You are on page 1of 4

Puisi Indonesia di Masa Orde Baru

Saktiana Dwi Hastuti


Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI

Judul buku: Rahasia Membutuhkan Kata


Penulis: Harry Aveling
Penerbit: IndonesiaTera
Tahun terbit: 2003
Tebal: xxxii + 282 halaman

Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata menyajikan salah satu cara
pandang yang berbeda terhadap dunia puisi Indonesia sepanjang periode Orde Baru. Ia
menempatkan dunia puisi Indonesia dalam konteks sosial-politik. Ia menyediakan hasil
pengamatan yang menyeluruh tentang penulisan selama tiga dekade tersebut.
Dalam antologinya ini, ia menampilkan 118 puisi dari 24 penyair Indonesia.
Antologi puisi tersebut terdiri dari delapan bab, yang terbagi atas dua bagian pokok.
Pembagian tersebut yaitu perpuisian Indonesia sejak 1965 hingga pertengahan 1980-an dan
era 1980-an sampai lengsernya pemerintahan Soeharto pada 1998.
Harry Aveling dalam antologinya ini menampilkan dua generasi puisi yang
berbeda, yaitu angkatan 66—yang umumnya lahir pada tahun 1940-an dan berpengaruh
besar pada dekade awal Orde Baru—dan angkatan pasca-Indonesia—yang umumnya lahir
tahun 1960-an dan memulai karyanya tahun 1980-an. Dalam Rahasia Membutuhkan Kata
ini, ia menggambarkan dunia perpuisian Indonesia selama pemerintahan Orde Baru secara
kronologis dan tematik. Di setiap bab, ia memberi sebuah pengantar awal yang berisi
tentang komentarnya dan gambaran singkat tentang perubahan politik dan sosial yang
terjadi pada saat puisi-puisi itu ditulis. Setelah itu, ia menganalisis beberapa puisi para
penyair yang menurutnya relevan terhadap bab yang sedang dibahasnya.
Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata membahas tentang
perkembangan perpuisian Indonesia masa pemerintahan Orde Baru sesuai dengan konteks
sosial-politiknya. Pada bab pertama, ia menggambarkan situasi perpuisian Indonesia pada
masa peralihan tampuk kekuasaan, dari Soekarno (Orde Lama) ke Soeharto (Orde Baru).
Tahun 1966, terjadi demonstrasi para pelajar dan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde
Lama. Perpuisian Indonesia pun didominasi olek sajak demonstrasi atau sajak protes yang
dibaca untuk mengobarkan semangat para pemuda dalam aksi demonstrasi awal tahun
1966. Penyair yang aktif menyuarakan puisi protesnya antara lain Taufiq Ismail dan W.S.
Rendra.
Taufiq Ismail menyuarakan protesnya dalam Benteng dan Tirani. Puisi-puisinya
berkaitan dengan peristiwa tertentu yang terjadi pada masa itu dan dengan gaya penulisan
yang sederhana agar mudah dimengerti. Penyair lain yaitu W.S. Rendra, dengan Balada
Orang-orang Tercintanya. Puisi-puisinya bertemakan sosial dan personal. Dalam puisinya,
ia menyuarakan kritiknya tentang kondisi masyarakat Indonesia dan kalangan elite pada
masa itu.
Sejak tahun 1966—ketika perhatian pada konfrontasi politik mulai surut—muncul
fasilitas-fasilitas kebudayaan yang memacu ledakan aktivitas kreatif angkatan 66. Fasilitas
tersebut, antara lain, munculnya majalah Horison (1966), Budaja Djaja (1968), dan
dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM), yang merupakan pusat kebudayaan. Selain itu,
pada masa ini berkembang dua aliran besar puisi, yaitu neo-romantisme dan
intelektualisme. Aliran neo-romantisme telah menegaskan sepi sebagai konsekuensi dari
perlawanan yang bersifat metafisis atas dunia. Penyair yang beraliran neo-romantisme
adalah Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Penyair
beraliran intelektualisme yaitu Subagio Sastrowardoyo dan Toety Heraty. Aliran ini lebih
menekankan pada pengamatan kritis tentang dunia dan pengalaman pribadi.
Awal tahun 1970-an, Orde Baru telah membangun suatu pola kebijakan ekonomi
dan birokrasi pemerintahan tersendiri yang demikian kuat dan memberikan pengaruhnya
bagi pencipta sastra. Semakin sedikit ruang yang tersisa bagi opini sosial akibat pembatasan
hukum pada opini pribadi yang jujur, khususnya opini yang berseberangan dengan presiden
dan pemerintahan. Oleh karena itu, perpuisian di Indonesia pada masa itu diwarnai oleh
puisi-puisi absurd, seperti puisi Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jatman, dan
Yudhistira.
Sutardji dengan kredo puisinya menegaskan bahwa kata-kata bukanlah alat yang
mengantarkan pengertian. Ia membiarkan kata-kata membentuk maknanya sendiri dan
mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Darmanto lebih unik lagi, yang sering mencampur
kata-kata dari berbagai bahasa secara bersamaan. Berbeda dengan Darmanto dan Sutardji,
puisi Yudhistira tampil lebih dari sekadar humor getir. Di balik puisi-puisi getirnya,
tersimpan dengan halus kepahitan pada ketidakadilan masa Orde Baru yang dibuatnya
dalam bentuk simbol-simbol. Memang, sastra mempunyai kekuatan untuk
mendokumentasikan ruang-ruang yang hilang dalam masyarakat ketika bentuk lain dari
ekspresi politik dilarang untuk mencatat apa yang tak terucapkan.
Setelah huru-hara Malari pada 1974, awal kematian kebebasan intelektual telah
dimulai. Selain itu, banyaknya protes di dunia kampus yang menyuarakan kekecewaannya
pada pemerintahan Orde Baru membuat pemerintahan Orde Baru mengencangkan
pengawasannya dan tekanannya pada rakyat. Orde Baru berhasil mengontrol
sumber-sumber ide kebebasan universitas, pers, dan kekuasaan sipil lainnya.
Pada 1980-an, kontrol dan pengawasan birokasi negara menjadi lebih tinggi.
Kebijakan pemerintah Orde Baru semakin sentralistik, bahkan semakin terfokus pada
pribadi Soeharto sebagai presiden. Saat itu, masyarakat diawasi dengan sangat ketat. Pada
era ini pula semua perlawanan dan pertentangan dibungkam. Koran dan majalah banyak
yang dibredel. Buku-buku yang menurut pemerintahan Orde Baru “membahayakan”
dicekal dan para penyairnya dijebloskan ke dalam penjara.
Pada masa ini—karena tekanan yang begitu kuat dari rezim Soeharto—muncul dua
fase berikutnya dalam perkembangan perpuisian di Indonesia, yaitu puisi model eksplorasi
hubungan dan puisi yang menuju berbagai bentuk ajaran Islam. Model pengutaraan
emosi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa kelas atas atau priyayi secara luas
dipropagandakan sebagai pola ideal perilaku kaum laki-laki. Ada yang membangun
identitas wanita yang memikat, tetapi tetap lemah lembut dan jinak. Wanita termarjinalkan
oleh simbol pemerintahan patriarki, seperti Darmanto Jatman dalam Isteri dan Linus
Suryadi dalam Pengakuan Pariyem turut mewarnai perpuisian Indonesia pada masa itu.
Ada juga puisi yang mementingkan aspek emosional, seperti luka cinta seseorang yang
terdapat dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan Goenawan Mohammad.
Menurut Harry Aveling, pada masa 1980-an lahir angkatan baru, yaitu angkatan
pasca-Indonesia. Angkatan ini terdiri dari para penulis yang lahir setelah proklamasi
kemerdekaan negara. Menjelang tahun 1980-an, keyakinan dan pengalaman religius
menjadi tema ekspresi puitik yang paling khas. Penyair-penyair pada masa ini adalah
Ahmadun Yossy Herfanda, Acep Zam-zam Noor, dan Emha Ainun Najib. Para penyair
tersebut digolongkan ke dalam aliran sufistik karena puisi-puisinya bereferensi pada kitab
suci, khususnya Alquran. Penulisan puisi sufistik ini sepertinya merupakan pilihan penyair
untuk menghindari kritik eksplisit terhadap rezim Soeharto.
Setelah tekanan panjang yang terus mendera, di akhir 1980-an muncul
protes-protes yang menyerukan agar pemerintahan Soeharto segera diakhiri. Selain itu,
terlihat kembali mencurahnya opini publik, diskusi, dan debat tentang kepentingan politik
dan isu ekonomi melawan negara. Namun sayangnya, ketika aktivitas kebudayaan mulai
hidup kembali, pencekalan terhadap karya seni kembali terjadi. Teater Koma dicekal dan
Monitor dibredel. Kemudian, di akhir 1993, terjadi penangkapan dua lusin mahasiswa
karena dianggap menghina negara. Pada Juni 1994, menyusul Tempo, Detik, dan Editor
dibredel karena laporan kerasnya tentang konflik pemerintah dan ABRI.
Para penyair 90-an, di antaranya Kriapur, Afrizal Malna, Sitok Srengenge,
Dorothea Rosa Herliany, dan Wiji Thukul, menggunakan penulisan pribadi dan personal
sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap campur tangan kekuasaan negara yang
mengusik. Penyair 90-an lebih berani dalam menyuarakan kritiknya daripada penyair 80-an,
seperti Wiji Thukul dengan puisinya “Peringatan”. Namun sayangnya, puisi beraninya
tersebut menghantarkannya pada kematian.
Akhirnya, pada 1998, tampuk kekuasaan Soeharto pun runtuh. Runtuhnya
kekuasaan Orde Baru ini dimulai dari peristiwa krisis moneter di Indonesia tahun 1998.
Pencabutan dukungan politik untuknya oleh publik serta mundurnya militer dan elite
parlemen pun punya andil besar dalam lengsernya rezim Soeharto. Puncaknya yaitu tragedi
Semanggi yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei 1998. Dengan
turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998, muncul karya-karya sastra
berisi protes yang akhirnya segera mengukuhkan dirinya dalam “Sastra Reformasi”.
Penulisan puisi tentang situasi negara demikian melimpah. Salah satunya yaitu karya Taufiq
Ismail dengan “12 Mei 1998” dan “Empat Syuhada”-nya serta karya Ikranegara dengan
puisi “Merdeka”-nya.
Dalam Rahasia Membutuhkan Kata ini, terlihat ideologi pengarang yang begitu
kuat dan menyatu dalam karyanya. Antologinya terasa sebagai suatu kritik terhadap
pemerintahan Soeharto. Dalam antologi ini dapat terbaca usaha pengarang untuk
memaparkan pengaruh kebijakan-kebijakan rezim Soeharto berkaitan dengan kebebasan
berpendapat para penulis dan rakyat Indonesia pada waktu itu. Dalam karyanya ini, ia tidak
hanya sekadar menampilkan kegagalan puisi Indonesia karena pengaruh Orde Baru saja,
tetapi ia juga menampilkan kekayaan dan variasinya.
Namun sayangnya, ideologi penulis yang begitu kuat masuk terlalu jauh ke dalam
tulisan antologi ini, membuat tulisan ini terlihat sedikit subjektif. Selain itu, dalam antologi
ini, sepertinya, pembahasan yang mendalam bukan pada puisi-puisi para penyair Indonesia,
melainkan pada keadaan sosial-politik di Indonesia pada masa Orde Baru.
Antologi puisi ini tentunya masih relevan terhadap perkembangan perpuisian
Indonesia pada masa sekarang. Antologi yang menggambarkan perpuisian Indonesia dalam
konteks sosial-politik pada masa Orde Baru ini memberikan suatu pemahaman bahwa
keadaan sosial dan politik berpengaruh besar terhadap penulisan puisi seseorang. Dari
antologi ini juga terlihat tekanan yang begitu kuat dari rezim Soeharto ternyata turut
berpengaruh besar terhadap tema perpuisian di Indonesia.***

You might also like