You are on page 1of 4

Sebuah Metamorfosa

Ibnu Wahyudi
Universitas Indonesia

Judul buku: Perantau


Penulis: Gus tf Sakai
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2007
Tebal: 133 halaman

Dari segi semantik, laku “merantau” tentu erat berkaitan dengan tindakan atau
langkah melepaskan diri dari kungkungan kehidupan yang dirasa membelenggu, dengan
pergi ke daerah atau negeri tertentu. Akan tetapi, bisa juga penyebabnya tidak sekadar
keterbatasan semacam itu; merantau sangat mungkin dilakukan karena memang harus
dilakukan: sebuah kemestian! Tujuan yang hendak digapai, barang tentu, alasannya
berbagai-bagai pula, tetapi kehendak untuk mencari penghidupan yang lebih layak,
memperluas cakrawala atau memperdalam pengetahuan, dan semacamnya, sangat boleh
jadi merupakan pemicu utamanya.
Lantas, dalam perantauannya itu, niscaya beragam kisah atau suka-duka kehidupan
telah dihirup oleh sang perantau sehingga orang lain bisa saja akan memperoleh
pengalaman darinya atau akan mendapat sisi-sisi kehidupan berbeda yang mungkin saja
belum direngkuh. Sekiranya harapan semacam ini yang berayun-ayun manakala membaca
kata “perantau” yang telah ditabalkan sebagai judul kumpulan cerpen ini, pembaca pantas
bersiap untuk cukup kecewa lantaran bukan hal-hal yang bersifat pengalaman merantau
yang disajikan dalam kumpulan cerpen ini, melainkan lebih pada semacam pemahaman
ulang atau bahkan kegamangan akan makna kebiasaan atau adat merantau itu.
Kendati kita mafhum bahwa penulisnya, Gus tf Sakai, boleh dinyatakan sebagai
orang yang tidak tengah dalam perantauan atau orang yang belum pernah merantau,
sementara ia berasal dari lingkungan yang mengkondisikan laku yang sedemikian itu, tidak
berarti bahwa ia tidak boleh atau tidak mungkin menulis mengenai laku merantau itu.
Dalam ranah sastra, pengalaman menghadapi atau langsung mengalami suatu peristiwa
atau suatu keadaan tidak menjadi jaminan akan kualitas kisah sebagaimana pernah
dialaminya itu. Dengan perkataan lain, sangat terbuka kemungkinan bahwa seseorang yang
bahkan belum pernah datang atau hidup dalam suatu komunitas atau budaya tertentu,
misalnya, tetap mempunyai peluang untuk mampu bercerita mengenai komunitas atau
budaya tertentu itu secara sedap dan meyakinkan. Semuanya ini berpulang pada kekuatan
“imajinasi”, seperti beberapa kali disurat dan ditunjukkan dalam kisah “SpongeBob”,
bahwa imajinasilah, dan hanya karena imajinasi semata, yang selama ini telah menyihir
pemirsa untuk betah dan pasrah “dikibuli” oleh kefiksian.
Namun demikian, Gus tf Sakai memang sungguh tidak dalam posisi ingin
mendemonstrasikan kemampuan imajinatifnya untuk, katakankalah, bercerita mengenai
pengalaman merantau atau sejenisnya itu. Yang terasa kuat dari cerpen-cerpen yang
dihimpun dalam antologi ini justru adalah persoalan bersikap, bertimbang, atau
berkalkulasi kembali atas sejumlah laku budaya yang tentunya ia kenal dengan baik itu.
Pertimbangan atau pemahaman kembali tersebut kemudian mengejawantah menjadi
semacam kebimbangan, kegamangan, ketidakpastian, atau malahan juga kritik atas
sejumlah praksis budaya yang membebat di sekelilingnya.
Membaca cerpen-cerpen Gus tf Sakai dalam kumpulan ini, istimewanya bagi saya,
tidak lagi sebatas membaca pada tataran yang wadag saja sebab dari komposisi yang ia
pertunjukkan jelas ada isyarat untuk merenungkan permasalahan di sebalik narasi yang ia
kreasi. Ada semacam ajakan untuk menyelusup ke dalam ranah makna yang tidak sekadar
permukaan, utamanya dirangsang oleh ketidaktransparanan pesan yang ia siratkan. Pada
cerpen yang diambil sebagai judul antologi ini, misalnya, pembaca dihadapkan pada sebuah
persoalan esensial yang sangat manusiawi, yang sehari-hari, yakni kita seringkali lebih
dikooptasi oleh pikiran-pikiran tentang sesuatu hal daripada secara langsung bergumul
atau bergelut dengan sesuatu hal itu. Dalam kaitan “merantau”, contohnya, duga-duga
akan hidup di perantauan yang niscaya selalu akan mengingatkan segala sesuatu yang telah
ditinggalkan, semisal ingatan akan suara bangsi atau romantisme hidup di masa belum akil
balig atau masa kanak-kanak, dipampangkan di depan pembaca. Padahal, sekali lagi,
kesemuanya itu hanya sebuah konstruksi yang baru dibayangkan, belum dilakukan. “Harus
kuakui, semua hanya mungkin kutemui dalam mimpi.” (“Gadis Terindah”, halaman 23).
Bahwa sesuatu yang telah biasa atau sudah menjadi semacam adat untuk dijalankan
tidak selalu hendak dilaksanakan, sangat bermuara pada sejumlah realita. Salah satunya
bersumber dari keterbelahan pribadi seseorang, yang kondisi psikologisnya tidak
selamanya mudah membedakan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang mungkin
atau bisa dilakukan (lihat cerpen “Lelaki Bermantel”). Pada kondisi semacam ini,
“merantau” sesungguhnya sudah dilakukan, meski “rantau” yang telah dirambah adalah
bukan di mana-mana, “Kami terus masuk, kian ke dalam; bagai ke wilayah lain di luar
kampung, tetapi sebenarnya di kampung itu juga.” (“Gadis Terindah”, halaman 24).
Perantauan imajinatif atau bahkan perantauan kejiwaan semacam ini pada hakikatnya juga
adalah merantau, mengalami suatu gerak atau lakuan yang tidak sepenuhnya disadari, yang
sesungguhnya “tak pernah ada, tak lebih hanya ciptaan, ... rekaan dalam pikirannya.”
(“Lelaki Bermantel”, halaman 10).
Jika dalam perantauan yang biasa adalah wajar mengalami suatu keadaan suka
maupun duka, maka pada “perantauan” sebagaimana baru disebut yang terungkap
bisa-bisa hanyalah aspek dukanya saja. Apa-apa belum dijalani, tetapi gambaran duka
sudah seringkali disimak dari kisah-kisah para perantau, memang akan sangat mungkin
memberikan semacam rangsang atau rekayasa imajinatif yang jauh lebih kaya, lebih
mengerikan, dan mungkin juga lebih mengendap dalam benak seseorang. Dan, jika kondisi
seperti ini yang lantas meraja, yaitu adanya rasa was-was yang melibas, tak dapat
disangkal memang sekiranya ada yang lebih memilih merantau di rumah saja, atau memilih
menjadi katak.
Merantau atau tidak merantau, galibnya, dipilih atas sejumlah pertimbangan.
Tetapi, siapa yang mau atau suka menimbang-nimbang sesuatu yang telah menjadi
semacam tradisi, kebiasaan, adat, kelaziman, dan laku sosial itu? Kalaupun ada yang
kemudian merepotkan diri dengan persoalan ontologis ini tentu bukan mereka yang telah
merantau, bukan mereka yang tunduk dan takzim begitu saja kepada adat, atau bukan
mereka yang mau mengalir saja dalam hidup ini, melainkan mereka yang bisa jadi belum
pernah merantau, seperti halnya Gus tf Sakai. Kendati begitu, tidak menutup kemungkinan
bahwa yang pernah merantau pun, atau bahkan mereka yang bukan dari lingkungan sosial
budaya seperti itu, tertarik untuk memperbincangkan ihwal merantau ini dari sudut
pandang yang beragam. Kemudian, hasilnya, barang tentu, tidak dengan sendirinya akan
operasional atau akan menjadi semacam pertimbangan sosial yang mampu mengubah
tradisi atau adat itu, melainkan menjadi sekadar bahan renungan, refleksi, atau pemikiran
yang menyebabkan orang lebih menjadi dewasa dan matang dalam bersikap terhadap
kehidupan.
Lewat cerpen-cerpennya, setidak-tidaknya dalam kumpulan ini, ada nada gamang
yang cukup kuat dilontarkan oleh penulis, meski bisa saja kegamangan itu tidak selalu
bersinggungan dengan persoalan merantau. Akan tetapi, jika ditimbang-timbang lagi,
agaknya rasa gamang itu tetap saja bertelekan pada akar kehidupan yang digambarkan,
yang sangat mungkin kembali pada persoalan merantau itu. Kegamangan yang
direpresentasi oleh penegasian atau ketidakpastian itu bertebaran di banyak cerpen dalam
Perantau ini. Sebagai misal, banyaknya ketidakpastian terungkap pada penggalan kalimat
“... tampak seperti melayang (ataukah terbang?)” (“Belatung”, halaman 53), “... mengiringi
(ataukah menuntun?)” (“Hilangnya Malam”, halaman 64), “Gambar-gambar
(bentuk-bentuk itu!)” (“Tok Sakat”, halaman 82), “... jatuh meluncur (ataukah disedot?)”
(“Sumur”, halaman 110), “... huma (ataukah pantai?)” (“Stefani dan Stefanny”, halaman
116), dan “... biru (ataukah hijau?)” (“Lelaki Bermantel”, halaman 3), mengisyaratkan
kegamangan yang ditebarkan di hampir semua cerpen. Belum lagi dengan dipakainya
sejumlah kata yang secara langsung menunjukkan kebimbangan itu, seperti “entah”,
“tidak”, “ragu”, yang muncul berulang kali di sejumlah cerpen, kian memperkuat dugaan
akan kegamangan terhadap sesuatu yang telah berlaku dalam kehidupan. Dan, karena
pengikat semua cerpen dalam buku ini diberi tajuk “perantau”, maka prasangka akan
kegamangan yang menyerempet soal “merantau” cukup punya alasan dikemukakan di sini.
Namun demikian, apa sesungguhnya hakikat “merantau” itu? Jawaban terhadap
masalah ini secara sosio-budaya tentu dapat diperoleh dari sejumlah buku, namun Gus tf
Sakai agaknya ingin menjelaskan esensi “merantau” ini dengan cerpen-cerpennya. Dalam
cerpen berjudul “Belatung”, misalnya, secara metaforis dikemukakan bahwa merantau itu
intinya adalah sebuah metamorfosa, sebuah perubahan laiknya dari ulat menjadi
kupu-kupu, dari sesuatu yang tak berharga menjadi sesuatu yang dipuja-puja. Apabila
makna “perubahan” itu diwakili oleh hanya sebuah kata, ia dapat saja berupa ungkapan
“aku ingin” (“Belatung”, halaman 53), “ia ingin” (“Hilangnya Malam”, halaman 61), atau
dengan kata-kata verbal-denotatif seperti “berubah” (“Hilangnya Malam”, halaman 63)
atau “menjelma” (“Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas”, halaman 50).
Dari cerpen yang terakhir disebut, terdapat alinea yang menunjukkan bahwa
kehidupan ini sendiri adalah sebuah perantauan, sebuah perubahan yang seringkali tidak
lagi dipahami hakikat perubahannya itu. Dan, perubahan itu tidak selamanya bermula dari
yang jelek menjadi indah, sebagaimana tersurat dalam cerpen “Belatung”, melainkan bisa
sebaliknya.
Tak mungkin! Itu kejadian 40 tahun lalu. Tak mungkin! Itu
peristiwa dari tempat berbeda. Ini Jakarta, di sebuah kaki lima, dan ia telah
menjelma jadi seorang pengemis renta dengan sebelah kaki lain pun kini
nyaris tak ada, habis digasak borok, kudis. Ia telah tak lebih seonggok
daging 77 tahun yang terus menyusut ... (“Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas”,
halaman 50).

Tentu saja, bukan perubahan seperti ini yang kita harapkan semua dari
“perantauan” kita di dunia ini, tapi sebaliknya. Semoga!***

You might also like