Professional Documents
Culture Documents
BAB I : PENDAHULUAN
Perencanaan propeller dan sistem perporosan merupakan salah satu tahapan penting dalam mendesain kapal. Sebelum merencanakan propeller dan sistem perporosan, kita diharuskan terlebih dalulu untuk mengetahui fungsi-fungsi dari bagian propeller dan sistem perporosan yang akan kita rancang dan yang paling penting adalah kita harus mengetahui data utama kapal yang dirancang. I.1 Filosofi Desain Propeller merupakan bentuk alat penggerak kapal yang paling umum digunakan dalam menggerakkan kapal. Sebuah kapal dapat bergerak dengan kecepatan sesuai keinginan owner membutuhkan gaya dorong (thrust). Gaya dorong tersebut dihasilkan oleh motor induk atau main engine yang ditransmisikan melalui poros dan disalurkan ke baling-baling (propeller). Hal awal yang dilakukan untuk pendesainan propeller adalah perhitungan tahanan total. Pada perancangan propeller dan sistem perporosan ini metode yang digunakan untuk menghitung tahanan adalah metode Harvald. Tahapan selanjutnya adalah mehitung daya engine yang akan ditransmisikan ke propeller untuk menghasilkan gaya dorong (BHP). Setelah didapatkan BHP maka kita harus mencari main engine yang mempunyai nilai sesuai BHP untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Langkah selanjutnya adalah menghitung dan menentukan jenis propeller yang akan digunakan. Pada perhitungan dan penentuan dimensi propeller yang digunakan adalah Bp - diagram, dari diagram tersebut nantinya akan didapatkan dimensi dari propeller yang dirancang. Dalam tahapan ini yang paling penting adalah mencari propeller yang paling effisien, diameternya memenuhi persyaratan dari kapal yang dirancang, dan memenuhi sarat kavitasi. Engine propeller matching (EPM) adalah tahapan selanjutnya. EPM merupakan mencocokan performa dari propeller dengan mesin yang digunakan. Setelah itu tahapan yang dilakukan adalah melakukan perhitungan perancanaan poros. Dalam perencanaan poros hal yang perlu diperhatikan adalah besarnya daya yang disalurka (SHP) dan besarnya torsi yang akan diterima oleh poros. Perhitungan dan perancangan stern tube merupakan tahapan yang terakhir. Stern tube merupakan tabung kedap yang berguna untuk mencegah air dari luar memasuki badan kapal. Selain itu stern tube juga berfungsi sebagai penopang dan tempat untuk melumasi poros. Dalam laporan ini juga akan dihitung mengenai perencanaan boss propeller, kopling, tebal bantalan, pasak, stern post, intermediate shaft serta kopling penghubung antara poros propeller dan poros intermediate. Jenis pelumasan dari stern tube yang digunakan dalam perencanaan perporosan ini adalah sistem pelumasan minyak.
Page 1
I.2 Data Utama Ukuran Kapal Sebelum memulai merancang sebuah kapal, langkah pertama yang dilakukan adalah mencari data kapal yang telah ditentukan. Data kapal pembanding ini berguna sebagai acuan dari dimensi kapal yang akan dirancang. Data kapal yang ditentukan dapat dicari dibuku ataupun website dari berbagai biro klasifikasi yang ada dimanapun. Contohnya NK,BV,GL,dll. Dalam perancangan desain ini data kapal yang digunakan berasal dari Nippon Kaiji Kyokai ( ClassNK ). Berikut adalah data dimensi kapal yang digunakan : Tipe Kapal Nama Kapal Tahun Pembangunan Tonnage Gross Deadwight Lpp B H T Daya Motor Rpm : Containner Carrier : CTP Fortune : 1998 : 14855 : 16567 : 152,00m : 26,20 m : 13,20 m : 8,27 m : 12268 kW : 105 Rpm : 20 knot
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
I.3 Rules & Regulations Pada perancangan Propeller dan Sistem Perporosan ini, pengerjaanya harus mengacu pada rules & regulation yang berlaku. Karena apabila tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh klas maka rancangan propeller dan sistem perporosan ini tidak akan diterima oleh klas yang bersangkutan. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh klas maka kesempurnaan konstruksi dan kelengakapannya dapat dipertanggung jawabkan. Perancangan propeller dan sistem perporosan ini mengikuti aturan yang ada dalam BKI (Biro Klasifikasi Indonesia). BKI merupakan suatu lembaga badan teknik yang melakukan kegiatan berupa pengawasan untuk kapal baru maupun kapal yang sedang beroperasi, dan pemberian sertifikasi untuk kapal-kapal yang telah lulus penilaian atas kesempurnaan konstruksi dan kelengkapannya. Dan untuk perhitungan tahanan pada kali ini digunakan metode Harvald.
Page 7
Sebelum menghitung tahanan kapal kita harus menentukan dahulu besarnya volume displasmen, berat displasmen, luas permukaan basah (wetted surface area), Fraude Number, dan Reynold Number dari kapal yang kita rancang. Berikut adalah tahapan pehitungannya : II.1.1. Perhitungan Volume Dispalsmen Volume displasmen adalah volume air yang dipindahkan oleh badan kapal sebagai sebuah floating body. Rumus dari volume displasmen adalah : = Cb x LWL x B x T Cb LWL B T = Koefisien blok kapal yang terletak dibawah garis air = Panjang kapal yang dihitung pada garis air = Lebar kapal = Tinggi sarat air kapal (2.1)
Page 8
II.1.2. Perhitungan Berat Displasmen Berat displasmen merupakan berat dari volume air yang dipindahkan oleh kapal. Rumus yang digunakan untuk mencari berat displasmen adalah : = Cb x LWL x B x T x =x air laut = Masa jenis air laut (2.2)
II.1.3. Luas Permukaan Basah Luas permukaan basah adalah luas permukaan badan kapal yang tercelup di dalam air. Dimana rumusnya adalah : S = 1,025 Lpp x (Cb x B + 1,7 T) Lpp (2.3)
= Panjang antara kedua garis tegak buritan dan garis tegak haluan yang dihitung pada garis air muat
II.1.4. Fraude Number Fraude number ini berhubungan dengan kecapatan kapal. Semakin besar angka fraude number maka semakin cepat kecepatan kapal tersebut. Fn = V g
(2.4)
II.1.5. Reynold Number Nilai reynold number akan digunakan pada saat pencarian tahanan gesek. Rumus untuk mencari Rn : Rn = = Koefisien viskositas kinematik (2.5)
Vk
II.1.6. Tahanan Gesek (Friction Resistance) Tahanan gesek adalah tahanan yang disebabkan karena gesekan dari semua fluida yang mempunyai viskositas dan karena adanya viskositas maka akan menimbulkan gesekan dengan permukaan kapal. Ada 2 cara untuk mencari tahanan gesek, yaitu dengan menghitung sesuai rumus, dan dengan melihat diagram 5.5.14 (Harvald, 1992 : 129). Dengan cara yang kedua kita hanya tinggal mempertemukan nilai kecepatan kapal dan panjang dari kapal kita tapi apabila kita menggunakan cara yang kedua hasil yang didapat tidak begitu presisi. Berikut adalah rumusan untuk mencari tahanan gesek : CF = (2.6)
Page 9
II.1.7. Tahanan Sisa (Residuary Resistance) Koefisien tahanan sisa (CR) dapat ditentukan dari diagram GuldhammerHarvald(Harvald,1992 : 118-126). Langkah awal dalam menentukan koefisien tahanan sisa,kita diharuskan mencari nilai dari dan nilai dari koefisien prismatik () dari kapal yang kita desain. Setelah mendapatkan kedua nilai tersebut kita bisa mencari nilai koefisien tahanan sisa kapal pada diagram. Setelah didapatkannya koefisien tahanan sisa kita masih harus melakukan koreksi, karena kapal pada umumnya berbeda dengan standar yang telah ditentukan. Berikut ini adalah koreksi yang harus dilakukan : II.1.7.a. B/T Diagram tersebut dibuat hanya untuk kapal yang mempunyai rasio lebar sarat B/T = 2,5 (Harvald,1992 : 119) ,maka untuk kapal yang mempunyai nilai lebih besar atau lebih kecil dari 2,5 harus dilakukan pengkoreksian. Dalam buku acuan Tahanan dan Propulsi Kapal, rumus koreksi sebagai berikut : 103 CR = 103 CR(B/T=2.5) + 0.16(B/T 2,5) (2.7) dimana nilai dari CR bisa bernilai positif maupun negatif. II.1.7.b. Penyimpangan LCB Letak LCB yang optimum akan menentuka kapal yang didesain mempunyai tahanan sekecil mungkin. Namun penentuan letak LCB yang optimum merupakan kuantitas yang masih meragukan dan banyak sumber yang memberikan pendapat yang berbeda. Sebagai upaya untuk mengatasi kerancuan tersebut, maka semua informasi yang ada dikumpulkan dan diringkas pada LCBstandar yang didefinisikan sebagai fungsi linier dari fraude number (Fn). Pengkoreksian penyimpangan LCB ini hanya berlaku untuk LCB yang mempunyai letak berada di depan LCBstandar. Karena letak LCB kapal yang saya desain berada dibelakang LCBstandar maka pengkoreksian dapat diabaikan karena hal tersebut tidak akan memberikan kesalahan yang berarti(Harvald,1992 : 130). II.1.7.c. Anggota Badan Kapal Ada beberapa bagian tambahan kapal yang harus dikoreksi. Tapi dalam hal ini yang perlu dikoreksi adalah boss baling-baling, Cr perlu dinaikkan sebesar 3%-5%(Harvald,1992 : 132). II.1.8. Tahanan Tambahan (CFS) Pemberian koreksi pada CFS untuk kapal merupakan cara yang umum dilakukan dalam praktek dan sudah lama diterapkan akibat adanya kekasaran pada permukaan kapal meskipun kapal itu masih baru(Harvald,1992 : 132). II.1.9. Tahanan Udara dan Tahanan Kemudi Tahanan udara dapat ditentukan dengan memakai data mengenai struktur yang berada di atas air dan data udara. Namun demikian besarnya tahanan udara umumnya tidak begitu penting dan dapat diabaikan. Tapi disini ditentukan besarnya tahanan udara dan tahanan kemudi adalah sebagai berikut : Bimo Wira Para (4211100055) Page 10
CAA = 0,00007 CAS = 0,00004 CAA = Tahanan Udara CAS = Tahanan Kemudi
(2.8) (2.9)
II.1.10. Tahanan Total Kapal Koefisien tahanan total kapal (CT) dapat ditentukan dengan menjumlahkan seluruh koefisien tahanan kapal yang ada : CT = CF + CR + CFS + CAA + CAS RT = CT ( (2.10) (2.11)
Dalam hal ini tahanan total masih dalam pelayaran percobaaan, untuk kondisi rata-rata pelayaran dinas harus diberikan margin tambahan pada tahanan dan daya efektif. Sea margin atau service margin yang diberikan untuk pelayaran Jakarta Calcutta sekitar 15% - 20%.
Page 11
II.2.2. Daya pada Tabung Poros Buritan Baling-Baling (Delivered Horse Power) DHP adalah daya yang diterima propeller dari sistem perporosan atau daya yang dihantarkan oleh sistem perporosan ke propeller untuk diubah menjadi gaya dorong (thrust). DHP = EHP / PC dimana, Pc = H x rr x o Pc = Coefficient Propulsif II.2.2.a. Efisiensi Lambung (H) H = t = thrust deduction factor w = wake friction II.2.2.b. Efisiensi Relatif Rotatif (rr) Nilai rr untuk kapal single screw bernilai sekitar 1.0-1.1 . II.2.2c. Efisiensi Propulsi (o) Efisiensi propulsi adalah water efficiency dari propeller pada saat dilakukan open water test, dan bernilai sekitar 40%-70%. (2.15) (2.13) (2.14)
Page 12
II.2.3. Daya pada Poros Baling-Baling (Shaft Horse Power) Untuk kapal yang kamar mesinnya terletak di bagian belakang akan mengalami losses sebesar 2%, sedangkan pada kapal yang kamar mesinnya pada daerah midship kapal mengalami losses sebesar 3%. Pada perencanaan ini kamar mesin di bagian belakang sehingga mengalami losses atau efisiensi transmisi porosnya (sb) sebesar 0.98. Untuk menghitung DHP dapat menggunakan rumus : SHP = DHP/ sb (2.16)
II.2.4. Daya Penggerak Utama yang Diperlukan (Brake Horse Power) Untuk menghitung daya penggerak utama yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus 1.50-1.51 yang diambil dari Tupper (1996). II.2.4.a. BHPSCR Adanya pengaruh effisiensi roda sistem gigi transmisi (G), karena memakai sistem roda gigi reduksi tunggal atau single reduction gears dengan loss 2% untuk arah maju shg G = 98 %. BHPscr = SHP/G II.2.4.b BHPMCR Daya keluaran pada kondisi maksimum dari motor induk, dimana besarnya daya BHPscr = 85% dari BHPmcr (kondisi maksimum). BHPmcr = BHPscr/0.85 (2.18) (2.17)
Setelah diketahui BHPMCR maka dapat ditentukan jenis motor induk / main engine yang akan kita pilih sesuai kapal yang dirancang. II.2.5. Pemilihan Motor Induk dan Gearbox Pada perencanaan ini telah didapatkan nilai dari daya penggerak utama yang dibutuhkan,yaitu sebesar 18939,77 kW. Untuk pemilihan main engine, akan ada 2 main engine yang akan dijadikan pertimbangan. Berikut adalah engine beserta spesifikasinya. 1. MAN B&W Dalam pemilihan mesin pada merk MAN B&W, yang akan dipertimbangkan adalah tipe S60ME-B8 dan V48/60CR. Tipe S6-ME-B8 dan V48/60CR dirasa paling sesuai karena daya yang memenuhi dan daya yang dibutuhkan tidak terlampau jauh dengan daya yang dihasilkan engine. Berikut adalah spesifikasi dari S60ME-B8 dan V48/60CR dan dimensi dari mesin tersebut :
Page 13
Page 14
JENIS TYPE DAYA MAX JUMLAH SILINDER BORE STROKE PUTARAN SFOC
MAN B&W S60ME-B8 25533,06 19040 8 1920 2400 105 1,75 170
JENIS TYPE HP kW mm mm Rpm Rps g/kWh DAYA MAX JUMLAH SILINDER BORE STROKE PUTARAN SFOC
MAN B&W V48/60CR 26104,7 19200 16 480 600 514 8,57 181
Berdasarkann kebutuhan daya mesin yang telah didapat, maka jenis mesin yang akan digunakan untuk kapal adalah MAN B&W tipe MAN V48/60CR. Pemilihan mesin MAN B&W tipe MAN V48/60CR dikarenakan dimensi tidak terlalu besar dan cocok dengan kapal yang didesain. Dikarenakan putaran yang dihasilkan oleh MAN B&W V48/60CR adalah 514 rpm, maka dibutuhkan reduction gear untuk menurunkan putaran tersebut. Maka dipilihlah reduction gear REINTJES DLG 110131. Berikut adalah spesifikasi dari reduction gear tersebut :
REDUCTION GEAR Jenis REINTJES Tipe DLG 110131 Ratio 2,929 Max. Rated power 22890 kW Max. RPM 750 rpm
Page 15
II.2.6. Summary Dari perhitungan yang telah dilakukan kita dapat melihat hasil lengkapnya yang terdapat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perhitungan Tahanan Kapal
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komponen Perhitungan Tahanan Gesek Tahanan Sisa Tahanan Tambahan Tahanan Total
Satuan m3 ton kN kN kN kN
Dari perhitungan daya mesin yang telah dilakukan,kita dapat melihat data lengkapnya pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Perhitungan Kebutuhan Power
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komponen Perhitungan EHP Wake Friction Thrust Deduction Factor Pc DHP SHP BHPSCR BHPMCR
Satuan kW
kW kW kW kW
Page 16
II.3.1 Menentukan Nilai Bp, Bp1 dan 0,1739 Mencari nilai Bp, Bp1 dan 0,1739 menentukan dalam pemilihan tipe propeller II.3.1.a Menghitung nilai Bp Untuk menentukan nilai Bp kita dapat menggunakan rumus: Bp = P1/2 x N x Va-2,5 P = daya poros dalam Satuan Inggris (HP) N = jumlah putaran propeller per menit Va = kecepatan aliran fluida pada disk propeller (knot) II.3.1.b Menghitung nilai Bp1 Rumus Bp1 bisa didefinisikan sebagai : Bp1 = P1/2 x D x Va-3/2 II.3.1.c Menghitung 0,1739 Setelah didapatkan nilai Bp1,dapat ditentukan nilai 0,1739 yang akan digunakan dalam menentukan nilai P/D dan 1/J0. Untuk menentukan nilai tersebut dapat dilakukan dengan cara memotongkan nilai 0,1739 dengan garis optimum yang berada pada grafik B tiap jenis propeller. (2.20) (2.19) adalah langkah awal yang sangat
Page 17
Gambar II.3.1 B seri model baling-baling berdaun 4, jenis Wageningen B4-55 (Lewis,1988:202)
II.3.2 Menentukan Nilai 0 dan D0 Penentuan nilai 0 dan D0 akan digunakan dalam penentuan nilai Db. II.3.2.a Menghitung Nilai 0 Untuk mencari nilai 0 dapat menggunakan rumus : 0 = (1/J0)/ 0,009875 II.3.21.b Menghitung Nilai D0 Untuk mencari nilai D0 dapat menggunakan rumus : D0 = 0 x Va x N-1 (2.22) (2.21)
II.3.3 Menentukan Nilai Db Db adalah nilai diameter propeller yang yang kita desain. Perhitungan besarnya nilai Db tergantung pada jenis propeller yang dipakai. Nilai Db dapat dicari dengan rumus : Db = 0,96 x D0 (2.23)
Setelah didapatkan nilai Db kita harus melakukan pemeriksaan dahulu terhadap besarnya diameter maksimum propeller yang diperbolehkan digunakan kapal yang didesain.
Page 18
II.3.4 Menentukan Nilai b dan 1/Jb Pencarian nilai b dan 1/Jb digunakan untuk menentukan perpotongan nilai 1/Jb dengan optimum line pada diagram BP. Dari perpotongan tersebut akan didapatkan nilai P/Db dan effisiensi propeller. Untuk mencari nilai b dan 1/Jb dapat menggunakan rumus : b = Db x N x Va-1 (2.24) (2.25)
1/Jb = b x 0,009875
II.3.5. Summary Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk pemilihan daun propeller,maka didapatkan propeller sementara yang akan digunakan adalah propeller berdaun empat, jenis Wageningen B4-55. Dan untuk hasil lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.5 .
Tabel 2.5 Spesifikasi Propeller
Perhitungan resiko kavitasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa propeller yang dipilih bebas dari kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya kavitasi.
II.4.1 Menentukan A0 (Luasan Optimum), Ae/A0 ,dan Ae Untuk A0 atau luasan optimum dapat dicari dengan menggunakan rumus: A0 = 1/4 x x Db2 (2.26)
Untuk nilai Ae/A0 didapat dari tipe propeller yang digunakan. Tipe propeller yang akan digunakan pada kapal yang sedang didesain ini adalah tipe B4-55. Dari tipe tersebut diketahui nilai dari Ae/A0 setiap propeller. Untuk luasan Ae dapat dicari dengan rumus : Ae = (Ae/A0) x 1/4 x x Db2 II.4.2 Menentukan Nilai AP AP adalah luasan proyeksi daun propeller. Untuk mencari Ap dapat digunakan rumus Taylor.(Lewis,1988:182) AP = AD + (1,067-0,0229(P/D)) II.4.3 Menentukan Nilai Vr2 Untuk mendapatkan nilai dari Vr2 kita dapat menggunakan rumus : Vr2 = VA2 + (0,7 x D x N)2 II.4.4 Menentukan Nilai T T merupakan gaya yang diakibatkan oleh propeller. Untuk mendapatkan nilai dari T kita dapat menggunakan rumus sebagai berikut : T = Rt / ( 1-t ) Rt = tahanan total t = thrust deduction factor (2.30) (2.29) (2.28) (2.27)
Page 20
II.4.5 Menentukan Nilai C C merupakan thrust coefficient atau koefisien gaya dorong. C ini digunakan untuk mengetahui apakah propeller yang digunakan kapal mengalami kavitasi atau tidak pada saat beroperasi. Dengan adanya kavitasi maka propeller tidak akan dapat bekerja secara maksimal. Maka dari itu perhitungan kavitasi ini sangatlah penting dalam perancangan propeller di kapal. Untuk mendapatkan nilai C kita dapat menggunakan rumus : C = II.4.6 Menentukan Nilai 0,7R
Untuk menentukan nilai dari 0,7R kita dapat menggunakan rumus : 0,7R =
(2.31)
(2.32)
Setelah mendapatkan nilai 0,7R, maka nilai dari C dapat diketahui dari pembacaarn diagram Burril (Harvald,1992:201). Cara pembacaan diagramnya adalah dengan menarik garis vertikal keatas pada nilai 0,7R sampai memotong garis putus-putus yang kedua. Dari perpotongan ditarik garis horisontal dan akan didapatkan nilai C. Propeller dinyatakan tidak kavitasi apa bila C hitungan lebih kecil dari C diagram Burril.
Gambar II.4.1 Diagram Burril untuk model propeller berdaun empat untuk kapal niaga(Harvald,1992)
Page 21
II.4.7 Summary Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk resiko kavitasi, didapat data bahwa propeller jenis Wageningen B4-55 tidak mengalami kavitasi pada saat perancangan. Untuk data lengkap perhitungan dapat dilihat pada tabel 2.6 .
Tabel 2.6 Perhitungan resiko kavitasi
Ao Ae/Ao Ae Ap Vr2 T C
0,7R
244,013 ft2 0,55 134,207 ft2 140,6 ft2 2566,154 1302,224 kN 0,0071 0,237 0,1115
C diagram
Page 22
II.5 Engine Propeller Matching Engine propeller matching adalah proses dimana dilakukannya pengecekan kecocokan antara mesin dan baling-baling yang telah kita pilih sebelumnya. Engine propeller matching harus dilakukan pada saat perancangaan propeller karena apabila mesin dan baling-baling tidak cocok maka kerja yang dihasilkan oleh propeller tidak bisa maksimal. Pengecekan antara kerja mesin dan propeller ini bertujuan untuk mencapai kesesuaian titik operasi yang dibutuhkan baling-baling. Untuk melakukan pengecekan banyak komponen yang harus diperhatikan, misalnya putaran baling-baling, diameter baling-baling, tahanan total dan speed of advance.Yang mana data diatas bisa diketahui dari perhitungan terdahulu.
II.5.1 Menghitung Koefisien dan Dalam pencarian nilai dapat menggunakan rumus : trial = Rt trial / Vs2 service = Rt service / Vs2 Dan untuk mencari nilai bisa menggunakan rumus : (2.33) (2.34)
trial = trial x ((1-t) (1-w)2 2 D2))-1 service = service x ((1-t) (1-w)2 2 D2))-1
(2.35)
II.5.2 Mebuat Kurva KT-J Dengan menggunakan data yang telah didapatkan nilai KT trial dan KT service bisa dicari dengan menggunakan rumus : KT = x J2 (2.36)
Dimana nilai J divariasikan antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Dan pada desain ini nilai J divariasikan dengan kelipatan 0,1.
0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Kt trial Kt service
Page 23
II.5.3 Pembacaan Diagram KT Pada data sebelumnya telah didapatkan nilai P/Db sebesar 0,846. Nilai P/Db digunakan untuk pembacaan pada diagram KT. Dari pembacaan pada diagram KT didapatkan nilai KT, 10KQ dan efisiensi. Adapun nilai yang divariasikan adalah nilai J antara 0-1 dengan kelipatan 0.1. Untuk menentukan nilai KT, 10KQ dan efisiensi dari nilai P/Db sebesar 0,846 , kita harus mencari nilai dari KT, 10KQ dan efisiensi untuk nilai P/Db sebesar 0,8 dan nilai P/Db sebesar 0,9. Setelah didapatkan data kita bisa melakukan interpolasi terhadap nilai P/Db sebesar 0,8 dan nilai P/Db sebesar 0,9.
Gambar II.5.2 Diagram Kt hasil uji baling-baling terbuka pada baling-baling berdaun empat(Harvald,1992).
II.5.4 Membuat Grafik Open Water Test Dari data yang telah didapat dapat dilanjutkan dengan membuat grafik open water test baling-baling jenis Wageningen B4-55. Pada grafik open water test tersebut akan didapatkan nilai J, KT, 10KQ ,dan efisiensin untuk keadaan service dan trial. Selanjutnya adalah menghitung nilai putaran baling-baling yang sesuai dengan data yang telah didapatkan. Untuk menghitungnya dapat menggunakan rumus : (2.37)
Page 24
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 KT 10 KQ o Kt trial Kt service
II.5.5 Membuat Tabel Clean Hull dan Service Condition Pembuatan tabel ini bertujuan untuk mencari nilai dari BHP pada putaran mesin saat titik operasi yang telah ditentukan sebelumnya. Data yang diperlukan adalah data pada saat kapal sedang beroperasi dengan kondisi clean hull dan service condition. Setelah data didapat langkah selanjutnya adalah membuat grafik pada keadaan clean hull dan service condition.
Tabel 2.7 Perhitungan Daya pada Saat Clean Hull
Engine Rpm 50
100
150
Engine Rpm 50
Ratio Gearbox 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929
Propeller Rps 0,284511 0,569022 0,853534 1,138045 1,422556 1,707067 1,991578 2,27609 2,560601 2,712975 2,924775
Q Trial 9312,018 37248,07 83808,16 148992,3 232800,5 335232,7 456288,9 595969,2 754273,5 846713,7 984079,2
DHP Trial 16,65321 133,2256 449,6365 1065,805 2081,651 3597,092 5712,049 8526,441 12140,19 14439 18091,61
BHP Trial 17,33986 138,7189 468,1763 1109,751 2167,483 3745,411 5947,573 8878,01 12640,76 15034,36 18837,58
BHP per Cyl 1,083741 8,669932 29,261020 69,359455 135,467685 234,088159 371,723327 554,875637 790,047538 939,647223 1177,348512
Rpm 9,7% 19,5% 29,2% 38,9% 48,6% 58,4% 68,1% 77,8% 87,5% 92,8% 100,0%
BHP 0,1% 0,7% 2,4% 5,8% 11,3% 19,5% 31,0% 46,2% 65,8% 78,3% 98,1%
100
150
200
250
300
350
400
450
476,77819
514
Page 25
Engine Rpm 50
Ratio Gearbox 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929 2,929
Propeller Rps 0,284511 0,569022 0,853534 1,138045 1,422556 1,707067 1,991578 2,27609 2,560601 2,831398 2,924775
Q Service 9460,417 37841,67 85143,75 151366,7 236510,4 340575 463560,4 605466,7 766293,8 936943,6 999761,7
DHP Service 16,91859 135,3488 456,8021 1082,79 2114,824 3654,416 5803,078 8662,321 12333,66 16675,12 18379,92
BHP Service 17,6162 140,9296 475,6373 1127,437 2202,025 3805,098 6042,355 9019,492 12842,21 17362,69 19137,78
BHP per Cyl 1,101012 8,808098 29,727331 70,464785 137,626532 237,818648 377,647205 563,718276 802,637937 1085,167845 1196,111039
Rpm 9,7% 19,5% 29,2% 38,9% 48,6% 58,4% 68,1% 77,8% 87,5% 96,8% 100,0%
BHP 0,1% 0,7% 2,5% 5,9% 11,5% 19,8% 31,5% 47,0% 66,9% 90,4% 99,7%
100
150
200
250
300
350
400
450
497,58994
514
II.5.6 Membuat Engine Envelope Engine envelope yang digunakan harus sesuain dengan spesifikasi mesin yang dipilih. Data yang ada pada engine project guid mesin MAN V48 adalah :
Tabel 2.9 Data Engine Envelope
Point 1 2 3 4
85.0%
90.0%
95.0%
100.0%
105.0%
Page 26
Langkah selanjutnya adalah menggabungkan kuva yang telah dibentuk. Hasil yang penting untuk diketahui adalah titik operasi dari mesin dan baling-baling.
100.0%
90.0%
80.0%
70.0%
60.0%
50.0%
40.0% 70.0%
75.0%
80.0%
85.0%
90.0%
95.0%
100.0%
105.0%
RPM (n%)
II.5.7 Summary Berdasarkan hasil perhitungan EPM yang dilakukan, didapatkan titik operasi balingbaling 98% dan mesin 97.33% pada kondisi maksimum. Untuk hasil lebih lanjut terdapat pada tabel 2.10.
Tabel 2.10 Hasil EPM
No 1 2 3 4 5 6
Komponen Perhitungan Jenis Mesin Jenis Baling-baling Titik Operasi Baling-baling (normal operation) Titik Operasi Mesin (normal operation) Titik Operasi Baling-baling (maksimum operation) Titik Operasi Mesin (maksimum operation)
Satuan
% % % %
POWER (kW%)
Page 27
JENIS TYPE DAYA MAX JUMLAH SILINDER BORE STROKE PUTARAN SFOC
MAN B&W V48/60CR 26104,7 HP 19200 kW 16 480 mm 600 mm 514 Rpm 8,57 Rps 181 g/kWh
Page 28
II.6.2 Penetapan Gearbox REINTJES DLG110131 merupakan tipe reduction gear yang digunakan dalam sistem ini. Reduction gear ini mampu mengatasi engine yang mempunyai maximum rated power sebesar 22890 kW dengan putaran maksimum 700 rpm. Berikut dimensi dan spesifikasinya :
REDUCTION GEAR Jenis REINTJES Tipe DLG 110131 Ratio 2,929 Max. Rated power 22890 kW Max. RPM 750 rpm `II.6.3 Penetapan Tipe Propeller Propeller tipe B4-55 merupakan propeller yang akan digunakan dalam sistem propulsi ini. Setelah dilakukan engine propeller matching dengan berbagai tipe propeller, tipe inilah yang sesuai dengan engine yang telah ditetapkan. Berikut adalah spesifikasinya :
Tabel II.26. Spesifikasi Propeller
Page 29
Perhitungan poros propeller Perhitungan poros antara Perencanaan konis poros propeller Perencanaan spie poros propeller Perencanaan flens poros Perencanaan mur pengikat poros
Page 30
III.1 Perhitungan Poros Propeller Pada perhitungan poros propeller,hal yang perlu diperhatikan adalah daya perencanaan, momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan, faktor beban lentur, diameter poros yang direncanakan, dan diameter boss propeller. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang faktor-faktor diatas. III.1.1 Daya Perencanaan (Pw) Daya perencanaan yang akan digunakan dalam sistem perporosan ini harus sesuai dengan SHP yang sudah dihitung pada bab 2. Perhitungan daya perencanaan adalah sebuah tindakan koresi untuk mengindikasi adanya daya overload yang akan dialami oleh mesin selama beroperasi. Berikut adalah rumus dari daya perencanaan : Pw = fc x SHP fc SHP = Faktor koreksi daya yang ditransmisikan = Shaft horse power
Tabel 3.1 Faktor-faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan (Sularso, 1997)
(3.1)
Daya yang akan ditransmisikan Daya rata-rata yang diperlukan Daya maksimum yang diperlukan Daya normal III.1.2 Momen Puntir
Momen puntir pada poros diakibatkan dengan adanya gerakan rotasi yang bekerja sepanjang poros. Rumus dari momen puntir adalah : T = 9.74 x 105 x Pw / n n = Putaran poros (rpm) (3.2)
III.1.3 Tegangan Geser yang Diizinkan Tegangan geser maksimal yang dapat diterima oleh poros tergantung pada bahan poros yang digunakan. Ketika poros diberi puntiran dan alur pasak maka dalam perhitungannya harus dilakukan koreksi dari nilai tegangan geser yang diizinkan. Rumus dari tegangan geser yang diizinkan adalah : tA = / (Sf1 x Sf2) = Kekuatan tarik (kg/mm2) (3.3)
Sf1 = 6.0 (Bahan S-C dengan pengaruh masa, dan baja paduan) Sf2 = 1.3 3.0
III.1.4 Faktor Konsentrasi Tegangan Faktor konsentrasi tegangan merupakan faktor yang digunakan untuk mengoreksi nilai dari momen puntir. Faktor koreksi ini dinyatakan dengan Kt, dipilih sebesar 1.0 jika Bimo Wira Para (4211100055) Page 31
beban dikenakan secara halus, 1.0 1.5 jika terjadi sedikit kejutan atau tumbukan, dan 1.5 3.0 jika beban dikenakan dengan kejutan atau tumbukan yang besar. Dalam perhitungan kali ini, diambil nilai Kt sebesar 1.5 .
III.1.5 Faktor Beban Lentur Selain mengalami momen puntir, poros juga akan mengalami beban lentur. Maka dari itu nilai dari faktor beban lentur harus disertakan dalam perhitungan diameter poros yang direncanakan. Besarnya nilai dari beban lentur terlatak antara 1.2 2.3 , tetapi jika diperkirakan tidak akan terjadi momen lentur maka nilai Cb yang diambil 1.0 .
III.1.6 Diameter Poros yang Direncanakan Diameter dari poros yang direncanakan dapat diketahi apabila telah didapat nilai momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan dan faktor beban lentur. Apabila sudah didapat faktor-faktor tersebut maka dapat dihitung diameter poros yang dibutuhkan untuk menahan semua beban tersebut. Berikut adalah perhitungan diameter poros yang direncanakan : [ Kt Cb ] (3.4)
III.1.7 Diameter Boss Propeller Boss dari baling-baling harus mampu menahan putaran poros sehingga balingbaling dapat memberikan gaya dorong (thrust) yang baik pada kapal. Pembuatan boss propeller terdapat aturan tersendiri, biasanya selain mengikuti aturan klasifikasi, juga tergantung pada jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan boss itu sendiri. Berikut adalah pada Tabel 3.2 yang berisikan perhitungan dimensi boss propeller berdasarkan bahan yang digunakan. Dari data-data Tabel 3.2, dapat diketahui besarnya nilai dimensi boss propeller yang akan dirancang.
Page 32
Tabel 3.2 Perhitungan Dimensi Boss Propeller (Obrein, 1962) Material Item Manganese Bronze Lb/Ds Db/Ds Dba/Db Dbf/Db Boss Dimension Ln/Lb tb/tr rf/tr rb/tr rb/tr Tip thickness ratio t(T/D) t(T/D) t(e/d) Minimum edge Thickness ratio t(e/d) 1.8 to 2.4 1.8 to 2.0 0.85 to 0.90 1.05 to 1.10 0.3 0.75 0.75 0.75 1 0.0035 0.004 0.001 0.0015 Ni Al Bronze Cast Iron 1.8 to 2.4 1.8 to 2.0 0.85 to 0.90 1.05 to 1.10 0.3 0.75 0.75 0.75 1 0.003 0.0035 0.001 0.0015 1.8 to 2.6 1.8 to 2.4 0.85 to 0.90 1.05 to 1.10 0.3 0.75 0.75 0.75 1 0.0065 0.0075 0.002 0.0025
Page 33
III.2 Perencanaan Konis Poros Propeller Di dalam peraturan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, disebutkan bahwa key ways dari poros yang meruncing harus diatur agar kekonisan poros membentuk transisi yang gradual jika dilihat secara keseluruhan. Selain itu ujung dari key ways tersebut juga tidak boleh terlalu tajam. Pada umumnya nilai kemiringan dari kekonisan suatu poros berkisar antara 1:12 sampai dengan 1:20 dari panjang boss propeller, sehingga didapatkanlah rumus untuk mengatur kekonisan sebagai berikut : x Lb = 1/13 x Lb (3.5)
Da x
III.3 Perencanaan Spie Poros Propeller Spie atau pasak adalah baja lunak yang disisipkan antara poros dengan boss propeller agar keduanya bersatu dan mampu mentransmisikan putaran dari main engine. Pemilihan jenis pasak tergantung dari besarnya daya yang disalurkan pada bagian poros baling-baling. Dilihat dari pemasangannya, pasak dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu : pasak benam, pasak pelana, pasak bulat, pasak bintang (spline). Berikut adalah beberapa perhitungan yang digunakan untuk perencanaan spie poros propeller : T = (DHP x 75 x 60)/(2 x N) T DHP = torsi = Delivered Horse Power L = 0.75 - 1.5 x Ds L = Panjang pasak B = 25% - 35%Ds B = Lebar pasak t = 1/6 x Ds t = Tebal pasak R = 0.125 x Ds R = Radius pasak (3.11) (3.10) (3.9) (3.8) (3.7)
Page 34
Seperti yang telah diatur pada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, bahwa alur pasak pada poros yang meruncing atau membentuk konis harus dirancang sedemikian mungkin, sehingga membentuk keruncingan yang gradual. Selain itu ujung dari alur pasak tersebut juga tidak boleh terlalu tajam. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat gambar berikut :
III.4 Perencanaan Flens Poros Flens adalah suatu komponen yang digunakan untuk menyambung antar suatu poros dengan poros yang lainnya. Dalam hal ini flens biasa disebut dengan kopling. Dalam perencanaan flens poros banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan,antara lain(Sularso, 1997) : Pemasangan yang mudah dan cepat, ringkas, dan ringan Aman jika digunakan pada putaran tinggi Tahan terhadap getaran dan tumbukan Terdapat sedikit kemungkinan gerakan aksial pada poros ketika kemungkinan terjadi pemuaian. Kopling flens terdiri atas naf dengan flens yang terbuat dari besi cor atau baja cor, dan dipasang pada ujung poros dengan menggunakan baut pada flensnya. Ketebalan dari kopling flens pada intermediate dan thrust shaft pada bagian ujung depan shaft propeller minimal 20% dari diameter poros yang direncanakan(BKI,2006). Berikutadalah perhitungan yang digunakan dalam perencanaan flens poros : Sfl 20% x Ds Sfl = Ketebalan kopling (3.12)
Page 35
Db = 2.5 x Ds Db = Diameter lingkaran dalam kopling DOut = 3.5 x Ds DOut = Diameter lingkaran luar kopling L L = 5 x 0.5 x Ds
(3.13)
(3.14)
(3.15)
= Panjang kopling
III.5 Perencanaan Mur Pengikat Poros Mur pengikat poros adalah suatu komponen yang mengikat flens poros yang menghubungkan suatu poros dengan poros yang lainnya. Perhitungan ini digunakan sebagai acuan pemillihan mur dan baut yang tersedia di pasaran. Diameter mur yang dipilih tidak boleh lebih kecil dari perhitungan yang telah direncanakan. Diameter minimum (ds) baut yang dipasang di flange kopling ditentukan dengan menggunakan rumus yang telah ditetapkan. Berikut adalah perhitungan yang digunakan dalam perencanaan mur pengikat poros : ds =
(3.16)
N D Z Rm
= Putaran poros = Diameter baut yang direncanakan = Jumlah baut = Kekuatan tarik material
d 0.6 x Ds (3.17)
Do
= Tinggi mur
Page 36
III.6 Summary Untuk hasil perhitungan diatas yang akaan digunakan pada saat penggambaran dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Hasil Perhitungan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Komponen Perhitungan Daya perencanaan Momen puntir Tegangan geser Diameter poros perencanaan Diameter boss propeller Diameter boss propeller terkecil Diameter boss propeller terbesar Diameter terkecil ujung konis Panjang boss propeller Panjang lubang dalam boss Tebal sleeve Panjang konis ujung poros propeller Diameter luar ulir Diameter inti mur Diameter luar mur Tinggi mur Torsi pada pasak Panjang pasak Lebar pasak Tebal pasak Radius ujung pasak Gaya sentrifugal Penampang pasak Kedalaman alur pasak pada poros Panjang konis Panjang kopling Tebal flens Tinggi mur
Hasil 19200 kW 6 143,86x10 Kg/mm 6,042 Kg/mm2 700 mm 1260 mm 1071 mm 1323 mm 490 mm 1680 mm 504 mm 29 mm 1680 mm 420 mm 336 mm 840 mm 336 mm 69085,03 910 mm 175 mm 117 mm 88 mm 411038,1 kg 20475 mm2 58,5 mm 1050 mm 1925 mm 210 mm 55 mm
Page 37
Perencanaan tabung poros sangat dipengaruhi dengan perencanaan letak dari ceruk buritan yang telah didesain sebelumnya dalam tugas rencana garis. Dimana perencanaan ceruk buritan meliputi peletakan stern post dan AP-bulkhead. Untuk tebal dari stern-tube telah diberikan formula sebagai berikut : T = ((Ds/20) + (3 x 254/4)) (4.3)
Untuk peletakan stern-tube ditentukan minimal 3 jarak gading, dimana dalam tugas rencana garis sebelumnya ditentukan bahwa jarak gading yang berada pada bagian tersebut sebesar 600 mm. Dengan pertimbangan tertentu, dalam perencanaan ini, mengunakan 5 jarak gading, jadi didapatkanlah rumusan seperti dbawah ini : Ls = 5 x jarak gading IV.3. Perencanaan Bantalan Poros Depan Di dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 telah ditegaskan mengenai perencanaan bantalan poros depan. Perencaan poros itu sendiri bergantung pada jenis pelumasan dan bahan yang digunakan pada stern-tube. Seperti yang telah dijelaskan pada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006. Where the propeller shaft inside the stern-tube runs in oil-lubricated white metal bearings or in synthetic rubber or reinforced resin or plastic materials approved for use in oil-lubricated stern-tube (4.4)
Page 38
bearings, the lengths of the after and forward bearings should be approximately 2 x da and 0,8 x da respectively. Dijelaskan bahwa, untuk stern-tube yang terbuat dari bahan white metal bearing, synthetic rubber, reinforced resin atau material plastik diperbolehkan untuk menggunakan jenis pelumasan minyak. Sehingga berdasarkan peraturan tersebut, panjang dari perencanaan bantalan depan adalah sebagai berikut : Lsf = 0.8 x da IV.4. Perencanaan Bantalan Poros Belakang Seperti halnya dalam perencanaan bantalan poros depan, perencanaan bantalan poros belakang juga telah diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006. Dimana penentuan dari panjang bantalan juga ditinjau dari bahan dan jenis pelumasan pada stern-tube yang digunakan. Selain itu, panjang dari bantalan poros belakang juga dapat dikurangi menjadi 1.5 x da, diamana kontak beban yang dihitung pada beban statis dari propeller kurang dari 0.8 Mpa untuk stern-tube berbahan white metal bearing dan 0.6 Mpa untuk synthetic material. Persamaan untuk mencari panjang dari bantalan poros belakang (Lsa) dan juga ketebalan dari bantalan (B) itu sendiri dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 diberikan sebagai berikut : Lsa = 2 x da B = ((Ds/30) x 3.175) IV.5. Perencanaan Rumah Bantalan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perhitungan stern-tube hanya dibuat sebagai acuan saja dalam pemilihan stern-tube yang telah ada dipasaran. Oleh karena itu, perencanaan rumah bantalan pada perhitungan stern-tube tidak begitu detail dilakukan, dikarenakan nanti akan menyesuaikan dengan stern-tube yang dipilih dari pasaran tersebut. Namun dalam aturan yang ada, ketebalan minimal dari rumah bantalan tersebut adalah sebagi berikut : tb = 0.18 x Ds IV.6.Perencanaan Sistem Kekedapan Stern-tube Perencanaan sistem kekedapan stern-tube berkaitan dengan perencanaan stern-tube seal. Sistem kekedapan stern-tube itu sendiri sangatlah penting dalam sebuah pendesaianan sistem propulsi kapal. Hal itu dikarenakan jika terjadi kebocoran pada kapal yang mana disebabkan air laut masuk melalui lubang poros, maka akan sangat membahayakan komponen-komponen propulsi yang berada dalam kapal. oleh karena itu, sistem kekedapan harus benar-benar diperhitungkan dengan baik. Sistem kekedapan akan dipasang pada dua bagian, yaitu inner end dan outer end dari stern-tube. Fungsi kekedapan pada stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut ialah, mencegah masuknya air laut. Sedangkan untuk yang menggunakan sistem pelumasan minyak berfungsi untuk mencegah air laut masuk dan juga untuk mencegah minyak yang digunakan sebagai pelumas bocor keluar dari kapal. Terdapat perbedaan sistem seal antara stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut dengan pelumasan minyak. Dimana stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut menggunakan stuffing box dan gland yang konvensional pada bagian AP bulkhead. Tetapi pada stern-tube yang menggunakan peluamasan minyak umumnya menggunakan lip seal atau radial face seal ataupun keduanya. (4-8) (4-6) (4-7) (4-5)
Page 39
IV.7. Perencanaan Rope-guard Rope guard adalah suatu pengaman pada sterntube. Pada kapal, rope guard memiliki fungsi sebagai pelindung pada propeller dari benda-benda laut yang dapat enyangkut pada propeller, yang mengakibatkan turunnya daya dorong dari propeller itu sendiri. Rope guard dapat terbuat dari fiberglass ataupun metal. Rope guard yang terbuat dari fiberglass didesain menyatu dengan flat-head machine screw. Sementara rope guard yang terbuat dari metal dilas pada suatu tempat yang mana terhubung dengan flat-head machine screw. Sama halnya pada perencanaan rumah bantalan sebelumnya, rope guard tidak diperhitungkan pada perencanaan kali ini, dikarenakan nantinya pemilihan rope guard akan menjadi satu dengan pemilihan stern-tube yang ada dipasaran. Jadi desainer kapal tidak perlu terlalu memperhitungkan perencanaan rope-guard, semua sudah dilakukan oleh pabrik. IV.8. Perencanaan Sistem Pelumasan Bantalan Sistem pelumasan pada bantalan terdapat 2 jenis, yaitu pelumasan dengan air laut dan pelumasan dengan minyak. Fungsi dari pelumas itu sendiri adalah unutk mencegah pergesekan, menghindari keausan, mengurangi hilangnya tenaga, dan mengurangi timbulnya panas pada stern-tube. Dalam penentuan pemilihan jenis pelumas harus benar-benar diperhatikan, kesalahan dalam pemilihan bahan pelumasan dapat berakibat fatal karena dapat merusak komponenkomponen yang ada. Pemilihan jenis pelumasan berpengaruh pada proses perencanaan sterntube. Pada perencanaan propeller dan sistem perporosan kali ini, menggunakan sistem pelumasan minyak. Pemilihan penggunaan pelumas minyak dikarenakan, hampir semua kapal modern menggunakan pelumasan minyak. Selain itu, umur stern-tube yang menggunakan pelumasan minyak lebih lama dari pada yang menggunakan pelumasan air laut. Hal itu mungkin dikarenakan pelumasan menggunakan air laut lebih menuju pada kekorosian komponen yang ada, dari pada menggunakan pelumasan minyak. IV.9. Summary Untuk data lengkap perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komponen Perhitungan Panjang tabung poros Panjang bantalan depan Panjang bantalan belakang Tebal bantalan Jarak maksimum tiap bantalan Tebal rumah bantalan Tebal stern-tube Lebar stern-post Tebal stern-post
Page 40
LAMPIRAN
Propeller and Shaft Arrangement
Page 41
Page 42
Page 43
Page 44
Page 45
Page 46
Page 47