Professional Documents
Culture Documents
Irmayanti M. Budianto
University of Indonesia
Abstract
This paper underlines the importance of understanding post-structuralism,
especially the deconstructive method, in analyzing and researching literary works. There
are three elements in the deconstructive method which should function as analytical tools
in understanding a literary work: writing, metalanguage, and the subject.
Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk memahami pentingnya poststrukturalisme dan
bahkan strukturalisme dalam membaca karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu
ungkapan ekspresi kehidupan manusia yang dituliskan ternyata bercerita tentang makna
dan ingin mengatakan sesuatu itu dengan penuh kemaknaan. Membaca poststrukturalisme
dalam karya sastra hendaknya dipahami sebagai sebuah pendekatan (approach) dalam
memahami karya sastra tersebut. Posisi yang tepat dari poststrukturalisme menjadi sangat
penting dan berguna untuk melihat bagaimana sebuah teks karya sastra menampilkan teks
yang terbuka untuk dikritisi dan di dekonstruksi dan terfokus pada eksistensi tokohnya
(subjek). Untuk itulah, paradigma baru akan disampaikan dalam postrukturalisme, yaitu
metode dekonstruktif yang berkaitan dengan penelitian sastra, suatu metode yang
mencoba melakukan rekonstruksi tentang pandangan metafisis (konseptual) yang
diarahkan pada tulisan, metabahasa, dan subjektivitas.
“makna (meaning) harus bersumber pada kekuatan sistem bukan pada individu. Tidak
semata pada ketergantungan subjektivitas seseorang, tetapi pada medan perbedaan atau
konflik kekuatan sistem sehingga kita dapat menghasilkan interpretasi yang produktif.
65
Penerapan Dekonstruksi pada Karya Sastra
Metode Dekonstruksi:
* Tulisan/Writing
* Meta bahasa/Metalanguage
* Subjektivitas
Interpretasi tentang
Kesadaran Subjek
66
Kebenaran Epistemologis dalam Metode Dekonstruksi
Sebagai upaya metodologis metode dekonstruksi harus memiliki kriteria kebenaran
secara epistemologis agar apa yang dilakukannya memiliki keabsahan secara ilmiah.
Keabsahan ilmiah pada metode dekonstruksi diawali dengan analisis yang sifatnya
sistematis, logis, dan kritis. Ini berarti posisi peneliti memegang peran penting dalam
penelitian sastra. Peneliti harus memiliki paradigma (pola berpikir) dan cara berpikir
kualitatif (dan kuantitatif—apabila diperlukan), induksi–deduksi, rekonstruksi teori
(Budianto, 2002: 81). Mengapa harus demikian? Dengan menggunakan metode
dekonstruksi, peneliti harus dapat memiliki wawasan atau persepsi ilmiah yang bersifat
komprehensif. Paradigma kualitatif mengajak kita memahami situasi sosial budaya atau
situasi lainnya agar diperoleh nilai (values) dan norma tentang situasi tersebut,seperti nilai
estetis, moral, harmoni, kebebasan, konflik dan norma politis, kekuasaan, dan ideologis.
Paradigma induktif dan deduktif diperlukan agar keruntutan pemikiran seorang peneliti
dapat memiliki penalaran (reasoning) yang logis, dapat berpikir secara induktif
(mengambil kesimpulan dari premis khusus ke premis umum) dan secara deduktif (menarik
kesimpulan dari premis umum ke premis khusus). Paradigma rekonstruksi teori adalah
model penyelidikan ilmiah yang berusaha membangun, merancang kembali (rekonstruksi)
teori atau metode yang telah ada dan digunakan dalam penelitian. Agar model
rekonstruksi teori dapat diterapkan dengan baik, pemilihan dan penguasaan teori tertentu
yang dianggap relevan dengan penelitian sangat menunjang keberhasilan penelitiannya.
Ketiga paradigma dasar itu dapat dipakai sebagai model penyelidikan peneliti dan
menjadi dasar bagi metode dekonstruksi poststrukturalisme. Metode dekonstruksi
membutuhkan cara berpikir peneliti yang komprehensif dan mampu bersikap multidisiplin.
Latar belakang, dan situasi sebuah teks sangat beragam dan kompleks. Untuk itu, peneliti
membutuhkan pemahaman dan analisis yang komprehensif, khususnya yang berkaitan
dengan penerapan teori yang terfokus dengan ketiga hal (tulisan, metabahasa,
subjektivitas). Dengan demikian, pengukuran kebenaran dalam penerapan metode
dekonstruksi terhadap karya sastra terletak pada sistem pembenaran (teori) yang dipakai
sehingga pemaknaan dapat diperoleh secara objektif dan kontekstual. Hal itu dapat dibantu
pada saat pembacaan terhadap teks. Kita dapat terfokus, misalnya, pada (1) karakteristik
hierarki (2) pencarian “titik dasar” teks apabila ada suatu proses perubahan pada alur
cerita (3) pembentukan norma tertentu apabila terjadi perubahan pada subjek/pelaku cerita
(4) pencarian referensi lain di luar isi teks (5) minat mencari hal yang berkaitan dengan
substansial tertentu, misalnya konflik, kontradiksi atau yang dianggap agak berbeda ketika
hal itu muncul pada teks, baik secara implisit maupun eksplisit.
Penutup
Tiga hal: tulisan, metabahasa, subjek, pada metode dekonstruksi menjadi pisau
analisis dalam melihat berbagai “pembongkaran” dari sisi yang lain seperti aspek ideologis,
politis, pemaknaan yang lebih kritis (misalnya aspek sosial, etika/moral, kehidupan praktis,
aspek gender), suatu institusi dan sebagainya. Tiga hal tersebut akan menjadi lebih efektif
dan fungsional apabila peneliti memiliki sikap dasar awal dalam membaca teks, dapat
bersikap di satu pihak distansiasi, di lain pihak apropriasi. Sikap distansiasi mencoba
menjaga jarak, seakan sebuah teks dianggap otonom karena memiliki keutuhan
67
pengetahuan. Sikap apropriasi adalah sikap peneliti yang mencoba masuk ke dalam isi
teks, melebur ke dalam isi teks dan untuk kemudian “keluar” agar memiliki sikap
dekonstruksi yang bertujuan guna memberi interpretasi baru.
Dengan demikian, paradigma postsrukturalisme dapat menjadi pola berpikir kritis
bagi seorang peneliti dalam memahami karya sastra yang tidak hanya diinterpretasi dan
dimaknai secara tekstual, tetapi mencoba memahami melalui kesadaran subjek baik sebagai
penulis maupun pembaca. Dengan demikian, peneliti juga dapat mengukur dan menilai
sampai sejauh mana sebenarnya sebuah karya sastra dipahami dengan benar oleh kesadaran
kolektifnya (pembaca) melalui norma metodologis sehingga secara de jure dapat
dipertahankan secara epistemologis dan sahih.
Acuan
Belsey, Catherine. 2002. Poststructuralism: An Introduction. Oxford: Oxford University
Press.
Budianto, Irmayanti M. 2004. Ideologi Budaya. Jakarta: KataKita.
_____. 2002. Realitas dan Objektivitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Crowley, Tony. 1996. Language in History Theories and Texts. London: Routledge.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction Theory and Critisicsm after Structuralism.
New York: Routledge & Kegan Paul.
Easthope, Antony. 1991. British Post-Structuralism Since 1968. New York: Routledge.
Graham, George. 1998. Philosophy of Mind. Oxford UK: Blackwell Publisher.
Greimas, Algirdas Julien. 1990. Narrative Semiotics. London: Pinter Publishers.
Hawkes, David. 2003. Ideology, The New Critical Idiom. London: Routledge.
Hawkes, Terence. 2003. Strukturalism and Semiotics. London: Routledge.
Milner, Andrew & Jeff Browitt. 2002.Contemporary Cultural Theory: An Introduction.
London: Routledge.
Wicks, Robert. 2003. Modern French Philosophy, From Existentialisme to
Postmodernism. Oxford, England: Oneworld Publications.
68