Professional Documents
Culture Documents
Ibnu Wahyudi
University of Indonesia
Abstract:
Cynicism, apathy, indifference and the like usually accompany the implementation of a
new curriculum. The anecdote “a new minister, a new curriculum” is often heard. Is the
ever-changing curriculum meant to create a setback in one education? Of course not.
From the perspective of instrumental input, the quality of teachers in Indonesia can sadly
be said to be low, whereas teachers are the ones who are in charge of implementing the
curriculum in the classroom. What about teachers of language and literature? Some
articles have revealed that many literature teachers are not keen on reading literature, lag
behind in the development of the area, poorly appreciate the dynamic of literature, and
many are even forced to teach literature because they happen to be language teachers.
Teachers who can rely on the knowledge or reading they obtained during their school
years are definitely not good teachers. The learning of literature should be far from
boredom and fear. Democratization or the process of gaining the freedom of expression
essentially begins with the enjoyment and appreciation of literature.
There are various tips that can be suggested, such as integrating the teaching of literature
and the surrounding environment, class discussion that is not based on the true-false
approach, making use of the literary texts that have undergone a transformative process,
doing away with the dichotomy of “high” literature and “popular” literature, and students
producing their own works to stimulate creativity. By learning and exploring the learning
material based on necessity and the dynamic of both students and the environment, there
will be a well-patterned method and teaching strategy.
Introduction
Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak
pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang
tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada
lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan
memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit
buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan
yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang
berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan
lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.
Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis,
pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya
suatu kurikulum. Kelompok ini justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik
pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai
suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan
semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif
semacam itu yang dikemukakan?
Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang
populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (=
Siswa Bodoh Semakin Banyak) atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
sebagai Kurikulum Bakalan Konyol atau Kurikulum Berbasis Kebingungan maupun juga
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa
Pembelajaran atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai memperlihatkan adanya nada
sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan,
maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk
jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang
sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu
hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih
dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk
mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang
selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau
kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi
pumpunan perhatian maupun pertimbangan.
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya
mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi
penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan
sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya,
pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang
selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga
guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya
para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung
mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai
pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini
bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran
maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika
mereka masih dalam pendidikan.
Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pengajaran sastra di sekolah,
bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata
pelajaran Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang sangat minimal itu, melainkan juga
karena strategi pengajarannya yang mengkhianati jatidiri sastra itu sendiri. Metode
menghafal, misalnya, yang dapat saja berupa menghafal nama-nama para sastrawan,
menghafal peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa
sastra, maupun menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan jawaban yang tersedia,
yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada ujian akhir maupun pada
kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati
hakikat sastra.
Dikatakan sebagai “telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra”
karena sastra, bagaimanapun, adalah sebuah karya seni yang berbeda dengan ilmu alam
maupun ilmu-ilmu lain yang serba dapat diukur, dihitung, maupun diduga secara tetap dan
pasti. Sastra, seperti halnya karya-karya seni yang lain, harus ditempatkan dan
diperlakukan sebagaimana karya fiktif, imajinatif, kreatif, serta berdimensi makna yang
tidak tetap. Dengan jatidiri yang sedemikian itu, maka jika sastra juga diperlakukan sama
dengan bidang ilmu lainnya, yang terjadi kemudian tentu adalah “seolah-olah” pembelajar
telah memahami atau mengkaji sastra tetapi sesungguhnya bukan mengapresiasinya.
Kenyataan seperti ini tentu merupakan hal yang tidak semestinya terjadi dan memang tidak
boleh terjadi.
Menanggapi realitas semacam itu, banyak pengamat pendidikan maupun pengamat
sastra pada khususnya, yang telah melemparkan pendapat dan kritik tajam yang pada
intinya menghendaki dikeluarkannya sastra dari “bagian” bahasa Indonesia. Kalau bukan
suatu keinginan untuk sampai “mengeluarkan” sastra dari kurikulum, banyak pihak
menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara guru bahasa Indonesia dengan guru
khusus sastra. Bahkan menjelang diberlakukannya kurikulum 1994, banyak isu yang
beredar, yang antara lain menyebutkan bahwa pada kurikulum ini tidak akan lagi ada
komponen sastra di dalam bidang studi bahasa Indonesia. Konon, bidang studi sastra akan
dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, seperti ditulis oleh H.D. Haryo Sasongko dan
disinggung pula oleh Pamusuk Eneste dalam artikelnya. Meskipun kenyataan yang banyak
dibayangkan dan (mungkin) memang diharapkan oleh banyak peminat sastra itu tidak
terwujud—karena ternyata Kurikulum 1994 masih memasukkan sastra sebagai bagian
bidang ajar bahasa Indonesia—isu-isu seperti itu secara tidak langsung telah mempunyai
pengaruh positif dalam memandang dan memposisikan pengajaran maupun pembelajaran
sastra.
Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya
pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan
suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih
memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah
teknis. Bahkan, seperti dikemukakan oleh I Wayan Artika, banyak guru sastra yang “tidak
menyukai sastra”. Maka, dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang dapat diharapkan?
Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang
perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau
tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk
memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.
Harapan
Akhirnya memang hanya sebuah harapan. Mudah-mudahan, dengan berbagai
upaya, rencana, strategi, ancangan, maupun kehendak untuk selalu mengaktualisasi diri
dan menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam pembelajaran sastra, kehidupan
akademis maupun kehidupan sastra itu sendiri dapat berjalan beriringan dan saling
memanfaatkan. Untuk saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam
hal dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan berbagai gaya
dan tema, serta diam-diam telah mampu memposisikan diri sebagai sebuah ranah yang
tidak lagi seperti orang tua yang terbungkuk-bungkuk sambil sesekali batuk-batuk, tetapi
telah menjelma diri sebagai gadis manis yang selalu diimpi-impikan dan dirindui banyak
orang. Di Indonesia sekarang, orang cenderung tidak malu-malu lagi membawa atau
membaca novel mutakhir di keramaian atau di tempat-tempat umum. Malahan,
karya-karya fiksi Indonesia sekarang sudah menjadi benda hadiah untuk berbagai
perhelatan dan acara.
Oleh karena itu, dengan kenyataan kesastraan yang sedemikian ini, maka sinergi
antara dunia penciptaan sastra dengan dunia pembelajaran sastra sepatutnya tidak
terkendala lagi. Tinggal berpulang kepada para guru sendiri, untuk bersedia membuka diri,
meluaskan wawasan, serta memperkaya bacaan sastranya agar hakikat yang tersirat dalam
kurikulum yang terakhir ini dapat dioperasionalkan secara maksimal.