You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

Sebagai penyakit, asma bronkial telah lama di kenal namun sebagai problem kesehatan masyarakat baru 35 tahun yang lampau. Prevalensi asma meningkat tajam dan saat ini asma diketahui sebagai penyeban kecacatan (disability) yang paling sering, membutuhkan biaya banyak dan penayakit dengan kematian yang dapat di cegah.(1) Pengertian para ahli tentang asma mengalami kemajuan secara dramatis dalam 20 tahun terakhir. Dulu asma di anggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh spasme otot polos, saat ini asma adalah suatu proses inflamasi komplek yang mengendalikan perubahan klinis dan fisiologi. Pengobatan asma juga mengalami perubahan seiring dengan pemahaman tentang pathogenesis penyakit. Telah banyak publikasi pedoman penatalaksanaan asma. Fokus terapi farmakologi telah mengalami pergeseran dari pengendalian otot saluran nafas hanya dengan bronkodilator ke faktor-faktor yang menyebabkan dan mempertahankan keradangan saluran nafas. (1) Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah murbiditas dan mortalitas asma yang relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma. Beberapa waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti namun belakangan ini berbagai Negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk pada anak.(2) Serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat dan mengancam kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain : olah raga, alergen, infeksi, perubahan suhu udara mendadak, atau pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor turut mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnya : usia, jenis kelamin, ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi prevalensi asma, derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan dan kematian akibat penyakit asma. (2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIFINISI


Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makrofag, neutropil dan sel epitel. Pada individu rentan proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak nafas, dada rasa penuh (chest tightness) dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variable yang sering reversibel, spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsif saluran nafas terhadap berbagai stimuli. Reversibilitas hambatan aliran udara biasa inkomplit pada beberapa pasien asma. (1,3)

Gambar 1. Perbandingan bronkus normal dengan bronkus penderita asma Ternyata bukan eosinofil saja yang berperan dalam asma (bukan hanya sekedar alergi), akan tetapi konsep asma sendiri mengalami perubahan, bukan hanya sekedar bronkospasme, akan tetapi interaksi berbagai faktor imunologi yang abnormal. Berbagai mediator dibebaskan dari berbagai sel yang berperan dalam proses imunologi dan fase terakhir mekanisme neural yang memegang peran peting dalam terjadinya spasme otot bronkus.(4)

2.2 FAKTOR RISIKO Faktor-faktor risiko adalah sebagai berikut: 1. GENETIK Telah diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada etiologi asma, pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara sederhana cara pewarisannya seperti autosomal dominat, resesif atau sel-linked. Namun dari studi genetik telah menemukan multiple chromosomal region yang berisi gen-gen yang memberi kontribusi asma. Kadar serum IgE yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q dan 12q. secara klinik ada hubungan kuat antara hiperesponsif saluran nafas dan peningkatan kadar IgE dan bukti terbaru menunjukkan co-inheritance dari gen atau atopi dan airway hiperaktifit (AHR) dijumpai pada kromosom yang sama. Gen yang menentukan spesifisitas dari respon imun mungkin juga penting pada pathogenesis asma. Gen-gen yang terletak dihuman leukocyte antigen (HLA) komplek dapat menentukan respon terhadap aeroallergen pada beberapa individu. Gen-gen pada kromosom 11,12 dan 13 dapat secara langsung mengontrol sitokin proinflamasi.(1)

2. GENDER DAN RAS Prefalensi secara keseluruhan wanita lebih banyak dari pria. Ras kulit hitam diketahui mempunyai resiko tinggi kematian, tidak tergantung status sosial ekonomi dan pendidikan. Insiden asma tinggi dinegara berkembang diperkirakan karna faktor-faktor lingkungan mungkin sama pentingnya seperti faktor-faktor genetic dan ras. (1)

3. FAKTOR LINGKUNGAN Alergen adalah penyebab terpenting asma dari beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara paparan alergen dan prefalensi asma dan perbaikan asma bila paparan alergen menurun. (1)

4. POLUSI UDARA

Polutan diluar dan didalam rumah mempunyai kontribusi perburukan gejala asma dengan mentriger bronkokontriksi, peningkatan hiperesponsif saluran nafas dan peningkatan respon terhadap aeroalergen. (1)

5. FAKTOR LAIN Dari sejumlah studi epidemiologi dapat ditemukan asosiasi antara resiko terjadinya asma dan atopi. Dari studi yang telah dilakukan diketahui ada hubungan terbalik antara keluarga dengan asma dari beberapa studi dilaporkan paparan atau interaksi antara anak kecil dengan anak yang lebih besar dirumah atau pada anak-anak di pusat penitipan anak melindungi terbentuknya asma. (1)

2.3 PATOGENESIS Ekspresi asma bersifat kompleks, proses interaktif yang bergantung pada hubungan saling mempengaruhi antara dua faktor utama : faktor pejamu (terutama genetik) dan paparan faktor lingkungan yang terjadi pada saat kritis waktu perkembangan sistem imun. (1) 1. Faktor pejamu (host) Ada interes yang besar tentang peran respons imun adaptif dan pembawaan lahir dalam kaitan terbentuk dan regulasi inflamasi. Fokus penelitian diarahkan pada ketidak imbangan antara profil sitokin Th1 dan Th2 dan bukti bahwa penyakit- penyakit alergi juga kemungkinan asma ditandai oleh pergeseran ke arah Th2 cytokine-like disease, sebagai ekspresi berlebihan dari Th2 atau under ekspresi Th1. Inflamasi saluran nafas asma mencerminkan ketidak imbangan Th1 dan Th2. Hygeine hypothesis berdasarkan asumsi bahwa system imun bayi baru lahir bergeser kearah pembentukan sitokin Th2. (1)

Genetik

Telah diketahui pada asma ada komponen yang diwariskan, tetapi keterlibatan genetic pada perkembangan akhir asma tetap merupakan gambaran yang komplek dan tidak komplit. Saat ini telah ditemukan banyak gen yang terlibat / terkait dengan asma. Peranan genetic pada produksi IgE, hiperesponsif bronkus dan disfungsi regulasi pembentukan 4

mediator inflamasi telah merebut banyak perhatian. Polimorfisme respon beta adrenergik, kortikosteroid dalam menentukan keberhasilan pengobatan menarik perhatian para peneliti namun aplikasi secara luas faktor genetik masih perlu ditetapkan lebih lanjut. (1) 2. Faktor lingkungan Dua faktor lingkungan utama yang terpenting dalam perkembangan, persistensi dan mungkin keparahan asma adalah allergen airborne dan infeksi virus respirasi. Pada pejamu yang rentan dan pada masa perkembangan yang kritis, baik infeksi dan allergen berpengaruh besar pada perkembangan asma dan kemungkinan keparahannya. (1)

a. Alergen Sensitisasi dan paparan terhadap house-dust mite dan alternaria merupakan faktor penting dalam perkembangan asma pada anak. Data lain menyebut animal dander terutama anjing dan kucing ada kaitan dengan perkembangan asma. (1)

b. Infeksi respirasi Pada waktu bayi, sejumlah virus respirasi dihubungkan dengan terjadinya asma. Sejumlah studi prospektif jangka panjang tentang anak yang dirawat di RS yang diketahui ada infeksi respiratory cyncitial virus (RSV) telah menunjukkan bahwa 40% bayi-bayi tersebut akan terus mengi atau menjadi asma pada usia yang lebih besar. Pengaruh infeksi virus respirasi pada perkembangan asma tergantung interaksi dengan atopi. Kondisi atopi dapat mempengaruhi respons saluran nafas bawah terhadap infeksi virus dan infeksi virus kemudian mempengaruhi perkembangan sensitisasi alergik. (1)

2.4 GEJALA ASMA

1. Serangan batuk yang hebat, nafas berat ngik-ngik, tersengal-sengal, sesak dada. 2. Susah berbicara dan berkonsentrasi. 3. Jalan sedikit menyebabkan nafas tersengal-sengal. 4. Nafas dangkal dan cepat atau lambat dibandigkan biasanya. 5. Lubang hidung mengembang dengan setiap tarikan nafas. 5

6. Daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke dalam setiap tarikan nafas. 7. Banyangan abu-abu atau mebiru pada kulit, bermula dari daerah sekitar mulut, merupakan tanda dari sianosis. 8. Angka penggunaan Peak Flow Meter dalam wilayah berbahaya (<50%).(1,2) 2.5 PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium dapat dibagi atas: 1. Pemeriksaan sputum Sputum umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang-kadang terdapat mucus plug.(3) 2. Pemeriksaan darah Analisis gas darah pada umumnya normal, akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis. Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH. Hiponatremia, dan kadar leukosit kadang-kadang diatas 15.000/mm3. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan dan menurun pada waktu pasien bebas dari serangan. (3) 3. Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperimplasi pada paru-paru, yakni radiolusen yang bertambah dan pelebaran rongga interkosta, serta diafragma yang menurun. (3)

2.6 ASMA EKSASERBASI Asma eksaserbasi (asma akut atau asthma attach) adalah kejadian peningkatan progresif keluhan sesak nafas, batuk, mengi atau chest tightness atau beberapa kombinasinya.(1)

Asma eksaserbasi merupakan satu alasan paling sering dari pasien untuk mencari pertolongan emergensi ke dokter umum atau instalasi gawat darurat. Evaluasi data dari instalasi gawat darurat menyatakan pasien asma yang datang ke IGD sebagian besar termasuk asma berat hanya sebagian kecil dengan asma ringan dan sedang. (1) 6

Eksaserbasi asma bisa ringan, berat sampai mengancam nyawa. Perburukan biasanya terjadi dalam hitungan jam atau hari kadang bisa terjadi dalam beberapa menit. Eksaserbasi biasanya menunjukkan ada kontak dengan trigger. Yang paling sering adalah infeksi virus atau alergen tetapi eksaserbasi yang berjalan gradual bisa terjadi karena kegagalan penatalaksanaan jangka panjang. (1) Mortaliti dan morbiditi sering dikaitkan dengan kegagalan dalam mengenal berat eksaserbasi, upaya yang tidak adekuat pada saat onset dan undertreatment eksaserbasi. Terapi eksaserbasi tergantung dari kondisi pasien, pengalaman terapi tenaga kesehatan, terapi yang paling efektif untuk pasien tertentu, obat-obat yang tersedia dan fasilitas gawat darurat. (1)

PENYEBAB EKSASERBASI 1. Infeksi virus respirasi (paling sering) 2. Micoplasma pneumonia 3. Chlamydia pneumonia 4. Alergen 5. Iritan (SO2, particulate pollutans)

6. Obat (aspirin) 7. Krisis emosi 8. Tidak patuh pada pengobatan(1)

2.7 PENATALAKSANAAN EKSASERBASI Terapi utama untuk eksaserbasi adalah pemberian inhalasi beta 2 agonist berulang, glukokortikoid lebih awal dan oksigen. Sebelum memberi pengobatan diperlukan evaluasi awal (assessment). Walaupun evaluasi awal tersebut penting namun pada eksaserbasi berat pemberian oksigen dan beta 2 agonist harus didahulukan. Evaluasi keparahan penyakit diselesaikan dengan menilai kemampuan pasien mengucapkan kalimat, tanda-tanda vital, PEFR dan pulse oxymetri. Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas dan hipoksemi secepat mungkin dan mencegah kekambuhan. Yang paling penting dalam menentukan keberhasilan terapi adalah monitoring kondisi pasien dan respons terapi dengan mengukur faal paru. Pemulihan sempurna 7

dari eksaserbasi biasanya gradual. Fungsi paru perlu beberapa hari untuk kembali normal dan beberapa minggu untuk menurunkan AHR. (1) 2.8 PENATALAKSANAAN EKSASERBASI DI RUMAH SAKIT Langkah pertama adalah penilaian awal atas dasar riwayat penyakit dan pemeriksaan (pemeriksaan fisik, Sa O2, PEFR/FEV1, BGA bila perlu) yang terkait dengan eksaserbasi dibarengi dengan terapi awal. (1,5) Pengobatan awal : 1. Oksigen untuk mencapai SaO2 90-95% 2. Inhalasi SABA continue selama 1 jam 3. Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sudah minum steroid oral atau episode berat. (1,5) Evaluasi setelah 1 jam selanjutnya pengobatan disesuaikan dengan respon pengobatan. a. Respon baik: Pulang Kriterianya: respon bertahan sampai 60 menit setelah pengobatan terakhir, pemeriksaan fisik normal: tidak ada distress, PEFR > 70% predileksi, SaO2 > 90%.(1) b. Respon tidak lengkap: dilanjutkan keperawatan di ruang perawatan intermediet. Kriterianya : ada faktor resiko near factor asma, pemeriksaan fisik tanda ringan sedang, PEFR < 60% predileksi, SaO2 tidak ada perbaikan. (1) c. Respon jelek : ke ICU Kriterianya : adanya faktor resiko asma, pemeriksaan fisik : gejala yang berat, ngantuk, bingung. PEFR < 30% predileksi, PACO2 >40 mmHg, PaO2 < 60 mmHg. (1)

2.9 PROGNOSIS Prognosis dari penatalaksanaan asma eksaserbasi akut tergantung pengobatan yang tepat dan optimal sehingga tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari.(1,2,5)

BAB III KESIMPULAN

Asma sudah lama dikenal, namun baru akhir- akhir ini menjadi masalah kesehatan yang menonjol. Peradangan saluran nafas pada asma sangat kompleks. Adanya predisposisi genetic yang berinteraksi dengan infeksi (virus, bakteri) yang akan mengarahkan terjadinya reaksi inflamasi alergi. Batuk, sesak nafas, wheezing merupakan trias gejala asma bila gejala dan tanda tidak spesifik sulit dibedakan dengan penyakit lain, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Faal paru yang menunjukkan obstruksi yang refersibel merupak alat diagnosis pasti. Walaupun tidak ada kesembuhan untuk asma namun pengelolaan yang optimal asma dapat dikontrol.

10

DAFTAR RUJUKAN 1. Maranatha D, Asma Bronkial in Wibisono, Jusuf M, Winarni, Hariadi S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Departemen Ilmu Penyakit Paru FK-UNAIR, Surabaya, 2010, 55-73. 2. Kartasasmita C B, Asma in Rahajoe N N, Supriyatno B, Setyanto B D, Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi I, IDAI, Jakarta, 2008, 71-133. 3. Suardi A U, Setyati A, Dewanti A, Supriyatno B, Kartasasmita C B, Basir D, et al, Pedoman Nasional Asma Anak, Editor: Rahajoe N N, Supriyatno B, Setyanto B D, UKK Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, 2005, 1-44. 4. Rab T, Ilmu Penyakit Paru, Trans Info Medika, Jakarta, 2010, 377-391. 5. Volovitz, Benjamin. Management of Acute Asthma Exacerbations in Children. 2008. Available from: http://www.expert-reviews.com

11

You might also like