You are on page 1of 10

Cultural Interaction in Illuminated Letters

Mu’jizah
University of Indonesia

Abstract:

Malay illuminated letters as cultural products of the past were used as a means of
communication between Nusantara Kings and Dutch colonial rulers. In the process of such
a cultural diplomacy, they influenced each other. They came from different traditions and
cultures, but as time went by, cultural adjustments also took place. This is possible
because each party had their own political interests in preserving their power. Cultural
interaction can be seen in the tradition of Malay illuminated letters, ranging from the use
of verbal linguistic symbols and non-verbal visual symbols to the letter format that
followed the Kitab Tarasul, the Malay book of letters.

Keywords: illumination, cultural interaction, motive, verbal symbols, non-verbal symbols.

Pengantar
Produk budaya masa lalu yang belum banyak dibicarakan dalam khazanah
pernaskahan Nusantara adalah surat beriluminasi atau surat bergambar. Surat berilumiasi
sudah dipakai sebagai sarana komunikasi sejak abad ke-17. Persuratan ini telah
berkembang lama di kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dalam kodikologi istilah iluminasi
awalnya digunakan sehubungan dengan penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah
untuk memperoleh keindahan. Pada perkembangannya, iluminasi yang semula mengacu
kepada gambar yang membingkai teks sebagai gambar muka (frontispiece), tidak lagi
sekadar hiasan, tetapi menjadi meluas maknanya karena juga berkaitan dengan teks
(Folsom, 1990: 40).
Surat beriluminasi berbahasa Melayu yang termegah adalah surat Sultan Iskandar
Muda dari Aceh (1607-1636) kepada Raja James I di Inggris yang ditulis pada tahun
1615. Surat yang panjangnya hampir satu meter itu sangat indah dengan motif bunga popi
(poppy) atau madat (Latin: papaver) yang ditaburi emas (Gallop dan Arps, 1991: 35--50)
Naskah lainnya adalah surat Raja Ali dari Pulau Penyengat yang ditulis pada tahun 1749.
Surat ini sangat unik, hiasannya sangat beragam dengan motif dua buket bunga berisi
bunga mawar (rosa), bunga matahari (heliantius), dan bunga krisan (chrysanthemun
indicum). Hiasan lainnya berupa tebaran bunga kenanga (shrub) dan rangkaian swastika.
Surat itu ditujukan kepada Gubernur Jenderal Belanda, Jan Jacob van Rochussen, di
Batavia (Mu’jizah, 2001). Selain kedua surat itu, masih banyak surat beriluminasi yang
ditulis oleh para penguasa di Nusantara kepada para pejabat Pemerintah Kolonial atau dari
Pemerintah Kolonial kepada para penguasa.
Pada dasarnya keistimewaan surat-surat itu bukan hanya terletak pada hiasannya,
melainkan pada teksnya karena isi surat sangat bermacam-macam, mulai dari ucapan duka
cita, perdagangan, sampai pemberitahuan tentang berbagai kekuasaan di daerah. Informasi
surat itu dapat dipakai untuk merekonstruksi berbagai peristiwa yang terjadi pada
beberapa abad yang silam, seperti budaya, ekonomi, sejarah, dan estetika.
Surat-surat beriluminasi di Nusantara ini berasal dari banyak daerah, seperti Aceh,
Riau, Lingga, Johor-Pahang, dan Trengganu, Palembang, Madura, Surabaya, Batavia,
Bogor, Banten, Bima, Pontianak, Mempawah, Banjarmasin, Gorontalo, dan Tanete. Surat
ini jumlahnya mencapai 125 surat yang dikirim dari Raja-Raja Nusantara kepada
Pemerintah Kolonial atau sebaliknya dari Pemerintah Kolonial kepada Raja Nusantara.
Setakat ini, surat-surat tersebut menjadi koleksi berharga di berbagai lembaga, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Arsip Nasional di Jakarta, Indonesia,
Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV di Belanda, British Library dan
Perpustakaan Cambridge University di London, Inggris, serta Bibliotheque Nationale di
Paris, Perancis (Mu’jizah, 2006).
Dalam tulisan ini akan dibicarakan bagaimana interaksi budaya terjadi antara
raja-raja di Nusantara dan Pemerintah Hindia-Belanda yang memiliki latar budaya yang
berbeda

Interaksi Budaya antara Raja Nusantara dan Pemerintah Hindia-Belanda


Untuk melihat interaksi budaya dalam surat-surat beriluminasi ada dua faktor
penting yang menjadi perhatian, yakni simbol dan tradisi. Meski simbol dan tradisi mereka
berbeda, ada berbagai kesamaan yang menyebabkan komunikasi bisa terjalin. Dengan
kesamaan dan perbedaan inilah hubungan terjalin dan terjadilah percampuran budaya
antara budaya Eropa yang dibawa Pemerintah Hindia-Belanda dan budaya setempat
(daerah) di Nusantara. Saling pengaruh itu terlihat jelas pada surat-surat beriluminasi.
Dalam menjalin komunikasi, baik Pemerintah Hindia-Belanda maupun Raja-Raja
Nusantara menggunakan simbol, yakni simbol bahasa yang verbal dan simbol gambar yang
nonverbal. Simbol memperlihatkan adanya hubungan antara tanda (sign), objek (referent),
dan interpretan (interpretant). Dalam simbol, hubungan antara wujud dan objek tidak ada
kaitan sama sekali, arbitrer (arbitrary) dan tanda dari objek tertentu terbentuk secara
konvensional.
Dalam surat ini simbol bahasa menjadi lebih sederhana jika dibandingkan simbol
gambar sebab simbol bahasa maknanya langsung dipahami; tidak begitu halnya dengan
simbol gambar yang artinya tersembunyi di balik gambar. Pada simbol yang berupa gambar
yang pertama dinikmati adalah keindahan hiasan yang dibuat dengan sangat rapi, cantik,
dan memukau, penuh warna termasuk warna emas.
Hiasan yang digunakan diambil dari kekayaan alam, yakni flora, seperti motif
bunga delima, bunga krisan, mawar, bunga popi, pakis, melati, dan bunga tanjung. Di
samping itu dipakai juga gambar dari benda-benda suci yang hidup dalam tradisi seperti
swastika, bola api, mahkota, kubah, dan topi. Gambar ini bukan hanya sekadar hiasan,
melainkan simbol yang bermakna.
Surat-surat dari Pemerintah Hindia-Belanda menggunakan simbol yang berasal dari
tradisi Eropa, seperti untaian bunga mawar dengan stilisasinya yang indah. Bunga lili
dengan warna merah, hijau, ungu, biru, dan emas, begitu juga dengan gambar topi emas
dan bentuk-bentuk geometrik, belah ketupat. Hiasan lain adalah tebaran bintang, lingkaran
kecil yang dipadu dengan pohon kecil berwarna emas. Tebaran ini menghiasi halaman
dengan rapi dan teratur.
Dilihat dari struktur gambarnya, iluminasi pada surat-surat tersebut terdiri atas dua
jenis, yakni sarlauh (hiasan yang terdapat pada pias halaman) dan gaya kertas dinding
(wallpaper), hiasan yang terdapat pada seluruh halaman. Struktur iluminasi gaya sarlauh
mencakupi (1) pembingkaian (2) hiasan pias, (3) hiasan di atas teks, dan struktur pada
gaya wallpaper adalah (1) pembingakain dan (2) hiasan seluruh halaman muka surat.
Pada surat Pemerintah Hindia-Belanda bentuk hiasan hampir sama, berbeda dengan
surat Raja Nusantara yang hiasannya sangat bermacam-macam, tergantung pada asal
daerahnya. Namun, jika dikaji lebih jauh, kedua kelompok surat itu mempunyai gaya yang
hampir sama, terutama pada hiasan pias atas. Di bawah ini diberikan contoh hiasan pias
atas surat.

Surat Pemerintah Hindia-Belanda:

Or. 172.28

Or. 172.51

Cod. Or. 2242.II.29


Rupanya gaya hiasan surat seperti ini ada yang juga dipakai dalam beberapa surat
Raja Nusantara. Contohnya adalah gaya surat Cod. Or. 2242.II.29 yang hampir sama
dengan gaya yang dipakai dalam surat Raja Madura (Or. 123). Hiasan dalam surat ini
sama, berupa untaian anggur emas pada pias atas dan pias bawah, halaman surat ditebari
bintang emas, tetapi perbedaan terletak pada kepala surat. Dalam surat Pemerintah
Hindia-Belanda untuk kepala surat dipakai bentuk belah ketupat, tetapi pada surat Raja
Madura dipakai motif bola api. Bola api merupakan motif khas Madura.

Surat Raja Nusantara:

Or. 123 (Madura)

Pemasukan gambar yang merupakan motif kekayaan budaya setempat (daerah)


jelas terlihat pada surat-surat Raja Nusantara. Misalnya surat Raja Palembang banyak
menggunakan hiasan pucuk rebung dan tampok manggis. Hiasan ini dapat diketahui dalam
potongan hiasan pias atas surat di bawah ini.

AN.7. (Palembang)

Surat dari Pontianak menggunakan motif yang menjadi kekhasan tradisinya, yakni
bentuk hati yang dibentuk dari kaligrafi yang dipakai untuk bagian kepala surat; di
samping itu, ada juga hiasan pohon delima. Surat dari Madura, selain motif bola api
banyak juga memakai hiasan daun palm dan melati. Hiasan dalam surat-surat ini mudah
dikenali karena ukuran gambar besar disertai warna-warna yang mencolok.
Dalam hiasan bergaya kertas dinding (wallpaper), Banten juga memakai motif
yang khas untuk menghiasi halaman muka suratnya, yaitu tebaran tangkai-tangkai bunga
popi dan tangkai bunga cengkih emas. Gaya iluminasi surat dari Raja Banten ini hampir
sama dengan hiasan surat dari Banjarmasin.
Motif-motif yang dipakai pada iluminasi, bukan hanya keindahan semata,
melainkan juga bermakna. Makna itu sifatnya tersembunyi sebab disampaikan melalui
simbol atau lambang. Berdasarkan beberapa buku acuan tentang simbol, ternyata sebagian
besar simbol yang dipakai maknanya berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan, seperti
raja, pelindung, dan Tuhan. Makna-makna itu wajar saja dipakai sebab surat-surat
beriluminasi dibuat oleh para penguasa.
Dalam surat Pemerintah Hindia-Belanda, bunga lili merupakan simbol dari raja.
Raja merupakan pusat kekuasaan. Motif topi bermakna pemimpin. Dengan menggunakan
simbol ini, Pemerintah Hindia-Belanda menyatakan kepada Raja-Raja di Nusantara yang
dikirimi surat bahwa mereka adalah para penguasa. Hal yang sama juga terdapat dalam
surat-surat Raja Nusantara. Gambar-gambar yang dipakai merupakan simbol-simbol
kekuasaan. Mahkota merupakan simbol dari penguasa alam. Bola api bermakna kekuasaan
dan merupakan legitimasi untuk seorang raja. Pohon delima juga simbol dari pelindung
atau raja. Simbol-simbol kekuasaan ini dalam surat Raja Nusantara didukung oleh
simbol-simbol lain yang juga bukan hanya bermakna pada kekuasaan raja, tetapi pada
penguasa tertinggi, yakni Tuhan. Keterkaitan kekuasaan pada penguasa tertinggi, Tuhan,
dalam masyarakat di Nusantara adalah wajar sebab masyarakat di Nusantara mengenal
konsep bahwa raja adalah khalifah Tuhan di bumi.
Pemakaian simbol-simbol kekuasaan memperlihatkan posisi kedua penguasa, yakni
Pemerintah Hindia-Belanda dan Pemerintah Nusantara, keduanya mempunyai posisi yang
sejajar, sama-sama penguasa di daerahnya masing-masing. Surat-surat yang indah, cantik,
dan menarik itu dipakai sebagai penanda identitas bahwa mereka adalah orang-orang
besar.
Berbeda dengan pemakaian gambar, dalam pemakaian bahasa Pemerintah
Hindia-Belanda tunduk sepenuhnya dengan aturan Raja Nusantara, yakni bahasa Melayu
dengan aksara Jawi. Untuk kepentingan pemakaian bahasa dan format surat, masyarakat
Melayu memiliki Kitab Tarasul, yakni kitab yang mengatur surat-menyurat. Dalam kitab
ini, semua aturan dalam penulisan surat dinyatakan, mulai dari penulisan kepala surat
sampai pada pemakaian bahasa. Aturan ini dipatuhi Raja Nusantara termasuk Pemerintah
Hindia-Belanda. Kesamaan ini ditemukan pada hampir semua surat beriluminasi. Kerajaan
di Nusantara yang tidak berbahasa ibu bahasa Melayu juga menggunakannya. Pemakaian
satu bahasa dan satu aksara ini semata-mata untuk kelancaran komunikasi demi
kepentingan diplomasi dan tercapainya hubungan yang harmonis. Bukan hanya pemakaian
bahasa dan aksara yang sama, melainkan juga pada pemakaian bahasa pada bagian
puji-pujian. Dalam bagian ini puji-pujian dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
yang ada dalam kebudayaan Melayu, Islam.
Dalam surat Or. 173, 34 koleksi Perpustakaan KITV, Jenderal Graaf van
Hogendrop mengirim surat kepada Sultan Pakunataningrat. Dalam surat itu terdapat
kepala surat dengan kata Qauluhu al-haq. Pembuka surat dimulai dengan kalimat, Bahwa
ini waraqat al-ikhlas wa tuhfat al-ajnas yang terbit daripada fu’ad az-zakiyyah. Kata dan
kalimat itu sama dengan kata dan kalimat yang digunakan oleh raja dari Nusantara, yakni
Pangeran Syarif Abu Bakar, Pontianak, dalam suratnya (Cod. Or. 2242. II.32) yang
dikirim kepada Wakil Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.
Bagian puji-pujian dalam surat Hogendrop berbunyi,

Maka adalah kita melayangkan waraqat al-ikhlas ini kepada


kepada sri paduka sahabat kita peri bermaklumkan hal bahwa dengan
takdir Allah ta’ala maka kepada hari Sabtu yaitu tiga puluh hari bulan
Mei yang baharu-baharu ini waktu malam jam pukul delapan lewat dua
puluh satu dan pada surat Mercus de Kock, bagian itu tertulis, kami Sri
Paduka Hendrik Merkus de Kock Letnan Gubernur Letnan Jenderal serta
n-a-y-y Gurnadur Jenderal maka barang disampaikan All±h sub¥±nahu
wa ta‘±l± ke hadirat yang permai yaitu sri paduka sahabat kita Yang
Dipertuan Sultan Pakunataningrat di Sumanep jua adanya.

Puji-pujian yang hampir sama juga dipanjatkan oleh Raja Tanete, Sultan Abdul
Kadir Muhyiddin (Cod. Or.2240.II.8). Dia juga memanjatkan puji-pujian kepada Allah
Taala pada bagian awal surat, yakni Maka barang diwasalkan apalah kiranya Tuhan
Ta’ala lima yurid wa ya’lamu lima yasya’u datang terletup ke bawah hadirat yang maha
mulia Paduka Tuan Heer Gubernur Jenderal dan segala Raad van Indië atas tanah
Betawi.
Bagian-bagian tersebut merupakan tanda bahwa telah terjadi saling pengaruh
antara keduanya. Pengaruh itu bukan hanya pada kepala surat, pembuka surat, dan
puji-pujian, melainkan juga pada bagian lainnya dari format surat Melayu, seperti
peletakan stempel, format huruf, dan penutup surat. Interaksi budaya dalam tradisi
persuratan yang ditulis oleh Raja di Nusantara kepada Pemerintah Hindia-Belanda atau
sebaliknya dapat dilihat dalam foto surat berikut.

Surat Madura Surat Pemerintah Hindia-Belanda


AN. 6 Or. 172.28

Penu
tup

D a la
m
mem
bina
hu bu
ng a n
diplo
ma si
antar
a
Peme
rintah Hindia-Belanda yang Raja-Raja di
Nusantara yang berjalan lama memberikan pengaruh pada tradisi yang berlangsung antara
mereka. Dalam perjalanan sejarah, surat yang mereka buat untuk kepentingan
pemerintah—melanggengkan kekuasaan—diperlukan penyesuaian budaya, baik dari
budaya penerima surat maupun budaya pengirim surat. Ada kesepakatan yang harus
mereka lakukan agar hubungan berjalan harmonis dan langgeng.
Saling penyesuaian itu jelas terlihat dalam tradisi persuratan Melayu. Bahasa yang
dipakai bahasa Melayu, aksara yang digunakan aksara Jawi. Format penulisan surat
mengikuti aturan yang berlaku dalam aturan persuratan Melayu. Hal itu juga harus
dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda yang berasal dari tradisi Eropa. Mereka tetap
ingin menampilkan jati diri mereka meskipun aturan Melayu mereka ikuti. Itu sebabnya,
muncul motif-motif yang hidup dalam tradisi Eropa seperti bunga mawar, anggur, dan lili.

Acuan
Behrend, T.E. 2005. “Frontispiece Architecture in Ngayogyakarta”, dalam Archipel, 69,
hlm. 42-59.
Burckhardt, Titus. 1985. The Art of Islam: Language and Meaning. England: Westerham
Press.
Cardon, Bert. 1996. Manuscripts of the Speculum Humanae Salvationis in the Southern
Nederlands 1410-1470 Centuries. Leuven: Uitgeverij Peters.
Cooper, J.C. 1978. An Illustrated Encyclopaedia of Traditional Symbols. Great Britain:
Thames & Hudson.
Folsom, Rose. 1990. The Calligraphers Dictionary. London: Thames and Hudson.
Foucault, M. 1977. Power/Knowledge (terjemahan Yudi Santosa, 2002). Yogyakarta:
Bentang.
Gallop, Annabel Teh dan Bernard Arps. 1991. Golden Letters: Writing Traditions of
Indonesia; Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
_____. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library.
Hall, James. 1994. Illustrated Dictionary of Symbols in Eastern and Western Art. Great
Britain: The University Press.
Hoed, Benny. H. 2001. Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang: IndonesiaTera.
Lings, Martin. 1976. The Quranic Art of Calligraphy and Illumination. England:
Westerham Press.
McGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia.
Jakarta: Yayasan Lontar.
Molen, Willem van der. 1993. “Many Greetings from Madura: an Exercise in Eighteenth
Century Codicology”, dalam BKI, 149.
Mu’jizah. 1992. “Illuminations and Illustrations in Malay Manuscripts at the National
Library”, dalam International Workshop on Indonesian Studies No.7: Southeast
Asian Manuscripts. Leiden, 14-16 Desember 1992.
_____. 2003. ”The Introduction of Condolence Letter Decorated Bunches of Flowers:
From Raja Ali to Jan Jacob Van Rochussen”, dalam Manuscripts from Insular
Southh-East Asia: Epistolography. Leiden 21-25 January 2002.
_____. 2005. Martabat Tujuh: Edisi Teks dan Pemaknaan Tanda serta Simbol. Jakarta:
Djambatan.
Mulyadi, Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Mulyana, Dedy dan Jalaluddin Rakhmat (ed.). 1990. Kamunikasi Antar Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Nasr, Hoessein. 1976. Islamic Science an Illustrated Study. London: World of Islam
Festival.
Nort, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana
University Press.
Sinar, Tengku Luckman. 1993. Motif dan Ornamen Melayu. Medan: Satgas-Mabmi.
Toekio, M. Soegeng. (tanpa tahun). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung:
Angkasa.
Wieringa, E.P. 1998. Catalog of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of
Leiden University and Other Collections in the Netherlands. Leiden: Legatum
Warnerianum in Leiden University Library.

Lampiran

Transliterasi Surat:

1. AN.6
Bahwa inilah waraqat al-ikhlas wa tuhfat al-ikhtisas yang terbit dari fu’ad
l-azkiyah hati suci hening. Termaktub di dalamnya beberapa tabi dan hormat yang tiada
berhingga pada tiap-tiap masa dan ketika yang melengkapi anfasya beberapa kebajikan
dan kemuliaan yang senantiasa adanya, yaitu daripada yang diperhamba Pangeran Adipati
Arya Surya Kesuma Raganata di dalam daerah negeri Pamekasan. Mudah-mudahan
disampaikan oleh Tuhan kita seru sekalian alam dijunjung ke bawah duli sri paduka yang
amat mulia dan yang arif bijaksana dan Yang Dipertuan Menteri Besar van staat Gurnadur
Jenderal dari Tanah Hindia Nederland, Jan Jacob Rochussen, yang terhiasi dengan bintang
besar yang pertama maha dari singa Nederland dan bintang besar rajawali merah di negeri
Prusian dan bintang besar dari maharaja Leopold di negeri Belgi serta lagi menjadi opsir
besar tanda kehormatan dari negeri Perancis yang bertakhta di kerajaan dan kebesaran
serta bersemayam di dalam daerah istana negeri Betawi. Maka dipohonkan pula atasnya
daripada seumur zamannya minta dilanjutkan di dalam sehat wa al-‘afiyat yang tiada
berkeputusan selamanya.
Wa ba'dahu kemudian daripada itu maka adalah hamba menjunjungkan sekeping
tanda yang sedarah ini ke bawah duli sri paduka yang dipertuan besar dari pada
menyatakan tulus dan ikhlas serta minta kebaikan pertambatan dan perhubungan
berkasih-kasihan jua adanya serta hamba merafa'kan suatu pertili[k] ke bawah duli sri
paduka yang dipertuan besar daripada maktub sri paduka yang dipertuan besar tertulis
pada 14 hari bulan Mei tahun 1849 yaitu telah sampailah kepada hamba yang selamat
al-khair adanya maka bermaklumlah hal sri paduka yang dipertuan besar sudah menerima
khabar yang saat kedukaan dari Welanda menyatakan bahwa dengan takdir Allah
subhanahu wa ta’ala pada 17 hari bulan Maret tahun ini Sri Paduka Maharaja Welanda,
yaitu Baginda Raja Willem yang kedua telah kembali ke rahmatullah ta‘ala maka
sakitnya baginda itu hanyalah 4 hari saja dan umurnya sehingga 56 tahun 3 bulan sebelas
hari. Adapun Baginda itu amat tercinta serta terhormat dan sangat adilnya serta dengan
kecintaan sudah memerintahkan rakyatnya selama hampir waktu 8 tahun setengah
sehingga jua baginda itu dengan sepenuh-penuhnya beroleh cinta kasihannya sekalian
rakyatnya. Maka sekarang ini rakyatnya itupun terlalu amat duka cita dari hal wafatnya
baginda maharaja itu.
Syahdan pemerintahannya kerajaan Welanda telah disambut oleh putranya yang
tua, yaitu memakai nama Maharaja Willem yang ketiga. Adapun dari awal wafatnya
maharaja yang mazkur sudah ditentukan hendaklah memakai tandah kedukaan jua adanya.
Maka sebab hamba telah mutala'ah daripada awal syatar sultan hingga akhirnya maka
beberapa menurutkan juga keduka cita yang tiada sepertinya lain tiada hanyasanya hamba
harap mudah-mudahan Tuhan seru sekalian alam mengaruniakan Sri Paduka Maharaja
Willem yang ketiga mendapat dengan segala selamat yang sejahtera serta hamba harap
minta dilanjutkan di dalam sehat dan ‘āfiyat daripada s-ny-a umur zamannya selamanya.
Demikian juga perihal daripada tandah kedukaan yang demikian itulah hamba telah
menjalankan dengan segerah berikan sebagaimana yang tersebut di dalam sri paduka yang
dipertuan besar empunya surat demikianlah adanya.
Termaktu[b] di dalam daerah negeri Pamekasan kepada 3 hari bulan Juni tahun
1849 yaitu 12 hari bulan Rajab hijrat sanat

2. Or. 172, 28
Qauluhu al-Æaq
Bahwa ini waraqat al-ikhlas wa tuhfat al-ajnas yang terbit daripada fu’ad
az-zakiyyah dengan termaktub di dalamnya beberapa tabi dan selamat yaitu daripada kita
Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Jean Chretien Baud komandan dari b-h-a dari singa
Nederland dan Gurnadur Jenderal yang memerintahkan sekalian tanah Hindia Nederland
yang semayam di atas takhta kerajaan di negeri Betawi. Maka barang disampaikan oleh
Tuhan seru sekalian alam apalah kiranya datang kepada sri paduka sahabat kita yaitu Tuan
Sultan Pakunataningrat Komandor dari b-h-a dari singa Nederland yang bersemayam
dengan beristirahat di dalam negeri Sumenep maka dipohonkan atasnya segala kebajikan
dan kesentosaan di dalam dunia ini sampai kepada akhirat jua adanya.
Wa ba’dahu kemudian daripada itu maka adalah kita melayangkan waraqat
al-ikhlas ini kepada Sri paduka sahabat kita peri bermaklumkan hal bahwa kepada hari ini
29 hari bulan Februari tahun 1836 yaitu 13 hari bulan Zulkaidah hijrat 1251 kita sudah
menyerahkan pemerintahan yang maha tinggi dari tanah Hindia Nederland kepada Sri
Paduka Yang Dipertuan Besar letnan Jenderal De Eerens yang telah sudah beberapa bulan
datang di Betawi dari negeri Ulanda jadi luitenant Gurandur Jenderal serta diangkat oleh
sri paduka raja yang maha mulia dan maha besar di negeri Ulanda akan menggantikan kita.
Adapun oleh karena itu, maka pada hari ini Sri Paduka Yang Dipertuan Besar De Eerens
ini sudah menerima pangkat gurandur jenderal dari tanah Hindia Nederland dan ta[k]
dapat tiada yang dipertuan besar itu sama sebagaimana kita juga selamanya akan ingat
pada barang apa yang boleh jadi kebajikan atas sri paduka sahabat kita apalagi atas negeri
sri paduka sahabat kita jua adanya. Seperkara lagi kita bermaklumkan kepada sri paduka
sahabat kita bahwa adalah niat kita di dalam sedikit hari lagi hendak berangkat pulang ke
negeri Ulanda. Akan tetapi lebih dahulu daripada kita meninggalkan tanah Hindia
Nederland maka hendaklah kita menyatakan kepada sri paduka sahabat kita bahwa sri
paduka sahabat kita boleh tetap hatinya maka senantiasa kita akan mengingat juga kepada
sri paduka sahabat kita dengan hati ikhlas apalagi selamanya kita akan beroleh suka cita
apabila menerima khabar perihal sri paduka sahabat kita bersama-sama dengan kaum
keluarganya senantiasa jua dengan selamat sejahteranya.
Syahdan lagi maka dengan surat ini kita mengunjuki tabi dan memberi selamat
tinggal kepada sri paduka sahabat kita dengan pengharapan kita mudah-mudahan Tuhan
seru sekalian alam melanjutkan seumur zamannya sri paduka di dalam sehat dan sentosa
yang seumpama istimewa limpah-limpah merahmatkan negerinya sri paduka sahabat kita
jua adanya. Tammat al-kalām.
Termaktub warkat ini di dalam istana kita di negeri Betawi, kepada 29 hari, bulan
Februari, tahun 1836, yaitu 13 hari bulan Zulkaidah, hijrat 1251.

You might also like