You are on page 1of 7

Literature in Schools

Sapardi Djoko Damono


University of Indonesia

Abstract
The teaching of literature in schools is nowadays a part of the teaching of Bahasa
Indonesia. Perhaps, due to the prevailing assumption that all taught in schools should be
scientific, the textbooks on literature for secondary schools are flooded with terms,
concepts, lists of works, writers’ biographies, and so on—which ironically becomes so
demanding and time consuming that it leaves almost no time for reading the work itself.
In this paper, the writer argues that appreciating literature requires students to read
literary works. However, this is confronted by three other problems, i.e. the reading
materials, the selection of works to read, and the roles and functions of teachers in the
process of appreciation.

Keywords: teaching of arts, literary works, arts, appreciating literature.

/1/
Dalam rangka Kongres Kebudayaan III di Solo pada tahun 1954, seorang
budayawan dan tokoh nasional, Ki Mangoensarkoro, menyampaikan sebuah prasaran yang
berjudul “Pendidikan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah”. Dalam prasaran itu antara
lain dikatakannya bahwa masyarakat sekolah merupakan tempat pemeliharaan bibit bagi
kekuatan hidup masyarakat di masa datang; oleh karenanya sekolah merupakan sumber
kekuatan baru dalam masyarakat. Jadi, bagi masyarakat, sekolah merupakan pusat daya
dinamik in optima forma. Karena itu, katanya,

... pendidikan di sekolah itu ditujukan kepada waktu yang akan datang, dan oleh
karenanya pendidikan kebudayaan ditujukan pada keadaan dan kemungkinan
kebudayaan di waktu yang akan datang. Kalau tidak, maka pendidikan itu adalah
pendidikan yang salah masa dan akhirnya menimbulkan kekuatan anakronisme yang
mau tidak mau merupakan kekuatan destruktif atau reaksioner di waktu yang akan
datang.

Selanjutnya Ki Mangoensarkoro memberi gambaran mengenai keadaan sekolah-sekolah


pada masa itu. Di samping kurangnya pembentukan pandangan hidup, sekolah kita
dibanjiri anak-anak yang berebut ingin masuk. Pemerintah tidak lagi mampu menyediakan
cukup guru dan gedung; ini menyebabkan penyaringan ke sekolah yang lebih tinggi
semakin ketat; yang nilai ujiannya tinggi sajalah yang bisa lolos ke sekolah yang lebih
tinggi. Akibatnya, katanya, terjadi “balapan” antara guru dan murid; semuanya
berkehendak mencapai titik akhir, yakni ujian. Dan,
.. bab-bab pengajaran kesenian terdesak hilang dari daftar pengajaran,
pimpinan pemberian pandangan hidup ditinggalkan, akhirnya sekolah itu bersifat suatu
mesin pengajar beberapa pengetahuan untuk ujian.
Anak dimasukkan mesinnya penuh sesak, diputar sampai megap-megap, dan
akhirnya keluar dari mesin itu dengan berisi beban pengetahuan ujian di kepalanya.
Ketajaman akan pikiran tidak terlatih, hatinya kosong, perasaannya kering,
kemauannya lemah, kesenangan hidupnya kurang, dan matanya silau tetapi tetap
memandang sinar matahari keinginannya, yaitu sekolah yang lebih tinggi, seakan-akan
itulah satu-satunya kebahagiaan hidup di dunia baginya.

Ki Mangoensarkoro berpendirian bahwa pendidikan kebudayaan sajalah yang


dapat menyelamatkan sekolah dari keadaan yang demikian muramnya. Pendidikan
semacam itu bisa memberikan kegembiraan hidup dan mampu memberikan keseimbangan
bagi pikiran, perasaan, kemauan, dan ilhamnya. Untuk itu kita, katanya, perlu mengadakan
perubahan yang radikal.
Pandangan tersebut disampaikan tahun 1954, tetapi apa yang digambarkan Ki
Mangoensarkoro itu rasanya tidak jauh berbeda dari yang kita saksikan di sekitar kita.
Seandainya masih hidup, mungkin tokoh kita itu malah berpandangan bahwa keadaan kita
sekarang ini sudah tidak tertolong lagi. Dalam hal ini saya ingin menekankan dua gejala
yang disebut Ki Mangoensarkoro, yakni terdesak dan hilangnya pengajaran kesenian serta
sifat sekolah sebagai mesin pengajar pengetahuan untuk keperluan ujian. Kita bicarakan
terlebih dahulu yang kedua, yakni keadaan yang tidak juga menjadi baik. Dibanding tahun
1954, sekolah kita sekarang ini tentu lebih berdesak-desak. Jumlah sekolah semakin
banyak, namun jumlah murid yang menuntut ilmu juga berlipat ganda. Jika pada awal
tahun 1950-an jumlah murid dalam satu kelas sekitar 20 orang, pada tahun 1990-an ini
jumlah 40 orang mungkin masih dianggap wajar. Jumlah lembaga pendidikan yang lebih
tinggi memang juga berlipat ganda, namun keinginan murid adalah untuk masuk ke
lembaga pendidikan yang murah dan baik, yang jumlahnya relatif sangat terbatas. Dengan
demikian ujian menjadi tujuan utama pendidikan. Dan jika dalam ujian tersebut sastra, dan
kesenian, tidak mendapat perhatian yang semestinya, wajarlah jika guru dan murid tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dipelajari. Yang saya kemukakan terakhir
itulah merupakan gejala pertama yang dilihat Ki Mangunsarkoro.
Kita semua memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menganggap sepele
kesenian; di zaman yang nafsu utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan
duniawi, hal itu wajar sekali. “Tanpa kesenian toh manusia bisa hidup,” begitu pikiran
sementara orang. Saya justru berpikiran sebaliknya, manusia seperti kita sekarang ini
sudah telanjur tidak akan bisa tahan menghadapi hidup tanpa kesenian. Saya tidak bisa
membayangkan kehidupan kita tanpa seni rupa, seni suara, seni kata, dan seni-seni lain.
Pakaian, perabotan, rumah, dan kendaraan kita diciptakan berdasarkan prinsip seni rupa;
kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik jika tidak memiliki kemampuan
menciptakan dan mengapresiasi pepatah, metafor, atau idiom yang ada dalam bahasa kita.
Bahkan saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika selama seminggu (saja)
penduduk negeri ini dilarang berseni suara—artinya, tidak ada lagi musik, singsot,
rengeng-rengeng, tambur, gitar, piano, dan lain-lain. Mungkin kita semua jadi gila. Juga
kita akan kehilangan kewarasan jika dilarang berbasa-basi, bermain kata, berbukan-bukan,
berpepatah-petitih, berlambang-lambang dalam berbahasa. Tidak semua kita ini seniman,
memang; tetapi seni bukan hanya milik seniman. Seni milik kita semua; kita semua berhak
berkesenian, bahkan wajib berkesenian agar tetap beradab. Itu sebabnya kita mengajar
anak-anak kita—bahkan sejak bayi—mengenal suara, rupa, dan bahasa yang bagus. Itu
sebabnya sejak entah kapan kita sepakat untuk memasukkan berbagai jenis kesenian ke
dalam pendidikan formal.

/2/
Kita ciutkan saja sekarang perhatian kita kepada sastra. Sastra adalah jenis
kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus
dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa,
dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas nilai-nilai yang
mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali. Dengan mempergunakan bahasa
sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekadar merekam kehidupan di
sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya. Artinya, karya sastra
berusaha untuk menawarkan serangkaian pilihan pengalaman dan penghayatan kehidupan
bagi kita sehingga tidak terkurung dalam dunia pengalaman dan penghayatan sehari-hari
saja. Kita sering mengatakan bahwa bangsa kita berbudaya tinggi; pernyataan itu tidak lain
berarti bahwa kita memiliki kekayaan rohani. Di dalam karya sastralah kekayaan itu antara
lain tersimpan dan bisa kita dapatkan setiap saat kita inginkan. Karya sastra adalah
pengalaman, kekayaan rohani, kehidupan, atau dunia yang portable—bisa dijinjing ke
mana-mana.
Di kebanyakan Taman Kanak-kanak, kita bisa menyaksikan guru mengajar
murid-muridnya menggambar, menyanyi, membaca sajak, dan bercerita. Taman
Kanak-kanak, kita tahu, bukanlah sekolah kesenian, bukan semacam akademi yang
diharapkan bisa menghasilkan seniman kreatif; namun, tampaknya kegiatan yang sangat
menonjol sehari-harinya di sekolah itu adalah usaha guru mendorong murid-muridnya agar
mau, berani, dan mampu menyatakan dirinya dalam berbagai bentuk kesenian. Tentu saja
perlu buru-buru ditambahkan bahwa bagi murid (dan juga kebanyakan guru, mungkin),
kegiatan semacam itu dianggap sebagai “permainan” saja, dan tidak pernah dibayangkan
sebagai “kesenian”, terutama jika aksara k dalam kesenian itu ditulis dalam huruf kapital.
Kebanyakan guru Taman Kanak-kanak bukan seniman, bukan pula pakar seni. Namun, hal
yang sangat perlu kita catat adalah bahwa guru-guru itu sama sekali tidak merasa rendah
diri mengajarkan kesenian. Saya yakin hal itu tidak disebabkan murid-muridnya masih kecil
dan dengan demikian mudah “dibohongi”, tetapi karena berkesenian merupakan salah satu
syarat bagi anak-anak agar kelak tidak merasa kikuk menjadi anggota masyarakat. Oleh
karena sudah menjadi tugas guru untuk mengajarkan kesenian—tugas yang tentu saja
didasari oleh pendidikan yang diperoleh guru sebelumnya.
Di Taman Kanak-kanak, murid didorong untuk mengekspresikan diri lewat
berbagai cabang kesenian. Sastra, dalam bentuk bercerita, berpidato, melisankan puisi, dan
main drama dianggap sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Dalam hal ini sastra
dianggap sederajat dengan menggambar atau menyanyi. Murid-murid tentu saja tidak
pernah diberi tahu nama-nama pengarang lengkap dengan riwayat hidupnya serta daftar
karyanya untuk dihafal demi ujian. Sastra, dalam bentuknya yang dasar, dianggap
permainan—suatu anggapan berdasarkan pendekatan yang menurut saya benar. Sastra
adalah salah satu jenis seni, yakni permainan atau keterampilan. Namun, keadaan yang
menggembirakan tersebut tampaknya berubah sama sekali ketika anak-anak itu sudah
berangkat dewasa dan menjadi murid sekolah menengah. Jelas, memang anak-anak itu
pergi ke sekolah tidak hanya untuk “bermain-main”, yang oleh berbagai pihak merupakan
arti terselubung bagi “kesenian”. Mereka di sekolah menuntut ilmu. Bercerita di depan
kelas atau membaca sajak tentu saja tidak akan pernah dianggap sebagai ilmu; dan jika
anak-anak itu sudah pandai menulis—mengarang cerita atau sajak, kepandaian itu pun
bukan ilmu.
Sampai hari ini pengajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari Bahasa
Indonesia. Kita semua menyadari bahwa bagi sebagian besar guru, kerepotan terutama
dicurahkan untuk mengajar murid menguasai Bahasa Indonesia “yang baik dan benar”,
suatu tugas yang bisa tidak mudah dilaksanakan oleh guru yang penguasaannya atas
bahasa nasional itu sendiri masih perlu menjadi pemikiran kita bersama. Mungkin karena
beranggapan bahwa semua yang diajarkan di sekolah harus berupa ilmu, maka buku-buku
sastra untuk sekolah menengah penuh dengan istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat
hidup sastrawan dan lain-lain—yang tidak jarang mendesak dan mengurangi ruang dan
waktu yang sangat berharga untuk membaca karya sastra itu sendiri. Pujangga Baru,
Chairil Anwar, soneta, pantun berkait, personifikasi, dan sebagainya adalah serangkaian
nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat lulus ujian—yang tidak jarang
merupakan satu-satunya tujuan pengajaran sastra. Pujangga Baru tidak dipahami
berdasarkan karya-karya yang mereka tulis tetapi hanya berdasarkan penjelasan tentang
gerakan itu. Chairil Anwar tidak dihargai berdasarkan karya-karyanya, tetapi hanya
berdasarkan “dongeng” tentang kehidupannya. Soneta, pantun berkait, personifikasi,
klimaks, konflik, ironi, dan sebagainya tidak dikenal lewat karya sastra tetapi hanya
berdasarkan definisi.
Tentu saja tidak semua guru beranggapan bahwa ujian merupakan tujuan utama
dan terakhir; di beberapa kota, ada guru Bahasa Indonesia yang mempunyai minat
terhadap sastra mengundang sastrawan untuk memberi ceramah kepada murid-muridnya.
Beberapa sekolah mungkin pernah juga mengusahakan program “sastrawan masuk kelas”,
sebagai hasil kerja sama antara sastrawan (atau lembaga kesenian) dan sekolah dalam
usaha meningkatkan apresiasi sastra. Usaha-usaha semacam ini mungkin saja bisa
meningkatkan perhatian murid terhadap sastra, namun sayangnya banyak guru yang
berpandangan bahwa hanya sastrawan yang bisa membimbing murid-murid mengarang
cerita atau puisi. Karena di hampir semua sekolah menengah guru Bahasa Indonesia bukan
sastrawan, kegiatan mengarang semacam itu tidak ditawarkan—padahal mungkin sekali
murid-murid menyukainya, sebagai “permainan”. Sementara itu, “permainan” yang lain
seperti menggambar dan menyanyi (yang tidak jarang disebut sebagai seni lukis dan seni
suara) tetap ditawarkan, meskipun guru-gurunya tentu saja bukan seniman lukis atau
seniman nyanyi.
Dan sebenarnya—sebagai permainan—menggambar, menyanyi, dan mengarang
boleh menjadi kegiatan semua murid, yang pintar matematika maupun yang goblok
berhitung. Tidak diperlakukannya sastra sebagai kesenian antara lain disebabkan guru
merasa tidak tega mengajar karena bukan sastrawan, atau guru beranggapan kegiatan
semacam itu tidak ada manfaatnya—bagi ujian maupun dalam kaitannya dengan
pengajaran bahasa. Ada baiknya jika guru tidak perlu merasa gamang membimbing
murid-muridnya mengarang cerita atau puisi atau apa saja. Di depan kelas, yang diper-
lukan adalah kualitas sebagai guru, bukan sebagai sosok sastrawan. Dan dalam hal
“kesenian”, yang juga “permainan”, yang penting adalah sikap memberi dorongan.
Kalaupun kita masih beranggapan bahwa sastra sebagai ilmu tetap diperlukan di sekolah,
saya yakin kebiasaan menulis tersebut akan membantu murid-murid mengenali berbagai
konsep dan istilah yang mungkin masih diperlukan dalam ujian. Dengan lebih mudah ia
akan mengenali metafora atau personifikasi dalam sajak-sajak Chairil Anwar atau Sanusi
Pane jika ia sudah biasa “bermain-main” menulis puisi.
Jika guru bisa meyakinkan murid bahwa mengarang itu sama gampang dan
menyenangkannya dengan menggambar atau menyanyi, murid tidak akan mempunyai
prasangka terhadap sastra sebagai kegiatan yang pelik dan susah. Dalam mengarang, yakni
bermain-main dengan bahasa, murid akan lebih akrab dengan bahasanya, lebih
menyukainya, dan lebih mudah mempelajarinya. Dengan demikian penulisan kreatif atau
mengarang akan membantu pengajaran Bahasa Indonesia. Dan jika kebiasaan menulis
meningkat, diharapkan juga kegiatan membaca mengikutinya karena siapa pun yang suka
menulis akan membutuhkan bacaan—dan seterusnya. Jadi, bagaimana kalau pendekatan
sastra sebagai seni mulai diberlakukan di sekolah?

/3/
Di bagian lain tulisan ini saya menyatakan bahwa dalam karya sastra tersimpan
kekayaan rohani bangsa; di dalamnya pengalaman dan penghayatan penghidupan tidak
hanya terekam tetapi juga sekaligus ditanggapi dan dinilai untuk dipertimbangkan kembali.
Dengan demikian kegiatan sastra di sekolah tentu tidak terbatas pada mengarang, tetapi
terutama membaca sebab tanpa membaca tidak mungkin orang bisa mengarang. Ini bukan
masalah mana yang lebih dahulu, telor atau ayam. Membaca selalu mendahului mengarang.
Di samping itu kita tidak mungkin bisa menghayati pengalaman yang ada dalam karya
sastra jika tidak membacanya dengan baik. Landasan keterampilan berbahasa adalah
meniru, dan membaca merupakan proses utama dalam proses tiru-meniru itu. Itulah
sebenarnya yang kita sebut sebagai apresiasi sastra, suatu yang menurut keyakinan banyak
orang sangat perlu dikembangkan di sekolah. Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan
penghayatan; dalam istilah itu tersirat hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra
sebab penghayatan tidak akan tercapai tanpa hubungan langsung itu. Seorang memiliki
apresiasi sastra apabila ia suka membaca karya sastra, bukan sekadar suka membaca berita
yang seru-seru mengenai sastrawan di media massa. Penghargaan terhadap
sastrawan—sebagai sastrawan—harus didasarkan pada penghargaan atas karyanya, bukan
tindak-tanduknya.
Jelas bahwa apresiasi sastra menuntut agar murid membaca karya sastra. Beberapa
masalah akan segera tergambar, saya akan mengungkapkannya beberapa saja. Yang
pertama adalah masalah bahan bacaan. Memang tidak sepenuhnya klise keluhan mengenai
langkanya bahan bacaan sastra, terutama di kota kecil. Sangat banyak buku penting yang
tidak dicetak ulang lagi sehingga tidak terdapat di pasar; di samping itu, buku yang ada
harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan murid dan guru. Namun, sebenarnya masalah
yang lebih pelik adalah bahwa sastra kita lebih banyak berkembang di koran dan majalah,
sangat sedikit jumlahnya yang kemudian sempat diterbitkan lagi sebagai buku. Kenyataan
yang disebut terakhir itu mau tidak mau menuntut guru untuk memiliki niat mencari bahan,
antara lain di perpustakaan. Malapetakanya, di negeri kita ini perpustakaan belum menjadi
syarat utama didirikannya sekolah. Perpustakaan adalah unsur yang harus mendapat
prioritas utama dalam pendirian dan penyelenggaraan sekolah—bahkan kita boleh
bisik-bisik mengatakan, sekolah itu tanpa guru pun jadi, asal ada perpustakaan. Dalam
perpustakaan itulah seharusnya bahan bacaan (bidang apa saja, termasuk sastra) disimpan
sehingga guru dan murid tidak perlu mengajukan keluhan mengenai bahan bacaan. Apabila
di sekolah tidak ada seorang pun, termasuk kepala sekolah, yang memberi perhatian
khusus terhadap pengembangan perpustakaan, ada baiknya jika guru bahasa dan sastra
menjadi pelopornya. Buku bekas, kliping koran dan majalah, buku hadiah dari
murid-murid yang lulus, dan sebagainya bisa mengisi perpustakaan untuk selanjutnya
dimanfaatkan sebagai bahan bacaan.
Yang kedua adalah masalah pilihan; karya sastra apa saja yang sebaiknya
dianjurkan dibaca. Karya sastra adalah kekayaan rohani bangsa, dan kekayaan tersebut
sudah terekam sejak nenek moyang kita pandai mencatat pengalaman dan penghayatannya
terhadap kehidupan dengan tulisan. Jadi, kalau mungkin, murid perlu diperkenalkan
dengan karya sastra lama maupun masa kini. Sastra Indonesia tidak hanya berisi karya Mh.
Rusli, Chairil Anwar, Nh. Dini, Marga T., Rendra, Fira Basuki, Ayu Utami, Ahmad
Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, Hilman, Mira W., dan Umar Kayam, tetapi juga karya
nenek moyang kita yang berupa babad, tambo, hikayat, serat, maupun syair. Kalau perlu,
kita harus mengusahakan terjemahan atas karya-karya klasik itu. Tentu kita semua harus
mencari akal bagaimana menawarkan khasanah itu kepada murid tanpa membuat mereka
bosan, sebab jika kebosanan yang didapat, apresiasi itu tidak akan pernah tercapai. Sastra
masa kini masih lebih mudah didapatkan daripada yang lama, oleh karena itu perhatian
khusus harus diberikan kepada usaha pengumpulan karya sastra lama tersebut.
Masalah yang ketiga, yang sangat penting, adalah kedudukan dan fungsi guru
dalam apresiasi. Kita semua tahu, apresiasi sastra menyangkut tiga unsur, yakni sastrawan,
karya sastra, dan pembaca. Kita boleh mengabaikan sastrawan dan menyederhanakannya
menjadi dua unsur saja, yakni karya sastra dan pembaca. Penghayatan bisa dicapai apabila
pembaca mengadakan hubungan langsung dengan karya sastra, artinya membacanya.
Tidak ada apa pun yang berada di antara bacaan dan yang membaca; si pembaca berusaha
menghayati kandungan yang dibacanya. Tentu saja yang terkandung dalam karya sastra itu
ada kaitannya dengan sastrawan yang telah menghasilkannya, entah diketahui atau tidak
identitasnya. Di dalam apresiasi sastra di sekolah, ada unsur “asing” yang muncul, yakni
guru. Guru seolah-olah berada di antara bacaan dan yang membaca, berdiri di antara murid
dan karya sastra.
Di sini tentu saja kita berhak mengajukan pertanyaan, apa kedudukan guru dalam
proses apresiasi itu? Apakah ia mewakili sastrawan? Jelas tidak, sebab tidak ada seorang
pun yang bisa mewakili sastrawan dalam proses semacam itu. Jawaban yang paling mudah
adalah bahwa karena dalam apresiasi sastra di sekolah murid dianggap masih memerlukan
bimbingan, maka guru diberi tugas untuk membimbing murid. “Membimbing” adalah kata
yang bisa bermacam-macam maknanya. Pelajaran bahasa dan sastra tidak sama dengan
pelajaran agama dan budi pekerti; apresiasi sastra tidak membimbing murid ke arah agama
dan budi pekerti. Dengan demikian, guru sastra tidak sama dengan guru agama atau guru
budi pekerti. Apresiasi sastra tidak bertujuan sekadar menghayati amanat yang tersirat atau
tersurat, tetapi juga mengetahui cara-cara khas dalam mengungkapkan amanat tersebut.
Cara-cara khas itulah yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa, itu pulalah yang
tidak bisa dipisahkan dari permainan. Cara pengungkapan itulah yang menyebabkan
amanat sering tidak dirasakan sebagai sekadar amanat, tetapi sebagai semacam permainan
yang mengasyikkan. Cara pengungkapan itulah yang membedakan sastra dari dakwah atau
ceramah budi pekerti.
Apresiasi berarti menghayati amanat dan sekaligus cara pengungkapannya—dan
atas dasar itu kemudian menghargainya. Terus-terang saja, dalam proses apresiasi
semacam itu, kedudukan guru memang sangat sulit. Ia, tentu saja, dituntut untuk memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih luas dari murid-muridnya dalam hal
membaca karya sastra—dan mungkin bahkan dalam hal-hal lain juga, sebab penghayatan
karya sastra tidak jarang menuntut pengetahuan luas mengenai berbagai bidang. Di
samping itu, karena karya sastra pada hakikatnya berprinsip tafsir ganda, guru yang suka
memaksakan tafsir atau pandangannya sendiri tentu saja bisa dipandang sebagai
penghambat apresiasi. Ia dianggap mengganggu hubungan langsung antara pembaca dan
karya sastra. Saya berikan bandingan sederhana: kita suka jengkel jika dalam gedung
bioskop ada orang yang terus-menerus berkomentar mengenai film yang sedang diputar,
yang sudah lebih dahulu disaksikannya, dengan sikap “sok tahu” mengenai film itu.
Jadi, apakah tidak usah ada guru dalam apresiasi sastra di sekolah? Sebenarnya
buku adalah guru yang baik (meskipun ada juga keyakinan bahwa “Pengalaman,” kata
orang Inggris, “adalah guru terbaik”), namun dalam konsep kita mengenai pendidikan
formal, guru sangat diperlukan. Dalam hal apresiasi sastra, guru sebaiknya berfungsi
sebagai “rekan” yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang bersama-sama dengan
murid-muridnya berusaha menghayati karya sastra. Guru sastra adalah “sekadar” pendam-
ping murid-muridnya dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian
pengarang terhadap kehidupan. Sumbangan kegiatan semacam itu sangat penting; jika
berhasil, ia bisa menciptakan kesadaran kritis terhadap kehidupan itu sendiri, suatu hal
yang diperlukan bagi masa depan murid-muridnya.

You might also like