You are on page 1of 8

Syeikh Yusuf Almakasari: Works and Thoughts

Syahrial
University of Indonesia

Abstract:

Syeikh Yusuf was a religious teacher (ulama) also known as a hero in the struggle for
independence. Because of his great service, he was declared a national hero not only
by the Indonesian government but also by South African government. His thoughts
regarding Islamic mysticism (tasawuf) are reflected in his works. A comprehensive
research is needed on this important figure in order to reveal one part of the
intellectual history of our nation.

Keywords: Syekh Yusuf, tasawuf, South Africa, thoughts.

Di antara sekian banyak pahlawan kemerdekaan yang gigih berjuang menentang


penjajahan, Syeikh Yusuf Almakasari merupakan tokoh yang pantas diperbincangkan,
setidaknya untuk dua alasan. Pertama, banyak orang tidak mengenal tokoh ini. Kedua,
kepahlawanannya tidak saja diakui oleh pemerintah Indonesia, namun juga oleh
pemerintah Afrika Selatan yang mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Kedua
pemerintah tersebut tampaknya melihat keistimewaan-keistimewaan pribadi yang
dimiliki tokoh ini sehingga layak mendapat penghargaan demikian.
Dari sekian keistimewaan itu, ada tiga hal yang tampaknya mendorong
pemerintah dua negeri itu untuk memberikan tempat yang tinggi kepadanya. Syeikh
Yusuf adalah ulama sufi yang memiliki pengetahuan luas, negarawan yang berpengaruh
pada zamannya, dan panglima perang yang ditakuti. Tiga status itu terasa istimewa pada
diri Syeikh Yusuf jika kita melihat kebiasaan kebanyakan para sufi yang memiliki
kecenderungan untuk lebih banyak melakukan kegiatan rohani yang bersifat individual
dengan cara ber-khalwat di tempat-tempat sunyi. Dalam diri tokoh ini, kegiatan-kegiatan
politik kenegaraan yang penuh dengan taktik dan siasat tampak sekali menonjol.
Sejarah mencatat, dia pernah menjadi penasihat raja, bahkan memimpin perang
gerilya dengan jumlah pasukan yang cukup banyak untuk melawan Belanda. Karena
tindakannya yang terakhir inilah, ia terpaksa menjadi orang buangan di dua tempat yang
jauh, yaitu Caylon (kini Sri Lanka) dan Cape Town di Afrika Selatan.

Riwayat Singkat Syeikh Yusuf


Syeikh Yusuf Almakasari dilahirkan pada tahun 1036 H. (1626 M). Tidak ada
petunjuk pasti mengenai tempat kelahirannya. Menurut Musa (1997) dan Hamid (2005),
seperti dikutip oleh Islam (2005: 18), Yusuf dilahirkan di daerah MoncongoloE, di rumah
neneknya, yang bernama Gallarang MoncongoloE. Sumber lain menyebutkan bahwa ia
dilahirkan di istana Tallo, di kerajaan Gowa.
Sama halnya dengan tempat kelahirannya yang tidak pasti, asal-usul orangtua
Yusuf pun sulit dipastikan. Dua buah sumber, yaitu Gowa dan Tallo, memberikan
informasi yang berbeda mengenai hal ini. Sumber Gowa, seperti dijelaskan oleh Musa
(1997: 33), menyebutkan bahwa orangtua Yusuf masih keturunan bangsawan Gowa.
Ibunya, bernama Aminah, adalah putri Gallarang MoncongoloE. Beliau adalah kerabat
Raja Karaeng Bisei dan Raja Abdul Jalil. Ayah Yusuf bernama Abdullah, berasal dari
kalangan orang biasa namun memiliki kelebihan sehingga amat disegani oleh masyarakat
maupun pihak kerajaan.
Menurut sumber Tallo, ayah Yusuf adalah Gallarang MoncongoloE sedangkan
ibunya adalah Aminah, putri Dampang Ko’maro. Pada usia 40 hari, Yusuf mulai hidup di
istana, karena ibunya bercerai, kemudian diperistri oleh Raja Gowa. Dengan demikian,
dia mendapat pengasuhan sebagaimana layaknya bangsawan setingkat anak raja (Hamid,
2005: 86).
Di kalangan istana, Yusuf dikenal dengan minatnya pada ilmu-ilmu agama. Yusuf
belajar Alquran hingga khatam kepada seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Ia
juga belajar ilmu fikih, tauhid, tasawuf, dan bahasa Arab di Bontoala, daerah yang pada
waktu itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam terkenal. Di tempat
ini, ia berguru pada Sayyid Ba’alwi bin Abdullah Allamah Tahir. Pada usia 15 tahun,
minat Yusuf terhadap tasawuf tampak semakin menonjol. Ia kemudian berguru kepada
seorang ahli tarikat bernama Syeikh Jalaluddin Alaidit. Guru ini, menurut beberapa
sumber, berasal dari Aceh (Azra, 1999: 212).
Pada tahun 1644, Yusuf muda melanjutkan pelajarannya ke Timur Tengah.
Keputusan ini diambil berkat dorongan para gurunya. Mereka memandang ilmu yang
dipelajari Yusuf telah cukup sehingga harus belajar ke luar daerah jika ingin
memperdalamnya. Pilihan yang tepat untuk itu adalah belajar pada beberapa tokoh sufi di
Timur Tengah.
Dalam perjalanan ke Timur Tengah, tempat pertama yang disinggahi Yusuf
adalah Banten. Tempat inilah yang kelak menjadi tempatnya mengabdi kepada
masyarakat sekembalinya dari Timur Tengah. Di tempat ini pula ia menyempatkan diri
untuk belajar kepada beberapa ulama besar Banten. Satu hal yang amat penting dalam
kehidupan kemasyarakatan Yusuf adalah persahabatannya dengan Pangeran Surya, putra
mahkota kesultanan Banten. Tokoh ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng
Tirtayasa. Di tempat ini pula Yusuf berkenalan dengan karya-karya Nuruddin Arraniri.
Berkat nama itu pula pada akhirnya ia belajar tasawuf di Aceh (Hamid, 2005: 90).
Di Timur Tengah, Yusuf belajar kepada beberapa guru di berbagai tempat.
Daerah pertama yang dia singgahi adalah Haramain. Di tempat ini ia belajar pada Syeikh
Ibrahim Alqurani hingga mendapat ijazah tarikat Syatariyah. Sambil belajar, karena
keampuannya yang menonjol dalam ilmu tasawuf, ia diizinkan oleh Ibrahim Alqurani
untuk menyalin beberapa kitab tasawuf yang terkenal pada masa itu, di antaranya adalah
kitab Addurah Alfakhirah karya Aljami. Selain berguru pada Syeikh Ibrahim Alqurani, ia
juga belajar pada tiga guru sufi lainnya, yaitu Muhammad Almazru, Abdul Karim
Allahuri, dan Muhammad Muraz Asyamsi (Azra, 1990: 217). Di samping itu, Yusuf juga
mengajar tasawuf pada komunitas Melayu yang sedang bermukim di sana. Salah satu
muridnya adalah Abdul Bashir Addarir Arrapani. Tokoh inilah yang kelak menyebarkan
tarikat Naqsabandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.
Setelah cukup lama belajar di Haramain, Yusuf pergi ke Damaskus untuk belajar
tarikat Khalwatiyah hingga mendapat ijazah dari guru sufi terkenal bernama Ayyub bin
Ahmad Ayyubi Aldamasyqi Alkhalwati hingga selesai. Karena penguasaannya pada
tarikat inilah, Yusuf mendapat gelar Tajul Alkhalwati atau Mahkota Khalwatiyah (Azra,
1999: 219).
Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 tahun di Timur Tengah, Yusuf kembali
ke negerinya, namun ia tidak kembali ke Gowa, melainkan ke Banten karena pada waktu
itu Gowa dalam pandangan Yusuf telah berubah dan berada di bawah kekuasaan
penjajah. Di Banten, Yusuf diterima baik oleh pihak kerajaan karena yang berkuasa pada
waktu itu adalah sahabat karibnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.

Perjuangannya
Masyarakat Banten menerima Yusuf dengan baik karena pengetahuan tasawufnya
yang luas, selain dikenal pernah berguru pada tokoh-tokoh besar. Karena latar belakang
itulah dengan cepat ia mendapat pengakuan dari masyarakat Banten dan diakui sebagai
syeikh atau ahli tarikat (Hamid, 2005: 95).
Paduan yang kuat antara persahabatan dengan raja dan ilmu yang tinggi membuat
Yusuf mendapat kepercayaan untuk menjadi penasihat (mufti) kerajaan. Dia juga
bertugas mengajarkan agama kepada keluarga kerajaan. Sebagai tanda persahabatan,
Sultan Banten kemudian menikahkan putrinya yang bernama Siti Syarifah dengan Syeikh
Yusuf (Lubis, 1996: 25-26).
Menjadi orang penting di lingkungan istana pada akhirnya membuat Yusuf harus
terlibat dalam masalah-masalah politik yang membelit kerajaan. Pada waktu itu tampak
tanda-tanda yang kuat akan terjadinya pembangkangan putra mahkota terhadap raja serta
ada tanda-tanda bahwa hal itu dimanfaatkan pihak Belanda untuk memperlemah Banten
dan kemudian menguasainya.
Awalnya adalah kepergian Pangeran Abdul Qohar, sang putra mahkota, ke Mekah
dan ke Turki untuk menunaikan ibadah haji dan membuka hubungan persahabatan
dengan penguasa di sana. Perjalanan ke dua kota itu berjalan lancar karena jaringan luas
yang dimiliki oleh Yusuf di sana.
Selama Abdul Qohar pergi, Sultan Ageng dengan pertimbangannya sendiri
mengangkat Pangeran Purbaya, putranya yang lain, sebagai sultan. Keputusan ini amat
mengecewakan Abdul Qohar sehingga menyulut konflik dengan ayahnya (Azra, 1990:
224). Konflik ini kemudian berubah menjadi perang terbuka antara ayah dan anak dengan
melibatkan dua pasukan. Dalam perang ini, Abdul Qohar yang kala itu telah dikenal
sebagai Pangeran Haji meminta bantuan Belanda dengan janji jika ia berkuasa kelak
Belanda boleh memonopoli perdagangan di wilayah perairan Banten. Tindakan Pangeran
Haji yang membawa-bawa Belanda ke dalam konflik keluarga inilah yang membuat
Yusuf berpihak kepada sultan. Keberpihakan ini dilandasi perhitungan bahwa Belanda
pasti hanya memanfaatkan masalah ini untuk memperlemah Banten dan kemudian
menaklukkan pusat perdagangan Nusantara itu. Yusuf juga tidak ingin Banten menjadi
Gowa kedua karena masalah yang sama, yang menyebabkan ia tidak mau lagi kembali ke
tanah kelahirannya itu.
Dalam perang ini Yusuf bertindak sebagai panglima. Dia didukung oleh sekitar
5.000 tentara, 1.000 orang di antaranya berasal dari Bugis dan Makasar. Mereka adalah
para pelaut tangguh yang menjadi tulang punggung pertahanan Banten menghadapi
ancaman dari luar di lautan.
Ketika pada akhirnya kesultanan jatuh ke tangan Pangeran Haji, Sultan Ageng
ditangkap dan dipenjarakan. Yusuf bersama pasukannya melanjutkan perang dengan cara
bergerilya di hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Untuk waktu yang lama, pihak Belanda
selalu tidak berhasil menaklukkan Yusuf dan menangkapnya hingga pada tahun 1683
terjadi pertempuran yang dahsyat di Padalarang. Dalam pertempuran yang banyak
memakan korban ini, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Eygel dan van Happel
berhasil menewaskan Pangeran Kidul, orang kepercayaan Yusuf. Dalam perang ini
tertangkap pula istri dan anak perampuan Yusuf (Hamid, 2005: 103-104).
Yusuf yang berhasil meloloskan diri melanjutkan perang dengan gigih. Akan
tetapi, dengan tipu muslihat yang menjebak, Belanda akhirnya berhasil menangkapnya
setelah seorang mata-mata berhasil menyusup ke dalam pasukan Yusuf dan menggiring
pasukannya ke dalam perangkap yang telah disiapkan sehingga mereka terkepung. Dalam
situasi itu, Belanda mengirim anak perempuan Yusuf yang sudah tertangkap sebagai
umpan agar ayahnya keluar dari persembunyian. Siasat ini rupanya berhasil. Yusuf pun
tertangkap pada 14 Desember 1683 (Azra, 1999: 25 dan Hamid, 2005: 106).

Masa Pengasingan
Setelah ditawan, Yusuf bersama keluarganya dibawa ke Cirebon, kemudian ke
Batavia. Sementara itu, anggota pasukannya yang berasal dari Makasar dan Bugis
dipulangkan ke daerah asal mereka. Pada tanggal 12 Desember 1684, dia diasingkan ke
Ceylon, dengan harapan pengaruhnya pada masyarakat Jawa Barat, Bugis, dan Makasar
hilang.
Namun, ada satu hal yang tampaknya di luar perhitungan Belanda. Mereka tidak
memperhitungkan bahwa Ceylon pada waktu itu merupakan tempat singgah kapal-kapal
yang akan ke Timur Tengah atau sebaliknya. Kapal-kapal ini mengangkut banyak jemaah
haji dari berbagai daerah di Nusantara dan singgah di sana dalam waktu relatif lama
sehingga jemaah haji memiliki waktu yang panjang untuk tinggal. Kenyataan ini
dimanfaatkan oleh Yusuf untuk tetap memelihara pengaruhnya di Nusantara. Banyaknya
jemaah haji yang belajar ilmu tasawuf kepadanya membuat Yusuf tetap memiliki akses
yang amat luas untuk memelihara jaringan dengan pengikutnya dalam melawan Belanda.
Dengan cara ini, beberapa sumber mencatat terjadinya pemberontakan di berbagai daerah
di Nusantara, seperti Lampung, Sumatra Barat, dan Aceh. Pemberontakan ini dilancarkan
para pengikut Yusuf di dalam negeri yang mendapat “bimbingan” dari para haji yang
pernah singgah di Ceylon.
Rangkaian pemberontakan itu menyadarkan Belanda bahwa tindakan mereka
membuang Yusuf ke Ceylon salah. Tokoh ini perlu dibuang ke suatu tempat yang tidak
memungkinkannya berhubungan dengan siapa pun di Nusantara. Kebetulan sekali pada
waktu itu Belanda memiliki tanah jajahan baru yang sedang dibangun untuk dijadikan
tempat singgah bagi kapal-kapal dagang Belanda yang akan ke Timur Jauh atau
sebaliknya. Tanah yang mereka rebut dari Portugis adalah Tanjung Harapan (Cape of
Good Hope). Ke tempat inilah Yusuf kemudian diangkut bersama anak istri dan 48
pengikutnya dengan menggunakan kapal Voetboeg dan tiba di sana pada tahun 1693
(Jaffer, 1996: 19).
Yusuf tinggal di Tanjung Harapan selama lima tahun. Karena usianya yang sudah
tua, ia habiskan waktu untuk mengajarkan Islam dan tarikat kepada masyarakat setempat.
Selain itu, hal yang amat penting juga adalah usaha Yusuf untuk mendampingi para
budak agar mereka terhindar dari sikap putus asa. Para budak yang berasal dari berbagai
wilayah di Nusantara ini mendapat didikan dalam bidang keagamaan sehingga dapat
tetap sabar. Para budak inilah yang kelak menjadi cikal bakal masyarakat Melayu di
Afrika Selatan sekarang.
Pada tanggal 23 Mei 1699, Syeikh Yusuf meninggal dan dimakamkan di daerah
Faure, satu jam perjalanan dengan mobil dari kota Cape Town. Daerah tempat ia
dimakamkan dikenal orang sebagai Kampung Makasar. Makamnya kini dikeramatkan
oleh masyarakat setempat karena dianggap sebagai orang suci.

Karya dan Pemikirannya


Selain aktif dalam pemerintahan di Banten, selama hidupnya Syeikh Yusuf
dikenal sebagai penulis yang produktif. Banyak buku yang ia tulis dan mengupas
berbagai masalah. Karya-karya itu sebagian besar ditulis di Ceylon dan sebagian lagi di
Banten. Tidak ada petunjuk yang menyebutkan adanya karangan yang ditulis oleh beliau
selama lima tahun menjalani pembuangan di Cape Town. Selain menulis, ia juga banyak
menyalin kitab-kitab keagamaan yang dihasilkan oleh para sufi terkemuka.
Karya-karya Syeikh Yusuf pun banyak disalin kembali oleh para murid dan
pengikutnya di tanah air. Hal ini membawa berkah tersendiri pada kita sekarang karena
dengan begitu kita dapat mengenal dan mewarisi pikiran-pikirannya. Naskah-naskah
tersebut kini masih tersimpan dengan baik di berbagai lembaga maupun universitas di
dalam maupun luar negeri dan menjadi sumber kajian para ahli teologi, filologi, maupun
sejarah pemikiran Islam.
Lubis (1996: 29-30) mencatat bahwa karya-karya Syeikh Yusuf yang bisa
ditelusuri keberadaannya berjumlah 23 buah. Judul karya-karya tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Albarakah Alsaylaniyah
2. Bidayat Almubtadi
3. Daf Albala
4. Fath Kaifiyat Alzikr
5. Alfawaih AlYusufiyah fi Bayan Tahqiq Assufiyyah
6. Hasyiyah dalam Kitab Alanbah fi l-Rab La illah illa Allah
7. Habi Alwarid li Saadati l-Murid
8. Hazihi Fawaid Lazimah Zikr La illah illa Allah
9. Kafiyat Annafy wa Alisbat bi Alhadits Alqudsi
10. Matalib Alsalikin
11. Muqaddimat Alfawaid Allati ma la budha min Alaqaid
12. Alnafahat alsaylaniyah
13. Qurrat Alain
14. Risalah Gayat Alikhtisar wa Nihayat Alintizar
15. Safinat Alnajat
16. Sirr Alasrar
17. Surat Syeikh Yusuf kepada Sultan Wazir Goa Karaeng Karungrung Abdullah
18. Tahsil Alinayah wa l-Hidayah
19. Taj Alasrar fi Tahqiq Masyarib Alarifin
20. Tuhfat Alabrar li Ahl Alasrar
21. Tuhfat Altalib Almubtadi wa Minhat Alsalik Almuhtadi
22. Alwasiyyat Almunjiyat an Madarrat Alhijab
23. Zubdat Alasrar fi Tahqiq Bad Masyarib Alakhyar.

Berbeda dengan Nuruddin Arraniri maupun Hamzah Fansuri, misalnya, Yusuf


tampaknya lebih suka menulis bukan dalam bahasa daerahnya atau bahasa Melayu. Hal
ini terlihat dari karya-karya yang semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Soal mengapa ia
menulis dalam bahasa Arab dan bukan dalam bahasa Melayu atau Bugis barangkali
karena ia merasa lebih fasih menggunakan bahasa itu dibandingkan yang lain, mengingat
ia lama berada di tanah Arab, dengan buku-buku yang berbahasa Arab pula. Namun, bisa
juga dipergunakannya bahasa itu karena ia ingin menjangkau pembaca yang lebih luas,
mengingat bahasa Arab umum digunakan oleh para pelajar Islam pada masa itu.
Seperti halnya para sufi lainnya, dalam karangan-karangannya, Syeikh Yusuf
berfokus pada hubungan makhluk dan penciptanya dan bagaimana sang makhluk tersebut
dapat mencapai kedekatan yang terus-menerus dengan sang pencipta. Secara garis besar,
karangan-karangan Syeikh Yusuf dapat dibagi dalam lima topik utama.
Pertama, hubungan antara makhluk dan penciptanya serta bagaimana dalil
keberadaan dua hal itu. Bahkan, dalam Muqaddimat Alfawaid Allati ma la budha min
Alaqaid disebutkan keberadaan Allah adalah beradaan yang hakiki. Keberadaannya tidak
dapat dibandingkan dengan keberadaan makhluk yang bisa mati dan menjadi tiada.
Kedua, sifat-sifat tuhan dan pentingnya sifat-sifat itu bagi seseorang yang beriman.
Dengan mengetahui sifat-sifat Tuhan, makhluk akan mendapat tuntunan untuk selalu
bertaqwa kepada Tuhan. Ketiga, pentingnya zikir dan tata caranya sebagai sarana untuk
selalu mengingat dan dekat kepada Allah. Keempat, semua tarikat yang dipelajari oleh
Syeikh Yusuf lengkap dengan silsilahnya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Safinat
Alnajat atau Bahtera Keselamatan. Kelima, akhlak yang baik sebagai sarana untuk dekat
kepada Allah.
Zubdad Alasrar yang menguraikan berbagai masalah kesufian, Yusuf
memulainya dari masalah tauhid (Lubis, 1996). Hal yang sama juga ditemukan dalam
Sirru Alasrar (Islam, 2005). Dalam kitab yang kemudian ditelaah oleh Lubis (1996)
tersebut, awalnya Yusuf menjelaskan pentingnya seseorang yang beriman untuk tetap
yakin akan keberadaan Allah dengan cara berzikir. Yusuf membedakan antara zikir orang
awam dan zikir seorang calon sufi. Zikir orang awam adalah zikir lidah. Dalam zikir ini
orang awam cukup mengucapkan “La illa ha illa llah”. Akan tetapi, seorang calon sufi
harus lebih dari itu. Zikir mereka disebut zikir kalbu atau hati dan zikir rahasia. Dalam
zikir kalbu yang disebut adalah “Allah, Allah…”, sedangkan dalam zikir rahasia yang
diucapkan adalah “Huwa, Huwa…”.
Setelah menjelaskan pentingnya zikir sebagai upaya untuk terus menanamkan
keyakinan akan adanya Allah, dalam Zubdad Alasrar, Yusuf menjelaskan hubungan
keberadaan makhluk dan keberadaan Allah. Dijelaskan bahwa hanya Allah saja yang
betul-betul ada, sedangkan keberadaan makhluk bersifat semu. Hubungan ini
diilustrasikan sebagai seseorang dengan bayangannya. Tubuh seseorang itu jelas adanya
karena dapat dirasa, sedangkan bayangan tubuh orang itu, walaupun kelihatan, tidak bisa
dirasa, keberadaannya tidak dapat dikatakan sama dengan keberadaan tubuh seseorang.
Hal ini disebabkan keberadaan bayangan itu amat bergantung pada keberadaan tubuh.
Melalui ilustrasi ini jelas bahwa, menurut Yusuf, makhluk itu sebenarnya tidak ada, yang
ada hanya Tuhan.
Masalah hubungan antara Tuhan dan makhluk ini juga diuraikan oleh Yusuf
dalam Sirru Alasrar. Dalam kitabnya ini, Yusuf mengemukakan konsep ma’iyah dan
ihatah, yang harus dijadikan keyakinan oleh orang dalam menjalani kehidupan tasawuf
(salik). Konsep ma’iyah berarti bahwa Tuhan bersama dengan segala sesuatu, sedangkan
konsep ihatah berarti bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu (alam) (Islam, 2005: 124).
Dua konsep di atas diambil oleh Yusuf berdasarkan sifat-sifat Tuhan yang sekilas
tampak seperti berlawanan, misalnya alawwal (yang pertama) dan alakhir (yang terakhir)
atau azzahir (yang tampak) dan albatin (yang tersembunyi). Namun demikian, perlu
diperhatikan bahwa dua konsep tersebut, bagi Yusuf, tidak perlu dipertentangkan karena
selanjutnya ia mengatakan dalam Sirru Alasrar (halaman 68), seperti dikutip oleh Islam,
bahwa “bagaimanapun Allah tidak demikian (bersama dan meliputi sesuatu), sedangkan
Dia adalah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi?”
Pendapat ini berpijak dari ayat Quran yang berbunyi, “Tidak ada sesuatu yang
menyamainya.”
Di bagian akhir teks Zubdad Alasrar, Yusuf mengulang penjelasannya mengenai
masalah ini, seperti diuraikan oleh Lubis (1996: 59), bahwa semua makhluk dapat
menyaksikan keesaan Tuhan yang mutlak dan manifestasi-Nya dan tiada wujud yang
hakiki selain wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Topik-topik tersebut jika dilihat lebih jauh tampak saling melengkapi karena
masalah yang ingin dibahas adalah sama, yaitu hubungan antara Tuhan dan makhluk,
dalam hal ini manusia, hanya aspek-aspek pembahasannyalah yang berbeda. Penelitian
lebih lanjut penting dilakukan bukan saja untuk menyingkap pemikiran Syiekh Yusuf
secara utuh, namun juga bagaimana dinamika kehidupan beragama, khususnya Islam,
pada masa itu.

Acuan
Azra, Azyumardi. 1999. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Cetakan V). Bandung: Mizan.
Hamid, Abu. 2005. Syeikh Yusuf: Seorang Ulama dan Pejuang (Cetakan II). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Islam, M. Adib Misbahul Islam. 2005. Sirru Al-Asrar Suntingan Teks dan Telaah Isi.
Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Belum diterbitkan.
Jaffer, Mansoor (ed.). 2001. Guide to The Kramats of The Western Cape. Cape Mazaar
(Kramat) Society.
Lubis, Nabilah. 1996. Syeikh Yusuf al-Taj al-Makasari: Menyingkap Intisari Segala
Rahasia. Bandung: Mizan.
Musa, Abd. Rahman. 1997. Corak Tasawuf Syeikh Yusuf. Disertasi. IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

You might also like