You are on page 1of 4

Yanusa Nugroho di Batas Angin

Asep Sambodja
Universitas Indonesia

Judul buku: Di Batas Angin


Penulis: Yanusa Nugroho
Penerbit: Kompas
Tahun terbit: 2003
Tebal: vi + 94 halaman

Novel pertama Yanusa Nugroho, Di Batas Angin (Jakarta: Kompas, 2003)


merupakan pengembangan dari cerpennya yang berjudul “Kemerlip Kunang-Kunang
Kuning”. Cerpen yang dibuat pada tahun 1987 itu dihimpun dalam kumpulan cerpen
keempatnya, Segulung Cerita Tua (Jakarta: Kompas, 2002).
Baik cerpen “Kemerlip Kunang-Kunang Kuning” maupun novel Di Batas Angin
sama-sama bercerita tentang kakak beradik yang saling menyayangi, Raden Sumantri dan
Raden Sokrasana, putra Begawan Suwandageni. Namun, karena Raden Sumantri
dihadapkan pada dua pilihan, ia akhirnya membunuh adik kesayangannya yang buruk rupa
itu.
Dalam berbagai versi cerita, seperti yang diuraikan Suwandono dan kawan-kawan
dalam Ensiklopedi Wayang Purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) dan yang diceritakan
Ulkiah S. dalam Raden Sumantri (Jakarta: Djambatan, 1974) maupun “cerita” dalam
bentuk puisi berjudul “Pesan” karya Sapardi Djoko Damono, yang dihimpun dalam
Perahu Kertas (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), terbunuhnya Sokrasana oleh senjata panah
pusaka Cakrabaswara pemberian dewa pada Sumantri tidak jelas apakah disengaja atau
tidak. Selain itu, tidak jelas pula apakah dengan “pembunuhan” itu Sokrasana menaruh
dendam pada kakak yang dicintainya itu.
Sapardi Djoko Damono menuliskan peristiwa “pembunuhan” itu secara tersirat,
“Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan
jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak
disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya,//Kalau kau bertemu dengannya, tolong
sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba,
aku hanya akan….” (Damono, 1983: 45).
“Pembunuhan” itu, menurut Sapardi, memang di antara “sengaja dan tidak
sengaja”, dan Sokrasana tidak menaruh dendam, melainkan hanya melakukan “sesuatu”, di
mana dalam sajak tersebut Sapardi sengaja tidak menuntaskan kalimat yang benar-benar
merupakan inti dari pesan yang akan disampaikan Sokrasana. Dan itulah yang menjadi
keunggulan dari sajak Sapardi tersebut.
Namun, jika kita bercermin pada mitos wayang yang berkisah tentang Raden
Sumantri dan Raden Sokrasana (Sukrasana), terbaca bahwa sebelum menghembuskan
napasnya yang terakhir, Sokrasana sudah “meramalkan” bahwa ia akan “menjemput”
kakaknya dalam sebuah pertempuran antara Raden Sumantri dengan Rahwana
(Dasamuka), yang ditulis Sapardi dengan “apabila perang itu tiba”.
“Ramalan Sokrasana itu juga tampak dalam cerpen Yanusa Nugroho “Kemerlip
Kunang-Kunang Kuning”, yang melukiskan Sokrasana dalam keadaan sekarat, dengan
menggambarkan suasana di luar Taman Sriwedari, Maespati (tempat Sumantri dan
Sokrasana “berseteru”). Yakni dengan pelukisan: Di Alengka, Rahwana bagai mendapat
kekuatan baru, sepasang taringnya mendenyut keras, bagai kerasukan nyawa….
Peristiwa bertemunya kembali Sokrasana dengan Sumantri itu terbaca dalam
cerpen Yanusa lainnya, “Bargawa”, yang juga terhimpun dalam Segulung Cerita Tua.
Dalam cerpen tersebut, Yanusa menulis, “Sang Maha Menteri Sumantri tewas ditikam
taring Rahwana, dan Prabu Arjunasasra seperti kehilangan ruhnya. Maespati, Maespati
yang pernah bercahaya ke seluruh jagat raya karena memiliki taman indah bagaikan dalam
mimpi, kini mati.” (Nugroho, 2002: 99).
Yanusa memang tidak akan kehabisan napas dalam bercerita, karena mitologi
wayang yang menjadi acuannya bagaikan lahan luas yang tak bertepi. Dan, menurut
Sapardi Djoko Damono, yang menulis “Yanusa Dalang Edan” dalam pengantar untuk
kumpulan cerpen Yanusa yang pertama, Bulan Bugil Bulat (Jakarta: Grafiti, 1990), sastra
memang berkembang berdasarkan mitologi. “Tanpa mitologi, ia akan kehilangan tempat
berpijak dan sulit berkembang ke arah mana pun. Tidak bisa dibayangkan sastra yang
hidup tanpa bersandar padanya,” tulis Sapardi.
Yang membuat novel Di Batas Angin lebih hidup adalah penafsiran baru yang
ditawarkan Yanusa Nugroho kepada pembaca. Persoalannya tidak sesederhana perasaan
malu Raden Sumantri yang memiliki adik yang berwujud raksasa kecil (bajang) yang
menakuti Citrawati (istri Arjunasasra/Arjunawiwaha) di Taman Sriwedari di kerajaan
Maespati. Namun, Yanusa mengajak pembacanya menafsir kembali karakter tokoh
Sumantri yang ambisius menjadi “orang penting” di kerajaan Maespati dan karakter
Sokrasana yang santun, penyayang, dan berhati nurani. Dengan demikian, matinya
Sokrasana adalah matinya nurani seorang manusia.
Dalam novel tersebut, Yanusa tidak hendak mengajarkan pembacanya mengenai
kehidupan manusia tanpa nurani. Yanusa sengaja menuntaskan penceritaannya pada
kematian Sokrasana, dan membiarkan pembacanya merenungi kisah klasik tersebut dengan
konteks kekinian. Kedua tokoh tersebut, Sumantri dan Sokrasana, sama-sama
“mengutuki” dirinya masing-masing, bahwa mereka bukan manusia. Berikut puncak dialog
antara Sumantri dan Sokrasana sebelum salah satu “dimatikan”.

“Di antara kita, akulah yang bukan manusia, Kakang Mantri,” kata
Sokrasana seakan membaca pikiran kakaknya.
“Tidak. Akulah yang bukan manusia! Kau tahu artinya ini bagiku,
bukan? Oh, Sokrasana, kumohon…pergilah dari sini,” Sumantri
menangis memeluk adiknya.
“Kakang, kau tak bisa memungkiri suratan tanganmu sendiri. Kau
manusia dan aku bukan. Kalau kini kau mengaku bahwa dirimu bukan
manusia, artinya kau menipu dirimu sendiri. Sekali lagi aku ingatkan,
akulah yang bukan manusia.”
“Tidak! Aku!” Sumantri undur beberapa langkah.
“Untuk apa semua kemegahan ini? Bahkan dengan pertanyaan
sekecil itu pun kau sudah menghancurkan seluruh hidup yang telah kau
bangun selama ini.”
“Sokrasana! Lihatlah apa yang ada di tanganku.”
Sokrasana menahan napas. Dia tahu, Sumantri tengah merentang
gendewa dan anak panah sudah siap melesat. Perlahan dia memutar
tubuhnya, menatap sepasang mata kakaknya. Ada kepedihan yang luar
biasa di sorot mata sumantri.
“Lakukanlah. Aku bisa menerima kematian yang mungkin selalu
disangkal manusia. Lakukanlah Kakang….” (Nugroho, 2003: 85-87)

Bagi pembaca yang sudah paham dengan cerita tersebut, perjalanan hidup
Sumantri tanpa Sokrasana (yang ditafsirkan Yanusa sebagai “nurani”) adalah kehidupan
yang kosong, atau bagaikan hidup tanpa ruh, dan hanya menjalani hidup bak mesin waktu,
hingga terhenti begitu maut datang menjemput. Yakni, saat kekalahan yang ia alami ketika
berhadapan dengan Raja Alengka, Rahwana, meskipun Sumantri menggunakan senjata
sakti mandraguna Cakrabaswara. Sumantri mati akibat gigitan Rahwana, di mana taring
Rahwana “bersemayam” ruh Sokrasana yang terbunuh oleh panah kakaknya sendiri.
Matinya Sumantri, dengan demikian, merupakan “penjemputan” ruh Sokrasana terhadap
ruh Sumantri untuk dibawanya ke surga.
Judul novel Di Batas Angin mengingatkan kita pada esei Tutty Tellez yang
berjudul “Words Floating in The Twin Lakes” (dalam Sumanto, 1999: XVII), bahwa
poetry is dancing words, bahwa puisi atau bahasa yang digunakan sastrawan adalah
bahasa yang menari. Di tangan para sastrawan, sebuah karya sastra bisa menari, bisa
berada “di batas angin”, yang berimplikasi macam-macam. Yanusa bisa dipahami tengah
berbicara tentang nafsu dan hati nurani manusia yang tengah bergejolak lewat potret kedua
kakak beradik itu. Tapi, hal itu juga bisa diartikan bahwa Yanusa tengah membawa anasir
budaya Jawa (yang diambil dari mitos pewayangan) untuk dijadikan anasir budaya
Indonesia. Wayang yang semula menggunakan bahasa Jawa diindonesiakan oleh Yanusa,
sehingga menjadi bagian yang tak terelakkan sebagai kekayaan sastra Indonesia.
Hal serupa juga tampak pada Pengakuan Pariyem yang ditelaah Bakdi Soemanto
dalam “Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem”, yang kemudian dibukukan menjadi
Angan-Angan Budaya Jawa (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, April 1999). Bakdi
menilai penggunaan kosa kata bahasa Jawa yang terdapat dalam Pengakuan Pariyem
menempatkan Linus Suryadi Ag., pengarang prosa lirik itu, berada di antara dua dunia
(twin lakes), yakni dunia sastra Indonesia dan sastra Jawa.
Bahasa, yang menurut Ibnu Wahyudi merupakan salah satu kriteria penetapan awal
mula sejarah sastra Indonesia selain aksara, identitas pengarang, karakteristik karya, dan
keindonesiaan (lihat artikelnya, “Mempertimbangkan Kembali Awal Keberadaan Sastra
Indonesia Modern”, dalam jurnal Malay World, Volume 1 No. 2, Maret 1999, yang
diterbitkan oleh Korea Association of Malay-Indonesian Studies), menjadi unsur penting
apakah sebuah karya sastra bisa dimasukkan ke dalam khazanah sastra Indonesia atau
tidak. Yanusa Nugroho berada di “Batas Angin” itu. Ia banyak bercerita tentang dunia
pewayangan, yang sebagian besar dapat dikatakan sebagai carangan modern, dan
menggunakan bahasa Indonesia. Karenanya, ia dianggap sebagai warga yang sah dalam
sastra Indonesia. Sementara banyak karya sastra yang bercerita tentang persoalan serupa,
yang menggunakan beraneka bahasa daerah di Indonesia, belum diakui sebagai warga
sastra Indonesia.
Novel Di Batas Angin setebal 93 halaman ini menarik untuk dibaca. Bukan saja
karena ceritanya yang menarik untuk dicermati, melainkan juga gaya bertutur Yanusa
Nugroho yang mengalir. Tidak salah kalau Sapardi Djoko Damono menyebutnya sebagai
“dalang edan” dan Budiardjo menyebutnya sebagai “dalang tulis”. Jika dibandingkan
dengan novel karya “dalang edan” lainnya, Hadi Sujiwo Tejo, The Sax, jelas bahasa yang
digunakan Yanusa lebih mengalir, sementara Tejo mengajak pembacanya merenung
hampir di setiap kata.***

You might also like