElNino,
(gambarkanan).

Adapun langkah-langkah manta tow adalah sebagai berikut :
Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara menarik
pengamat dibelakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung
antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap dan melintas di atas
terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihat beberapa obyek yang
terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup dan karang mati.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 7



Gambar
3.5
Gambar di atas adalah estimasi dari
persentasetutupankarang.Dalammembuat
estimasi tersebut sangat di tentukan oleh
pengalamanyangdimilikiolehpengamat.

Perahu dengan berkekuatan kurang lebih 5 PK digunakan untuk menarik pengamat dan
dapat memberikan kecepatan yang cukup bagi pengamat untuk melakukan pengamatan
dengan baik. Pengamatan ditarik diantara rataan terumbu karang dan tubir (reef edge),
dengan kecepatan yang tetap yaitu antara 3 5 km/jam atau seperti orang yang berjalan
lambat. Bila ada faktor lain yang menghambat seperti arus perairan yang kencang maka
kecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari pengamat yang berada
dibelakang perahu.
Pengamatan terumbu karang dilakukan selama 2 menit, kemudian berhenti beberapa saat
untuk memberikan waktu bagi pengamat mencatat data-data yang terlihat selama 2 menit
pengamatan tersebut ke dalam tabel data yang tersedia di papan manta. Setelah mendapat
tanda dari pengamat maka pengamatan dilanjutkan lagi selama 2 menit, begitu seterusnya
sampai selesai pada batas lokasi terumbu karang yang diamati.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 8


Dalam pengamatan penutupan karang, pengisian data untuk penutupan karang sebaiknya
menggunakan persentase. Hal ini untuk memudahkan pengamat dalam menentukan
masing-masing tutupan karang. Pengamat harus memperhatikan total persen dari
penjumlahan tutupan karang ditambah dengan pasir dan tutupan lainnya jangan sampai
melebihi 100%. Selanjutnya dilakukan pengukuran lebih detail akan dilakukan dengan
menggunakan metode Line Intercept Transect.








3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT)
Transek garis (Line Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi. Biota-biota dalam terumbu karang
tersebut dimasukkan dalam kategori berdasarkan bentuk pertumbuhannya (bentic lifeform)
sehingga metode ini juga disebut dengan metode bentic lifeform atau disebut dengan
metode lifeform saja. Asean Australia Marine Project telah mengembangkan metode ini
untuk penelitian terumbu karang.


Gambar3.6
MantaBoard,adalahpapan
pengamatanyangdigunakan
sebagaipencatatdata,
sekaligussebagaialat
pengontrolgerakan
pengamatyangditarikoleh
perahu.Dengan
menggunakanpapanmanta
iniseorangpengamat
dimungkinkanuntuk
bergerakmenyelamatau
mempertahankanposisi
dipermukaanair.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 9


Beberapa keuntungan dari menggunakan metode ini antara lain:
1. Pengelompokkan biota ke dalam beberapa kategori mempermudah bagi peneliti atau
orang yang memiliki kemampuan terbatas dalam identifikasi karang.
2. Metode ini merupakan metode sampling untuk menghitung persentase tutupan biota
yang sangat efisien dan dapat dipercaya.
3. Hanya memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam penerapannya.
Dalam melakukan transek garis dengan metode bentic lifeform ini, tidak hanya ditekankan
pada karangnya saja akan tetapi meliputi seluruh biota yang berasosiasi dengan karang
(alga, spong dan biota lainnya) dan juga abiotiknya. Untuk lebih jelasnya pengelompokan
kategori dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu 3 m mewakili perairan dangkal dan 10 m
untuk mewakili perairan dalam. Pada dua kedalaman ini yaitu 3 m dan 10 m metode
pengamatan bisa dilakukan dengan menggunakan Metode LIT (Line Intercept Transect)
dengan cara membuat garis membujur sepanjang 50 m sejajar dengan garis pantai pada
daerah tubir yang kemudian dicatat bentuk pertumbuhan (lifeform) dan persen
penutupannya. Alat yang digunakan adalah peralatan snorkeling dan SCUBA.
Kode HC, SC, SP, , RB, OT, DC ,DCA, MA dan ABT adalah istilah dalam penelitian
karang yang merupakan beberapa kategori karang dan biota lain yang ada dimasukkan
dalam bentuk pertumbuhannya (benthic lifeform).
HC =Hard Corals (karang batu)
SC =Soft Corals (karang lunak)
SP =Sponges (spong)
RB =(Rubble) pecahan karang mati
OT =Others (lain-lain) sperti anemone, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain.
DC =Dead Coral (karang mati)
DCA =Dead Coral Alga (karang mati yang ditumbuhi alga)
MA =Macro Alga: alga yang berukuran besar
ABT =Abiotik =benda benda mati lainya seperti batu dan lain-lain

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 10




Gambar3.7
Carapencatatandata
kolonikarangpada
metodetransekgaris,
(gambaratas).
Kolonikarangmasif
berukuranbesar
dianggapduadata,CM,
apabilagarismeteran
melewatialgaepersis
diataskolonitersebut
(Englishetal,1994),
(Gambarbawah).
PenyelamandiperairanCanti,
LampungSelatan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 11


Tabel3.1KategoriBentukSubstratDasar
BentukSubstratDasar Kategori Keterangan
KarangBatu(hardcorals)
Acropora
Acroporabercabang(Acroporabranching) ACB Bentukbercabangsepertirankingpohon
Acroporameja(Acroporatabulate) ACT Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata
sepertimeja
Acroporamerayap(Acroporaencrusting) ACE Bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora
yangbelumsempurna
Acroporasubmasif(Acroporasubmassive) ACS Percabanganbentukgada/lempengdankokoh
Acroporaberjari(Acroporadigitate) ACD Bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti
jarijaritangan

NonAcropora
Karangbercabang(coralbranching) CB Bentukbercabang,sepertirantingpohon
Karangmasif(coralmassive) CM Bentuknyasepertibatubesaryangpadat
Karangmerayap(coralencrusting) CE Bentuk merayap hampir seluruh bagian menempel
padasubstrat
KarangSubmasif(coralsubmassive) CS Bentuk kokoh dengan tonjolantonjolan atau kolom
kolomkecil
Karanglembaran(coralfoliose) CF Bentukmenyerupailembarandaun
Karangjamur(coralmushroom) CMR Soliter,bentuksepertijamur
Karangapi(Millepora) CME Semua jenis karang api, dapat dikenali dengan
adanyawarnakuningdiujungkolonidanrasapanas
sepertiterbakarbiladisentuh
Karangbiru(Heliopora) CHL Karang biru, dapat dikenali dengan adanya warna
birupadaskeletonnya.

KarangMati(DeadScleractina)
Karangmati DC Karangyangbarumati,berwarnaputih
Karangmatiyangditutupialga DCA Karang mati yang masih tampak bentuknya, tapi
sudahmulaiditumbuhialgahalus
Alga
Algamakro(macroalgae) MA Algaberukuranbesar
Algarumput(turfalgae) TA Alga berukuran halus, menyerupai rumput rumput
halus
Algakoralin(Corallinealgae) CA Algayangmempunyaistrukturkapur
Halimeda HA AlgadarimargaHalimeda
Kumpulanalga(algaeassemblage) AA Terdirilebihdarisatujenisalga

FaunaLain
Karanglunak(softcorals) SC Karangdengantubuhlunak
Sepon(seponges) SP
Zoanthids ZO Contohnya:Platythoa,Protopalythoa
Lainlain OT Anemon,teripang,gorgonia,kimadanlainlain

Abiotik
Pasir(sand) S
Pecahankarangmati(rubble) R
Lumpur(silt) SI
Celah WA Celahdengankedalamanlebihdari50cm
Batuanvulkanis RCK Batuvulkanik
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 12


Untuk memudahkan dalam pemasukan data, hendaknya data transek garis ditulis mengikuti format
transition- categori- taxon, misalnya sebagai berikut:

Tabel3.2Datahasiltransek
Transition Categori Taxon
32 CF Montifora foliosa
58 TA
99 CM Porites lutea
132 S
157 MA Caulerpa rasemosa
. . .
. . .
. . .
5000 RCK
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)



Gambar
3.8
IlustrasidiatasmenggambarkanteknikLine
InterceptionTransect(LIT)yangdilakukan
olehpengamat.Teknikinidilakukandengan
menarikseutasmeterandiatastutupan
terumbukarangsepanjang100m.

3.2.3 Citra Satelit Landsat
Selain melalui pengumpulan data primer dan sekunder, pengumpulan data juga dilakukan
melalui interpretasi citra satelit. Dalam kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 13


Lampung ini, citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 7 TM, adapun karakteristik
produk citra landsat adalah sebagai berikut:
A. Karakteristik Landsat
Landsat pertama kali dikenal dengan nama Earth Resources Technology Satellite (ERTS)
untuk membedakan dengan program satelit oseanografi SEASAT (Sea Satellite).
Selanjutnya ERTS-1 ini diubah namanya menjadi Landsat-1 dan seterusnya. Landsat
generasi ke dua adalah landsat 4 dan 5 yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1982
dan 1984. Satelit ini memiliki orbit polar sunsyncronous. Oleh karena itu satelit ini
melewati tempat-tempat pada lintang yang sama dalam waktu lokal yang tetap, dengan
periode 98.5 menit dan sudut inklinasi 98.5
o
. sensor yang dibawa oleh satelit ini adalah
MSS (Multi Spectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper).
B. Sensor MSS (Multi Spectral Scanner)
Karakteristik dari sensor MSS ini dapat dilihat pada tabel berikut. Sensor MSS mampu
meliput permukaan bumi dengan empat saluran spektral secara simultan melalui sistem
optik tunggal. Pada setiap kanalnya ada 6 detektor, sehingga seluruhnya ada 24 detektor.

Tabel3.3KarakteristikSensorMSS(Butleretal.1998)
PanjangGelombang Kanal4:0.50.6m(hijau)
Kanal5:0.60.7m(merah)
Kanal6:0.70.8m(IRdekat)
Kanal7:0.81.1m(IRdekat)
IFOV 0.086mrad
LebarSapuan 185km
UkuranresolusiPixel 80x80


C. Sensor TM (Thematic Mapper)
Sensor TM digunakan pada Landsat 4 guna memperbaiki resolusi spasial, memisahkan
spektral, menambah ketelitian data radiometrik dan gemetrik. Thematic Mapper
merupakan suatu sensor optik yang beroperasi pada saluran tampak dan infraerah bahkan
saluran spektral. Karakteristik yang dimiliki oleh sensor TM ini dijelaskan pada Tabel 3.4
sebagai berikut :

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 14


Tabel3.4KarakteristikSensorTM(Butleretal.1998)
Panjang
Gelombang
Kanal 1: 0.45 0.52 m(violet biru)
Kanal 2: 0.52 0.60 m(hijau)
Kanal 3: 0.63 0.69 m(merah)
Kanal 4: 0.76 0.90 m(IR dekat)
Kanal 5: 1.55 1.75 m(IR menengah)
Kanal 6: 10.40 12.50 m(IR thermal jauh)
Kanal 7: 2.08 2.35 m(IR menengah)
IFOV 0.043 mrad (kecuali kanal 6: 0/170 mrad)
Lebar Sapuan 185 km
Ukuran Resolusi
Pixel
30 x 30 meter (kecuali kanal 6: 120 x 120 m)

3.2.4 Faktor-Faktor Oseanografi
Data Oseanografi diperoleh berdasarkan data sekunder dari instansi terkait di Pemerintah
Provinsi Lampung dan Kabupaten/Kota di sekitar Teluk Lampung.
Pasang surut air laut
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur,
yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. J ika suatu
perairan mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut
dikatakan bertipe pasang surut tunggal. J ika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dalam satu hari, maka dikatakan bertipe pasang surut ganda. Tipe pasang surut lainnya
merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, yang dikenal sebagai pasang surut
campuran.

Arus dan gelombang
Umumnya kondisi gelombang disuatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari
data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasarkan atas kondisi
umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui di laut
dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Pengukuran gelombang
diamati berdasarkan type, dan interval waktu serta tingkat pemecahan gelombang dan
amplitudonya.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 15


3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya
Komponen yang ditelaah meliputi: data sosial budaya (penduduk, tingkat pendidikan,
perumahan,kesehatan dan etnis/adat), data sosial ekonomi (mata pencaharian penduduk,
tingkat pendapatan, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi lokal),
data sarana dan prasarana penunjang (pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi,
perdagangan, jasa, dan lain-lain).
Data sosial ekonomi dan budaya yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dan informasi tentang sosial ekonomi dan budaya di
lokasi studi menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan kajian cepat
(Rapid Rural Appraisal-RRA). Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara
terhadap penduduk yang dipilih secara purposive dan secara acidental dan disamping itu
dilakukan juga observasi atau pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan
secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk diskusi kelompok terarah (focussed
discussion group). Khusus untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan,
selain wawancara juga dilakukan public hearing. Kebudayaan dilokasi studi diamati
dengan mencatat data dan informasi tentang adat istiadat, kesenian, budaya dan
kelembagaan masyarakat.
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan atau informasi dari beberapa
sumber instansi yang relevan seperti pemerintahan baik tingkat kecamatan maupun tingkat
desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung, Dinas Kehutanan Lampung Barat, BPS,
Bappeda, BPLH Lampung dan sebagainya.

3.3 ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dari hasil survei kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.
Analisis data yang dilakukan antara lain :
3.3.1 Analisis Data Terumbu Karang
Dilakukan dengan menganalisa data penyelaman dan melakukan verifikasi dengan
menggunakan citra satelit. Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penutupan terumbu
karang.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 16


Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada
suatu areal tertentu yang dihitung dengan persamaan Yap dan Gomes (1988) dan English
et al. (1994) dan Kepmen LH no: 4 tahun 2001 tentang kriteria Baku Kerusakan Terumbu
Karang:



dimana :
li = panjang transek yang melalui life form ke-i
l = panjang garis transek
C = persen tutupan karang

Kategori kondisi penutupan karang:
75 - 100% : Sangat Baik;
50 74,9% : Baik;
25 49,9% : Sedang;
0 - 24,9% : Rusak/Buruk.

3.3.2 Analisis Citra Satelit
Analisis citra satelit menggunakan software ER Mapper 6.4. Hasil analisis citra berupa
data luasan terumbu karang. Sedangkan tahapan analisis citra adalah sebagai berikut:
a. Koreksi terhadap citra
b. Interpretasi terhadap terumbu karang
c. Melakukan pengukuran luas terhadap hasil interpretasi.
d. Melakukan survei lapangan untuk verifikasi hasil analisis citra.
Penggabungan klas dan perapian hasil klasifikasi dengan digitizion on screen. Adapun
kombinasi band yang yang umum digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara
manual/visual yaitu 4-5-3 dan 5-4-2 dimana berbagai kenampakkan vegetasi baik alami
maupun yang ditanam dapat terlihat dengan jelas.
Untuk mempermudah pengenalan tipe-tipe penutup lahan pada suatu citra, dapat
digunakan kunci penafsiran yang dikembangkan untuk penafsiran citra Landsat-TM warna
tidak standar (band 2-3-4). Namun hal ini bisa pula diterapkan pada citra dengan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 17


kombinasi band lainnya dengan menerapkan elemen-elemen penafsiran lainnya selain
warna. Kunci eliminasi teresebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut
langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus, dan kemudian menyisihkan semua
kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil
dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan
serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya,
kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand & Kiefer, 1990).
Untuk penafsiran manual/visual (on screen digitation), perlu memperhatikan pola jaringan
sungai, danau atau garis pantai didelineasi yang diikuti dengan pola jaringan jalan, hal ini
akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang
ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas
luar pada kelompok yang yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari
yang lain. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi
dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan
asosiasi dan situs (Lillesand dan Kiefer, 1990; Sutanto, 1985).
Integrasi data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan GIS dilakukan dengan cara
menggabungkan citra hasil klasifikasi awal dengan peta referensi. Langkah yang dilakukan
adalah melakukan overlay data digital citra asli dan hasil klasifikasi teracu dengan peta-
peta penunjang.

A. Pemotongan Citra
Suatu wahana satelit akan merekam data pada suatu daerah yang sangat luas degan skala
yang sangat kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping) sesuai
dengan daerah penelitian untuk memperjelas dan mempermudah pengenalan serta
interpretasi suatu kenampakan (feature).

B. Koreksi Radiometrik
Secara umum kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor yaitu:
1. Kesalahan Respon Detektor
Untuk mengkonversi energi cahaya yang direkam menjadi voltage atau digital number

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 18


(DN) sistem sensor penginderaan jauh menggunakan detektor. Sensor Thematic Mapper
(TM) menggunakan 16 detektor yang berfungsi pada waktu menscan permukaan bumi
untuk mengatur energi visible, near dan middle infrared. Detektor mempunyai beberapa
keterbatasan/kelemahan yang dapat menyebabkan kesalahan seperti line dropout, stripping
dan line strart.
2. Pengaruh Atmosfir
Atmosfir bumi mempunyai efek menghalangi karena terjadinya proses pemencaran
(atmospheric scattaering) dan penyerapan (atmospheric absorbtion) oleh uap air atau gas-
gas lainnya. Interaksi ini menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak
sistematik. Pada citra, pengaruh scattering akan menyebabkan meningkatnya kecerahan
(brightness), sementara penyerapan oleh atmosfir akan menyebabkan menurunnya
brightness. Masalah pengaruh atmosfir ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan
spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda.
Koreksi radiometrik akibat atmosfir ini bisa dilakukan dengan dua teknik pendekatan yaitu
atas dasar suatu bahwa data yang direkam menggunakan band visible ( 0.4 0.7 m)
sebagian besar bebas dari pengaruhnya. Ada 2 teknik koreksi radiometrik yaitu dengan
cara pengaturan histogram (histogram adjustment) dan pengaturan regresi (regression
adjustment).
Dalam penelitian ini, koreksi yang digunakan adalah histogram adjusment. Operasinya
didasarkan pada pengurangan sebesar bias dari masig-masing band. Cara menentukan bias
masing-masing band adalah dengan cara mencari nilai minimum DN pada setiap band.
Secara matematik, koeksi pengaruh atmosfir dengan pengaturan histogram adalah:
DN i,j,k (output: terkoreksi) = DN i,j,k (input: asli) Bias
C. Koreksi Geometrik
Data penginderaan jauh biasanya mengandung distorsi geometris sistematis dan yang tidak
sistematis. Distorsi/kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Yang dapat
dikoreksi menggunakan sejumlah titik-titik kontrol lapangan (ground Control Point) yang
cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik
pada citra (kolom/pixel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang,
bujur, feet atau meter).
Penyebab terjadinya distorsi geometrik ini antara lain adalah: terjadinya rotasi bumi pada

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 19


saat perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik (sudut pandang), pengaruh
topografi serta pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahanan
ketinggian satelit dan ketidakstabilan ketinggian platform.
Rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga
mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Atas dasar data acuan yang digunakan,
rektifikasi dapat dibedakan atas :
1. Registrasi citra ke citra (image to image rectification)
2. Rektifikasi citra ke peta (image to map rectification)
Dalam melakukan koreksi geometric, GCP yang dipilih harus tersebar merata pada seluruh
citra, relative permanent, tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan,
jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Setelah GCP terpilih, didapatkan nilai akar
kesalahan rata-rata kuadrat (Root Mean Square Error) untuk masing-masing GCP.
Dianjurkan agar RMSE lebih kecil dari 0.5 pixel. J ika RMSE masih lebih besar dari
ketelitian yang diinginkan (>0.5 pixel) maka perlu dilakukan penghapusan pada GCP yang
memberikan RMSE terbesar. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari
yang diinginkan.
D. Penajaman Citra
Penajaman citra dilakukan guna memperjelas kenampakan suatu obyek agar didapatkan
citra yang lebih informasi. Teknik penajaman citra untuk pemetaan sebaran terumbu
karang antara lain dengan FCC (False Color Composite), algoritme SWIM (Shallow Water
Image Mapping) dan algoritme Lyzenga.
False Color Composite dilakukan dengan cara meletakkan tiga buah filter warna yaitu
merah, hijau dan biru secara tumpang tindih (overlay). Kanal yang digunakan adalah kanal
4,2, dan 1. Kombinasi kanal ini dipilih karena kanal 1 dan 2 merupakan kanal sinar
tampak yang mempunyai daya penetrasi dalam kolom air yang cukup baik. Sedangkan
kanal 4 dipilih karena dapat membedakan batas antara darat dan laut dengan jelas.
Metode yang kedua adalah menggunakan algoritme SWIM yang dikembangkan oleh
Bierwirth. Metode ini dilakukan dengan cara membuat komposit untuk filter warna merah,
hijau dan biru dengan input kanal 1,2,3 serta algoritme sebagai berikut:
Filter warna merah : TM3/(TM1 + TM2+ TM3)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 20


Filter warna hijau : TM2/(TM1 + TM2+ TM3)
Filter warna biru : TM1/(TM1 + TM2+ TM3)
Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan algoritme Lyzenga yang dikembangkan
oleh (Siregar et al. 1995) menjadi:
Y = ln(TM1) + ki/kj* ln(TM2)
Y merupakan citra baru yang merupakan kombinasi dari kanal 1 dan 2. Untuk
mendapatkan nilai koefisien ki/kj dilakukan training area pada citra asli sebanyak 30
titik. Selanjutnya melalui perhitungan statistik diperoleh nilai rata-rata untuk setiap kanal.
Namur dalam proses ini hanya nilai rata-rata kanal 1 dan 2 yang digunakan karena kanal
tersebut diasumsikan memiliki daya penetrasi yang baik dalam kolom air. Kemudian dicari
nilai varian dan kovarian untuk kedua kanal guna mendapatkan nilai a dan ki/kj.
Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai tersebut adalah :
Ki/kj = a + (a
2
+ 1)
a = (var TM1 var TM2)/(2*cover TM1 TM2)
dimana:
TM1 : Kanal 1 landsat TM
TM2 : Kanal 2 landsat TM
Ki : Koefisien atenuasi air pada i
Kj : Koefisien atenuasi air pada j

Dalam penelitian ini digunakan metode dengan mengunakan algoritme Lyzenga, karena
tampilan dari hasil algoritme ini memberikan hasil yang lebih baik informatif bila
dibandingkan dengan cara lainnya. Sehingga untuk langkah selanjutnya citra hasil
algoritme Lyzenga inilah yang digunakan.

E. Klasifikasi Citra
Klasifikasi merupakan proses mengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas- kelas atau
kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau
digital numbering/DN) pixel yang bersangkutan. Pada penelitian ini dilakukan klasifikasi
kuantitatif dimana pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 21


nilai kecerahan (BV atau DN) contoh yang diambil sebagai area contoh (training area).
Klasifikasi kuantitatif apat dilakukan dengan 2 metode yaitu: klasifikasi terbimbing dan
klasifikasi tidak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
klasifikasi tidak terbimbing dimana memerlukan sedikit campur tangan analis, karena
operasi numerik dilakukan secara otomatis dengan mencari group secara alamiah
berdasarkan sifat-sifat spektral pixel bersangkutan. Disini analisis memerintahkan
komputer untuk mencari nilai rata-rata kelas dan matrik ragam-ragamnya yang akan
digunakan adalam klasifikasi. Dalam penelitian ini, citra hasil algoritme Lyzenga inilah
yang dikelaskan menjadi 30 kelas.
F. Editing
Proses ini dilakukan pada citra klasifikasi dengan mengacu pada citra hasil transformasi
Lyzenga. Proses editing dilakukan agar citra tampak lebih baik, terutama untuk
mengeleminir awan, stripping pada kelas laut dan kesalahan klasifikasi.
G. Reclass
Citra klasifikasi yang telah diedit, dikelaskan kembali (reclass) menjadi 7 kelas untuk
memperoleh hasil yang lebih informatif. Kelas-kelas tersebut adalah: kelas karang hidup,
karang mati, pasir 1, lamun, pasir 2, darat dan laut.
3.3.3. Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya
Analisis sosial ekonomi dan budaya dianalisis menggunakan metode statistik non
parametrik (SPSS), berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan stakeholder
terkait.
3.3.4. Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu Karang
Data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif, tabulasi dan kuantitatif. Setelah diperoleh masukan informasi yang
lengkap dari semua masyarakat, yang telibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang,
selanjutnya akan dilakukan analisis data dan informasi dengan memperhatikan kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangannya atau dikenal dengan metode SWOT. Analisis
dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian, dengan menggunakan data kuantitatif,

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung BabIII 22


maupun dengan deskripsi keadaan, sehingga dapat dilakukan yang dinamakan Weakness
and Threat Management, dan Conflict Management.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah :
1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman
Mengidentifikasi potensi wilayah baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam
dengan melihat kekuatan/strengths (S), kelemahan/weaknesses (W),
peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T) terhadap ekosistem terumbu karang.
2. Analisis SWOT
Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot nilai terhadap
tiap unsur SWOT. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi nilai/bobot, unsur-unsur
tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi
(SO, ST, WO, WT).
3. Alternatif Strategi Hasil Analisis SWOT
Alternatif strategi yang dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk
mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk
menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan yang ada
dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada
untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT).
Dengan alat (tools) analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk
menyusun suatu kerangka kerja dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan
ekosistem terumbu karang.



Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 1
Bab 4. PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN
PERMASALAHANNYA
4.1 Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung
Umumnya terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis fringing reefs (karang tepi).
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di Teluk
Lampung 4823,493 Ha. Hasil pemetaan terumbu karang di Teluk Lampung dengan
skala peta 1 : 50.000, tertuang dalam Lampiran Peta (bagian belakang) berisi luasan
karang per lokasi, sebaran karang dan kondisi terumbu karang berdasarkan
penyelaman. Sebaran vertikal terumbu karang pada lokasi penelitian umumnya tidak
terlalu dalam. Pada kedalaman lebih dari 15 meter keberadaan terumbu karang sudah
sangat berkurang dibandingkan dengan kedalaman diatasnya. Substrat yang ada di
kedalaman dibawah 15 meter hanya merupakan hamparan pasir dengan sedimen lumpur
diatas permukaaanya. Terbatasnya sebaran karang secara vertikal sangat dipengaruhi
oleh tipe substrat dasar, dimana pada kedalaman lebih 15 meter pada hampir semua
lokasi penyelaman tidak ditemukan dasar yang keras bagi pertumbuhan karang dan
berkurangnya sinar matahari. Umumnya terumbu karang yang dekat pantai sangat
dipengaruhi sedimentasi yang tinggi dari daratan dan aktivitas pemboman di perairan
Teluk Lampung yang hingga kini masih kerap terjadi. Tingginya sedimentasi akibat
pembukaan lahan atas untuk pemukiman dan pertanian, penebangan mangrove dan
pembukaan tambak. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang
bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose)
terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae, karena secara

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 2
ekologi ke empat famili ini merupakan famili penyusun utama terumbu karang.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 3
Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dari Beberapa Lokasi Penyelaman di Teluk Lampung.

Sand Rubble Silt
1 PulauTangkil UpperForeReef 053035 1051610.7 30 3 30 0 2 24 11 0 33 30 Sedang
2 TelukPulauTegal UpperForeReef 053353.40 1051643.60 8 38 24 6 8 3 13 0 46 24 Sedang
3 PulauMaitem UpperForeReef 053533.50 1051644.60 20 22.5 12 8 22.5 5 10 0 42.5 12 Sedang
4 PulauKelagian LowerForeReef 053708.97 1051308.28 16.28 45.63 14.97 0 5.03 17.09 1.01 0 61.91 14.97 Baik
5 PulauPuhawang LowerForeReef 053944.10 1051227.8 9.18 29.18 11.12 10 5.1 19.39 16.02 0 38.36 11.12 Sedang
6 PulauSiuncal UpperForeReef 054806 1051850.90 5.74 42.01 5.36 1.44 31.87 3.82 9.76 0 47.75 5.36 Sedang
7 PulauLegundi LowerForeReef 054769.84 1051756 0 10.97 10 3.42 28.77 0 46.84 0 10.97 10 Buruk
8 TelukSelesung(Legundi) UpperForeReef 054723.74 1051736.4 1.89 27.82 13 5.25 11.13 0 40.91 0 29.71 13 Sedang
9 PulauUnangunang UpperForeReef 054725.95 1051644.03 10.53 25.47 10.53 7.37 4.2 1.58 40.32 0 36 10.53 Sedang
10 PulauSeserot UpperForeReef 054735.77 1051452.12 8.89 26.67 4.44 0 3.33 7.78 48.89 0 35.56 4.44 Sedang
11 TelukKucangreang ReefFlat 054624.06 105132.65 0.52 2.06 44.33 2.37 25.46 25.26 0 0 2.58 44.33 Buruk
12 PulauBalak ReefFlat 054510.10 1051039.70 35 16 9 0 7 23 10 0 51 9 Baik
13 PulauLok ForeReef 054442.90 1051035.20 11 30 5.5 4.5 14.8 14 20.2 0 41 5.5 Sedang
14 GosongPulauLok ReefFlat 054431.96 1051046.32 6.82 12.16 10 3.41 3.41 45.45 18.75 0 18.98 10 Buruk
15 PulauLunik ReefFlat 054422.25 1051026.57 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 Buruk
16 GosongLunikan ReefFlat 054426.70 1051016.30 9.95 39.3 10.95 1.11 11.46 17.69 9.55 0 49.25 10.95 Sedang
17 TajungPutus(1) ReefFlat 054346.94 1051240.23 7.14 32.14 35.71 3.57 0 7.14 14.29 0 39.28 35.71 Sedang
18 TanjungPutus(2) ReefFlat 054346.65 1051232.83 12 50 8 0 8 12 10 0 62 8 Baik
19 PulauLelanggaBalak ReefFlat 054345.75 1051346.31 24.6 10 27 0 14.4 14 10 0 34.6 27 Sedang
20 PulauLelanggaLunik UpperForeReef 054310.40 1051432.10 10 14 20 0 16 24 16 0 24 20 Buruk
21 PulauPuhawangLunik ReefFlat 054035.30 1051424.60 2 22 30 5 0 18 23 0 24 30 Buruk
22 PantaiKetapang ReefFlat 053533.50 1051359.40 9 50 13 18 5 0 5 0 59 13 Baik
23 PantaiCanti ReefFlat 054801.30 1053458.2 0 15.8 16 11 19 22 16.2 0 15.8 16 Buruk
24 PulauTigaLana ForeReef 054852.38 1053237.15 0 16 4 12 15 18 35 0 16 4 Buruk
25 PulauTigaLok ForeReef 054859.65 1053246.30 0 26 2 4 16 21 31 0 26 2 Sedang
26 PulauTigaDamar ForeReef 05499.05 105330.96 0 19 0 12 12 29 28 0 19 0 Buruk
27 PulauSebuku UpperForeReef 055048.40 1053145 13.8 10.13 16.46 1.27 2.66 54.43 1.27 0 23.93 16.46 Buruk
28 PulauElang(SebukuKecil) ReefFlat 055240.11 1053229.67 0 12 72 0 0 16 0 0 12 72 Buruk
29 PulauSebesi LowerForeReef 055511.26 105303.18 5.6 15.4 4 7 19 23 26 0 21 4 Buruk
30 PulauUmangumang ReefFlat 055533.99 1053157.11 21.6 25.4 12 10 15 8 8 0 47 12 Sedang
31 PelabuhanKaliandak ReefFlat 054439.61 1053510.60 2 10 0 42 0 46 0 0 12 0 Buruk
32 PantaiPasirPutih ReefFlat 053332.24 105220.94 23 2 0 17 0 27 31 0 25 0 Buruk
33 LokasiBatuBara ReefFlat 053148.90 1052114.37 20 8 20 2 1 8 0 41 28 20 Sedang
34 PulauSulah(1) UpperForeReef 053245.22 1052044.12 13.5 10.5 7 0 0 39 30 0 24 7 Buruk
35 PulauSulah(2) LowerForeReef 053248.36 1052035.98 29.63 14.81 38.89 0 7.41 9.26 0 0 44.44 38.89 Sedang
36 PulauCondongLaut LowerForeReef 053325.65 1052028.87 28.8 12 15.8 12 0 18 13.4 0 40.8 15.8 Sedang
37 PulauCondongDarat ReefFlat 053325 1052054.63 27.27 17.27 12.73 4.55 0 18.18 20 0 44.54 12.73 Sedang
38 TanjungSelaki ReefFlat 053723.44 1052418.21 36.14 0 0 49.57 0 0 14.29 0 36.14 0 Sedang
39 MerakBelantung(1) ReefFlat 054029.86 1053232.95 0 11 0 55 0 26 8 0 11 0 Buruk
40 MerakBelantung(2) ReefFlat 054131.45 1053159.03 0 8 15 51 0 25 1 0 8 15 Buruk
41 PantaiPuriGading BackReef 05289.21 1051527.69 0 0 0 0 0 87 0 13 0 0 Buruk
42 GudangLelang BackReef 052718.45 1051614.20 0 0 0 0 24 68 0 8 0 0 Buruk
43 PulauKubur BackReef 052914.30 1051529.80 0 0 0 0 33.33 66.67 0 0 0 0 Buruk
44 PulauTegal LowerForeReef 05345.53 105167.98 8 39 26 0 2 9 16 0 47 26 Sedang
11 19 14 8 9 23 15 1 29 14
%KarangHidup %KarangMati Kategori
RATARATA
ABIOTIK
KodeLokasi LokasiPenyelaman Site Description LintangSelatan BujurTimur HardCoral(Acropora) HardCoral(NonAcropora) DeadScleractinia Algae OtherFauna


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 4
Tabel 4.1 adalah persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di Teluk
Lampung. Kriteria persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes (1988) dan
Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang bahwa kategori kondisi penutupan karang hidup : 75 100
% : Sangat Baik; 50 74.9 % : Baik; 25 49.9 % : Sedang; 0 - 24.9 % : rusak/buruk.
Berdasarkan kriteria di atas, persentasi tutupan karang hidup sebagai indikator
kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak)
sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, kondisi terumbu karang
dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan
kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di
perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.
Persentase tutupan karang dan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk
Lampung secara umum digambarkan dalam grafik penutupan karang sebagai berikut :













Grafik
4.1
GrafikpersentasetutupankarangdiTelukLampung

Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di
perairan Teluk Lampung dalam kondisi sedang. Namun perlu diperhatikan bahwa
persentase pecahan karang yang diduga kuat akibat kegiatan pengeboman ikan di
seluruh Teluk Lampung ada dalam angka 15 %. Angka ini termasuk tinggi mengingat
bila tidak ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat, maka masyarakat di sekitar

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 5
Teluk Lampung akan mengalami kerugian ekonomi dan lingkungan pada setiap meter
persegi terumbu karang yang rusak karena kegiatan pengeboman.








Gambar4.1 Penambanganterumbukaranguntukbahan
bangunandiLempasingturutmemperparah
kondisiterumbukarangdiTelukLampung
selainaktifitaspengeboman

Persentase rata-rata tutupan fauna lain (other fauna) di Teluk Lampung adalah 9 %
yang sebagian besar terdiri dari karang lunak (soft coral), spons (sponge) dan lain -
lain. Tutupan rata-rata karang lunak di perairan Teluk Lampung adalah 4%. Karang
lunak ini sebagian besar hidup di perairan yang berpasir atau di atas hamparan
pecahan karang mati (rubble). Kehadiran karang lunak tersebut mengindikasikan
bahwa di areal tersebut ada gejala karang akan pulih. Namun untuk kondisi perairan
Teluk Lampung yang padat dengan aktifitas manusia, areal karang yang menuju pulih
harus mendapat campur tangan manusia untuk melindungi area pemulihan tersebut,
sehingga sampai batas waktu tertentu area tersebut benar-benar terbebas dari
gangguan yang destruktif.
Sebagian besar karang lunak yang menyusun ekosistem terumbu karang di perairan
Teluk Lampung adalah dari marga Sinularia, seperti Sinularia polydactyla, Sinularia
flexibilis, Sinularia brassica, Sinularia querciformis, dan Sinularia variabilis. Selain
itu karang lunak dari marga Sarcophyton, Lobophytum, Nepthea, Litophyton, Xenia,
dan Dendronephtya juga banyak ditemui selama penyelaman dilakukan. Marga
Dendronephtya dikenal sebagai marga karang lunak yang memiliki warna-warni yang
cerah dan indah. Keberadaan karang lunak ini di suatu perairan adalah sensasi
tersendiri bagi penyelam pada umumnya. Berikut dibawah ini disajikan beberapa
spesies karang lunak di Teluk Lampung.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 6

Halymenia durvillaei Sinularia sp.

Sinularia flexibilis Dendronephthya kukenthal

Sponge adalah biota dengan bentuk unik yang tersebar di seluruh ekosistem karang di
Teluk Lampung. Pada saat penyelaman dilakukan biota ini dapat ditemukan disetiap
kedalaman, mulai dari kedalaman 0.5 meter hingga kedalaman 10 meter. Berdasarkan
hasil suvey diperoleh persentase rata-rata tutupan sponge di Teluk Lampung adalah
sebesar 0.06%. Beberapa jenis sponge yang teridentifikasi selama penelitian atara lain
adalah Clatria reinwardti., Stylissa carteri, Theonella swinhoei, Xestospongia sp.,
Callyspongia aerizusa, Acervochalina sp., Cinachyra sp., dan Petrosia nigricans. Di
bawah ini beberapa contoh spesies spons yang ada di perairan Teluk Lampung.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 7

Stylissa carteri Xestospongia sp.

Callyspongia aerizusa Ircinia sp.
Lamun atau Seagrass adalah tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat dan tumbuh baik
di zona reef flat (dangkal). Padang Lamun yang cukup luas dan mencolok dapat
ditemukan di perairan Teluk Pulau Tegal. Sebagian besar spesies pembentuk
hamparan lamun di Teluk Lampung adalah Enhalus acoroides. Selain itu ditemukan
pula hamparan lamun yang terbentuk dari marga Halophila, Cymodocea, dan
Thalassia.






Enhalus acoroides (Seagrass)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 8
Algae adalah tumbuhan dengan tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan
biota lamun. Persentase rata-rata tutupan algae di Teluk Lampung adalah sebesar 8%.
Sebagian besar tutupan karang yang ditemui selama pengamatan didominasi oleh
makro alga dari marga Sargassum dan Padina. Beberapa spesies alga yang biasa
ditemukan di perairan Teluk Lampung antara lain adalah Sargassum duplicatum,
Padina commersoni, Turbinaria decurrens, dan Ulva fasciata.



Halimeda micronesica Caulerpa racemosa

Sargassum echinocarpum Actinotrichia fragilis.

Dalam beberapa kasus, keberadaan lamun dan makro alga yang dapat hidup subur di
suatu perairan menandakan bahwa secara alami di perairan tersebut berpotensi untuk
usaha budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut dimungkinkan di suatu lokasi
dengan karakter perairan yang dangkal dan berarus lemah hingga sedang.






Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 9
4.1.1 Pulau Tangkil
Pengamatan di pulau ini dilakukan di sebelah utara pulau pada titik koordinat
053035 LS - 1051610.7 BT. Penyelaman dilakukan di perairan yang relatif
tenang dengan angin ke arah timur (3 knot), dan dalam kondisi air surut sehingga arus
laut bergerak lemah ke arah tenggara.
Kondisi terumbu karang pada kedalaman 5 meter di pulau ini dapat dilihat pada
Grafik 4.2 dibawah ini.
















Grafik
4.2
GrafikpersentasetutupankarangdiPulauTangkil

Tutupan karang keras (HC) di perairan Pulau Tangkil pada kedalaman 5 meter adalah
33 %, yang tersusun dari genus Acropora (30 %) dan genus Non Acropora (3 %).
Fauna lain (OT) yang didominasi oleh Karang Lunak (Sinularia polydactyla) memiliki
tutupan sebesar 2 %.
Tutupan karang mati (DS) di perairan ini cukup besar (30 %), yang diduga disebabkan
karena sering tertutup endapan dan tersebarnya sampah di dasar perairan akibat kegiatan
wisata yang cukup tinggi di Pulau ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 10






























Pulau Tangkil selain menjadi tujuan wisata yang paling diminati oleh masyarakat di
Bandar Lampung dan sekitarnya selain karena aksesnya yang mudah di jangkau dari
Pantai Mutun, pulau ini juga menjadi sasaran ilegal fishing yaitu kegiatan pengeboman
ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung. Ini
terlihat dari besarnya persentase tutupan pecahan karang (rubble) sebesar 35 %. Secara
umum persentase tutupan terumbu karang dari hasil pengamatan di pulau ini termasuk
dalam kategori SEDANG berdasarkan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup
No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

4.1.2 Pulau Tegal
Pulau Tegal, kini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Pesawaran,
dan merupakan pulau yang paling dekat dengan sentra kegiatan budidaya laut (marine
Gambar
4.2
Pulau Tangkil (atas), ikan Amphiprion sp. (kiri bawah), dan
terumbu karang yang hancur akibat aktifitas pengeboman
(kananbawah)

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 11
culture) yang ada di Teluk Lampung. Pulau ini juga merupakan pulau wisata dengan
akses masuk dari Pantai Ringgung. Kegiatan budidaya laut yang ada di sekitar perairan
pulau antara lain adalah budidaya kerang mutiara, budidaya ikan kerapu dengan
menggunakan bagan apung dan lain-lain. Pengamatan kondisi terumbu karang di pulau
ini dilakukan di Teluk Tegal (053353,40 LS - 1051643,60 BT), sebuah teluk di
sebelah timur pulau dan pantai bagian barat pulau (534'5.53" LS - 10516'7.98" BT)
yang berhadapan langsung dengan daratan Sumatera. Kondisi perairan di teluk ini
tenang pada saat pengamatan dilakukan. Teluk Tegal memiliki hamparan padang lamun
(Enhallus acoroides) hingga sejauh 50 meter dari garis pantai. Menurut penuturan
penduduk setempat di hamparan lamun ini sering ditemukan penyu yang sedang
mencari makan. Pantai di bagian barat pulau memiliki hamparan karang hingga 50
meter dari garis pantai. Tutupan karang di pantai ini mulai jarang (poor) ditemukan
pada kedalaman 10 meter.




















Persentasi tutupan karang mati di Teluk Tegal cukup besar (24 %), dan pecahan karang
(rubble) ditemukan tersebar diseluruh teluk terutama di area tubir karang (fore reef).
Gambar
4.3
SebagiandariTelukTegalyangseringdigunakanolehkapalkapalikanuntukberistirahat
(atas), karang mati yang sudah ditumbuhi alga (kiri bawah), dan bongkahan karang
besaryangpecahakibataktifitaspengebomanikan(kananbawah).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 12
Tutupan pecahan karang ini sebesar 13 % yang diduga kuat akibat dari aktifitas
pengeboman ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang beroperasi di Teluk
Lampung. Secara lengkap komposisi tutupan terumbu karang di Teluk Tegal dapat
dilihat pada grafik sebagai berikut :










Tutupan karang hidup di perairan ini di dominasi oleh karang dengan bentuk tumbuh
karang daun sebesar 19 % (Montipora florida, Turbinaria reniformis), karang masif
(Favia lacuna, Favites abdita, dan Porites mayeri) sebesar 16 %, dan karang bercabang
(Pocillopora damicornis, Acropora nobilis) sebesar 3 %. Berdasarkan kriteria baku
kerusakan terumbu karang maka kondisi terumbu karang di perairan Teluk Tegal
termasuk dalam kategori SEDANG.










Tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal termasuk dalam kategori sedang dengan
persentase karang hidup 47 % yang didominasi oleh karang daun 33 %, Acropora
bercabang 8 %, karang masif 6 %, dan karang jari 5 %.
Gambar4.4
Kondisiterumbu
karangyangmasih
baikdiTelukTegal
menjaditempat
berlindungdan
pengasuhan(nursery
ground)bagianak
anakikandiperairan
ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 13
Sementara itu karang mati 26 % dan pecahan karang mati sebesar 16 % banyak terlihat
di sepanjang dasar perairan akibat dari penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan
dan akibat jangkar perahu, yang hilir-mudik dari daratan Sumatera ke Pulau Tegal
sebagai sarana transportasi rutin penduduk pulau maupun wisatawan yang akan
berekreasi di pulau ini. Secara detail koposisi tutupan karang di pantai barat Pulau
Tegal dapat dilihat pada diagram di bawah ini.











Secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Tegal berdasarkan hasil penelitian di
dua lokasi tersebut di atas menurut kriteria baku kerusakan terumbu karang termasuk
dalam kondisi sedang.















4.1.3 Pulau Maitem

Pulau Maitem adalah sebuah pulau kecil yang terletak di barat daya Pulau Tegal. Pulau
yang berpenduduk beberapa kepala keluarga ini memiliki garis pantai sepanjang 3 km
Gambar4.5
BintangLautBerduri
(Acanthasterplancii)yang
adadiperairanPulauTegal,
merupakansalahsatuhama
terumbukarangyangpaling
merusak.Terlihatdalam
gambarkarangmemutih
(bagiankanan)dimakanoleh
hamaini

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 14
dan luas pulau 17 ha. J arak pulau ini dengan dengan daratan Sumatera hanya 500
meter saja. Sehingga membuat pulau ini memiliki interaksi yang cukup sering dengan
aktifitas masyarakat di pulau induk.




















Gambar
4.6
PulauMaitemdenganperairanyangdangkalkerapdidatanginelayan
untukmenangkapikandenganmenggunakanjaladanhandline(atas).
KoloniKaranglunak(SoftCoral)yangsebagianbesarterdiridari
keluargaSinularia(kiribawah).Kolonikarangbercabang(Seriatopora
hystrix)seringkalibersimbiosisdenganikankarang(kananbawah).


Presentase tutupan karang di zona Reef Flat pulau adalah 42.5 % karang hidup yang
tesusun dari karang Acropora (Acropora teres, Acropora palifera, dan Acropora
cerealis) sebesar 20 % dan karang non acropora (Porites attenuata, Porites lobata,
Mussismilia hispida, dan Montipora florida) sebesar 22.5 %. Karang lunak juga banyak
ditemukan tersebar di perairan pulau ini dengan tutupan 22.5 %, yang terdiri dari
spesies Sinularia brassica, Sinularia polydactyla, dan Lobophytum crassum.
Sebaran karang mati yang di dominasi oleh Dead Coral Algae memiliki prosentase
tutupan 12 %, dan pecahan karang mati sebesar 10 %. Menurut informasi masyarakat
setempat, banyaknya pecahan karang mati yang ada diduga kuat disebabkan oleh
aktifitas pengeboman ikan dan jangkar bagan apung yang sering ditambatkan di
perairan pulau ini. Presentase tutupan karang di perairan Pulau Maitem dapat
diilustrasikan dalam diagram di bawah ini :


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 15












Berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang ditetapkan oleh Kementrian
Negara Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang di Pulau Maitem ada dalam
kategori sedang.
Di perairan ini pula ditemukan banyak bintang laut berduri (Acanthaster plancii) yang
menjadi hama bagi terumbu karang. Untuk mengendalikan populasi biota ini tidak ada
cara lain dengan melakukan penyelaman dan membunuh biota ini satu persatu.
Sebenarnya predator alami dari biota ini adalah penyu. Karena populasi penyu di Teluk
Lampung sudah dapat dikatakan punah maka populasi bintang laut berduri ini
berkembang tanpa ada pengendali alaminya.












Gambar4.7 BeberapavariantbiotaBintangLautBerduri(Acanthaster
plancii)yangditemukandiperairanPulauMaitem.

4.1.4 Pulau Kelagian

Pulau Kelagian adalah salah satu pulau besar yang ada di perairan Teluk Ratai, sebuah
teluk kecil di wilayah perairan Teluk Lampung. Pulau ini memiliki panjang garis pantai
10 km. Topografi Pulau Kelagian berbukit-bukit dengan hutan alam yang cukup

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 16
lebat. Pulau yang bependuduk ini kini sebagian besar lahannya dijadikan tempat TNI
Angkatan Laut (Batalyon Marinir) berlatih perang-perangan.








Gambar4.8 PulauKelagianyangberbukitdilihatdariarahlaut.
Persentase tutupan karang hidup di perairan pulau ini cukup tinggi (61.91 %) di
bandingkan dengan pulau-pulau lain di Teluk Lampung. Hal ini terjadi karena kegiatan
ilegal fishing seperti pengeboman dan pemotasan relatif sedikit, karena aktifnya
kegiatan TNI AL di pulau tersebut. Berikut diagram presentase tutupan karang di Pulau
Kelagian.













Tutupan karang mati di lokasi pengamatan (053708.97 LS - 1051308.28 BT)
sebagian besar berupa karang mati berwarna putih (death coral) sebesar 14.97 % dan
pecahan karang mati (rubble) sebesar 1.01 %. Tutupan karang lunak (soft coral) di
lokasi pengamatan juga ditemukan sebesar 5.03 %, yang didominasi spesies Sinularia
flexibillis. Pada kedalaman 7 meter, presentase tutupan pasir (sand) sebesar 17.09 %.
Di lokasi pengamatan, pada kedalaman lebih dari 7 meter kecerahan air jauh berkurang

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 17
(3 m) karena air yang cenderung keruh. Pada kedalaman ini tutupan karang menjadi
lebih jarang selaras dengan bertambahnya kedalaman.
Secara umum kondisi tutupan karang di perairan Pulau Kelagian berdasarkan ukuran
baku mutu kerusakan karang termasuk dalam kategori baik.

























Gambar
4.9

KaranglunakjenisSinulariaflexibillisbanyakditemukan
dikedalaman7meter(kiriatas).Terumbukarangyang
sehatmenjaditempatberkembangbiaknyaikanikan
(kananatas).
LililautdiantaratutupankarangAcropora(kiribawah).
Penyelamsedangmengamatitutupankarangdaundi
kedalaman7meter(kananbawah).


4.1.5 Puhawang

Pengamatan tutupan terumbu karang di Puhawang di lakukan di dua lokasi yaitu di
Pulau Puhawang (053944,10 LS - 1051227,8 BT) dan di Pulau Puhawang Lunik
(054035.30 LS - 1051424,60 BT).
Pulau Puhawang merupakan pulau besar yang berpenduduk. Pulau ini memiliki
panjang garis pantai 11 km. Di pulau ini pula kegiatan budidaya laut dengan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 18
menggunakan bagan jaring apung dilakukan di perairan sekitar pulau. Di lokasi
pengamatan ini persentase karang hidup sebesar 38.36 % dan karang mati sebesar 11,12
% yang sebagian besar di dominasi oleh karang yang baru mati (death coral). Hal ini
terjadi diduga karena cahaya matahari yang tidak dapat diterima karang karena tertutup
oleh banyaknya bangunan bagan jaring apung yang berada di atas ekosistem karang.
Selain itu, persentase pecahan karang mati (16.02 %) di lokasi pegamatan ini terjadi
karena gesekan jangkar bangunan bagan jaring apung dan jangkar kapal yang sering
merapat di bangunan bagan apung.
Pulau Puhawang Lunik adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur pulau
induknya (P. Puhawang). Pulau kecil ini memiliki panjang garis pantai 1.2 km dan
kini menjadi pulau peristirahatan dengan dibangunnya fasilitas rekreasi oleh seorang
pengusaha. Terumbu karang di perairan pulau ini rusak, dengan persentase penutupan
karang hidup hanya 24 %. Sedangkan tutupan karang mati sebesar 30 % dan pecahan
karang mati (rubble) sebesar 23 %. Komposisi penutupan karang di wilayah Puhawang
dapat dilihat pada diagram di bawah ini.




























Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 19









Gambar
4.10
SalahsatubangunanbaganjaringapungyangbanyakterdapatdiperairanPulau
Puhawang(atas).Kondisitutupankarang(kiribawah)danpecahankarangmati
ditengahkondisiperairanyangkeruhsehinggamenghambatpertumbuhandan
recoverykarang(kananbawah).


Penutupan karang lunak di lokasi pengamatan Pulau Puhawang adalah sebesar 5.1 %
dengan dominasi jenis Nepthea audouin. Sedangkan makro alga di temukan juga di
lokasi pengamatan P. Puhawang (10 %) dan di P. Puhawang lunik sebesar 5 %.
















Gambar
4.11
LokasiPeristirahatandanbeberapakondisi
karangdiP.PuhawangLunik.

Secara umum kondisi terumbu karang di wilayah Puhawang dapat di ilustrasikan dalam
grafik di bawah ini.









Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 20









Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa tutupan karang hidup di wilayah Puhawang
sebesar 31.2 % dan tutupan karang mati 20.6 % dan pecahan karang mati sebesar 19.5
%. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang
adalah bahwa ekosistem terumbu karang di wilayah Puhawang ini berada dalam
kategori sedang.






















4.1.6 Pulau Siuncal

Pulau Siuncal adalah salah satu pulau di Teluk Lampung yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia. Karena letak geografis pulau ini yang terletak tepat di mulut
teluk maka pengaruh perairan Samudera Hindia sangat besar terhadap pulau ini antara
lain adalah arus dan gelombang yang besar terutama di sebelah barat daya dan selatan
pulau.
Gambar 4.12
Jangkar perahu yang digunakan untuk
menambat perahu juga sangat
berpotensi merusak keutuhan karang
(kiri atas). Karang masif, Favia fragum
dan Erythrastrea flabellata (kanan atas).
Karang lunak Nepthea audouindi dasar
perairan (kiri bawah).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 21
Lokasi penyelaman di Pulau Siuncal adalah di sebelah barat daya pulau (054806 LS-
1051850,90 BT), di Selat Siuncal, sebuah perairan yang dikenal sebagai rumah dari
segala jenis ikan hiu.

























Gambar4.13PulauSiuncaldilihatdariarahSelatSiuncal(atas).Kondisitutupankarangdi
SelatSiuncalyangistimewadengankelimpahanikankarangdankimaraksasa(bawah).


Penyelaman di lakukan di kedalaman 5 meter dan pada saat laut pasang, sehingga arus
bergerak menyeret pengamat ke arah utara. Kecerahan air cukup baik (6 meter) dan di
setiap kolom air dapat ditemui ubur-ubur (jelly fish). Lokasi pengamatan ini sangat
berpotensi sebagai tempat olahraga selam, karena keanekaragaman jenis karang keras
dan karang lunak serta ikan karang berwarna-warni yang melimpah. Kesan pertama
pengamat pada saat melakukan penyelaman di lokasi sangat baik dan kesan ini penting
bagi setiap penyelam yang beraktifitas di lokasi ini untuk suatu saat kembali lagi.
Walaupun di lokasi ini menurut masyarakat pulau, frekuensi pengeboman ikan tidak
sering, namun di beberapa tempat masih tertinggal lobang-lobang bekas pengeboman
yang terasa sangat mengganggu pemandangan pada saat menyelam. Menurut
masyarakat di Pulau Siuncal, pengeboman jarang dilakukan di perairan ini dikarenakan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 22
banyaknya ikan hiu, hal ini yang mencegah penyelam kapal bom untuk masuk ke dalam
air untuk memungut ikan hasil pengeboman.
Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan sebesar 47.75 %, dengan komposisi
tutupan karang keras Acropora 5.74 % (Acropora foliosa, Acropora aspera, dan
Acropora valida), dan karang keras non Acropora sebesar 42.01 % dengan jenis karang
pembentuknya antara lain Montipora florida, Seriatopora hystrix, Pavona calavus,
Pocillopora eydouxi, Porites lobata dan Porites cylindrica. Berikut di bawah ini di
sajikan grafik tutupan karang di lokasi pengamatan secara lengkap.














Tutupan karang mati di perairan ini di dominasi oleh karang mati (DC) sebesar 5.36 %.
Persentase kerusakan karang tersebut bertambah pula dengan tutupan pecahan karang
mati (rubble) sebesar 9.76 %. Persentase biota lain (other fauna) di perairan ini di
dominasi oleh karang lunak (soft coral) dengan persentase tutupan sebesar (31.87 %).
J enis-jenis karang lunak yang ditemukan di lokasi pengamatan ini antara lain adalah,
Sinularia polydactyla, Sinularia flexibillis, dan Sarcopyton sp.Secara umum ekosistem
terumbu karang di Pulau Siuncal berdasarkan baku mutu kerusakan karang ada dalam
kategori sedang.
4.1.7 Legundi
Pengamatan terumbu karang di wilayah Pulau Legundi di lakukan di 4 (empat) lokasi
yaitu di Pulau Legundi (054769,84 LS - 1051756 BT), Teluk Selesung (0547
23,74 LS - 10517 36,4 BT), Pulau Unang-Unang (054725,95 LS - 1051644,03
BT), dan di Pulau Seserot (054735,77 LS - 1051452,12 BT).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 23
Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan penyelaman di kedalaman 5 meter, dan
kecerahan hingga 4-6 meter. Penyelaman dilakukan pada saat air pasang sehingga arus
bergerak ke arah utara. Dari pengamatan tersebut, diperoleh persentase tutupan karang
di wilayah Legundi yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini.




















Pulau Legundi adalah sebuah pulau besar di Teluk Lampung yang berpenduduk cukup
banyak, dengan topografi yang berbukit dan memiliki vegetasi tropis yang cukup luas.
Karena tingginya aktifitas penduduk dan kegiatan penangkapan ikan maupun budidaya
laut dengan menggunakan bagan jaring apung, jaring tancap dan lain sebagainya, secara
langsung dan tidak langsung berdampak terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di
perairan Pulau Legundi.
Tutupan karang hidup di lokasi pengamatan ini adalah 10.97 % dengan komposisi
karang bercabang (CB) 9.96 %, dan karang kerak (CE) 1.01 %. Di lokasi pengamatan
ini dasar perairan didominasi oleh karang lunak dengan tutupan sebesar 28.77 %.
Spesies karang lunak yang dominan adalah Sinularia flexibillis. Bukti bahwa di Pulau
ini telah berlangsung tekanan yang hebat terhadap ekosistem terumbu karang adalah
dengan tingginya tutupan pecahan karang mati (rubble) yaitu sebesar 46.84 %.





Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 24
















Gambar 4.14 Pelabuhan kapal di Pulau Legundi selain berfungsi sebagai tempat ditambatkannya kapal
juga sebagai tempat bersandarnya bagan apung yang beroperasi di Teluk Lampung (atas). Salah satu
spesies Karang masif (kiri bawah). Karang lunak keluarga Sinularia dengan tutupan 28.77 % di lokasi
pengamatan P. Legundi (kanan bawah).

Teluk Selesung merupakan teluk kecil di pantai Pulau Legundi. Dari hasil pengamatan
yang dilakukan di kedalaman 7 meter, persentase penutupan karang hidup sebesar 39.71
% yang terdiri dari tutupan karang Acropora 1.89 % dan karang non Acropora 37.82 %.
Tutupan karang mati di lokasi ini sebesar 13 % dan dipertegas dengan tutupan pecahan
karang mati sebesar 40.91 %. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan alam dan akibat
dari aktifitas manusia di perairan ini. Pengambilan karang oleh masyarakat untuk bahan
bangunan dan jalan di Pulau Legundi menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya
ekosistem karang di perairan Legundi.









Tutupan karang lunak di Teluk Selesung sebesar 11.13 % dengan spesies dominan
Xenia sp. Selain itu makro alga (MA) memiliki persentase tutupan 1.05 % dan alga
halus (turf algae) sebesar 4.20 %.



Gambar 4.15
Tumpukan karang
untuk bahan bangunan
di Pulau Legundi.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 25






















Gambar4.15Beberapabentuktumbuhkarang,lobster(kiriatas)dan
bintanglautbiru(kananbawah).

Pulau Unang-Unang adalah pulau kecil yang sekarang berfungsi sebagai tempat
budidaya karang hias. Keberadaan usaha budidaya karang hias untuk ekspor ini sangat
berpengaruh dalam mengurangi frekuensi tindak pengeboman ikan dan pemotasan
lobster di perairan sekitar pulau. Hingga kini menurut penuturan penduduk pulau,
kegiatan pengeboman ikan masih berlangsung di perairan sekitar Pulau Legundi.
Persentase penutupan karang hidup dipulau ini 36 % dengan komposisi karang acropora
jenis Acropora aspera dan Acropora cylindrica sebesar 10.53 %, karang non acropora
yang di dominasi bentuk tumbuh masif (Goniopora minor dan Porites murrayensis)
sebesar 17.05 %.Tutupan karang mati di perairan pulau ini 10.53 %, dan pecahan
karang mati sebesar 40.32 %. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan pengeboman yang
dilakukan oleh oknum nelayan sering dilakukan di pulau ini di waktu yang lalu.








Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 26
















Gambar 4.16 Pecahan karang mati (rubble) akibat pengeboman (kiri atas). Beberapa bentuk tumbuh
karang (kanan atas). Ikan karang diantara karang lunak (kiri bawah). Budidaya karang hias untuk ekspor
(kanan bawah).

Pulau Seserot adalah salah satu pulau yang menjadi sasaran para pengebom ikan di
wilayah perairan Legundi dengan persentase karang hidup 35.56 % dan karang mati
4.44 %. Yang menonjol di perairan pulau ini adalah persentase pecahan karang mati
sebesar 48.89 %. Karang lunak di perairan ini didominasi oleh spesies Sinularia
ehrenberg, dan karang masif terdiri dari Enchinopora forskaliana dan Porites
murrayensis.













Gambar 4.17 Kondisi terumbu karang di Pulau Seserot.
Secara umum persentase penutupan karang di wilayah perairan Legundi terdiri dari
karang hidup 30.6 %, karang mati 9.5 % dan pecahan karang mati (rubble) 47.5 %.
Secara detail komposisi penutupan karang di perairan legundi ditunjukkan oleh grafik
dibawah ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 27














Dengan demikian, berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang telah
ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (2001), penutupan karang di
wilayah ini termasuk dalam kategori sedang.






















Gambar 4.18 Beberapa spesies karang yang dibudidayakan untuk ekspor di Pulau Unang-Unang.
Berurutan ; Acropora globiceps, Acropora nobilis, Galaxea fascicularis, Anemon, dan Acropora robusta.
4.1.8 Pulau Tiga

Pulau tiga adalah nama umum yang diberikan masyarakat Lampung Selatan untuk tiga
pulau yang berdampingan membentuk satu garis lurus. Pulau ini terletak tepat di
tengah-tengah antara Canti dan Pulau Sebuku Kabupaten Lampung Selatan. Ketiga
pulau itu adalah Pulau Tiga Lana (054852,38 LS - 1053237,15 BT), Pulau Tiga

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 28
Lok (054859,65 LS - 1053246.30 BT), dan Pulau Tiga Damar (05499.05 LS -
105330.96 BT).
Ketiga pulau kecil dan tidak berpenghuni tersebut dikelilingi tutupan terumbu karang
yang sempit dan curam (crack). Kedalaman laut disekeliling pulau dapat mencapai
hingga 47 meter dari permukaan laut. Posisi ketiga pulau yang saling berdekatan,
berlorong dan bergua di bawah laut menjadi rumah yang tepat bagi populasi ikan hiu.
Secara khusus kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas penyelam
yang menyukai daerah hiu (shark point).

























Gambar 4.19 Pulau Tiga dilihat dari arah Canti Kabupaten Lampung Selatan, pulau besar di belakang
ketiga pulau tersebut adalah Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi (atas). Kontur Pulau Tiga yang berlorong
dan bergua menjadi atraksi wisata khusus penyelaman Shark Point (kiri bawah). Karang daun dan karang
lunak di Pulau Tiga (kanan bawah).

Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut relatif sama, hal ini dapat
dimengerti karena pulau-pulau tersebut masih terletak di satu hamparan terumbu.
Secara detail persentase tutupan karang di tiap-tiap pulau dapat di tunjukkan dalam
grafik dibawah ini :


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 29


















Secara umum rata-rata persentase karang hidup di wilayah perairan Pulau Tiga adalah
20.3 %, karang mati 2 %, dan pecahan karang mati terpantau sebesar 31.3 %.
Sementara itu fauna lain di dominasi oleh karang lunak yang terdiri dari jenis Sinularia
polydactyla dan Sarcophyton sp.
Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, maka tutupan karang di perairan
Pulau Tiga termasuk dalam kategori rusak. Secara komposisi rata-rata tutupan karang
di perairan Pulau Tiga ditunjukkan dalam grafik dibawah ini.













4.1.9 Kepulauan Condong

Pengamatan tutupan karang di Kepulauan Condong dilakukan di tiga pulau
pembentuknya yaitu Pulau Sulah (Stasiun I : 053245.22 LS - 1052044.12 BT,
Stasiun II : 053248.36 LS - 1052035.98 BT), Pulau Condong Laut (053325.65

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 30
LS - 1052028.87 BT), dan Pulau Condong Darat (053325 LS - 1052054.63
BT). Persentase penutupan karang secara detail dapat dilihat pada grafik di bawah ini.




















Kondisi tutupan karang di tiga pulau ini mengalami kerusakan, dan kualitas terumbu
karang di perairan ini jauh menurun dibandingkan dengan 5 hingga 6 tahun yang lalu.
Ini terjadi karena laju pembangunan fasilitas wisata dan peristirahatan milik
perseorangan di ketiga pulau tersebut.












Gambar 4.20 Pembangunan tanggul penahan pantai (kiri) yang menggunakan karang dari perairan di
Pulau Sulah merusak ekosistem terumbu karang di pulau ini (kanan).









Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 31





















Gambar 4.21 Pembangunan fasilitas peristirahatan dan budidaya laut dengan jaring tancap di Pulau
Condong Laut dan kondisi terumbu karang di Pulau Condong Laut (atas). Pulau Condong Darat yang
dikelola oleh Grup Artha Graha dan kondisi terumbu karang di perairan Pulau Condong Darat (bawah).


Persentase tutupan terumbu karang di Kepulauan Condong rata-rata untuk karang hidup
38.4 %, karang mati 18.6 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 18.6 % (lihat
grafik rata-rata penutupan karang di Kepulauan Condong di bawah). Dari grafik di
bawah ini dapat diketahui berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, terumbu
karang di perairan Kepulauan Condong ada dalam kategori sedang.












4.1.10 Teluk Pedada
Teluk Pedada adalah perairan semi tertutup di dalam kawasan perairan Teluk
Lampung. Teluk Pedada termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran,
dan perairan ini terletak di ujung barat Teluk Lampung yang berbatasan dengan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 32
Samudera Hindia. Garis pantai di teluk ini penuh dengan lika-liku dan terdapat
beberapa pulau kecil serta gosong karang di dalamnya.
Batimetri Teluk Pedada tergolong miring dimulai dari pantai kearah mulut Teluk
Pedada kedalaman dasar perairan ini bisa mencapai 50 m. Secara umum perairan ini
memiliki kedalaman rata-rata yang tertinggi dibandingkan dengan perairan teluk kecil
lainnya yang ada di wilayah Teluk Lampung.













Grafik 4.22 Grafik persentase tutupan karang di Teluk Pedada

Pengamatan karang di Teluk Pedada dilakukan pada saat laut surut, dengan arus lemah
yang bergerak ke arah tenggara. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) titik
penyelaman yaitu Teluk Kucangreang (054624,06LS - 105132,65BT), Pulau
Balak (054510,10LS - 1051039,70BT), Pulau Lok (054442,90LS-
1051035,20BT), Gosong Pulau Lok (054431,96LS-10510 46,32 BT), Pulau
Lunik (054422,25LS-1051026,57BT), Gosong Lunikan (054426,70LS-
1051016,30BT), Tanjung Putus 1 (054346,94LS-1051240,23BT) dan di
Tanjung Putus 2 (054346,65LS-1051232,83BT).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 33
Suhu rata-rata di perairan pada saat pengamatan 29C dan salinitas air permukaan
rata-rata 32 permil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter disetiap titik
pengamatan rata-rata adalah 5 meter. Secara detail hasil pengamatan persentase
terumbu karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada Grafik 4.11 di atas.















Gambar 4.23 Kondisi perairan Teluk Kucangreang yang terdiri dari batuan cadas, karang mati dan
dominasi karang lunak serta makro alga.

Perairan Teluk Kucangreang miskin karang hidup. Dari hasil pengamatan di peroleh
perairan tersebut didominasi oleh karang lunak dari genus Sinularia (24.74%) dan
makro alga dari genus Turbinaria (2.06%) seperti Turbinaria decurrens yang tersebar
di tempat-tempat dimana bisa terkena gelombang secara langsung.
Pulau Balak merupakan daerah survey yang menarik karena di pulau ini terdapat
kegiatan budidaya ikan kerapu dan penangkaran ikan hiu. Selain itu karena aktifitas

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 34
di pulau dan dengan adanya pos penjagaan yang dijaga aparat, secara tidak langsung
melindungi ekosistem terumbu karang disekitar pulau dari kegiatan penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan.
Persentase tutupan karang hidup di Perairan Pulau Balak termasuk dalam kategori
BAIK (51 %) berdasarkan standar baku mutu kerusakan karang. Namun demikian
masih terdapat pecahan karang mati (rubble) sebesar 10% di sekitar perairan Pulau
Balak.













Pulau Lok adalah pulau kedua terbesar di Teluk Pedada setelah Pulau Balak. Pulau
ini merupakan pulau datar dengan luas 7 ha dan memiliki garis pantai sepanjang
1.3 km. Pulau ini menurut keterangan masyarakat sering menjadi sasaran kegiatan
ilegal fishing terutama pengeboman ikan. Hal ini terlihat dari persentase pecahan
karang mati (rubble) yang sebesar 20.2 %.
Namun demikian tutupan karang hidup di pulau ini masih tergolong sedang (40 %)
dengan komposisi karang acropora yang didominasi oleh spesies Acropora aspera
(11%), dan karang keras non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (17.5%)
Gambar 4.24
Pos Penjagaan kompleks budidaya di
Pulau Balak dan keramba jaring
tancap berisi ikan hiu yang di
tangkarkan.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 35
adalah dari genus Montipora, Pavona cactus dan spesies Agaricia agaricites. Karang
dengan bentuk tumbuh masif sebesar 12.5% yang antara lain terdiri dari Porites
mayeri,Siderastrea siderea, dan Lobophyllia hemprichii.
Karang lunak juga cukup banyak ditemukan di perairan ini (13.8%) yang tersusun dari
genus Sinularia, disamping makro alga (4.5%) dan sponge 1%. Untuk makro alga
spesies yang dominan adalah Padina commersoni.











Gambar 4.25 Sponge jenis Callyspongia aerizusa di perairan Pulau Lok.
Pulau Lunik adalah sebuah pulau kecil di sebelah utara Pulau Lok dengan diameter
50 meter. Komposisi dasar perairan pulau ini sebagian besar terdiri dari pasir. Tetapi
tidak demikian dengan Gosong Lunikan yang memiliki tutupan karang hidup sebesar
49.2 %. Kondisi Pulau Lunik yang miskin dengan terumbu karang berdampak pada
tingkat abrasi pantai yang terjadi di pulau tersebut, sehingga membuat pengelola pulau
tersebut perlu membuat struktur penahan pantai yang hingga kini tampaknya juga
tidak terlalu efektif manfaatnya.




Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 36









Gambar 4.26 Pulau Lunik (atas), Porites cylindrica dan karang masif Favia lacuna di Gosong Lunikan.
Tanjung Putus terletak di sebelah ujung Timur Laut Teluk Pedada. yang dikatakan
perairan Tanjung Putus sebenarnya adalah sebuah selat sempit diantara daratan
Sumatera dengan Pulau Tanjung Putus. Dinamakan Tanjung Putus karena konon
dahulu kala daerah itu adalah sebuah tanjung yang karena suatu hal terpisahkan dari
daratan utamanya.
Perairan Tanjung Putus ini merupakan salah satu sentra kegiatan budidaya laut dengan
menggunakan jaring apung dan juga sebagai basis wisata penyelaman di Teluk
Lampung. Karena pengawasan dan aktifitas budidaya dan wisata yang hampir tdak
pernah berhenti di wilayah perairan tersebut, tutupan terumbu karang di perairan
tersebut relatif terhindar dari kegiatan pengeboman yang ditandai dengan banyaknya
hamparan peracahan karang mati (rubble). Persentase tutupan karang hidup di
perairan ini termasuk dalam kategori baik (50.64 %) walaupun di beberapa tempat
tetap ditemukan pecahan karang mati (rubble) sebesar 12.15 %, yang diduga
kerusakan karang tersebut disebabkan akibat jangkar bangunan jaring apung dan
jangkar perahu yang beroperasi diperairan tersebut.




Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 37







Gambar 4.27 Pulau Tanjung Putus dilihat dari arah laut (atas), juvenil ikan hidup diantara terumbu
karang, dan karang masif Montipora turgescens (bawah).

Bentuk tumbuh karang penyusun karang hidup di perairan Tanjung Putus yang
dominan adalah karang daun (foliose) dan karang masif. Karang daun yang
ditemukan di perairan ini antara lain adalah Leptoseris yabei, dan karang masif yang
ditemukan antara lain adalah Montipora turgescens, dan Porites lobata. Karang
jamur (mushroom) juga banyak tersebar di perairan ini yaitu sebesar 3 %.
Dari hasil pengamatan, di peroleh gambaran bahwa Teluk Pedada merupakan salah
satu sentra budidaya laut dan entry point dari kegiatan wisata selam di Teluk
Lampung. Secara umum persentase penutupan karang di perairan ini adalah 33 %
karang hidup, karang mati 15.4% dan pecahan karang mati (rubble) 10.3%.
Perlu mendapat perhatian terhadap tingginya penutupan karang yang rusak (karang
mati dan karang pecah) sebesar 25.7 %, dengan kata lain seperempat dari seluruh
luasan terumbu karang di Teluk Pedada dalam keadaan rusak. Tentunya hal ini
mengisyaratkan bahwa perlu diambil kebijakan pengawasan oleh pemerintah dan
masyarakat untuk mengurangi aktifitas dibidang perikanan secara teknis yang
berpotensi merusak kelestarian ekosistem terumbu karang di teluk ini.

Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (Kepmen LH No.4 tahun 2001),
tutupan terumbu karang di wilayah perairan Teluk Pedada termasuk dalam kategori
sedang dengan penutupan karang hidup rata-rata adalah 33 %. Secara detail
persentase tutupan karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 38







Grafik 4.4 Tutupan Karang di Teluk Pedada

4.1.11 Kepulauan Lelangga
Kepulauan Lelangga terdiri dari Pulau Lelangga Balak (054345,75LS-
1051346,31BT) dan Pulau Lelangga Lunik (054310,40LS-1051432,10BT).
Hasil pengamatan dan detail tutupan terumbu karang di kepulauan tersebut dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.









Grafik 4.5 Persentase tutupan karang di Kepulauan Lelangga
Secara umum kondisi karang di Kepulauan Lelangga berdasarkan kriteria baku
kerusakan terumbu karang, termasuk dalam kategori sedang (karang hidup (29.3%).
Karang hidup di perairan ini sebagian besar tersusun dari karang dengan bentuk
tumbuh meja (9.5%), karang jari (6.8%), karang daun (4.5%) dan karang bercabang

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 39
(8%).
Spesies karang dengan bentuk tumbuh meja (tabulate) yang ada di perairan ini antara
lain Acropora cytherea. Bentuk tumbuh jari spesies pembentuknya antara lain adalah
Acropora palifera, dan pembentuk populasi karang bercabang di perairan Lelangga
antara lain adalah Acropora parilis, karang masif adalah Montastrea curta, serta
karang daun Agaricia agaricites.













Gambar 4.28 Acropora cytherea (atas), dan beberapa spesies karang lunak
di perairan Pulau Lelangga Balak.


Yang menarik dari pengamatan di perairan Lelangga adalah kondisi dan status Pulau
Lelangga Lunik. Pulau Lelangga Lunik kini pengelolaannya sudah dikuasai oleh
seorang pengusaha. Di atas pulau itu dibangun beberapa fasilitas rumah
peristirahatan. Namun sayangnya kondisi terumbu karang di perairan ini rusak
terutama di arah pintu masuk ke pulau. Karang hidup di pulau ini praktis hanya di

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 40
temukan di sebelah selatan pulau (24%) dan sisanya adalah karang rusak yang terdiri
dari karang mati (20%), dan pecahan karang mati atau rubble sebesar 16%. Beberapa
karang lunak juga ditemukan di perairan ini sebagai bentuk upaya karang untuk
kembali pulih. Karang lunak (36%) yang ada di perairan ini antara lain adalah
Nepthea audouin, dan beberapa jenis karang lunak dari genus Sinularia.













Gambar
4.29
Pulau Lelangga Lunik di lihat dari laut dan
kondisi terumbu karang yang rusak di perairan
Pulau Lelangga Lunik.




Secara umum tutupan karang yang rusak di perairan lelangga lebih besar
dibandingkan dengan karang hidup (36.5%), yang terdiri dari karang mati 23.5% dan
rubble 13%. Rata-rata persentase tutupan karang di Kepuluan Lelangga disajikan
dalam grafik dibawah ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 41






















4.1.12 Ketapang
Ketapang adalah pantai di wilayah perairan Teluk Ratai Kecamatan Padang Cermin,
Kabupaten Pesawaran. Teluk Ratai merupakan teluk di kawasan Teluk Lampung
yang menjadi pusat pertahan dan keamanan nasional. Di teluk ini dibangun dan
Kerusakankarangyangparahdi
PulauLelanggaLunik,Kabupaten
Pesawaran.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 42
dikembangkan Pangkalan Utama Armada Laut/Maritim TNI Angkatan Laut Bagian
Barat Teluk Ratai. Selain terdapat Dermaga Armada Barat, Pangkalan Maritim dan
Brigade Infanteri Marinir juga di pusatkan di kawasan ini. Dijadikannya Teluk Ratai
sebagai basis militer berdampak pada kelestarian ekosistem terumbu karang di
perairan ini. Hal ini tercermin dari kondisi tutupan terumbu karang di perairan
Ketapang. Tutupan karang hidup di perairan ini adalah 59%. Karang rusak 18%
yang terdiri dari karang mati 13% dan rubble 5%. Pecahan karang mati (rubble) yang
sedikit mengindikasikan bahwa di wilayah ini kegiatan pengeboman ikan dan kegiatan
ilegal fishing lainnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi perairan
lainnya di Teluk Lampung.







Grafik 4.6 Grafik Persentase tutupan karang di perairan Ketapang.
Pengamatan terumbu karang di perairan ini dilakukan pada saat laut surut, arus sedang
ke arah selatan. Suhu permukaan pada saat pengamatan 30C dan salinitas air laut 31
pemil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter adalah 6 meter, kondisi ini cukup
memudahkan proses pengambilan data primer dengan menggunakan metode Line
Intercept Transect yang menarik garis lurus di daerah Reef Flat sepanjang 50 meter.
Kondisi kecerahan tersebut juga sangat memudahkan pengambilan dokumentasi
bawah laut di perairan ini.





Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 43











Gambar
4.29
Pintu gerbang kawasan militer TNI AL
(atas), lili laut dan hamparan karang jari
Acropora irregularis (bawah).

Karang hidup di perairan Ketapang di dominasi oleh karang non acropora dengan
bentuk tumbuh karang daun (foliose) sebanyak 40% seperti spesies Leptoseris
amitoriensis. Karang bercabang sebanyak 29% seperti Montipora gaimardi, Acropora
brueggemanni, Anacropora pillai dan lain-lain.
Beberapa spesies karang jari (coral digitate) penyusun ekosistem terumbu di perairan
ini antara lain adalah Acropora irregularis, Montipora angulata. Dan karang lunak
(5%) di perairan ini sebagian besar terdiri dari genus Sinularia.




4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda
Pengamatan ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan
sangat penting untuk mengetahui perbandingan kondisi tutupan karang diantara pantai

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 44
Kabupaten Pesawaran, Kota Bandar Lampung dan dengan Kabupaten Lampung
Selatan itu sendiri.
Pengamatan karang di pantai Kalianda Kabupaten Lampung Selatan di lakukan di 4
(empat) stasiun yaitu; Pantai Canti (054801,30LS-1053458,2BT), Pantai
Kaliandak (054439.61LS-1053510.60BT), Merak Belantung 1
(054029.86LS-1053232.95BT), Merak Belantung 2 (054131.45LS-
1053159.03BT). Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan tersebut dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.













Grafik 4.7 Persentase tutupan karang di Pantai Kalianda.
Kondisi ekosistem terumbu karang di Pantai Kalianda berdasarkan kriteria baku
kerusakan karang termasuk dalam kategori rusak. Hal ini terlihat dilapangan bahwa
kelompok terumbu karang yang masih hidup didasar perairan cukup sulit ditemukan.
Sebagai contoh di Canti tutupan karang hidup 15.8%, Pantai Kalianda 12%, dan rata-
rata tutupan karang hidup di Merak Belantung 9.5%.
Secara umum kondisi penutupan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kalianda

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 45
dapat di ilustrasikan dengan grafik kue dibawah ini.









Pada grafik kue di atas dapat dilihat penutupan karang hidup hanya 11.7% (kategori
rusak), dan karang rusak 16.15% yang terdiri dari karang mati 7.75% dan rubble
8.4%.
Yang unik dari pengamatan di pesisir Kalianda adalah tingginya persentase penutupan
alga di perairan ini yaitu sebesar 39.75%. Kondisi ini hampir merata di setiap lokasi
pengamatan, seperti di Canti tutupan alga sebesar 11%, pantai Kalianda 42%, dan
rata-rata tutupan alga di Merak Belantung sebesar 53%. Persentase tutupan alga yang
cukup tinggi ini disebabkan karena kondisi habitat yang tepat cocok untuk
pertumbuhan alga yaitu kondisi perairan pantai yang relatif tenang hingga berarus
sedang, serta substrat perairan yang berpasir (29.75%). Kondisi perairan yang di
tumbuhi alga biasanya menjadi indikator bahwa di perairan tersebut representatif
untuk pengembangan budidaya rumput laut, yang dapat menjadi alternatif usaha bagi
masyarakat pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Beberapa jenis makro alga yang teridentifikasi di sepanjang lokasi pengamatan antara
lain adalah ; Caulerpa racemosa, Turbinaria decurrens, Padina commersoni,
Actinotrichia fragilis, Sargassum duplicatum, dan Halymenia durvillaei.
Makro alga yang ditemukan dominan di pantai Canti adalah dari jenis Caulerpa
racemosa yaitu 11% dari area pengamatan di Canti, makro alga di Pantai Kalianda
didominasi oleh spesies Actinotichia fragilis (34%) dan Sargassum sp (8%), serta
makro alga di Merak Belantung didominasi oleh genus Sargassum (50%).

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 46













Gambar 4.30 Makro algae Halymenia durvillaei di Canti (kiri atas), Caulerpa racemosa dan
Turbinaria decurrens di Canti (kanan atas), Actinotichia fragilis (merah) dan Titanophora
pulchra (orange) di Kalianda (kanan bawah), dan Sargassumsp. Di Merak Belantung (kiri
bawah).

Makro alga dari jenis Titanophora pulchra yang berwarna orange adalah makro alga
yang jarang ditemui. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (1996), makro alga jenis
Titanophora sp baru terlihat di perairan Sulawesi dan itupun hanya satu sampel saja
yang ditemukan.




4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih
Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih adalah dua pantai di pesisir Kabupaten
Lampung Selatan yang menjadi sentra kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 47
bahari yang dilakukan di kedua pantai tersebut sebagian besar adalah wisata keluarga
dan berperahu. Pantai Pasir Putih berhadapan langsung dengan Pulau Condong Darat,
salah satu dari tiga pulau di Kepulauan Condong. Seperti diketahui Pulau Condong
adalah Pulau wisata dan Pasir Putih menjadi salah satu pintu masuk ke Pulau Condong
tersebut.
Bersebelahan dengan Pantai Pasir Putih, terdapat tempat pendaratan ikan di Rangai,
sehingga semua aktifitas perikanan dan wisata di sekitar Pantai Pasir Putih tersebut
cukup memberikan tekanan yang berat terhadap kelestarian terumbu karang di
perairan tersebut. Hal ini terlihat dari persentase tutupan karang hidup di Pasir Putih
yang sebesar 25% dan pecahan karang sebesar 31%. Persentase tutupan karang di
Pantai Pasir Putih dan Tanjung Selaki dapat di lihat pada grafik dibawah ini.











Tekanan yang diterima oleh ekosistem terumbu karang di Tanjung Selaki relatif sama
dengan apa yang terjadi di Pantai Pasir Putih. Kegiatan wisata cukup padat di akhir
minggu dan kegiatan penangkapan ikan dengan bagan apung di perairan sekitar
Tanjung Selaki sedikit banyak memberikan dampak pada karang yang tercermin pada
keberadaan karang hidup di perairan ini. Persentase tutupan karang hidup diperairan
ini sebesar 36.14% dan menurut kriteria baku kerusakan karang kondisi ini tegolong
sedang.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 48












Gambar 4.31 Aktifitas wisata di pantai Pasir Putih, sampah, dan kondisi karang di dasar perairan.

Karang hidup di perairan Pasir Putih sebagian besar terbentuk dari karang masif
dengan spesies penyusunnya antara lain Diploria labyrinthiformis. Selain itu di
perairan tersebut juga terekam tutupan alga sebesar 17% yang tersusun oleh alga dari
spesies Caulerpa racemosa, Sargassum sp., dan Actinotichia fragilis.
Di perairan Tanjung Selaki diketahui spesies karang dominan yang membentuk
tutupan karang hidup di perairan tersebut adalah karang dengan bentuk tumbuh
bercabang (36.14%) dengan spesies antara lain Acropora prolifera dan Acropora
palifera. Makro alga juga banyak ditemukan diperairan ini dengan tutupan sebesar
49.57%.
Kondisi tutupan karang di perairan Tanjung Selaki secara umum dapat dilihat pada
grafik persentase tutupan karang di bawah ini.





Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 49






Grafik 4.8 Persentase tutupan karang di perairan Tanjung Selaki-Pasir Putih.

Dari grafik diatas diperoleh gambaran bahwa tutupan karang di perairan Pantai
Tanjung Selaki dan Pasir Putih termasuk dalam kategori sedang (30.6%). Dan
pecahan karang mati (rubble) sebesar 22.6%. Hamparan pecahan karang ini diduga
kuat diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak yang hingga
kini masih sering terjadi, dan karena kegiatan wisata yang tidak mengindahkan
lingkungan serta jangkar kapal /perahu/bagan apung yang sering beroperasi di lokasi
pengamatan.









4.1.15 Lokasi Batu Bara
Penamaan Lokasi Batu Bara pada laporan ini sebenarnya hanya untuk memberi inisial
titik koordinat (053148.90LS-1052114.37BT) tempat dimana pengamatan dan
penyelaman dilakukan. Lokasi pengamatan tersebut adalah di pantai dimana terminal
Bagan apung yang beroperasi
di Perairan Tanjung Selaki.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 50
bongkar muat batubara tarahan berada. Pengamatan dilakukan ditempat ini bertujuan
untuk melihat dampak kegiatan bongkar muat batubara terhadap kondisi terumbu
karang yang ada di perairan tersebut.
Persentase tutupan karang hidup di perairan tersebut yaitu sebesar 28%, dalam artian
kondisi karang diperairan masih dalam kategori sedang walaupun mendekati rusak.
Namun yang menarik di lokasi ini adalah tutupan silt atau lumpur maupun substrat
halus yang menutupi dasar perairan. Tutupan substrat halus tersebut berwarna coklat
hingga hitam terhampar seluas 41%. Di lokasi ini juga ditemukan hamparan karang
mati yang meliputi 20% dari luas garis pengamatan. Karang mati ini diduga terjadi
karena resapan cahaya matahari yang kurang karena keruhnya air laut di sekitar
perairan. Pada saat penyelaman dilakukan kecerahan air laut kurang dari 4 meter,
walaupun pada saat itu air sedang dalam keadaan surut.











Grafik 4.9 Persentase tutupan karang di lokasi Batubara.

4.1.16 Pulauan Sebuku
Pengamatan terumbu karang di Pulau Sebuku dilakukan di dua lokasi penyelaman
yaitu Pulau Sebuku (055048.40LS-1053145BT) dan Pulau Sebuku Kecil yang
biasa di sebut Pulau Elang (055240.11LS-1053229.67BT). Pulau Sebuku

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 51
merupakan salah satu pulau besar selain Pulau Sebesi di kawasan perairan Teluk
Lampung. Pulau Sebuku adalah pulau yang berpenghuni dan aktifitas kegiatan
penangkapan ikan cukup tinggi. Persentase tutupan karang di setiap lokasi
pengamatan dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.














Kondisi karang di Pulau Sebuku termasuk dalam kategori rusak. Hal ini tercermin
dari persentase karang hidup di Pulau Sebuku yang hanya 23.93%. Demikian pula
dengan Pulau Elang yang tutupan karang hidupnya 12%.
Menurut penuturan nelayan dari Pulau Sebuku, di perairan sekitar pulau sering terjadi
pengeboman ikan terutama di Pulau Elang. Dampak dari kegiatan ilegal fishing ini
tampak pada persentase karang mati di Pulau Elang yang hingga mencapai 72%.




Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 52










Gambar 4.32 Kondisi terumbu karang di Pulau Sebuku (atas), dan di Pulau Elang (bawah).

Beberapa spesies karang yang ditemukan di Pulau Sebuku antara lain adalah karang
dengan bentuk bercabang seperti Acropora cylindrica, karang dengan bentuk tumbuh
meja yaitu Acropora japonica dan Montipora efflorescens, serta karang dengan
bentuk tumbuh masif seperti Astreopora myriophthalma.
Di perairan Pulau Sebuku juga terdapat hamparan karang lunak yang hidup diatas
karang mati sebagai bentuk awal dari akan pulihnya ekosistem karang. Persentase
karang lunak (soft coral) di perairan ini adalah 2.66%. Selain karang lunak, tutupan
makro alga juga menghiasi hamparan karang mati dengan besaran tutupan 1.27%.
Spesies karang lunak yang ada di perairan Pulau Sebuku antara lain adalah Xenia sp
dan genus Sinularia. Sementara spesies makro alga yang dominan ada di dasar
perairan ini adalah alga Halimeda sp.
Tutupan karang di Pulau Elang sungguh memprihatinkan. Karang hidup yang terukur
di perairan ini hanya 12% yang meliputi karang masif 7% dan karang kerak 5%.
Sementara hamparan karang mati mencapai 72% yang meliputi karang yang baru mati
(dead coral) 29%, dan karang mati yang tertutup alga (Dead Coral Algae) mencapai
tingkat tutupan sebesar 43%.
Secara umum, tutupan karang di perairan kepulauan Sebuku dapat di gambarkan
dalam grafik kue dibawah ini.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 53










Grafik 4.10 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di Pulau Sebuku
Karang hidup diperairan kepulauan ini rata-rata hanya 18% sehingga kondisi
ekosistem terumbu karang ada dalam kategori rusak berdasarkan kriteria baku
kerusakan karang dari Kepmen Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001.








4.1.17 Kepulauan Sebesi
Pengamatan terumbu karang di Kepulauan Sebesi dilakukan di 2 (dua) lokasi
penyelaman yaitu di sebelah utara Pulau Sebesi pada koordinat 055511.26LS-
105303.18BT, dan di Pulau Umang-umang pada koordinat 055533.99LS-
Perahupenumpang,sebagaisatusatunyaalat
transportasidariCantikeKepulauanSebesidanSebuku.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 54
1053157.11BT.
Pulau sebesi merupakan pulau besar yang berpenduduk cukup banyak dalam sebuah
desa. Dahulu penduduk pulau ini hidup makmur dengan mangandalkan hasil
perkebunan kelapa, namun sejak krisis ekonomi komoditi kelapa tidak lagi dominan
dan kini banyak kebun kelapa di pulau ini dikonversi menjadi kebun coklat.
Garis pantai Pulau Sebesi mencapai 21 km dengan topografi pulau hingga 800
meter. Kondisi perairan pada saat pengamatan dilakukan adalah pada saat surut dan
arus bergerak keras ke arah utara. Selain itu penyelaman dilakukan pada saat gunung
anak Krakatau dalam keadaan siaga II. Persentase tutupan karang di setiap lokasi
pengamatan di tampilkan dalam grafik dibawah ini.














Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 21%, dan karang mati sebesar
4%, serta tutupan pecahan karan mati mencapai 26%. Dengan demikian kondisi
terumbu karang di Pulau Sebesi dalam ada dalam kategori rusak.
Pulau Umang-Umang merupakan pulau kecil di sebelah timur Pulau Sebesi dan pulau

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 55
ini kini dijadikan daerah perlindungan laut (DPL) yang dikelola oleh masyarakat
pulau. Kondisi tutupan terumbu karang di pulau ini jauh lebih baik daripada kondisi
karang di pulau induknya. Tutupan karang hidup di pulau ini mencapai 47%, dengan
komposisi karang keras dari keluarga Acropora sebesar 21.60%, dan kelompok non
acropora sebesar 37.40%. Selain itu tutupan alga mencapai 10%, dan hamparan
karang lunak yang menghiasi dasar perairan mencapai 15%.













Gambar
4.33
Kondisi terumbu karang di Pulau
Sebesi pada kedalaman 10 meter
(atas), Pulau Umang-umang dan
Kima Raksasa (Tridacna gigas)
yang banyak terdapat di perairan
DPL pulau ini (bawah).

Dari pengamatan terumbu karang di kedua lokasi penyelaman tersebut diperoleh
gambaran persentase tutupan karang di Pulau Sebesi adalah seperti yang diilustrasikan
pada grafik dibawah ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 56









Grafik 4.11 Grafik rata-rata Penutupan karang di Pulau Sebesi.

Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 34% sehingga berdasarkan
kriteria baku kerusakan karang ekosistem terumbu karang di kepulauan ini termasuk
dalam kategori sedang.
Pada grafik di atas tergambar pula persentase kerusakan karang yang mencapai 25%
yang terdiri dari karang mati 8% dan pecahan karang mati sebesar 17%. Bila di Pulau
Sebesi tersebut tidak ada upaya untuk mengamankan sebagian dari wilayah
perairannya untuk menjadi daerah perlindungan laut (DPL), maka dapat diestimasi
bahwa persentase karang hidup di perairan sebesi akan jauh lebih rendah dari yang
terhitung sekarang.




4.1.18 Pesisir Pantai Bandar Lampung
Pesisir pantai Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang terpada dengan
penduduk dan aktifitas perekonomiannya. Sebagai ibukota Propinsi Lampung seluruh
aktifitas kegiatan manusia mulai dari pusat pemerintahan, pelabuhan perikanan dan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 57
pelabuhan peti kemas, pusat wisata hingga ke industri seluruhnya ikut memberikan
tekanan yang tinggi terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir
kotamadya ini.
Tekanan aktifitas kegiatan manusia tersebut tercermin dari hilangnya kelestarian
ekosistem terumbu karang diperairan. Pada saat pengamatan karang yang dilakukan
di tiga lokasi penyelaman yang meliputi Pantai Puri Gading (05289.21LS-
1051527.69BT), Gudang Lelang (052718.45LS-1051614.20BT), dan Pulau
Kubur (052914.30LS-1051529.80BT), tidak ditemukan tutupan karang hidup,
bahkan tutupan karang mati sangat jarang (poor) dan sudah tertutup endapan (silt)
sehingga dapat diabaikan keberadaannya. Dibawah ini disajikan grafik penutupan
karang per lokasi pengamatan di pesisir pantai Bandar Lampung.


















Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 58



Gambar 4.34 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan sea grass jenis Enhallus acoroides
di dasar perairan Bandar Lampung.

Secara umum kondisi ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Bandar Lampung di
lokasi pengamatan adalah rusak dengan tutupan karang hidup 0%. Dasar laut di
kawasan perairan tersebut didominasi oleh hamparan pasir (73.9%) dan lumpur (7%).
Selain itu hanya ditemukan fauna lain yang masih hidup dari kelopok sea grass seperti
Enhallus acoroides. Dengan demikian kondisi karang di perairan tersebut dapat
digambarkan dalam grafik dibawah ini.









Grafik 4.12 Grafik tutupan karang di pesisir pantai Bandar Lampung.



4.2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung tahun 1998 dan
tahun 2007
Pada tahun 1998, kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung pernah
dilakukan penelitian karang di beberapa pulau melalui kegiatan Coastal Resources

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 59
Management Project Lampung. Pengukuran tutupan terumbu karang di lakukan di 6
(enam lokasi) yaitu ; Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau
Kelagian, Pulau Puhawang dan Pulau Dua.
Rata-rata tutupan karang hidup di lokasi pengamatan tersebut pada tahun 1998 adalah
65.5%, dan tutupan rata-rata karang mati adalah 14.73%. Sehingga berdasarkan
kriteria baku kerusakan karang, kondisi terumbu karang di beberapa lokasi di Teluk
Lampung pada tahun 1998 termasuk dalam kategori BAIK. Berikut disajikan dalam
bentuk grafik persentase tutupan karang di Teluk Lampung pada tahun 1998.









Grafik 4.13 Grafik tutupan karang di Teluk Lampung tahun 1998.

Dibandingkan dengan kondisi tutupan karang di Teluk Lampung tahun 1998 tersebut,
kondisi ekosistem karang Teluk Lampung pada beberapa lokasi yang sama saat ini
(tahun 2007) sangat menurun selama kurun waktu 8 tahun ini dengan laju penurunan
tutupan karang hidup sebesar 3% pertahun.


Perubahan dan perbandingan persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi di
Teluk Lampung antara tahun 1998 dengan tahun 2007, disajikan dalam grafik
dibawah ini.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 60









Grafik 4.14 Grafik tutupan karang hidup di Teluk Lampung pada beberapa lokasi tahun 1998
dan tahun 2007.
Dari grafik yang menunjukkan perbandingan kondisi tutupan karang di atas, diperoleh
gambaran bahwa hampir seluruh lokasi pengamatan karang mengalami penurunan
tutupan karang, kecuali di Pulau Kelagian. Hal ini terjadi karena dipilihnya Pulau
Kelagian sebagai daerah latihan perang yang dikelola oleh TNI AL, sehingga aktifitas
TNI AL sekitar perairan ini mengurangi aksi pengeboman ikan yang dilakukan oleh
oknum nelayan.







4.3 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung
Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam
dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring
Jangkar
kapal/perahu
turutandildala
kerusakan
karangdiTeluk
Lampung

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 61
diantara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan terbesar penduduk sehingga
memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah ini.
Secara spasial dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas
(daratan) dan laut. Hal ini karena wilayah pesisir merupakan merupakan daerah
pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka
pengelolaan kawasan pesisir tidak lepas dari pengelolaan yang dilakukan di kawasan
darat dan laut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir
merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang
dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri,
pemukiman dan sebagainya.
Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan
rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja,
tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan
wilayah pesisir harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah
Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.
Keterkaitan antar ekosistem pesisir dan laut harus selalu diperhatikan, misalnya
ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Salah satu sumberdaya alam di perairan Teluk Lampung yang rentan terhadap
kerusakan adalah terumbu karang. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada
didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi
perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan aquarium ikan
laut, bahan bangunan, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan
pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak.
Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia.
Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan
manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk
mengembalikan terumbu karang yang rusak maka diperlukan upaya pengelolaan
terumbu karang yang diantaranya rehabilitasi terumbu karang.
Keberhasilan pengelolaan terumbu karang ditentukan oleh banyak faktor. Salah
satunya adalah partisipasi masyarakat setempat. Tanpa adanya upaya pemeliharaan
dan perlidungan terumbu karang secara terus menerus, maka upaya rehabilitasi
terumbu karang kecil kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 62
diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasinya masyarakat agar
telibat aktif serta persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wilayah pesisir.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden sebanyak 110 orang di Teluk
Lampung, persepsi masyarakat terhadap lingkungan pesisirnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung
No Pertanyaan Kuisioner Persentase Responden (%)
1 Kegiatan manusia di laut akan
mempengaruhi jumlah ikan di laut
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali

0
25.5
6.4
2.7
5.5
57.3
2.7
2 Hutan mangrove tidak dilindungi,
maka kita tidak dapat menangkap
ikan kecil-kecil
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali

0
26.4
1.8
4.5
2.7
56.4
8.2
3 Kita harus peduli dan menjaga tanah
dan laut, bila tidak tanah dan laut
tidak akan menyediakan makanan
bagi kita
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali

1.8
6.4
0.9
0.9
0.9
70.9
18.2

4 Membuang sampah ke pantai, akan
dibawa arus ke laut dan tidak akan
menimbulkan kerusakan di laut
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
4.5
48.2

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 63
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali

0.9
0.9
0.9
36.4
8.2
5 Kita tidak perlu kuatir mengenai
lingkungan udara dan laut, karena
Tuhan akan merawat dan
menjaganya
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali

5.5
41.8
2.7
1.8
0
40.9
7.3
6 Apabila ada kerjasama dari
masyarakat maka sumberdaya alam
di sekitar desa kita dapat dijaga dan
dilindungi
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali
0.9
0
0.9
0.9
2.7
82.7
11.8

7 Menangkap ikan akan lebih mudah
bila karang tempat hidup ikan di
angkat dan diambil habis
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali
1.8
74.5
4.5
0.9
0
13.6
4.5

8 Perkebunan di perbukitan di
belakang desa dapat mempengaruhi
kehidupan ikan
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
0
46.4
0.9
5.5

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 64
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali
2.7
42.7
1.8

9 Karena begitu banyak ikan di laut,
maka berapapun yag ditangkap, ikan
akan tetap tersedia cukup bagi
kebutuhan kita
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali
0
13.6
8.2
0
0.9
69.1
8.2

10 Kawasan laut yang dimanfaatkan
oleh desa ini terbatas
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak tidak setuju
Tidak tahu
Agak setuju
Setuju
Setuju sekali
2.7
31.8
0
4.5
0
56.4
4.5


Masyarakat yang menyatakan setuju (57,3%/63 orang) bahwa kegiatan manusia dilaut
mempengaruhi jumlah ikan di laut. Sedangkan persepsi terhadap hutan bakau bahwa
masyarakat yang setuju (56,4%/62 orang) dan tidak setuju (26,4 %/29 orang) jika
hutan bakau tidak dilindungi maka tidak dapat menangkap ikan-ikan kecil lagi.
Masyarakat setuju membuang sampah ke sungai sebanyak (36,4%/40 orang) dan tidak
(48,2%/53 orang), ini berarti bahwa banyak masyarakat mempunyai kebiasaan suka
membuang sampah ke sungai. Kerjasama dalam menjaga sumberdaya alam sangat
penting, masyarakat yang setuju (82,7%/91 orang), ini berarti tanggung jawab
menjaga lingkungan laut adalah tanggung jawab bersama. Persepsi masyarakat
terhadap kemudahan menangkap ikan pada karang yang diangkat dan diambil habis
sebayak (74,5 %/82 orang) tidak setuju, ini berarti masyarakat secara pengalaman
sehari-hari mengetahui bahwa karang merupakan habitat ikan karang. Pandangan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 65
bahwa sumberdaya ikan sangat terbatas sebanyak (69,1%/76 orang) setuju dan hanya
(13,6%/ 15 orang) tidak setuju. Tentang kawasan laut yang dimanfaatkan mempunyai
keterbatasan, sebanyak (56,4%/62 orang) setuju dan (31,8%/35 orang) tidak setuju.

4.4 Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung
Ekosistem terumbu karang dapat mengalami degradasi/kerusakan oleh aktifitas
manusia. Aktifitas tersebut seperti yang diungkapkan oleh Berwick (1983) dalam
Dahuri et al (1996) adalah: penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak,
penangkapan ikan dengan alat yang merusak dan eksploitasi yang berlebihan,
pembuangan limbah panas, pengundulan hutan di lahan atas, pengerukan di sekitar
terumbu karang, kepariwisataan, pencemaran oleh limbah manusia dari hotel tanpa
hotel tanpa pengolahan, kerusakan fisik terumbu karang oleh jangkar kapal, kegiatan
penyelaman yang tidak peduli terhadap nilai kelestarian terumbu karang, serta
penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalsium sianida (KCN). Sedangkan
pengaruh faktor alam misalnya akibat badai dan pemangsaan predator (Acanthaster
plancii) juga akibat perubahan suhu air laut yang menyebabkan karang mati dan
menjadi putih (bleaching).
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa
kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh:
1. Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang
Pemboman karang terjadi diantara Pulau Legundi, Pulau Siuncal, dan pulau
kecil lainya. Bekas-bekas bom dapat dilihat dari banyaknya patahan karang
dan lubang bekas bom serta setelah terjadi pemboman terjadi perubahan
ekosistem mikro terumbu karang dengan danya rubbles dan sea anemone
(karang lunak) yang melimpah. Ini menandakan terjadinya recovery karang
tetapi eksositem baru ini tidak akan mendukung keberadaan ikan-ikan karang
untuk kembali. Dampak racun (potas) menghilangkan semua jenis karang dan
ikan karang dalam bentuk dewasa dan juvenil maupun telurnya.

2. Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan
Dampak penambangan karang adalah kestabilan pantai berkurang dan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 66
bertambahnya erosi/abrasi pantai sehingga menimbulkan masalah sosial seperti
kerusakan bangunan pantai, pantai, rumah, dan infrastruktur penting lainya.
Penambangan karang di untuk pondasi bangunan terjadi disepanjang pantai
Teluk Lampung dan pulau-pulau kecil. Kerajinan karang banyak
diperdagangkan di Kalianda.
3. Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan.
Sedimentasi terjadi pada wilayah dekat pantai dan diwilayah muara sungai.
Dampak yang ditimbulkan matinya karang karena endapan lumpur, susah
melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa
bisa melakukan fotosintesa. Sepanjang pesisir Teluk Lampung terjadi alih
konversi lahan menjadi tambak udang dan penebangan mangrove.
4. Perusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau- pulau kecil
karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga. Kerusakan
karang akibat jangkar seperti patahnya karang bercabang, tercabutnya karang
meja dan hancur karang lunak.
Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk Lampung
No PenyebabUtamaKerusakan Akibatyangditimbulkan
1 Kegiatan Pemboman dan pemutasan
karanguntukmencariikankarang
Kerusakanhabitat,karangpatah,membuang
lubang, karang kena potas memutih, dan
berkurangnyakeanekaragamanhayati
2 Penambangan karang untuk bahan
bangunan,jalandanperhiasan
Kestabilan pantai berkurang dan
bertambahnyaerosi/abrasipantai
3 Sedimentasi akibat penebangan
hutandanpembukaanpertambakan

Matinya karang karena endapan lumpur,


susah melakukan repirasi, perairan keruh
danzooxantelaepadakarangtidakbisabisa
melakukanfotosintesa
4 Perusakan karang akibat
pembuanganjangkarkapaldipulau
pulau kecil karena kurangnya
pelampung tambat (mooring buoy)
dandermaga
Rusaknya karang dan berkurangnya ikan
karang, karang patah terutama karang
bercabang,dankarangterbongkar.

4.5 Parameter Oseanografi
4.5.1 Angin dan Suhu Udara
Angin yang bertiup di atas Teluk Lampung pada saat pengamatan berlangsung adalah

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 67
angin musim barat yang bertiup dari arah barat laut.
Suhu udara yang diperoleh pada saat pengamatan di seluruh lokasi memiliki kisaran
antara 28C-32C. Sehingga dari hasil pengukuran tersebut suhu udara rata-rata di
perairan Teluk Lampung adalah 30C.
4.5.2 Arus
Kecepatan arus permukaan pada saat pengamatan memiliki kisaran antara 0.061
m/det-0.472 m/det. Kecepatan maksimum arus permukaan yang diperoleh adalah
0.472 m/det di perairan Pulau Sebesi. Sedangkan kecepatan minimum arus
permukaan yang diperoleh adalah 0.061 m/det di Teluk Tegal.
Arah dan kecepatan arus permukaan Teluk Lampung yang diperoleh saat pengamatan
lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan Teluk Lampung yang sedang pasang,
pengaruh arus yang masuk dari Selat Sunda, kondisi geografis dan batimetri perairan
Teluk Lampung. Sedangkan pengaruh angin (Nontji, 1987) dan gaya Coriolis
(Sidjabat, 1973) tidak terlalu mempengaruhi arah dan keceepatan arus di dalam Teluk
Lampung. Secara keseluruhan rata-rata kecepatan arus permukaan di perairan Teluk
Lampung di lokasi pengamatan adalah 0.337 m/det dengan arah arus rata-rata menuju
utara.
4.5.3 Suhu
Rata-rata suhu permukaan perairan Teluk Lampung adalah 28C. Secara umum
kisaran suhu permukaan di perairan teluk adalah 28C-30C. Variasi suhu permukaan
yang terdapat di Teluk Lampung ini secara umum disebabkan karena pengaruh
masukan massa air dari Selat Sunda dan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Ratai
dan Teluk Punduh-Pidada. Secara umum sebaran mendatar suhu permukaan tersebut
menunjukkan bahwa pada saat pengamatan, suhu permukaan di tengah-tengah teluk
dan di mulut teluk relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan yang
terukur di pantai barat teluk. Hal ini disebabkan karena perairan dibagian tengah teluk
lebih banyak mendapat pengaruh massa air dari Selat Sunda yang relatif bersuhu lebih
dingin. Sedangkan di perairan barat teluk seperti di Teluk Kucangreang dan Teluk
Punduh-Pidada suhu permukaan perairan lebih tinggi karena adanya pengaruh
masukan massa air (run off) dari Sungai Punduh dan Sungai Ratai yang bersuhu relatif
lebih hangat.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 68
4.5.4 Salinitas
Nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh memiliki kisaran antara 31.91-
32.84. Rata-rata nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh adalah 32.39,
dengan maksimum salinitas kedalaman permukaan tersebut adalah 32.84di perairan
Pulau Siuncal. Dengan demikian nilai rata-rata salinitas permukaan (32.39) di
Teluk Lampung tersebut masih dalam kisaran nilai salinitas yang layak untuk
kehidupan biota laut. Kisaran nilai salinitas yang diusulkan untuk kehidupan biota
laut dan budidaya menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
adalah18-32(KLH, 1987).
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebaran mendatar salinitas disetiap lokasi
pengamatan terumbu karang sangat bervariasi, hal ini secara umum disebabkan oleh
besarnya sirkulasi massa air yang terjadi di Teluk Lampung, seperti pengadukan,
pengangkatan massa air laut dan pertemuan antara massa air yang berasal dari darat
dengan massa air yang berasal dari Teluk Lampung sendiri atau dari Selat Sunda.
4.5.5 Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut permukaan di perairan Teluk Lampung yang diperoleh
berkisar antara 4.13-5.80 ppm. Nilai terendah yang didapat adalah 4.13 ppm di sekitar
Pulau Puhawang. Nilai maksimum yang diperoleh adalah 5.80 ppm di sekitar pulau
Siuncal. Nilai rata-rata oksigen terlarut di permukaan perairan Teluk Lampung adalah
5.22 ppm. Variasi kandungan oksigen terlarut dipermukaan perairan disebabkan
adanya potensi turbulensi dan pengangkatan massa air laut, serta tingkat kepadatan
usaha budidaya laut di perairan tersebut.
4.5.6 Phosphat, Nitrat dan Silikat
Kisaran kandungan phosphat yang terdapat pada kedalaman permukaan adalah 0.12
gr-at P/l-0.61 gr-at P/l. Nilai minimum yang diperoleh adalah 0.12 gr-at P/l yang
terukur di sekitar perairan Pulau Legundi dan Pulau Siuncal sedangkan nilai
maksimum yang diperoleh (0.61 gr-at P/l ) terukur di sekitar perairan Pulau
Kelagian.
Dari hasil pengukuran di lokasi pengamatan diperoleh gambaran bahwa semakin
mengarah ke pantai barat Teluk Lampung (Teluk Punduh dan Teluk Ratai),
kandungan phosphat semakin besar. Hal ini disebabkan karena banyak sungai yang

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 69
membawa sedimen dan membawa substrat yang bermuara di Teluk Punduh dan Teluk
Ratai. Pertemuan massa air dari Teluk Punduh dan Teluk Ratai dengan massa air laut
Teluk Lampung ini menyebabkan terjadinya variasi nilai phosphat karena proses
fenomena pengangkatan massa air akibat pertemuan dua massa air tersebut.
Secara umum rata-rata nilai kandungan phosphat di permukaan perairan Teluk
Lampung adalah 0.29 gr-at P/l. Berdasarkan klasifikasi J oshimura, secara khusus
lapisan permukaan perairan Teluk Lampung diklasifikasikan sebagai perairan yang
subur. Menurut J oshimura dalam Wardoyo (1973), perairan yang memiliki kisaran
kandungan phosphat antara 0.101 gr-at P/l dan 0.2 gr-at P/l dikategorikan sebagai
perairan yang sangat subur.
Nilai kandungan nitrat di permukaan perairan Teluk Lampung memiliki kisaran 0.018
gr-at N/l-0.173 gr-at N/l dengan rata-rata kandunga nitrat yang diperoleh adalah
0.13 gr-at N/l.Nilai nitrat maksimum yang diperoleh terukur di perairan Pulau
Puhawang yang dekat dengan Teluk Ratai dan Teluk Punduh. Perairan tersebut
dipengaruhi oleh masukan massa air dari sungai-sungai yang bermuara di kedua teluk
kecil tersebut yang banyak membawa suspensi dari daratan sehingga sedikit banyak
turut mensuplai kandunga nitrat ke perairan tersebut.
Menurut Prowse (1962) dan Mackentum (1969) dalam Nazdan (1996), bahwa di suatu
perairan N akan menjadi faktor pembatas bagi kelimpahan fitoplankton bila
kandungan nitrat diperairan tersebut lebih kecil dari 0.14 gr-at N/l. Bila kandungan
nitrat diperairan tersebut semakin tinggi, maka biasanya kelimpahan plankton akan
semakin besar. Dengan demikian perairan Teluk Lampung secara keseluruhan
memiliki kandunga nitrat yang cukup layak untuk kehidupan plankton terutama
fitoplankton.
Secara umum kandungan silikat yang terdapat pada permukaan perairan Teluk
Lampung memiliki kisaran antara 20 gr-at Si/l-375 gr-at Si/l. Dengan nilai terbesar
di peroleh di perairan sekitar Teluk Ratai. Hal ini dipengaruhi oleh substrat yang
dibawa masuk oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut. Secara
keseluruhan nilai silikat di perairan Teluk Lampung adalah 71.39 gr-at Si/l.
4.6 Sosialisasi Masyarakat
Sosialisasi tentang ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung dilakukan guna
memberikan pengetahuan dan gambaran tentang kondisi ekosistem terumbu karang

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

Bab IV - 70
terkini kepada masyarakat di pesisir Teluk Lampung.
Sosialisasi tersebut dilaksanakan 2 (dua) kali yaitu di pelabuhan pendaratan ikan
Lemasing, Bandar Lampung dan di Dermaga Ketapang Kabupaten Pesawaran.
Sosialisasi dilakukan dengan mengundang tokoh masyarakat dan nelayan. Secara
umum pada saat kegiatan sosialisasi dan diskusi berlangsung diperoleh gambaran
bahwa rata-rata masyarakat di pesisir Teluk Lampung tidak mengetahui status
kerusakan karang di daerahnya sendiri. Disamping itu pula masyarakat tidak
mengetahui manfaat dan fungsi terumbu karang yang berguna untuk penahan
gelombang, sebagai tempat makan ikan dan sebagai lumbung ikan karang yang
menjadi daya tarik bagi ikan-ikan ekonomis penting yang lebih besar yang datang dari
arah laut lepas untuk mencari makan di sekitar terumbu karang.
Namun peserta sosialisasi di dua lokasi kegiatan tersebut sepakat bahwa hingga kini
kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman ikan, pemotasan ikan dan udang serta
penyetruman ikan yang dilakukan di muara sungai masih sering terjadi. Berdasarkan
dari hasil diskusi diketahui pula bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan di dua lokasi
kegiatan tersebut yang beroperasi di sekitar Teluk Lampung menurun. Selain itu pula
kini sulit bisa memprediksi suasa yang tepat untuk melaut dan sulit untuk menduga
musim ikan yang di tahun-tahun sebelumnya hal tersebut berjalan dengan rutin dan
mudah diprediksi.








Pelabuhan pendaratan ikan di
Rangai, Lampung Selatan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 1
Bab 5. ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN
TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG

5.1 Landasan Hukum Pengelolaan Terumbu Karang
Untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, pemerintah telah
mengeluarkan serangkaian peraturan perundangan dan peraturan lainnya untuk mengatur
aktifitas manusia di perairan terumbu karang.
Tabel5.1PerundangandanPeraturanPengelolaanLingkunganPerairanTerumbuKarang
diIndonesia

No Jenis Perundangan dan Peraturan
1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
2 Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Pariwisata
3 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
4 Undang-Undang No.5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai
Keanekaragaman Hayati
5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
8 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 2
9 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
10 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan
atau Perusakan Laut.
11 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
12 Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan
13 Keputusan Presiden RI No. 43 tahun 1978 tentang Ratifikasi CITES (Convention
on Internasional Trade of Endangered Species of Wild Flora and fauna).
14 Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung.
15 Keputusan Presiden No. 32 tahun 1992, tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup Bagi Penanaman Modal (Lampiran 1 No. 56, Bidang Usaha
Pemanfaatan dan Pengusaha Sponges (bunga karang) yang tertutup dalam rangka
Undang-Undang PMA, PMDN dan Non PMA/PMDN)
16 Keputusan Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989 tanggal 15 Nopember 1989
tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Laut
17 Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi
No.KM.13/PW.102/MPPT/93 tentang Ketentuan Usaha Sarana Wisata Tirta.
18 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04/2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang
19 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun Baku Mutu Air Laut.
20 Surat Edaran Menteri PPLH No. 408/MNPPLH/4/1979 tanggal 30 April 1979
(Dtujukan kepada Gubernur Kepala daerah Tingkat I di seluruh Indonesia)
tentang larangan Pengambilan Batu Karang yang dapat merusak lingkungan laut.
21 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Pedoman Umum Penggelolaan Terumbu Karang.
22 Surat Edaran Direktur J enderal Perikanan No. IK 220/D4.T44/91 (ditujukan
kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia)
tentang Penangkapan Ikan dengan bahan/alat terlarang.
23 Surat Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, tanggal 28 Februari 2003, tentang
Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang
termasuk Appendix CITES dan tidak dilindungi Undang-Undang untu periode
tahun 2003.






Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 3
5.2 Arahan Sistem Pengelolaan Terumbu Karang
5.2.1 Batas Kawasan Teluk Lampung
Penentuan tata batas kawasan pengelolaan terumbu karang Teluk Lampung didasarkan atas
berbagai pertimbangan baik dari aspek ekologi, administrasi, ekonomi, sosial budaya,
maupun regional kawasan. Batas administrasi dipertimbangkan sebagai batas yuridis yang
bertujuan agar tidak terjadi kerancuan wewenang dalam pengelolaan terumbu karang.
Batas ekologis dipertimbangkan dengan tujuan agar pengelolaan tersebut mencakup suatu
ekosistem yang utuh.
Batas Administrasi
Secara administrasi kawasan Teluk Lampung terletak pada Kabupaten Lampung Selatan
dan Kota Bandar Lampung. Sebelah barat Teluk Lampung berbatasan dengan Kabupaten
Lampung Selatan, Sebelah utara berbatasan dengan Kota Bandar Lampung dan Kabupaten
Lampung Selatan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Selatan,
serta sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Wilayah perairan Teluk
Lampung mempunyai luas wilayah 3.865 km
2
dengan panjang garis pantai 140 km, dengan
jumlah pulau kecil sebanyak 51 buah. Teluk Lampung merupakan Teluk terbesar di Pulau
Sumatera, membentang dari Tanjung Tua (sebelah timur) sampai dengan Tanjung Tikus,
dan Pidada sebelah barat.
Batas Ekologi
Batas ekologis didasarkan pada integrasi dari berbagai proses interaksi secara fisik-
kimiawi dan biologis yang terjadi di wilayah perairan laut dan pesisir Kabupaten Lampung
Selatan dan Kota Bandar Lampung yang saling mempengaruhi kondisi terumbu karang,
lamun, mangrove ekosistem pulau kecil, estuaria dan flora-fauna yang hidup didalamnya.
Peruntukan Teluk Lampung adalah sebagai kawasan pariwisata, kawasan budidaya
(pembenihan udang, tambak udang, dan bududaya mutiara), daerah penangkapan ikan
(jalur penangkapan 1 dan II), kawasan pelayaran, cagar alam dan latihan TNI Angkatan
Laut.
5.2.2 Kelembagaan
Penataan Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dilakukan di berbagai jenjang, baik di
Pusat, Propinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung yang
bersifat lintas sektoral. Kelembagaan yang dibangun memiliki strusktur organisasi, tugas

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 4
dan fungsi, tujuan, sasaran. Program/rencana kerja, administrasi, serta pendanaan dalam
rangka pengelolaan terumbu karang.
Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dibentuk melalui proses yang merupakan
kombinasi dari pendekatan bottom up dan top down, dimana Pemerintah Pusat, Pemerintah
Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung
dan masyarakat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam perlindungan dan
pengelolaan terumbu karang. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang mengakomodasi
semangat otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur
Propinsi Lampung dapat membentuk kelembagaan pengelolaan terumbu karang lingkup
Propinsi. Kelembagaan ini dapat berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan terumbu
karang lintas Kabupaten/Kota, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pemantauan, pengendalian dan evaluasi.
Lembaga Pengelola Terumbu Karang di Propinsi Lampung nantinya dibentuk dengan
anggota yang berasal dari instansi pemerintah terkait (DKP, Bapeda, Dinas Pariwisata,
Dinas Kehutanan, dan lain-lain) dan stakeholders (Perguruan Tinggi, LSM,dan
masyarakat). Sedangkan perumusan dan kewajiban serta mekanisme kerja harus diatur
dalam peraturan yang berkekuatan hukum yaitu Peraturan Daerah.
5.2.3 Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan
Agar program pengelolaan dan kinerja lembaga pengelola Terumbu Karang di Lampung
dapat berjalan baik dan sesuai dengan tujuannya, maka diperlukan pemantauan dan
evaluasi. Pemantauan dan evaluasi merupakan perangkat yang menelaah kegiatan yang
telah dilaksanakan dengan tujuan untuk meninjau dan menganalisis efisiensinya dan
efektifitas kegiatan yang selaras dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan dan
sebagai umpan balik terhadap program pengelolaan terumbu karang.
Pemantauan dilaksanakan untuk melihat perubahan yang diperkirakan telah terjadi sebagai
akibat dari pelaksanaan program-program konservasi dan kegiatan pengelolaan isu di
lapangan. Dalam kegiatan pemantauan diperlukan adanya indikator program sosial
ekonomi dan lingkungan sebagai dasar penilaian. Pemantauan dilakukan berdasarkan data
dan informasi dari kondisi awal sebelum pelaksanaan suatu program kegiatan dimulai.
Evaluasi dilakukan untuk untuk mengkaji efektifitas dari strategi program-proram baru,
memeriksa permasalahan-permasalahan dalam implementasinya, membuat penyesuaian
dalam strategi-strategi, membuat keputusan tentang program penegelolaan konservasi dan
penelitian.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 5
Langkah-langkah yang perlu dirancang dalam menyusun strategi Pemantauan Pengelolaan
Terumbu Karang di Propinsi Lampung:
1. Membuat daftar isu lingkungan perairan terumbu karang dan tindakan konservasi yang
telah mendapat rekomendasi pengelolaannya.
2. Menjabarkan sasaran ke dalam tujuan pemantauan yang lebih spesifik
3. Memilih indikator spesifik sesuai dengan masing-masing tujuan pemantauan
pengelolaan
4. Menelaah program pemantauan yang ada dan mengidentifikasi program yang
mengukur indikator yang sama
5. Menentukan rancangan pengambilan sample dan stasiun
6. Menguji kemampuan program yang diusulkan untuk memenuhi kriteria indikator kerja.
5.2.4 Penegakan Hukum dan Sanksi
Aparat Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan, Kota Bandar Lampung, dan masyarakat dapat melakukan pengawasan,
pemantauan, dan pengendalian terhadap pengelolaan terumbu karang Teluk Lampung.
Masyarakat dapat melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi mengenai terumbu karang
dan berhak mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak- pihak yang melakukan perusakan
terumbu karang yang menimbulkan kerugian. Kegiatan penegakan hukum pengelolaan
terumbu karang dilakukan oleh unsur-unsur terkait seperti TNI AL, Polisi Perairan, DKP,
Pemerintah Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintah Kota
Bandar Lampung dan masyarakat.
Penegakan hukum dan sanksi merupakan proses untuk mematuhi suatu aturan yang telah
ditetapkan dalam program pengelolaan terumbu karang oleh semua pihak yang akan atau
melaksanakan kegiatan konservasi tersebut. Penegakan hukum didalam pengelolaan
kawasan terumbu karang bertujuan:
1. Memberikan hukuman/ganjaran yang sesuai dengan pelanggaran hukum yang terjadi di
dalam perairan terumbu karang.
2. Menciptakan keenggganan/keseganan untuk melanggar hukum di dalam kawasan
konservasi karena adanya hukuman/sanksi
3. Menginformasikan kepada masyarakat tentang peraturan/undang-undang atau tata cara
yang berlaku unuk melaksanakan kegiatan didalam kawasan perairan terumbu karang.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 6
Beberapa mekanisme penegakakan hukum yang dapat digunakan dalam pemantauan
program pengelolaan terumbu karang yaitu:
1. Sanksi, dimana melibatkan serangkaian peringatan hukuman untuk pelanggaran
undang-undang. Hukuman dapat berupa pengurangan, penundaan ijin, dan pelanggaran
yang dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan ijin.
2. Denda, dimana melibatkan serangkaian pembayaran yang harus dilunasi oleh pelanggar
hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang bersifat mengikat.
3. Sanksi Kriminal, dimana hukuman untuk pelanggar yang bersifat lebih berat dan
bentuknya dapat berupa hukuman penjara.
4. Sanksi adat,dimana melibatkan hukum adat atau kebisaan masyarakat lokal, dibeberapa
daerah pesisir sangat efektif untuk melestarikan laut.
5.2.5 Pendanaan
Dana pengelolaan terumbu karang dapat bersumber dari APBN, APBD, Pinjaman/ Hibah
Luar Negeri dan dana masyarakat. Mekanisme pendanaan dilakasanakan berdasarkan
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu terbuka, jujur,
adil dan bertanggung jawab dengan berpihak kepada masyarakat.
5.3 Analisa SWOT
Untuk memperoleh arahan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisa SWOT dengan
melihat faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini merupakan faktor penentu dalam
analisa SWOT, karena didalamnya meliputi unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang apabila disinergikan akan memberikan kualitas arahan, strategi dan program
yang baik. Dengan pendekatan matrik antara faktor eksternal dan internal dilakukan
pembobotan dengan kisaran nilai 0 1. Untuk peluang dan ancaman, serta unsur kekuatan
dan kelemahan dengan nilai ranking 1 - 4.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 7
Tabel5.2:MatrikFaktorInternalPengelolaanTerumbuKarangTelukLampung
Faktor Internal Bobot Ranking Skor Komentar
Kode
Kekuatan
K1 Memiliki hamparan terumbu
karang yang luas sebagai habitat
sumberdaya perikanan
0,30 4 1,20 Terumbu karang di
pantai dan pulau-
pulau kecil
K2 Beberapa lokasi mempunyai nilai
estetika yang tinggi sebagai
pengembangan wisata bahari
0,20 3 0,60 Banyak pulau
kecil potensi
diving dan
snorkling
K3 Adanya daerah perlindungan laut
(sekitar perairan Pulau Sebesi dan
Dan Pulau Legundi) sebagi contoh
perlindungan ekosistem karang
0,10 2 0,20 Pulau Sebesi dan
Pulau Legundi
Kelemahan
L1 Rendahnya pengetahuan
masyarakat lokal mengenai
manfaat ekosistem terumbu karang
0,30 4 1,20 Kesadaran
menyelamatan
terumbu karang
masih kurang
L2 Sulitnya pengawasan dan
lemahnya penegakkan hukum bila
terjadi eksploitasi terumbu karang
0,30 4 1,20 Kurang sarana
kapal pengawas
dan personil
L3 Belum adanya Perda untuk
melarang penambangan karang
dan perusakan karang
0,10 2 0,20 Perlu dibuat Perda
pelestarian
terumbu karang

Tabel5.3:MatrikFaktorEksternalPengelolaanTerumbuKarangTelukLampung
Faktor Eksternal Bobot Ranking Skor Komentar
Kode
Peluang
P1 Peluang Investasi Budidaya ikan
karang
0,30 3 0,90 Potensi pada
perairan karang di
teluk dan pulau
kecil
P2 Peluang Investasi wisata bahari 0,30 3 0,90 Pulau-pulau kecil
P3 Rehabilitasi karang dengan
kegiatan transplantasi
0,10 2 0,20
Ancaman
A1 Kegiatan pemboman dan
penggunaan racun (potas) untuk
menangkap ikan
0,30 4 1,20 Pemboman masih
terjadi
A2 Penambangan karang untuk
bahan bangunan
0,30 3 0,90 Untuk bangunan
penahan gelombang
dan pondasi rumah
A3 Kerusakan ekosistem karang
akibat kegiatan pembangunan
(sedimentasi dan pencemaran
laut)
0,20 2 0,40 Terjadi di dekat
pantai dan
pencemaran laut
pada daerah padat
industri






Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 8
Tabel5.4.:MatrikAnalisisSWOT

Faktor Internal












Faktor Eksternal
KEKUATAN (K)

K1.Memiliki hamparan terumbu
karang yang luas sebagai
habitat sumberdaya
perikanan
K2.Beberapa lokasi mempunyai
nilai estetika yang tinggi
sebagai pengembangan
wisata bahari
K3. Adanya daerah perlindungan
laut (sekitar perairan Pulau
Sebesi dan Dan Pulau
Legundi) sebagi contoh
perlindungan ekosistem
karang

KELEMAHAN (L)

L1.Rendahnya pengetahuan
masyarakat lokal mengenai
manfaat ekosistem terumbu
karang
L2.Sulitnya pengawasan dan
lemahnya penegakkan
hukum bila terjadi
eksploitasi terumbu karang
L3.Belum adanya Perda untuk
melarang penambangan
karang dan perusakan
karang
masyarakat
PELUANG (P)
P1.Peluang Investasi Budidaya
ikan karang

P2.Peluang Investasi wisata bahari

P3.Rehabilitasi karang dengan
kegiatan transplantasi

STRATEGI KP
KP1.Pengembangan mata
pencaharian alternatif
budidaya ikan karang
KP2.Pengembangan mata
pencaharian alternatif wisata
bahari berbasis masyarakat
KP3.Pengembangan program
rehabilitasi karang dengan
transplantasi
STRATEGI LP
LP1.Meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang manfaat
ekosistem karang
LP2.Memperkuat sistem
keamanan laut untuk menjaga
ekosistem terumbu karang
LP3.Koordinasi terpadu antar
lintas sektoral dalam
pelestarian terumbu karang
ANCAMAN (A)
A1.Kegiatan pemboman dan
penggunaan racun (potas)
untuk menangkap ikan

A2.Penambangan karang untuk
bahan bangunan

A3.Kerusakan ekosistem karang
akibat kegiatan pembangunan
(sedimentasi dan pencemaran
laut)

STRATEGI KA
KA1.Pengembangan teknologi
penangkap ikan yang ramah
lingkungan

KA2.Pelarangan penambangan
karang untuk bahan
bangunan

KA3.Pengembangan dan
pengawasan Daerah
Perlindungan Laut (DPL)

STRATEGI LA
LA1.Peningkatan kesadaran
masyarakat untuk melestarikan
terumbu karang
LA2.Pelibatan masyarakat secara
aktif untuk menjaga dan
melestarikan ekosistem
terumbu karang
LA3.Pembuatan Perda/Peraturan
lainnya untuk melindungi
ekosistem terumbu karang













Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 9
Tabel5.5:AlternatifPemilihanStrategiuntukPengelolaanTerumbuKarangTelukLampung

Unsur-Unsur Strategi Keterkaitan


Unsur SWOT
Total Skor Ranking
a. Strategi KP
KP1.Pengembangan mata pencaharian alternatif
budidaya ikan karang
K1P1 2,10 6
KP2.Pengembangan mata pencaharian alternatif
wisata bahari berbasis masyarakat
K2P2 1,50 10
KP3.Pengembangan program rehabilitasi karang
dengan transplantasi
K1P3 1,40 11
b. Strategi KA
KA1.Pengembangan teknologi penangkap ikan
yang ramah lingkungan
K1A1 2,40 5
KA2.Pelarangan penambangan karang untuk
bahan bangunan
K1A2 2,00 7
KA3. Pengembangan dan pengawasan Daerah
Perlindungan Laut (DPL)
K3A3 0,60 12
c. Strategi LP
LP1.Meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang manfaat ekosistem karang
L1P1P2P3 3,20

3
LP2.Memperkuat sistem keamanan laut untuk
menjaga ekosistem terumbu karang
L1L2L3P3 2,80 4
LP3.Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam
pelestarian terumbu karang
L2L3P3 1,60 9
Strategi LA
LA1.Peningkatan kesadaran masyarakat untuk
melestarikan terumbu karang
L1L2L3A1A2A3 5,10 1
LA2.Pelibatan masyarakat secara aktif untuk
menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu
karang
L2A1A2A3 3,70 2
LA3.Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk
melindungi ekosistem terumbu karang
L3A1A2A3 1,80 8

5.4 Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung
Sumberdaya terumbu karang perlu dikelola secara berkelanjutan (sustainable) artinya
keberadaan dan manfaat terumbu karang harus lestari untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan dan kualitas generasi ini masa kini dan masa depan. Pengelolaan terumbu
karang secara berkelanjutan terwujud apabila laju regenerasi terumbu karang lebih besar
atau sama dengan laju kematian dalam suatu periode waktu yang lama.
Konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat diterapkan dengan menekankan pada
kegiatan rehabilitasi dan konservasi untuk memelihara laju pertumbuhan karang, sebagai
penyeimbang terhadap laju pemanfaatan yang mengakibatkan kematian terumbu karang.
Mengingat pertumbuhan karang sangat lambat maka rehabilitasi dilakukan dengan cara
alami yaitu konservasi, misalnya dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan
maksud menghilangkan pengaruh manusia terhadap ekosistem terumbu karang pada waktu
tertentu sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 10
Pengelolaan terumbu karang yang lestari adalah menggabungkan antara kepentingan
ekologis dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar ekosistem terumbu karang.
Untuk itu strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi
masyarakat selain tujuan konservasi terumbu karang tercapai. Dengan demikian, strategi
dan kegiatan-kegiatan pengelolaan terumbu karang tidak semata-mata meningkatkan
pemahaman dan kesadaran akan pentingnya terumbu karang serta kemampuan dalam
mengelolanya, namun juga memberdayakan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui
mata pencaharian alternatif.
Bertolak dari matriks keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka
dapat ditentukan arahan strategi dan kebijakan pegelolaan terumbu karang Teluk Lampung
sebagaimana pada Tabel 5.5. Berikut adalah strategi pengelolaan pengelolaan terumbu
karang di Teluk Lampung:
Strategi 1: Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang
Penyadaran masyarakat diarahkan pada pemahaman masyarakat terhadap manfaat
kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk
perubahan perilaku sosial. Peningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat tentang
manfaat perlindungan dan pelestarian ekosistem terumbu karang, yang diharapkan akan
merubah perilaku masyarakat dari perilaku yang dapat merusak menjadi perilaku yang
mengelola dan melindungi kelestarian ekosistem terumbu karang. Penyadaran masyarakat
dilakukan dimulai dari usia dini seperti anak SD untuk memahami manfaat ekologi
terumbu karang. Kampanye penyadaran lewat brosur, media cetak, TV, internet dan lewat
penyuluhan langsung.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat di daerah
pesisir.
2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat bagi penyuluh lapangan
3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan lokal kurikulum SD, SMP dan
SMA di daerah pesisir
4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur, buku bacaan anak-anak, media
cetak dan media elektonik.




Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 11
Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan
ekosistem terumbu karang
Perencanaan pengelolaan terumbu karang terkait dengan penyelenggaraan pembangunan
masyarakat disekitarnya. Untuk itu perlu adanya peningkatan peran serta masyarakat yang
proaktif dan mampu menumbuhkan adanya peningkatan kesadaran untuk melestarikan
sumberdaya alam laut. Guna menjamin berlanjutnya proses peran masyarakat, perlu
dibangun mekanisme pengelolaan terumbu karang yang memberi ruang bagi aspek
pengembangan masyarakat lokal serta mampu menjadi fasilitator bagi kegiatan
pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal. Pengembangan masyarakat lokal
merupakan upaya mengakui hak dan kewajiban masyarakat yang bermukim di dalam
kawasan perairan karang melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi pengelolaan dengan tetap memperhatikan tingkat kesejahteraannya. Aspirasi
masyarakat sangat penting diperhatikan mengingat bahwa masyarakat terlebih dahulu
mengelola kawasan laut perairan terumbu karang.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan pengusaha
dalam berbagai usaha untuk melestarikan terumbu karang.
2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung kegiatan pelestarian terumbu
karang.
3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/ organisasi masyarakat di
kawasan perairan karang.
4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan
terumbu karang.
5. Memberikan pelatihan bagi tenaga tenaga lapangan untuk memberikan pendidikan
lingkungan laut serta keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang.
6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara pemerintah pusat, pemerintah
Propinsi/Kabupaten, organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan
masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang.




Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 12
Strategi 3: Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem
karang
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat terumbu karang seperti pelindung
pantai dari hempasan gelombang, sebagai habitat ikan, tempat mencai makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi berbagai biota laut. Terumbu karang yang bagus bisa untuk penyelaman
(diving) dan snokling serta tempat penangkapan ikan komsumsi dan ikan hias. Karang juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi dan kerajinan tangan.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya
2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama masyarakat di wilayah pengelolaan
tradisionilnya untuk melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkah-langkah
pencegahan kerusakannya
3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam pengelolaan terumbu
karangnya seperti Bali
4. Membuat pusat informasi terumbu karang di Teluk Lampung
5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasil- hasil penelitian karang di Teluk
Lampung kerjasama Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat pesisir
dan LSM.
Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu
karang
Penegakan hukum merupakan pelengkap dan pendukung komponen lain serta memiliki
arti strategis dalam rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Penegakan hukum
merupakan suatu proses pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari
penegakan hukum preventif bersifat pencegahan dan penegakan hukum represif bersifat
penindakan. Penegakan hukum preventif adalah semua kegiatan hukum seperti
pencemaran dan terjadinya perusakan lingkungan terumbu karang. Keberhasilan
pencegahan akan menjamin terjadinya pemulihan terumbu karang secara alami.
Penegakan hukum represif adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menindak setiap
pelanggaran. Aparat penegak hukum yang berperan di laut adalah TNI AL dan Polisi Air.
Pengawasan bersama masyarakat sangat penting untuk mengimbangi kekurangan personil

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 13
keamanan laut. Kegiatan penegakan hukum represif terdiri dari kegiatan identifikasi
pelanggaran, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara. Pemutusan perkara
merupakan wenang penuh hakim yang memimpin sidang, atas dasar tuntutan yang telah
telah dilakukan oleh jaksa dan kesaksian yang telah diberikan oleh anggota masyarakat
atau unit pengawasan dan penegakan hukum yang bertindak sebagai saksi dalam
sidang penuntutan perkara.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegakan hukum dilaut.
2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem serta undang-undang perikanan bagi aparat penegak hukum.
3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai motif pelanggaran yang ada
di wilayah laut.
4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut terpadu
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi pengawasan di laut
6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum pelestarian terumbu karang yang
dihasilkan.
Strategi 5: Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan.
Pembangunan perikanan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan
cenderung berorientasi pada tujuan ekonomi semata kini telah menimbulkan kerusakan
lingkungan. Adanya overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan
ekosistem laut lainnya merupakan akibat pembangunan yang tidak memperhatikan aspek
keberlanjutan. Meningkatnya degradasi lingkungan laut tidak terlepas dari pesatnya
penggunaan alat dan praktek penangkapan yang bersifat destructive dalam penangkapan
ikan. Overfishing pada beberapa area penangkapan menunjukkan keberadaan
sumberdaya ikan berada dalam keadaan kritis. Semua itu dipicu beberapa hal, seperti
banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap (juvenile)
serta laju penangkapan ikan yang melebihi nilai maximum sustainable yield.
Penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing practice) seperti pengunaan bom
dan potassium, terutama disekitar terumbu karang, mengakibatkan kerusakan ekosistem
terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa kecuali ikan-ikan yang bukan tujuan
penangkapan.


Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 14
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penggunaan bom dan racun (potas)
dalam menangkap ikan di terumbu karang.
2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah lingkungan seperti bubu
3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya dukung perairan
4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh ditangkap
5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan alat tangkap yang ramah
lingkungan
6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang
Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang
Mata pencaharian alternatif merupakan mata pencaharian atau suatu uaha baru yang
dikembangkan dalam rangka mengurangi atau menghilangkan tekananan terhadap
terumbu karang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tujuan
pengembangan mata pencaharian alternatif adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan cara-cara penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya laut lainnya
yang berakibat kerusakan terumbu karang. Sasaran, terbentuknya jenis-jenis usaha baru
yang diterima masyarakat sebagai mata pencaharian alternatif untuk merubah kegiatan
masyarakat dari bersifat merusak terumbu karang menjadi ramah lingkungan serta
mampu meningkatkan penghasilan keluarga.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang potensial
2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang
3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang
4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan modal usaha
5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat
6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang budidaya ikan karang



Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 15
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang untuk bahan bangunan
Penambangan karang untuk bahan bangunan banyak dilakukan di sepanjang pantai Teluk
Lampung dan pulau-pulau kecil. Walaupun sudah banyak aturan dari pemerintah tentang
larangan pengambilan karang untuk bangunan seperti Keputusan Presiden, Surat Edaran
Menteri KLH, Surat Edaran Dirjen Perikanan dan peraturan lainnya. Dalam pelaksanaan di
lapangan belum ada sanksi yang tegas. Alasan masyarakat mengambil batu karang untuk
pondasi rumah adalah batu karang lebih kuat dan mahalnya batu bata di pasaran,
disamping itu menambang karang sangat mudah. Penambangan karang akan menurunkan
persen penutupan karang dan menghilangkan substrat tempat menempelnya larva karang
sebagai awal daur regenerasi karang.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penambangan karang untuk pondasi
bangunan
2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang peraturan- peraturan yang
berhubungan pelarangan penambangan karang untuk bangunan
3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang
4. Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang menggunakan karang sebagai
pondasi bangunan
Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi ekosistem
terumbu karang
Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-udangan tingkat daerah untuk mengatur
daerahnya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan daerah untuk pelestarian terumbu karang di Propinsi Lampung sangat penting
sebagai payung hukum pengelolaan terumbu karang.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif dalam menyusun perda
pelestarian terumbu karang
2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang secara bersama, untuk
ditanggulangi bersama antara stakeholders.
3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan secara bersama dengan
stakeholders terkait

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 16
4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan peraturan
daerah pelestarian terumbu karang
5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan
yang berbasis masyarakat pada pengelolaan terumbu karang
Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu
karang
Koordinasi yang terpadu dalam pengelolaan terumbu karang sangat penting dalam dinas-
dinas terkait. Egosektoral sering terjadi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan dan
sering menghambat pembangunan. Untuk itu peranan Gubernur/Bupati/Walikota, Setda
dan DPRD untuk menciptakan iklim kerja yang efektif dan profesional sangat penting
dalam memperlancar birokrasi pelayanan umum dan pemerintahan.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam pengelolaan terumbu karang dinas
terkait di Propinsi Lampung.
2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu karang
3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM, Perguruan Tinggi, tokoh adat
secara partisipatif dalam menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang.
4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan
yang mengakar pada masyarakat bawah
5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan lingkungan di Propinsi
Lampung untuk pelestarian terumbu karang.
Strategi 10: Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis
masyarakat.
Selama dua dekade perkembangan pariwisata di Asia Pasifik, khususnya perkembangan
wisata pantai dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat. Hal ini
mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam pengembangan
pariwisata. Teluk Lampung mempunyai potensi besar dalam pengembangan wisata pantai
dan wisata bahari karena banyak mempunyai pantai pasir putih dan keindahan karang di
pulau-pulau kecilnya. Perkembangan wisata bahari berpengaruh positif terhadap perluasan
peluang usaha dan kerja. Peluang tersebut lahir karena adanya permintaan wisatawan.
Dengan demikian kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi
masyarakat untuk menjadi pengusaha penginapan, wisma, hotel, homestay, restoran,

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 17
warung, angkutan, pedagang asongan, sarana olah raga dan jasa lainya. Peluang usaha
tersebut akan memberikan kesempatan masyarakat pesisir untuk bekerja dan sekaligus
dapat menambah pendapatan untuk menunjang kehidupan rumah tangganya.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Peningkatan promosi wisata bahari ke Teluk Lampung melalui pameran, brosur, TV,
internet dan kerja sama biro perjalanan dan hotel
2. Mengundang investor wisata bahari ke Teluk Lampung
3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari
4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada bank.
5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana penghubung antar pulau kecil di Teluk
Lampung
6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas pariwisata dan pelaku wisata
bahari
7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam wisata bahari seperti Bali dan
Bunaken
Strategi 11: Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi.
Transplantasi merupakan suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru
dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu.
Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah
mengalami kerusakan atau untuk memperbaiki daerah terumbu karang yang rusak,
terutama untuk meningkatkan keragaman dan persen penutupan. Berbagai fungsi/manfaat
transplantasi karang antara lain:
1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. Hal ini berarti upaya untuk
menghidupkan atau menanam kembali karang dengan benih-benih baru baik yang
berasal dari tempat sekitarnya atau juga dapat berasal dari tempat lain.
2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. Aplikasi dari kegiatan ini adalah
bagian-bagian yang nantinya dapat dilaksanakan untuk kegiatan konservasi.
3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke dalam ekosistem
terumbu karang di daerah tertentu.
4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keaneakaragaman
hayati.
5. Keperluan perdagangan.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 18
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah transplantasi karang
2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit transplantasi
3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap masyarakat yang terlibat dalam
transplantasi karang
4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi Karang
5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan komersial yang berbasis masyarakat
6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata
Strategi 12: Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu model dalam upaya onservasi terumbu
karang. Daerah ini adalah suatu wilayah pesisisr yang dipilih dan ditentukan sendiri oleh
masyarakat lokal untuk dilindungi dan ditutup secara permanen dari semua kegiatan
pengambilan oleh manusia.
Tujuan DPL antara lain adalah:
1. Melindungi berbagai jenis ikan, karang serta tumbuhan dan hewan lainnya yang hidup
di wilayah tersebut. DPL juga bertujuan melindungi pantai dan mangrove.
2. Menyediakan tempat yang aman untuk bertelur, tempat asuhan (pembesaran), dan
tempat hidup biota (hewan dan tumbuhan) lainnya
3. Mewujudkan hak dan wewenang masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya
pesisir dan laut mereka sendiri demi masa depan. DPL menjadi alat pembelajaran
dalam memperkuat kapasitas dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya
perlindungan sumberdaya pesisir dan laut.
Dalam penetapan DPL dibutuhkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait
didalamnya. Pihak-pihak tersebut adalah Pemerintah, LSM, dan Perguruan Tinggi
setempat yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam semua tahapan proses
penetapan DPL, termasuk memberikan pendidikan lingkungan hidup, pelatihan serta
bantuan teknis kepada masyarakat. Daerah perlindungan laut di Teluk lampung yang
sudah ditetapkan antara lain DPL Pulau Sebesi dan Pulau Legundi. Lokasi-lokasi perairan
lainnya perlu dibentuk dan dilakukan pengawasan terhadap DPL yang sudah ditetapkan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab V - 19
supaya terjaga kelestariannya. Manfaat dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut
adalah: 1. DPL dapat meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal 2. Pembagian
keuntungan ekonomis dari pengelolaan DPL dapat meningkatkan pendapatan masyarakat,
masyarakat setempat, misalnya keuntungan dari dana kegiatan pemanfaatan pariwisata dan
sebagainya 3. Pelibatan masyarakat setempat dapat membantu penegakkan peraturan
karena mereka lebih cepat memahami dan menerima tujuan pembentukan DPL 4.
Lestarinya sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati dalam sebuah DPL yang dikelola
dengan baik, yang bisa menjamin kelangsungan hidup dan masa depan generasi
mendatang.
Langkah-Langkah yang diperlukan:
1. Penambahan daerah DPL baru di Teluk Lampung dengan persetujuan masyarakat dan
Pemerintah Daerah
2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi program- progran DPL
3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengelola DPL
4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan pembuatan peraturan baru
sesuai dengan dinamika masyarakat
5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan
6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak
karang
7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat menunjang pengembangan wisata
bahari dan perikanan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab VI- 1
Bab 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya
tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis fringing reefs (karang tepi).
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di Teluk
Lampung 4823,493 Ha. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang
yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran
(foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae.
2. Kondisi penutupan karang hidup dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung
termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk
Lampung, status kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk
(rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu
karang dalam status kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak,
Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.
3. Laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada beberapa
lokasi tertentu yang sama (yaitu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat,
Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang) selama kurun waktu 8 (delapan) tahun, mulai
dari tahun 1998 hingga tahun 2007 adalah 3% pertahun. Pada tahun 1998, kondisi
tutupan terumbu karang di Teluk Lampung ada dalam kategori BAIK (65.5%), dan

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab VI- 2
pada tahun 2007 tutupan karang di beberapa lokasi ini menurun menjadi kategori
SEDANG (29%).
4. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa
kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: Kegiatan Pemboman dan
pemutasan karang untuk mencari ikan karang, Penambangan karang untuk bahan
bangunan, jalan dan perhiasan, Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan
pertambakan dan Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau
kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga.
5. Arahan rencana pengelolaan terumbu karang Teluk Lampung ditekankan pada:
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang, Pelibatan
masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang,
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem karang,
Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang,
Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan, Pengembangan
mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang, Pelarangan penambangan karang
untuk bahan bangunan, Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi
ekosistem terumbu karang, Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian
terumbu karang, Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis
masyarakat, Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi, dan
Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL).

6.2 Rekomendasi
1. Usulan penambahan Daerah Perlindungan Laut baru di Teluk Lampung dalam rangka
pelestarian terumbu karang.
2. Perlu aturan dan sanksi yang tegas dalam pemanfaatan terumbu karang di Teluk
Lampung sehingga kerusakannya dari tahun ke tahun tidak semakin bertambah parah.
3. Perlu dilakukan pembentukan Lembaga Pengelola Pengelola Terumbu Karang di
Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat terpadu dan partisipatif.
4. Mengembangkan program mata pencaharian alternatif bagi masyarakat disekitar
kawasan konservasi laut dengan wisata bahari berbasis masyarakat dan budidaya laut.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab VI- 3
5. Perlu dilakukan tindakan rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang yang telah
mengalami kerusakan dengan program transplantasi karang.
6. Perlunya pedampingan dana dari APBN/APBD Propinsi Lampung setiap tahun untuk
program pelestarian terumbu karang Teluk Lampung karena terumbu karang Teluk
Lampung mempunyai nilai strategis dalam pengembangan wisata bahari, lingkungan
hidup, penahan abrasi pantai, dan perikanan laut.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab VI- 1
DAFTAR REFERENSI

Agus, S.B. dan Siregar, V.P. 2004. Penginderaan Jarak Jauh Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Anonimous. 2007. Landsat 7 Handbook. www.brsi.msu.edu
Butler, M.J .A, M.c. Mouchot, V. Barale dan C. LeBlance. 1988. The Application of
Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: an Introductory Manual. FAO
Fisheries Technical Paper: 295. Rome. 165 hal.
CRMP. 1998. Propil Perairan Pantai Propinsi Lampung. Technical Report CRMP
Lampung, Bandar Lampung.
CRMP. 1998. Sumber-Sumber Pencemaran Wilayah Pesisir Lampung. Technical Report
CRMP Lampung, Bandar Lampung.
CRMP. 1998. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung. Technical Report CRMP
Lampung, Bandar Lampung.
Dishidros. 2003. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia. Dinas Hidro Oseanografi TNI
AL. J akarta, 524 hal.
Danoedoro dan Projo. 1996. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada.

English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Asean-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine
Science, Townsville.
Gomez, E. D. Dan H.T Yap. 1988. Monitoring Reef Conditions in: Kenchington R.A dan
B.E.T Hudson (Eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office
for Science and Technolohy for South-East Asia, J akarta. Hal 171- 178.
KLH. 2005. Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi
Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan
Lingkungan. Kemeterian Lingkungan Hidup, J akarta.
Lillesand, T.M dan Kiefer, R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(terjemahan), Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Mulyana, Y. 2006. Pedoman Standar Pelatihan Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Proyek
Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang. COREMAP II, DKP, J akarta.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. J akarta, 368 hal.
Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arc View. Informatika, Bandung.
Setiabudi dan Upik Rosalina W. 1996. Petunjuk Praktis Identifikasi dan Pemetaan
Vegetasi dengan menggunakan Penafsiran Citra Landsat TM; Studi Kasus Sumatera,
Bogor: makalah dalam seminar Tropical Forest Dynamic, SEAMEO-BIOTROP.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Trisakti, B. Hasyim, B. Dewanti, R. Hartuti, M. dan Winarso, G. 2003. Teknologi
Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan J auh. LAPAN, J akarta.

Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung Bab VI- 2
Wyrtki, K. 1961. physical Oseanography of Southeast Asian Waters. Naga Report, Vol 2.
Univ. California, LA J olla, 195 p.















Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung (Mas parjito, Nama Dinas mohon direvisi sesuai dinas2
di Lampung)

No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi J angka Waktu (tahun)

1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
1
Strategi 1:Peningkatan kesadaran masyarakat
untuk melestarikan terumbu karang

1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang
berbasis masyarakat di daerah pesisir.
2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat bagi penyuluh lapangan
3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan
lokal kurikulum SD, SMP dan SMA di daerah pesisir
4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur,
buku bacaan anak-anak, media cetak dan media
elektonik.

Dinas Pendidikan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, LSM, UNILA, TVRI, TV Swata

2
Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif
untuk menjaga dan melestarikan ekosistem
terumbu karang

1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM,
perguruan tinggi, dan pengusaha dalam berbagai usaha
untuk melestarikan terumbu karang.
2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung
kegiatan pelestarian terumbu karang.
3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/
organisasi masyarakat di kawasan perairan karang.
4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat
pesisir dalam pengelolaan terumbu karang.
5. Memberikan pelatihan bagi tenaga tenaga lapangan
untuk memberikan pendidikan lingkungan laut serta
keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang.
6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara
pemerintah pusat, pemerintah Propinsi/Kabupaten,
organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan
masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan terumbu karang.

Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM,
UNILA, Bapeda, Polisi Perairan, TNI AL

3
Strategi3: Meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang manfaat ekosistem
karang
1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya
2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama
masyarakat di wilayah pengelolaan tradisionilnya untuk
melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkah-
langkah pencegahan kerusakannya
3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam
pengelolaan terumbu karangnya seperti Bali
4. Membuat pusat informasi terumbu karang di Teluk
Lampung
5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasil-
hasil penelitian karang di Teluk Lampung kerjasama
Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat
pesisir dan LSM.
Dinas Kelautan dan Perikanan, UNILA, LSM,
Balibangda, Bapedalda





Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi J angka Waktu (tahun)

1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
4
Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan
laut untuk menjaga ekosistem terumbu
karang

1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana
penegakan hukum dilaut.
2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undang-
undang perikanan bagi aparat penegak hukum.
3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai
motif pelanggaran yang ada di wilayah laut.
4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut
terpadu
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi
pengawasan di laut
6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum
pelestarian terumbu karang yang dihasilkan.

Polisi Perairan, TNI AL, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Kejaksaan, Kejati, Biro Hukum


5
Strategi 5: Pengembangan teknologi
penangkap ikan yang ramah lingkungan
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas
penggunaan bom dan racun (potas) dalam menangkap
ikan di terumbu karang.
2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah
lingkungan seperti bubu
3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya
dukung perairan
4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh
ditangkap
5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan
alat tangkap yang ramah lingkungan
6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang

Dinas Perikanan dan Kelautan,
Deperindag, Balibangda, Bapedalda,
UNILA, Dinas Perdagangan

6
Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian
alternatif budidaya ikan karang

1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang
potensial
2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang
3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang
4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan
modal usaha
5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan
dan berbasis masyarakat
6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang
budidaya ikan karang

Dinas Perikanan dan Kelautan, Bapeda,
LSM, Unila




Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi J angka Waktu (tahun)

1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
7
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang
untuk bahan bangunan

1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas
penambangan karang untuk pondasi bangunan
2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang
peraturan- peraturan yang berhubungan pelarangan
penambangan karang untuk bangunan
3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan
ekosistem terumbu karang
4. Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang
menggunakan karang sebagai pondasi bangunan

Dinas Kimpraswil, Polisi Perairan, Dinas
Perikanan dan Kelautan, Kejati, Bapedalda,
BKSDA Lampung


8
Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan
lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu
karang

1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif
dalam menyusun perda pelestarian terumbu karang
2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang
secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara
stakeholders.
3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
dilaksanakan secara bersama dengan stakeholders terkait
4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas
substansi rancangan peraturan daerah pelestarian
terumbu karang
5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif
untuk membuat kebijakan yang berbasis masyarakat pada
pengelolaan terumbu karang

Dinas Kelautan dan Perikanan, DPRD,
LSM, UNILA, Bapedalda, Balibangda, Biro
Hukum, BKSDA Lampung

9
Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas
sektoral dalam pelestarian terumbu karang

1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam
pengelolaan terumbu karang dinas terkait di Propinsi
Lampung.
2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu
karang
3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM,
Perguruan Tinggi, tokoh adat secara partisipatif dalam
menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang.
4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif
untuk membuat kebijakan yang mengakar pada
masyarakat bawah
5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan
lingkungan di Propinsi Lampung untuk pelestarian
terumbu karang.

Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan,
LSM, Balitbangda, UNILA, TNI AL, Polisi
Perairan, BKSDA Lampung









Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung

No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi J angka Waktu (tahun)

1- 5 th 5- 10 th 10 15
10
Strategi 10: Pengembangan mata
pencaharian alternatif wisata bahari berbasis
masyarakat.

1. Peningkatan promosi wisata bahari ke Teluk Lampung
melalui pameran, brosur, TV, internet dan kerja sama biro
perjalanan dan hotel
2. Mengundang investor wisata bahari ke Teluk Lampung
3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari
4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada
bank.
5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana
penghubung antar pulau kecil di Teluk Lampung
6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas
pariwisata dan pelaku wisata bahari
7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam
wisata bahari seperti Bali dan Bunaken

Dinas Pariwisata, Dinas Tenaga Kerja,
Dinas kelautan dan Perikanan, Bank BUMN
dan Swasta, Dinas Perhubungan,

11
Strategi 11: Pengembangan program
rehabilitasi karang dengan transplantasi.

1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah
transplantasi karang
2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit
transplantasi
3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap
masyarakat yang terlibat dalam transplantasi karang
4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi Karang
5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan
komersial yang berbasis masyarakat
6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata

Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA
Lampung, Bapedalda, Balitbangda, P3O-
LIPI, UNILA, LSM

12
Strategi 12: Pengembangan dan
pengawasan Daerah Perlindungan Laut
(DPL)

1. Penambahan daerah DPL baru di Teluk Lampung dengan
persetujuan masyarakat dan Pemerintah Daerah
2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi program-
progran DPL
3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas
masyarakat dalammengelola DPL
4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan
pembuatan peraturan baru sesuai dengan dinamika
masyarakat
5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan
6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum
terhadap kegiatan yang merusak karang
7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat
menunjang pengembangan wisata bahari dan perikanan

Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA
Lampung, Polisi Perairan, TNI AL, Bapeda,
Bapedalda, balitbangda, UNILA, LSM,
Dinas Kehutanan

You might also like