You are on page 1of 6

Likurai1 Untuk Sang Mempelai: Ajakan untuk Menyambut Panggilan Ibu

Yohanes Manhitu2
Pada dinding hatiku telah kupahat cinta dan kerinduan untuk ibu yang melahirkanku, untuk kekasih yang mengiringiku, dan untuk tanah yang menopangku, aku berbisik di antara tatapan mereka yang mengitariku di makam itu. (R. Fahik, novel Likurai Untuk Sang Mempelai)

PENDAHULUAN 1.1. Ajakan Ibu (Pertiwi)

Masih terngiang lirik lagu Mai fali e, sebuah lagu daerah dalam dialek Tetun (TimorLeste)3 yang masih sering dinyanyikan, terutama untuk memulihkan kepekaan terhadap panggilan ibu. Bait-bait lagu itu adalah sebagai berikut:
Mai fali e, fila fali e... Mama bolu ita fali e...2x Loro atu tun ona, fulan atu sae ona, Mama bolu ita fali e...2x

Mari kita pulang, kembali pulang... Ibu memanggil kita pulang... Mentari hampir terbenam, rembulan kan meninggi, Ibu memanggil kita pulang...

Apabila dipahami lebih luas, secara maknawi, kata ibu dalam lagu Mai fali e memiliki dua arti, baik denotatif maupun konotatif, yakni (1) wanita yang
1

Likurai adalah tarian yang dibawakan oleh para gadis sambil menabuh sejenis gendang kecil yang mirip dengan tifa di Ambon dan meliuk-liuk membentuk lingkaran. Biasanya didampingi oleh penari lelaki yang meronggeng dengan hentakan giring-giring yang berbunyi seirama dengan pukulan gendang para gadis sambil melambai-lambaikan kelewang dan sarung menghampiri wajah para gadis penari itu. Tarian ini dahulu merupakan tarian perang, didendangkan ketika menyambut para pahlawan yang kembali dari medan perang. 2 Yohanes Manhitu adalah penulis, penerjemah, peminat bahasa dan sastra, dan pengajar lepas bahasa Spanyol dan Tetun (Timor-Leste). Selain di beberapa terbitan dalam dan luar negeri, tulisantulisannya dapat dibaca di http://ymanhitu.blogspot.com dan http://ymanhitu-works.blogspot.com. Pertanyaan-pertanyaan tentang tulisan ini dapat dikirimkan ke alamat e-mail yang terdapat di http://www.facebook.com/yohanes.manhitu. 3 Tetun Nasional (bahasa Tetun: Tetun Nasionl) adalah bahasa nasional dan resmi pertama Republik Demokratik Timor-Leste. Informasi lebih lanjut tentang bahasa ini dapat diperoleh di http://ymanhitu.blogspot.com/2007/03/bahasa-tetun-bahasa-resmi-termuda-di.html.

melahirkan kita, dan (2) bumi, tanah asal, kampung halaman, atau ibu pertiwi. Dalam kaitan dengan novel Likurai Untuk Sang Mempelai, saya ingin mengajak

pembaca untuk menukik ke dalam relung arti kedua dengan bertumpu pada arti pertama, dan berusaha menemukan pesan-pesan ibu yang sepatutnya disambut. Sosok Ibu dalam Likurai Untuk Sang Mempelai

1.2.

Menurut hemat saya, dalam novel tersebut, tokoh Noy, Ina, Uku Mery, Bete Rany, dan Ibu Elis(abet), seperti Bunda Maria, siap mengulurkan tangan untuk menawarkan pertolongan guna mencapai tujuan mulia. Mereka dengan semangat keibuan menggambarkan Malaka, sosok ibu yang setiap saat rela melepas kepergian anak-anaknya dan berharap mereka bisa pulang ketika mentari hampir terbenam dan rembulan kan meninggi. Penyair Asrul Sani4 melukiskan kerelaan melepas kepergian itu dengan indah dalam penggalan sajak berikut:
Pergi ke dunia luas, anakku sayang pergi ke hidup bebas! selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinari daun-daunan dalam rimba dan padang hijau.

(Bait pertama puisi Surat dari Ibu) IBU MALAKA DAN ARTI NAMANYA Kabupaten Malaka adalah sebuah kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Belu di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan diresmikan pada tanggal 22 April 2013. Kabupaten baru ini adalah bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia, tanah air yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Jadi, Malaka pun merupakan ibu yang memanggil kita untuk turut berbakti. Tentang asal-usul Malaka, di sini saya hanya ingin mengutip arti nama Malaka, yang merupakan pijakan kisah novel ini, dari salah satu sumber pustaka yang tersedia di rak buku saya tanpa bermaksud untuk terjun ke sebuah diskursus historis yang akan menyita banyak waktu dan energi. Asal-usul nama ini sebaiknya
4

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004. Ia adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia.

dibahas pada tempat dan kesempatan lain oleh para sejarawan. A.D.M. Parera, seorang sejarawan NTT kelahiran Tubaki, dalam bukunya Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor (1994), mencatat bahwa nama tersebut muncul dari istilah Sina Mutin Malaka, yang diperkenalkan H.J. Grijzen5 pada tahun 1904. Sumber di atas mencatat bahwa ada syair adat rakyat Malaka yang dimulai dengan kata-kata paralel Hutun rai hatBobu rai hatHutun Sina MutinBobu Malaka yang berarti rakyat empat tanah suku, empat tanah rakyat Cina Putih suku Malaka (hlm. 139).

MENYAMBUT PANGGILAN IBU Tidak jarang kita mendengar ungkapan menanggapi panggilan ibu pertiwi, yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan persepsi pendengar. Tentu pembaca masih ingat bahwa pada zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, ungkapan di atas berarti menyingsingkan lengan baju dan mengangkat senjata untuk melawan dan mengusir penjajah yang semakin asyik bercokol dan mengisap darah anak negeri. Di alam kemerdekaan pun, ketika kedaulatan ibu pertiwi dirongrong, ungkapan di atas masih dihubungkan dengan aksi fisik. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan persepsi seperti itu bila disesuaikan dengan konteks zamannya. Tetapi apakah makna ungkapan tersebut hanya sebatas itu? Lalu apa yang dapat dibuat dalam menanggapi panggilan ibu pertiwi, khususnya untuk Malaka? Dalam novel Likurai Untuk Sang Mempelai, Robertus Fahik, sebagai pengarang yang lahir dari rahim Ibu Malaka dan berjuang untuk tidak tur ema rain sia, toman be toman. Toman nodi nalua, rai tur fatik6, menawarkan beberapa aksi berikut ini untuk menanggapi panggilan keibuan tersebut: 1. Mengenal lorong-lorong wilayah, dalam hal ini persada Malaka. Aksi ini bisa dilakukan dengan perjalanan keliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Aksi ini penting untuk mengenal potensi daerah dan berinteraksi secara aktif dengan warga di setiap tempat yang didatangi. Ini adalah

H.J. Grijzen adalah kontrolir di Belu yang pada tahun 1904 pernah menulis bahwa leluhur orang Belu berasal dari Sina Mutin Malaka, bukan dari Seram, seperti yang ditulis Heijmering (1874). 6 Pantun Tetun Belu, artinya berdiam di tanah orang dan menjadi betah; betah sehingga lupa akan tanah asal sendiri.

sebuah cara untuk menabur benih cinta dan kerinduan di ladang hati , suatu ungkapan indah yang digunakan oleh sang penulis novel. 2. Bersyukur atas karya Pencipta. Setiap keindahan pada tubuh ibu pertiwi, seperti pantai-pantai indah di Malaka, adalah karya agung Sang Percipta. Dengan mensyukuri karya Pencipta, kita semakin mengenal-Nya. 3. Mengenal, menghargai, dan melestarikan nilai agama dan filsafat. Dalam novel ini digambarkan betapa tokoh aku mengenal, mengharga i, dan mengangkat nilai-nilai budaya masyarakat setempat (kearifan lokal) dan menggunakannya sebagai modal untuk ikut membangun Tanah Malaka yang menopangnya. Si aku adalah seorang penganut Katolik dan akrab dengan filsafat Yunani, terutama buah pikiran Plato, namun ia tetap memberikan ruang dan menaruh hormat kepada kearifan lokal. 4. Mendayagunakan pendidikan dan kesenian. Tokoh aku adalah seorang guru yang percaya bahwa pendidikan adalah cara yang ampuh untuk melakukan perubahan. Ini mengingatkan kita kepada kata-kata Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.7 Sebagai seorang penyair, tokoh aku

mendayagunakan sastra, baik tradisional maupun modern, untuk menunjang perjuangannya sebagai manek (k)mesak Malaka. Berpuisi menjadi sebuah caranya untuk berbagi dengan sesama. Tampaknya ia yakin bahwa sastra (puisi), merupakan salah satu jalan menuju kebenaran. 5. Peduli terhadap kelestarian alam. Hal ini digambarkan dengan kepedulian tokoh aku terhadap hutan We Mer dan juga penyesalannya atas kebiasaannya berburu dengan teman-temannya pada masa kecil. 6. Tidak mengenal kata menyerah dan berani berbeda dengan orang lain. Tokoh aku dalam novel ini menunjukkan sebuah contoh yang baik tentang hal tersebut. Jelas bahwa tidak ada keberhasilan sesungguhnya
7

Dikutip dari Top 20 inspirational quotes by Nelson Mandela di http://www.dnaindia.com/world/report-top-20-inspirational-quotes-by-nelson-mandela-1854081. Artinya, Pendidikan adalah senjata terampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia. (Terjemahan penulis)

yang diperoleh dengan jalan pintas dan gratis. Keputusan beberapa tokoh dalam novel ini untuk ikut membangun Malaka sesuai dengan apa yang bisa mereka berikan (misalnya dengan membuat usaha makanan khas daerah, membuka kursus bahasa asing, dll.) menunjukkan keberanian mereka untuk tidak melihat ke satu arah peluang saja. Sungguh, ini adalah perspektif yang harus disuburkan agar para penerus bangsa, terutama yang berasal dari dan akan pulang ke Malaka, sejak dini menempa diri menjadi sosok-sosok yang lihai menangkap bola peluang untuk mampu bersaing dalam kompetisi global yang semakin ketat. 7. Menghargai pluralitas dan berperilaku humanis dalam kehidupan bermasyarakat. Kehadiran tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama Bakri dan Akeu, menunjukkan bahwa kesediaan untuk menghargai

keberagaman Indonesia, terutama di Malaka, sebagaimana yang ditanamkan para pendiri bangsa Indonesia, adalah modal pembangunan dari masa ke masa. Kepedulian terhadap nasib para korban banjir Sungai Benenai dan orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi dalam novel ini pun menunjukkan rasa kemanusiaan yang tak boleh sirna.

KESIMPULAN Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa: (1) Novel Likurai Untuk Sang Mempelai adalah karya yang mengandung ajakan bersahabat kepada kita untuk kembali ke akar/jati diri; (2) Malaka yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia adalah ibu yang melepas kepergian dan memanggil kembali anak-anaknya; (3) Setiap orang, seperti tokoh aku dan para sahabat setianya dalam novel ini, dapat menyumbangkan sesuatu demi kemajuan kampung halamannya, sesuai dengan kemampuannya; (4) Seperti seorang ibu, tanah air atau kampung halaman harus dibangun dengan semangat kebersamaan dalam keberagaman untuk kebaikan bersama; dan (5) Bahasa dan sastra daerah sebagai suara ibu yang juga memanggil perlu terus-menerus didengungkan sebagai salah satu identitas budaya yang ikut membentuk mosaik kebudayaan Indonesia. 5

DAFTAR PUSTAKA

Buku Manhitu, Yohanes. 2007. Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia. Edisi I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ---------. Kamus Ensiklopedis Timor. Dari Barat ke Timur dalam Urutan Aksara. Sebuah kamus dalam proses penyusunan dan perampungan. Parera, ADM, dan (editor) Gregor Neonbasu. 1994. Sejarah Pemerintahan RajaRaja Timor. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Schulte Nordholt, H.G. 1971. The Political System of the Atoni of Timor. Den Haag: Martinus Nijhoff Seran, Julius Bria. 1986. Pantun Bahasa Tetun Timor. Kupang: Penerbit Yayasan Oemata Honis Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka Un Bria, Florens Maxi. 2004. The Way to Happiness of Belu People, Jalan Menuju Kebahagiaan Perspektif Orang Belu. Edisi I. Jakarta: Caritas Publishing House

Situs dan Blog Asrul Sani <http://id.wikipedia.org/wiki/Asrul_Sani> Diakses pada tanggal 29 November 2013 Manhitu, Yohanes. 2007. Surat dari Ibu: Versi Indonesia dan Esperanto. <http://ymanhitu.blogspot.com/2007/03/surat-dari-ibu-versi-indonesiadan.html> Diakses pada tanggal 29 November 2013 Mathias, Michell. Top 20 inspirational quotes by Nelson Mandela.

<http://www.dnaindia.com/world/report-top-20-inspirational-quotes-bynelson-mandela-1854081>. Diakses pada tanggal 29 November 2013

You might also like