Professional Documents
Culture Documents
Asep Sambodja
Universitas Indonesia
“Di antara kita, akulah yang bukan manusia, Kakang Mantri,” kata
Sokrasana seakan membaca pikiran kakaknya.
“Tidak. Akulah yang bukan manusia! Kau tahu artinya ini bagiku,
bukan? Oh, Sokrasana, kumohon…pergilah dari sini,” Sumantri
menangis memeluk adiknya.
“Kakang, kau tak bisa memungkiri suratan tanganmu sendiri. Kau
manusia dan aku bukan. Kalau kini kau mengaku bahwa dirimu bukan
manusia, artinya kau menipu dirimu sendiri. Sekali lagi aku ingatkan,
akulah yang bukan manusia.”
“Tidak! Aku!” Sumantri undur beberapa langkah.
“Untuk apa semua kemegahan ini? Bahkan dengan pertanyaan
sekecil itu pun kau sudah menghancurkan seluruh hidup yang telah kau
bangun selama ini.”
“Sokrasana! Lihatlah apa yang ada di tanganku.”
Sokrasana menahan napas. Dia tahu, Sumantri tengah merentang
gendewa dan anak panah sudah siap melesat. Perlahan dia memutar
tubuhnya, menatap sepasang mata kakaknya. Ada kepedihan yang luar
biasa di sorot mata sumantri.
“Lakukanlah. Aku bisa menerima kematian yang mungkin selalu
disangkal manusia. Lakukanlah Kakang….” (Nugroho, 2003: 85-87)
Bagi pembaca yang sudah paham dengan cerita tersebut, perjalanan hidup
Sumantri tanpa Sokrasana (yang ditafsirkan Yanusa sebagai “nurani”) adalah kehidupan
yang kosong, atau bagaikan hidup tanpa ruh, dan hanya menjalani hidup bak mesin waktu,
hingga terhenti begitu maut datang menjemput. Yakni, saat kekalahan yang ia alami ketika
berhadapan dengan Raja Alengka, Rahwana, meskipun Sumantri menggunakan senjata
sakti mandraguna Cakrabaswara. Sumantri mati akibat gigitan Rahwana, di mana taring
Rahwana “bersemayam” ruh Sokrasana yang terbunuh oleh panah kakaknya sendiri.
Matinya Sumantri, dengan demikian, merupakan “penjemputan” ruh Sokrasana terhadap
ruh Sumantri untuk dibawanya ke surga.
Judul novel Di Batas Angin mengingatkan kita pada esei Tutty Tellez yang
berjudul “Words Floating in The Twin Lakes” (dalam Sumanto, 1999: XVII), bahwa
poetry is dancing words, bahwa puisi atau bahasa yang digunakan sastrawan adalah
bahasa yang menari. Di tangan para sastrawan, sebuah karya sastra bisa menari, bisa
berada “di batas angin”, yang berimplikasi macam-macam. Yanusa bisa dipahami tengah
berbicara tentang nafsu dan hati nurani manusia yang tengah bergejolak lewat potret kedua
kakak beradik itu. Tapi, hal itu juga bisa diartikan bahwa Yanusa tengah membawa anasir
budaya Jawa (yang diambil dari mitos pewayangan) untuk dijadikan anasir budaya
Indonesia. Wayang yang semula menggunakan bahasa Jawa diindonesiakan oleh Yanusa,
sehingga menjadi bagian yang tak terelakkan sebagai kekayaan sastra Indonesia.
Hal serupa juga tampak pada Pengakuan Pariyem yang ditelaah Bakdi Soemanto
dalam “Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem”, yang kemudian dibukukan menjadi
Angan-Angan Budaya Jawa (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, April 1999). Bakdi
menilai penggunaan kosa kata bahasa Jawa yang terdapat dalam Pengakuan Pariyem
menempatkan Linus Suryadi Ag., pengarang prosa lirik itu, berada di antara dua dunia
(twin lakes), yakni dunia sastra Indonesia dan sastra Jawa.
Bahasa, yang menurut Ibnu Wahyudi merupakan salah satu kriteria penetapan awal
mula sejarah sastra Indonesia selain aksara, identitas pengarang, karakteristik karya, dan
keindonesiaan (lihat artikelnya, “Mempertimbangkan Kembali Awal Keberadaan Sastra
Indonesia Modern”, dalam jurnal Malay World, Volume 1 No. 2, Maret 1999, yang
diterbitkan oleh Korea Association of Malay-Indonesian Studies), menjadi unsur penting
apakah sebuah karya sastra bisa dimasukkan ke dalam khazanah sastra Indonesia atau
tidak. Yanusa Nugroho berada di “Batas Angin” itu. Ia banyak bercerita tentang dunia
pewayangan, yang sebagian besar dapat dikatakan sebagai carangan modern, dan
menggunakan bahasa Indonesia. Karenanya, ia dianggap sebagai warga yang sah dalam
sastra Indonesia. Sementara banyak karya sastra yang bercerita tentang persoalan serupa,
yang menggunakan beraneka bahasa daerah di Indonesia, belum diakui sebagai warga
sastra Indonesia.
Novel Di Batas Angin setebal 93 halaman ini menarik untuk dibaca. Bukan saja
karena ceritanya yang menarik untuk dicermati, melainkan juga gaya bertutur Yanusa
Nugroho yang mengalir. Tidak salah kalau Sapardi Djoko Damono menyebutnya sebagai
“dalang edan” dan Budiardjo menyebutnya sebagai “dalang tulis”. Jika dibandingkan
dengan novel karya “dalang edan” lainnya, Hadi Sujiwo Tejo, The Sax, jelas bahasa yang
digunakan Yanusa lebih mengalir, sementara Tejo mengajak pembacanya merenung
hampir di setiap kata.***