You are on page 1of 71

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 53 58 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.

56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Polimorfisme Gen Growth Hormone dan Hubungannya dengan Sifat Pertumbuhan Sapi Silangan Peranakan Ongole dan Simmental
(Polymorphism of the Growth Hormone Gene and its Association with Growth Traits in Ongole Grade Crossed with Simmental Cattle)
Muhamad Affan Muin1* , Maria Astuti 2 , Muladno3 , Tridjoko Wisnu Murti2 , dan Wayan Tunas Artama 4
1 2 3

Fakultas Fakultas Fakultas 4 Fakultas

Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua, Manokwari 98314 Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

ABSTRACT : The present study was conducted to detect polymorphism of growth hormone (GH) gene in Ongole grade crossed with Simmental bull (SIMPO) and its association with growth traits. Blood samples of 62 cattle were taken from population of SIMPO cattle were located in the sub-province region of Bantul, Special Region of Yogyakarta. A 211 bp fragment of GH gene spanning from the forth intron region (49 bp) to fifth of exon (162 bp) was amplified and digested with AluI restriction enzyme to identified polymorphism at this locus. The resulted indicated that two genotypes LL and LV were found at the GH gene in SIMPO population cattle. The frequencies of L and V alleles were 0.82 and 0.18, respectively. In SIMPO calves, the average birth weight, 2 months body weight and daily body weight gains of LV genotypes were tend to higher than that of LL genotypes. Key Words : Gene, growth hormone, polymorphism, cattle, SIMPO

Pendahuluan
Pertumbuhan pada sapi dikendalikan oleh sistem yang kompleks, dengan somatotropic axis memainkan peranan penting. Gen-gen yang menjalankan somatotropic axis bertanggung jawab terhadap pertumbuhan postnatal, terutama growth hormone (GH) yang beraksi terhadap pertumbuhan tulang dan otot (Sellier, 2000). Growth hormone sapi tersusun atas 191 asam amino, disandi oleh suatu gen pada kromosom 19 (Hediger et al., 1990), dan mengandung 1800 bp dengan lima exon (Woychick et al., 1982; Gordon et al., 1983). Polimorfisme gen GH sapi ditemukan pada exon ke-5 yang menyebabkan munculnya dua bentuk GH (Lucy et al., 1991). Variasi gen GH ini disebabkan oleh substitusi sebuah nukleotida, sitosin (C) dengan guanin (G), sehingga mengakibatkan perubahan urutan asam amino dari leusin (Leu): CTG (alel L) menjadi valin (Val): GTG (alel V) pada posisi 127 (Zhang et al., 1992). Beberapa penelitian terdahulu menemukan gen GH sebagian besar bangsa sapi bersifat polimorfik dengan frekuensi alel L umumnya lebih tinggi dari
*

Korespondensi penulis utama : e-mail muinpa@yahoo.co.id

alel V, serta sifat polimorfik tersebut dilaporkan berhubungan dengan aspek pertumbuhan (Reis et al. , 2001; Grochowska et al. , 2001; Vasconcellos et al. , 2003; Schlee et al., 1994 a ; 1994 b ; Chrenek et al., 1998; Andrzej et al., 2004; Moody et al., 1996; Marshall dan Kim, 2000; Pal et al., 2004), walaupun pola dan derajat hubungan tersebut tidak selalu sama diantara bangsa-bangsa sapi yang dilaporkan, bahkan ada pula yang tidak menemukan hubungan polimorfisme GH dengan aspek pertumbuhan (Kratochvilova et al., 2000). Hanya beberapa bangsa sapi dilaporkan memiliki gen GH tidak polimorfik, seperti pada bangsa sapi Tharparkar (Biswas et al., 2003), Nellore, Gyr dan Guzerath (Vasconcellos et al., 2003). Sapi Peranakan Ongole (Bos indicus) atau sapi PO, dalam 10 tahun terakhir ini banyak disilangkan dengan pejantan unggul bangsa Simmental ( Bos taurus), dengan tujuan untuk menghasilkan bangsa sapi potong baru (SIMPO, Simmental x PO) yang lebih unggul sebagai sapi penghasil daging. Evaluasi aspek genetik pertumbuhan sapi silangan tersebut sangat diperlukan, sehingga kedepan praktek persilangan tersebut diharapkan menjadi lebih terarah. Penelitian ini bertujuan mengungkap polimorfisme gen GH pada populasi sapi SIMPO

53

56

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 53 - 58

serta mempelajari pertumbuhan.

hubungannya

dengan

sifat

Metode Penelitian
Sampel Darah dan Isolasi DNA Sebanyak 62 pedet SIMPO yang dilahirkan dari 62 induk sapi PO dibawah tatalaksana pemeliharaan tradisional yang relatif seragam di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, digunakan sebagai materi dalam penelitian ini. Ke62 pedet SIMPO tersebut diambil sampel darahnya dari vena jugularis ( 3 ml/ekor), kemudian ditampung dalam tabung steril berisi zat antikoagulan (K 3 EDTA), dan dibawa ke Pusat Studi Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada, untuk keperluan analisis DNA. Isolasi DNA genom dari sampel darah menggunakan metode ekstraksi phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989). Amplifikasi DNA Fragmen DNA spesifik gen GH sapi-sapi penelitian, berukuran 211 bp, merentang dari daerah intron 4 (49 bp) ke exon 5 (162 bp), diamplifikasi dengan sepasang primer, yaitu GHF ( forward ): 5GCTGCTCCTGAGGGCCCTTC-3, dan GHR ( reverse ): 5-CATGACCCTCAGGTACGTCTCCG3 (Reis et al., 2001). Proses amplifikasi diawali dengan menambahkan 19 l dH 2 O, 2 l larutan DNA (50 ng) dan sepasang primer masing-masing 2 l (16 pmol) ke dalam tabung 0,2 ml Ready-ToGo TM PCR Bead (Amersham Biosciences). Amplifikasi menggunakan mesin Thermal Cycler , dengan kondisi denaturasi awal 95 0C selama 5 menit, dilanjutkan amplifikasi sebanyak 35 siklus dengan program setiap siklus sebagai berikut: denaturasi 95 0 C selama 30 detik, annealing 65 0C selama 30 detik, ekstensi 72 0 C selama 30 detik. Tahap terakhir amplifikasi adalah ekstra ekstensi pada 72 0 C selama 5 menit. Digesti Produk PCR Produk PCR berupa hasil amplifikasi fragmen DNA spesifik (211 bp) dari gen GH, didigesti dengan enzim restriksi Alu I ( Arthrobacter luteus). Urutan sekuen dan tempat pemotongan Alu I adalah 5-AG|CT-3. Proses digesti diawali dengan mencampur 10 l produk PCR, 2 l 10X L buffer dan 0,5 l enzim Alu I (10 unit/ l) ke dalam tabung ependorf 1,5 ml, lalu ditambahkan dH 2 O hingga 20 l. Campuran ini diinkubasi pada 37 oC selama 2

jam. Produk digesti yang diperoleh dielektroforesis pada gel agarose 2% mengandung etidium bromida dalam bufer TBE. Produk digesti diambil 5 l dan dicampur 2 l loading bufer , lalu dimasukkan ke sumuran gel. Running gel dilakukan pada tegangan 100 volt selama 30 menit dengan melibatkan marker DNA. Hasil elektroforesis diperiksa di bawah sinar ultraviolet, lalu difoto dengan kamera polaroid. Identifikasi Genotipe dan Sekuensing DNA Identifikasi genotipe dilakukan dengan membandingkan pola pita hasil elektroforesis setiap sampel terhadap pita marker DNA. Pada GH sapi, genotipe VV ditunjukkan oleh satu pita: 211 bp, genotipe LV oleh tiga pita: 211 bp, 159 bp, dan 52 bp, dan genotipe LL oleh dua pita: 159 bp dan 52 bp (Reis et al., 2001). Hasil identifikasi genotipe seluruh sampel, dihitung frekuensi alel dan genotipenya. Bila frekuensi alel terbanyak yang ditemukan tidak melebihi 0,99, maka gen tersebut dikategorikan sebagai gen polimorfik. Sekuensing DNA dilakukan terhadap alel-alel yang ditemukan dalam penelitian ini di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta. Pendataan Aspek Pertumbuhan Pendataan bobot badan dilakukan pada pedet yang baru dilahirkan dalam kurun waktu tidak melebihi 24 jam, dan pada saat pedet berumur 2 bulan (60 hari), kemudian pertambahan bobot badan (g/hari) dihitung berdasarkan dua peubah tersebut. Selain itu dicatat pula jenis kelamin pedet dan paritas induknya. Analisis Data Efek genotipe terhadap pertumbuhan sapi penelitian dipelajari dengan analisis kovariansi; jenis kelamin dan paritas digunakan sebagai kovariabel. Pada variabel pertambahan bobot badan, selain jenis kelamin dan paritas, bobot lahir pedet digunakan juga sebagai kovariabel. Analisis data menggunakan prosedur General Linear Model pada program MINITAB for Windows .

Hasil dan Pembahasan


Identifikasi Genotipe GH
Fragmen DNA spesifik gen GH berukuran 211 bp yang mengandung daerah polimorfik, telah berhasil diamplifikasi dari DNA genom sapi-sapi penelitian menggunakan primer GHF dan GHR.

Polimorfisme Gen Growth ( Muin et al.)

57

Hasil digesti terhadap produk PCR dengan Alu I (5AG|CT-3) pada seluruh sampel menghasilkan dua macam alel: L dan V. Alel L ditunjukkan oleh berhasilnya AluI menemukan sekuen DNA yang dikenal disepanjang produk PCR dan berhasil memotongnya menjadi dua fragmen berukuran 159 bp dan 52 bp. Hasil sekuensing DNA (Tabel 1) memperlihatkan bahwa berhasilnya Alu I menemukan sekuen yang dikenali ini disebabkan sekuen DNA tempat pemotongan tersebut tidak mengalami mutasi. Tidak adanya mutasi pada tempat pemotongan tersebut menunjukkan bahwa urutan kodon triplet yang terbentuk adalah CTG yang menyandi asam amino leusin (Leu) pada posisi 127 dari polipeptida GH (Woychick et al. , 1982). Sebaliknya, alel V ditunjukkan dengan gagalnya Alu I menemukan sekuen DNA yang dikenali disepanjang produk PCR sehingga gagal memotongnya. Akibatnya ukuran produk PCR sebelum dan sesudah didigesti dengan Alu I tetap sama, yaitu 211 bp. Tabel 1 memperlihatkan bahwa gagalnya Alu I menemukan sekuen DNA yang dikenali disebabkan tempat pemotongan enzim tersebut mengalami mutasi dari nukleotida C menjadi G sehingga sekuen pemotongan berubah dari AGCT menjadi AGGT. Akibat mutasi ini menyebabkan urutan kodon triplet yang terbentuk menjadi GTG yaitu menjadi asam amino valin ( Val) pada posisi 127 dari urutan polipeptida GH (Zhang et al. , 1992). Sebagaimana diketahui bahwa gen GH pada sapi merupakan fragmen dari DNA genom dan tersimpan dalam kromosom yang terdapat dalam inti sel. Setiap sel tubuh individu eukariot (sapi) mengandung dua perangkat kromosom yang disebut diploid (2n). Bila Alu I menemukan tempat pemotongan DNA pada kedua perangkat kromosom yang terdapat dalam produk PCR, maka keduanya akan dipotong sehingga menghasilkan dua alel L; individu demikian digolongkan bergenotipe LL (homosigot). Bila Alu I menemukan tempat pemotongan DNA hanya pada salah satu dari dua perangkat kromosom yang terdapat dalam produk PCR, maka hanya kromosom yang memiliki tempat pemotongan Alu I yang dipotong, sedangkan kromosom satunya yang tidak memiliki tempat pemotongan Alu I tidak dipotong, sehingga menghasilkan satu alel L dan satu alel V; individu demikian digolongkan bergenotipe LV (heterosigot). Namun, bila Alu I tidak menemukan sekuen DNA tempat pemotongan pada kedua perangkat kromosom dalam produk PCR, maka keduanya tidak

dipotong. Akibatnya perlakuan digesti tersebut menghasilkan dua alel V; individu demikian digolongkan bergenotipe VV (homosigot). Individu bergenotipe VV tidak ditemukan pada sapi-sapi penelitian ini. Gambar 1 memperlihatkan genotipe GH yang ditemukan pada sapi-sapi penelitian. Hasil identifikasi genotipe GH terhadap 62 pedet SIMPO yang dilahirkan oleh induk sapi PO tersebut, ditemukan 40 pedet bergenotipe LL dan 22 pedet bergenotipe LV. Frekuensi alel L dan V yang ditemukan pada populasi sapi SIMPO penelitian sebesar 0,82 dan 0,18. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen GH pada populasi sapi SIMPO penelitian bersifat polimorfik. Dalam penelitian terdahulu ditemukan bahwa sebagian besar (97,70%) sapi PO di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta bergenotipe LL, dan hanya 2,30% (1 ekor) yang bergenotipe LV (Muin et al., 2006). Sedangkan dalam penelitian ini, sapi SIMPO ditemukan memiliki alel V dengan frekuensi yang cukup tinggi (0,18). Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi migrasi alel V yang mencolok dari Bos taurus pada sapi SIMPO. Berdasarkan kedua penelitian tersebut, maka diduga sebagian besar pejantan Simmental yang digunakan untuk membentuk sapi SIMPO adalah bergenotipe LV. Penelitian terdahulu menemukan frekuensi alel V pada sapi Simmental mencapai 0,18 (Regitano et al., 2000 dalam Vasconcellos et al., 2003) sampai 0,29 (Schlee et al. , 1994 b ). Keberhasilan mengungkap sifat polimorfik gen GH pada bangsa sapi SIMPO ini berarti efeknya terhadap sifat-sifat pertumbuhan dapat dipelajari.
1 2 3 4 5 6 7 8

300 bp 200 bp

211 bp 159 bp 52 bp

M P LL LL LL LV LV LV Gambar 1. PCR-RFLP AluI Gen GH Sapi SIMPO Lajur 1 = Marker DNA (50 bp hingga 10.000 bp); lajur 2 = Produk PCR (211 bp); lajur 3, 4, dan 5 = Genotipe LL (159 bp dan 52 bp); lajur 6, 7, dan 8 = Genotipe LV (211 bp, 159 bp dan 52 bp).

56

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 53 - 58

Efek Genotipe GH terhadap Pertumbuhan


Rata-rata aspek pertumbuhan yang diamati (bobot lahir, bobot badan umur 2 bulan dan pertambahan bobot badan harian) berdasarkan genotipe GH pedet SIMPO yang ditemukan dalam penelitian ini serta hasil analisis statistiknya, disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan analisis kovariansi, efek genotipe GH terhadap aspek pertumbuhan pedet SIMPO menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (P>0,05). Beberapa kemungkinan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan ditemukannya perbedaan yang tidak signifikan tersebut adalah bahwa data aspek pertumbuhan sapi SIMPO secara langsung diperoleh di tingkat peternak, sehingga dimungkinkan ada faktor-faktor lain selain genotipe GH yang ikut berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan. Beberapa

faktor non genetik yang dicurigai ikut berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan, seperti jenis kelamin pedet dan paritas, dilibatkan dalam model statistika sebagai kovariabel sehingga data pertumbuhan yang diamati akan dikoreksi terhadap pengaruh variabelvariabel tersebut. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan ada faktor lain yang luput atau sulit dieliminasi pada penelitian ditingkat peternak, misalnya faktor pakan, meski dalam penelitian ini telah dilakukan antisipasi terhadap munculnya keragaman dalam faktor pakan dengan menggunakan sapi-sapi penelitian milik peternak rakyat tradisional yang relatif sama dalam tatalaksana pemberian pakannya. Oleh karena itu, disarankan penelitian serupa perlu dilakukan pada tingkat stasiun percobaan.

Tabel 1. Urutan 211 bp nukleotida hasil sekuensing Alel L 1) dan Alel V2) pada gen GH sapi SIMPO
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 GCTGCTCCTG AGGGCCCTTC GGCCTCTCTG TCTCTCCCTC CCTTGGCAGG AGC AGCTGGAAGA GCTGCTCCTG AGGGCCCTTC GGCCTCTCTG TCTCTCCCTC CCTTGGCAGG AGG AGGTGGAAGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 TGGCACCCCC CGGGCTGGGC AGATCCTCAA GCAGACCTAT GACAAATTTG ACACAAACAT TGGCACCCCC CGGGCTGGGC AGATCCTCAA GCAGACCTAT GACAAATTTG ACACAAACAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 145 GCGCAGTGAC GACGCGCTGC TCAAGAACTA CGGTCTGCTC TCCTGCTTCC GGAAGGACCT GCGCAGTGAC GACGCGCTGC TCAAGAACTA CGGTCTGCTC TCCTGCTTCC GGAAGGACCT ....|....| 185 GCATAAGACG GCATAAGACG ....|....| 195 GAGACGTACC GAGACGTACC ....|....| ....|....| 205 TGAGGGTCAT TGAGGGTCAT . G G

Alel L Alel V

Alel L Alel V

Alel L Alel V

Alel L Alel V
1) 2)

Alel L mengandung nukleotida C pada urutan ke-53 Alel V mengandung nukleotida G pada urutan ke-53

Tabel 2. Efek genotipe GH terhadap aspek pertumbuhan sapi SIMPO Aspek Pertumbuhan Bobot lahir (kg) Bobot badan umur 60 hari (kg) Petambahan bobot badan (g/hari)
P = Probabilitas

Genotipe LL LV 32,15 3,97 (n=40) 34,36 4,95 (n=22) 75,57 10,29 (n=37) 78,50 9,05 (n=22) 670,80 137,50 (n=37) 735,60 94,00 (n=22)

P 0,108 0,064 0,187

Polimorfisme Gen Growth ( Muin et al.)

57

Terlepas dari alasan tersebut, data aspek pertumbuhan sapi SIMPO (Tabel 2), secara rata-rata memperlihatkan bahwa pedet bergenotipe LV memiliki pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan pedet bergenotipe LL. Hasil penelitian senada juga pernah dilaporkan sebelumnya terhadap nilai pemuliaan pertambahan bobot badan pada pejantan Simmental (Schlee et al., 1994 a ), bobot badan pada pejantan Simmental (Chrenek et al., 1998), bobot badan pada pejantan muda dari bangsa sapi Friesian (Andrzej et al., 2004), pertambahan bobot badan sejak lahir hingga umur 180 hari pada sapi Hereford (Moody et al., 1996), dan konsentrasi GH dalam plasma darah pada sapi muda bangsa Polish Friesian (Grochowska et al., 2001). Walaupun ada beberapa peneliti lain menemukan sapi genotipe LL memiliki performans pertumbuhan lebih baik dibandingkan sapi bergenotipe LV, seperti yang dilaporkan Schlee et al. (1994 b) bahwa sapi GBW ( German Black and White) jantan, sapi BTB (Baharian and Tyrolean Brown) dan sapi Simmental jantan yang bergenotipe LL memiliki konsentrasi GH lebih tinggi dibandingkan yang bergenotipe LV. Pengamatan Marshall dan Kim (2000) terhadap polimorfisme gen GH pada pedet-pedet hasil silangan Angus x Hereford, Simmental x Hereford, dan Tarentaise x Hereford, juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini ternyata ditemukan hubungan bobot sapih pedet dengan jumlah alel L. Pal et al. (2004) juga menemukan bahwa bobot lahir, bobot badan umur 3 bulan dan pertambahan bobot badan harian pedet Karan Fries jantan bergenotipe LL secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sapi bergenotipe LV. Dilain pihak, Kratochvilova et al. (2000) tidak menemukan hubungan antara polimorfisme gen GH dengan pertumbuhan pada sapi Holstein. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dan juga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belum didapat kesepakatan untuk merekomendasikan secara tegas hubungan polimorfisme gen GH pada sapi dengan aspek pertumbuhannya. Kedepan, perlu dikaji pula kemungkinan adanya interaksi antara bangsa, genotipe GH dan kondisi lingkungan pemeliharaan sapi.

Daftar Pustaka
Andrzej, MAJ., O.P.D. Jolanta, O.P.D. Artur, D.Y. Edward and Z.W. Lech, 2004. Polymorphism in the 5-noncoding region of the bovine growth hormone receptor gene and its association with meat production traits in cattle. Animal Res . 53: 503 514. Biswas, T.K., T.K. Bhattacharya, A.D. Narayan, S. Badola, P. Kumar and A. Sharma, 2003. Growth hormone gene polymorphism and its effect on birth weight in cattle and buffalo. Asian-Australian Journal Animal Science 16(4): 494-497. Chrenek, P., J. Kmet, T. Sakowski, T. Vasicek, J. Huba and J. Chrenek, 1998. Relationships of growth hormone genotype with meat production traits of Slovak Pied Bulls. Czech Journal Animal Science 43(12): 541-544. Gordon, D.F., D.P. Quick, C.R. Erwin, J.E. Donelson and R.A. Maurer, 1983. Nucleotide sequence of the bovine growth hormone chromosomal gene. Molecular and Cellular Endocrinology 33(1): 8195. Grochowska, R., P. Sorensen, L. Zwierzchowski, M. Snochowski and P. Lovendah, 2001. Genetic variation in stimulated GH release and in IGF-I of young dairy cattle and their associations with the Leucine/Valine polymorphism in the GH gene. Journal Animal Science 79: 450 - 476. Hediger, R., S.E. Johnson, W. Barendse, R.E. Drinkwater, S.S. Moore and J. Hetzel, 1990. Assigment of the GH gene locus to 19q26qter in cattle and to 11q25qter in sheep by in situ hybridization. Genomic 8: 171-174. Kratochvilova, M., F. Nespor and F. Urban, 2000. Alu I growth hormone gene polymorphism, lifetime growth parameters and milk production in Holstein cattle. 51 st Annual meeting of the European Association for Animal Production (21-24 August 2000) , The Hague, The Netherlands. Lucy, M.C., S.D. Hauser, P.J. Eppard, G.G. Krivi and R.J. Collier, 1991. Genetic polymorphism within the bovine somatotropin (bST) gene detected by polymerase chain reaction and endonuclease digestion. Journal Dairy Science 74 (Suppl.1): 284 (Abstr.). Marshall, D.M. and J. Kim, 2000. Associations of beef production traits with polymorphism in the growth hormone gene and insulin-like growth factor-1 gene. http://ars.sdstate.edu/BeefExt/BeefReport/ 2000/ascbeef_production.htm. [16 Mei 2004].

Kesimpulan
Polimorfisme gen GH ditemukan pada bangsa sapi silangan Peranakan Ongole dan Simmental (SIMPO). Pedet SIMPO bergenotipe LV cenderung memiliki pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan pedet bergenotipe LL.

56

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 53 - 58

Moody, D.E., D. Pomp, S. Newman and M.D. MacNeil, 1996. Characterization of DNA polymorphism in three populations of Hereford cattle and their associations with growth and maternal EPD in line 1 Hereford. Journal Animal Science 74: 1784-1793. Muin, M.A., M. Astuti, Muladno, T.W. Murti, and W.T. Artama, 2006. Polymorphism of growth hormone gene in Indonesian cattles. In: Animal Production and Sustainable Agriculture in the Tropic. Proceedings of The 4 th International Seminar on Tropical Animal Production . November 8-9, 2006. Faculty of Animal Science, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. 84-89. Pal, A., A.K. Chakravarty, T.K. Bhattacharya, B.K. Joshi and A. Sharma, 2004. Detection of polymorphism of growth hormone gene for the analysis of relationship between allele type and growth traits in Karan Fries Cattle. Asian-Australian Journal Animal Science. 17(10): 1334-1337. Reis, C., D. Navas, M. Pereira and A. Cravador, 2001. Growth hormone Alu I polymorphism analysis in eight Portuguese bovine breeds. Arch. Zootec . 50: 41-48. Sambrook, J., Fritcsh and T. Maniatis, 1989. Molecular Cloning Laboratory Manual. Second Edition, Vol. 3. Cold Spring Harbor Laboratory Press. USA.

Schlee, P., R. Graml, O. Rottmann and F. Pirchner, 1994 a. Influence of growth hormone genotypes on breeding values of Simmental bulls. Journal Animal Breed Genet 111: 253-256. Schlee, P., R. Graml, E. Schallenberger, D. Schams, O. Rottmann, A. Olbrich-Bludau and F. Pirchner, 1994 b . Growth hormone and insulin-like growth factor I concentrations in bulls of various growth hormone genotypes. Theor Appl Genet. 88:497-500. Sellier, P., 2000. Genetically caused retarded growth in animals. Domestic Animal Endocrinol. 19: 105-119. Vasconcellos, L.P.M.K., D.T. Talhari, A.P. Pereira, L.L. Coutinho, L.C.A. Regitano, 2003. Genetic characterization of Aberdeen Angus cattle using molecular markers. http://www.scielo.br/ scielo.php?script=sciarttex&pid=S1415457200300 0200005&Ing=en&nrm=iso. [3 Oktober 2003]. Woychick, R.P., S.A. Camper, R.H. Lyons, S. Horowitz, E.C. Goodwin and F.M. Rottman, 1982. Cloning and nucleotide sequencing of the bovine growth hormone gene. Nucleic Acids Research 10 (22): 7197-7210. Zhang, H.M., D.R. Brown, S.K. Denise and R.L. Ax, 1992. Nucleotide sequence determination of a bovine somatotropin allele. Animal Genet. 23: 578.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 59 66 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Pengaruh Hormon Testosteron dan Umur terhadap Perkembangan Otot pada Kambing Kacang Betina
(The Effect of Testosterone Hormone and Age on Muscle Development of Kacang Doe)
Didik Rudiono*
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Lampung 35145

ABSTRACT: A total of 40 Kacang does with average initial body weight (BW) of 10.2 kg were used in factorial experiment (4x2) based on completely randomized design (CRD) to determine muscle development. The first factor was the doses of testosterone consisted of four levels, i.e.: control (t0); 0.77 (t1); 1.54 (t2); and 2.31 (t3) mg/kg BW. The second factor was the age of does, i.e.: 7-8 month (u1) and 9-12 month (u2). So that there were eight combinations of treatments, each was replicated five times. Animals in treatment group were injected with testosterone propionate (TP) weekly for 90 days. They were fed on ration to gain 50 g/day. Variables observed were the number of fibril in longissimus dorsi and rectus femoris (pc/100), the weight of longissimus dorsi and rectus femoris muscles, and Loin Eye Area (cm2). There was significant interaction between doses and age on the fibril number of longissimus dorsi and rectus femoris muscle, and also Loin Eye Area. The best result was showed by the combination treatment of t1 and u1. Testosterone propionate injection did not significantly affect the weight of longissimus dorsi and rectus femoris muscles. Meanwhile, age significantly influenced weight of longissimus dorsi muscle only. In conclusion, injection of 0.77 mg/kg BW/day TP to does with 7-8 month of age showed the best result on muscle mass. Key Words : Kacang doe, testosterone hormone, chronological age, muscle development

Pendahuluan
Kambing Kacang diharapkan mampu berperan besar dalam penyediaan daging di Indonesia. Peran ini dimungkinkan karena kambing Kacang mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan sangat baik, mampu menggunakan pakan berkualitas rendah, dan pada betina mampu menghasilkan daging berkualitas baik dengan persentase karkas tinggi. Kendala utama pemanfaatan kambing Kacang betina bukan bibit sebagai penghasil daging adalah keraguan mengenai kemampuan kambing Kacang untuk memberikan respon terhadap masukan teknologi. Salah satu alternatif untuk meningkatkan dan memacu produktivitas kambing Kacang adalah menggunakan hormon testosteron. Alternatif ini perlu untuk dikembangkan mengingat beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya efek negatif penggunaan hormon testosteron (Heitzmann, 1983; Lamming, 1989; Bradlow et al., 1996). Namun sampai saat ini belum diketahui dengan jelas respon kambing lokal terhadap pemberian anabolik steroid, terutama dari sisi perkembangan perototan.
* Korespondensi penulis utama : Jl. Laks. Malahayati, Kel. Talang Rt.08/Rw.03 No.7, Kompleks SMP 6. Bandar Lampung 35229. Telp.0721-481744.

Dengan demikian berbagai masalah yang berkaitan dengan penggunaan anabolik steroid pada kambing lokal, seperti kambing Kacang, menjadi penting untuk diungkapkan. Respon terhadap pemberian hormon testosteron berkaitan erat dengan dosis yang diberikan, sementara dosis testosteron yang dianjurkan sangat bervariasi, baik antar peneliti maupun antar produsen. Penentuan dosis tersebut dipengaruhi oleh kadar fisiologis hormon pada suatu spesies, sedangkan variasi dalam spesies dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status reproduksi, jenis organ, dan musim. Penelitian bertujuan untuk menguji pengaruh berbagai dosis hormon dan umur terhadap perkembangan otot pada kambing Kacang betina. Hipotesis yang disusun adalah, bahwa sampai suatu level tertentu, pemberian hormon testosteron akan memberikan hasil positif terhadap perkembangan otot pada kambing Kacang betina.

Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 4x2. Dosis hormon testosteron sebagai faktor pertama dan umur sebagai faktor kedua. Testosteron disusun menjadi 4 tingkat, yakni: kontrol (t0); 0,77 (t1); 1,54 (t2); dan 2,31 (t3) mg/kg BB. Umur

59

66

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 59 - 66

dibedakan menjadi 2 tingkat, yakni: umur 7-8 bulan (u1) dan umur 9-12 bulan (u2) mengacu ke metode Blakely dan Bade (1994). Penyuntikan dilakukan setiap minggu secara i.m pada daerah femur, bergantian antara femur kanan dengan femur kiri. Penyuntikan dihentikan 7 hari sebelum pemotongan (Rico, 1983). Kombinasi perlakuan diulang 5 kali, sehingga terdapat 40 ekor kambing. Rata-rata BB awal untuk u1 adalah 0,9 kg dengan koefisien keragaman (KK) 8,17, sedang pada u2 adalah 11,36 kg (KK = 8,34), sehingga rata-rata umum BB awal adalah 10,20 kg dengan KK 14,28. Lokasi penelitian adalah kandang kambing atau domba, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Kambing dipelihara selama 90 hari (Rico, 1983). Ransum berbentuk pelet dan disusun untuk memenuhi kebutuhan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBH) 50 g (Kearl, 1982). Parameter yang diukur meliputi: jumlah fibril otot longissimus dorsi dan otot rectus femoris (Suntoro, 1983), Luas Mata Rusuk (LMR) mengacu kepada metode Boggs dan Merkel (1993), serta bobot otot longissimus dorsi dan otot rectus femoris (Garret et al., 1992). Data dianalisis dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan Program Statistik IRRISTAT produksi University of Philippine at Los Banos (1992).

sebesar 5,4 buah/100 (20,6%; P<0,05); dan 12 buah/100 (45,8%; P<0,01). Peningkatan dosis dari t1 ke t3 menurunkan rata-rata jumlah fibril sebesar 9,2 buah/100 (P<0,01); dan peningkatan dosis dari t2 ke t3 menurunkan rata-rata jumlah fibril sebesar 6,6 buah/100 (P<0,01).
Tabel 1. Rataan jumlah fibril otot longissimus dorsi (buah/100) Testosteron (T mg/kg BB) t0 (kontrol) t1 (0,77) t2 (1,54) t3 (2,31)
a,b,c, A,B

7-8 bulan 19,20a A 14,00b A 17,80ab A 17,00ab A

Umur (U) 9-12 bulan 26,20a B 23,40abB 20,80b A 14,20c A

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Hasil dan Pembahasan


Fibril Otot Longissimus Dorsi
Rataan jumlah fibril otot longissimus dorsi secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Data tersebut memperlihatkan interaksi antar perlakuan sangat nyata (P<0,01). Tabel 1 memperlihatkan bahwa peningkatan umur pada t0 meningkatkan rataan jumlah fibril sebesar 7 buah/100 (P<0,01); sedangkan peningkatan umur pada t1 meningkatkan rata-rata jumlah fibril sebesar 9,4 buah/100 (P<0,01). Peningkatan umur pada dosis lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah fibril otot longissimus dorsi. Hal ini mempunyai arti bahwa pada kondisi kontrol dan t1, ternak muda mempunyai ukuran fibril yang lebih besar daripada ukuran fibril pada ternak yang berumur lebih tua. Peningkatan dosis dari t0 ke t1 pada u1 menurunkan rata-rata jumlah fibril sebesar 5,2 buah/100 (27%; P<0,05); namun perlakuan dosis lainnya tidak berpengaruh nyata pada u1. Pada kelompok umur u2, peningkatan dosis dari t0 ke t2 dan dari t0 ke t3 menurunkan rata-rata jumlah fibril masing-masing

Data yang diperoleh memberikan gambaran bahwa pemberian testosteron sebesar 1 dosis pada u1 mampu menyebabkan terjadinya pembesaran ukuran fibril, sehingga jumlah per satuan luas menjadi lebih sedikit. Pada dosis berlebih, respon pembesaran ukuran fibril menjadi hilang, sehingga ukuran fibril kembali ke posisi normal. Pada kelompok umur u2, respon pembesaran ukuran fibril terjadi pada pemberian testosteron sebesar 2 dan 3 dosis. Hal ini memberikan indikasi bahwa pada ternak dewasa respon positif terhadap pemberian testosteron baru akan terjadi jika diberikan dalam jumlah berlebih. Alasan bagi terjadinya pembesaran ukuran fibril pada t1 dapat dikemukakan dari dua segi. Kemungkinan pertama, pada t1, hormon testosteron mampu ditangkap oleh reseptor androgen yang terdapat pada jaringan otot dengan optimal dan selanjutnya inti sel pada jaringan otot akan membentuk protein. Peningkatan pembentukan protein pada jaringan otot secara kumulatif akan terukur dalam bentuk peningkatan rata-rata pembesaran ukuran fibril. Peningkatan aktifitas tingkat seluler tersebut selaras dengan pendapat Brown et al. (1988) yang membuktikan bahwa testosteron akan meningkatkan laju respirasi mitokondria pada kambing betina sehingga menyamai kambing jantan. Selain itu, aktifitas tingkat seluler juga menggambarkan peranan testosteron secara langsung di dalam otot sesuai dengan pendapat Sauerwien dan Meyer (1989) serta Arnold et al. (1996).

Pengaruh Hormon Testosteron (Rudiono)

65

Kemungkinan kedua, testosteron pada taraf t1 mampu merangsang peningkatan pengeluaran hormon lain, seperti growth hormone(GH) dari hypothalamus, dengan optimal. Selanjutnya GH memacu pembentukan jaringan otot melalui peningkatan aktifitas ribosoma serta peningkatan produksi DNA oleh inti sel. Peningkatan GH sebagai akibat rangsangan testosteron tersebut sesuai dengan pernyataan yang telah dikemukakan oleh peneliti lain, seperti: Coxam et al. (1990), Murray dan Oberbauer (1992), Argente dan Chomen (1993), Fletcher et al. (1995), Aldrich et al. (1996), serta Arnold et al. (1996). Secara keseluruhan, mekanisme pengaruh testosteron terhadap hormon lain menggambarkan peranan testosteron secara tidak langsung terhadap pertumbuhan senada dengan pendapat Hasan et al. (1992), Isaacson et al. (1993), dan Desler et al. (1996). Menurut Hasan et al. (1992), peranan tidak langsung testosteron terjadi melalui anterior pituitary, sedangkan menurut Isaacson et al. (1993) terjadi melalui glandula adrenal. Carey et al. (1995) juga mengatakan bahwa sex steroid mampu mengaktifkan hypothalamic-pituitary-adrenal axis. Di lain pihak, peningkatan dosis secara berlebih akan menurunkan ukuran fibril. Hal ini dimungkinkan terjadi karena 4 alasan. Kemungkinan pertama, pemberian dosis berlebih akan menahan pengeluaran GH dari hypothalamus melalui mekanisme feed back negatif seperti telah dikemukakan oleh Rico (1983) dan Lee et al. (1990). Peristiwa ini dapat terjadi karena glandula pituitary, selain sel-sel otot, merupakan salah satu sel target anabolik steroid sesuai dengan pendapat Heitzmann (1983). Tertahannya pengeluaran GH secara ekstrim menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Pada saat yang sama, ternak membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup dan beraktifitas, sehingga energi yang masuk melalui pakan tidak digunakan untuk bertumbuh, melainkan untuk mempertahankan hidup dan aktifitas yang lain. Secara kumulatif situasi ini terukur dalam bentuk penurunan ukuran fibril. Kemungkinan kedua adalah karena terjadinya mekanisme feed back negatif terhadap kemampuan afinitas testosteron berkaitan dengan sifat homo spesifik reseptor androgen sesuai dengan pendapat Rico (1983), Cakraborty et al. (1989), serta Noguchi et al. (1996). Sementara itu, steroid mampu dengan bebas keluar masuk sel (Heitzmann, 1983), sehingga Testosteron yang tidak memperoleh pasangan reseptor androgen akan dikeluarkan dari sel. Akibatnya,

kelebihan testosteron tidak dapat digunakan untuk membentuk respon dan hanya dibuang melalui feses. Kemungkinan ketiga adalah bahwa dosis testosteron berlebih akan mempengaruhi keseimbangan hormonal secara keseluruhan seperti pernah dikemukakan oleh Aldrich et al. (1996). Gangguan keseimbangan hormon terjadi karena adanya persaingan antarhormon dalam memperebutkan reseptor hormon. Kompetisi terjadi terutama pada hormon-hormon yang mempunyai perbedaan hanya pada gugus fungsional, yakni pada C17, sedangkan struktur dasarnya adalah sama, sesuai dengan pendapat Hoffmann dan Blietz (1983). Menurut Sauerwien dan Meyer (1989) kompetisi dapat terjadi antara testosteron dengan estradiol, atau testosteron dengan glucocorticoid (Meyer dan Rosen, 1975). Selain itu, gangguan keseimbangan hormonal juga dapat terjadi karena terganggunya keseimbangan FSH dan LH seperti pernah dikemukakan oleh Rawling dan Evans (1995), McLachlan et al. (1996), serta Noguchi et al. (1996). Akibat terganggunya keseimbangan hormonal antara lain adalah terjadinya stress, yang secara fisik terlihat pada penurunan nafsu makan. Hal ini terbukti pada data rata-rata konsumsi Bahan Kering (BK), dimana pada dosis testosteron berlebih akan mengakibatkan rata-rata konsumsi BK menurun. Padahal diketahui bahwa konsumsi berhubungan langsung dengan pertumbuhan, sehingga pada tingkat konsumsi BK rendah juga akan menghasilkan pertumbuhan rendah. Penurunan respon karena adanya pemberian testosteron berlebih juga dapat disebabkan oleh kemungkinan keempat, yakni kegagalan sel-sel otak untuk mengubah testosteron menjadi estradiol sehingga proses maskulinisasi sel otak gagal terjadi, seperti telah dikemukakan oleh De Haan et al. (1990). Akibatnya, respon positif yang dimiliki ternak jantan dalam hal pertumbuhan tidak terjadi. Namun demikian, respon pada kondisi testosteron berlebih ternyata memberikan hasil berbeda dengan pendapat Hadley (1984), Jaffrain et al. (1996), Arnold et al. (1996), serta Cardenas dan Pope (1997), yang menyatakan bahwa pemberian testosteron seharusnya menghasilkan kadar estriol lebih tinggi daripada kontrol.

Bobot Otot Longissimus Dorsi


Data rata-rata bobot otot longissimus dorsi disajikan pada Tabel 2. Interaksi antar perlakuan tidak

66

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 59 - 66

berpengaruh nyata, namun faktor umur berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa peningkatan umur dari u1 ke u2 meningkatkan rata-rata bobot otot longissimus dorsi sebesar 63,9 g (P<0,01); namun juga terlihat bahwa pemberian berbagai dosis testosteron tidak berpengaruh nyata. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan otot longissimus dorsi lebih ditentukan oleh tingkat umur, sehingga ternak yang lebih dewasa akan mempunyai bobot otot longissimus dorsi lebih berat.
Tabel 2. Rataan bobot otot longissimus dorsi (g) Testosteron (T mg/kg BB) t0 (kontrol) t1 (0,77) t2 (1,54) t3 (2,31) Rataan U
a,b,c, A,B,

penelitian menunjukkan hasil sebaliknya. Meskipun demikian, tidak adanya pengaruh testosteron terhadap perkembangan otot longissimus dorsi ternyata sesuai dengan pendapat Ono et al. (1996). Perbandingan data rata-rata bobot otot longissimus dorsi (Tabel 2) dengan data rata-rata jumlah fibril (Tabel 1), memberikan gambaran bahwa perlakuan hanya meningkatkan ukuran fibril, namun tidak mampu meningkatkan bobot otot secara keseluruhan. Betapapun, hasil ini memberikan indikasi tentang adanya proses maskulinasi pada serat otot.

Jumlah Fibril Otot Rectus Femoris


Rata-rata jumlah fibril otot rectus femoris disajikan pada Tabel 3. Data tersebut memperlihatkan bahwa interaksi antar perlakuan nyata (P<0,05). Tabel 3 memperlihatkan bahwa peningkatan umur pada t1 menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata jumlah fibril sebesar 5,2 buah/100 (P<0,05); sementara peningkatan umur pada level dosis lain tidak berpengaruh nyata (P>0,05).
Tabel 3. Rataan jumlah fibril otot rectus femoris (buah/100) Testosteron (T mg/kg BB) t0 (kontrol) t1 (0,77) t2 (1,54) t3 (2,31)
a,b,c, A,B,

Umur (U) 7-8 bulan 9-12 bulan 263,6 298,0 255,2 303,2 235,2 274,8 217,2 351,0 242,8 a 306,8 b

Rataan T 280,8 a 279,2 a 255,0 a 284,1 a 274,8

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Ada perbedaan pada P<0,05

Tidak adanya pengaruh testosteron terhadap bobot otot longissimus dorsi kemungkinan dapat terjadi karena pada daerah otot longissimus dorsi tidak terdapat reseptor androgen dalam jumlah mencukupi untuk mampu memberikan respon positif terhadap pemberian hormon testosteron. Hal ini sesuai dengan pendapat Sauerwien dan Meyer (1989) yang menyatakan bahwa otot yang berbeda akan mempunyai jumlah reseptor androgen yang berbeda. Kemungkinan lain tidak adanya pengaruh testosteron terhadap bobot otot longissimus dorsi dapat terjadi karena otot ini mempunyai peran sebagai otot gerak yang membantu pernafasan sesuai dengan pendapat Soeparno (1994). Akibatnya otot selalu dalam keadaan dinamis, sehingga proses anabolisme dan katabolisme protein pada bagian otot ini selalu dalam keadaan keseimbangan dinamis. Hal ini berarti bahwa pembentukan protein sebagai akibat pemberian Testosteron pada saat yang bersamaan diubah menjadi energi untuk digunakan dalam pernafasan, sehingga bobot otot longissimus dorsi selalu berada dalam keadaan relatif konstan. Pembandingan hasil penelitian dengan laporan Arnold et al. (1996) memberikan hasil berbeda. Arnold et al. (1996) menyatakan bahwa testosteron akan mempengaruhi perkembangan beberapa otot tertentu, termasuk otot longissimus dorsi, namun data

Umur (U) 7-8 bulan 24,20a A 14,00c A 19,20b A 17,80bc A 9-12 bulan 22,20a A 19,20ab B 15,80bc A 13,40c A

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan Ada perbedaan pada P<0,05

Pada kelompok u1, peningkatan dosis dari t0 ke t1 menurunkan rata-rata jumlah fibril terbesar, yakni 10,2 buah/100 (42,15%; P<0,01). Peningkatan dosis dari t0 ke t2 menurunkan rata-rata jumlah fibril sebesar 5 buah/100 (P<0,05); dan peningkatan dosis dari t0 ke t3 menurunkan rata-rata jumlah fibril sebesar 6,4 buah/100 (P<0,05). Peningkatan dosis dari t1 ke t2 meningkatkan rata-rata jumlah fibril sebesar 5,2 buah/100 (P<0,05). Peningkatan dosis lainnya pada u1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Hasil yang telah diungkapkan mengindikasikan bahwa pemberian Testosteron pada u1 nyata meningkatkan ukuran fibril pada otot rectus femoris. Pada kelompok umur u2, perbedaan respon terjadi pada peningkatan dosis dari t0 ke t2 yang menyebabkan terjadinya penurunan rata-rata jumlah fibril sebesar

Pengaruh Hormon Testosteron (Rudiono)

65

6,4 buah/100 (P<0,05). Peningkatan dosis dari t0 ke t3 menurunkan rata-rata jumlah fibril terbesar, yakni 8,8 buah/100 (39,60%; P<0,01); dan peningkatan dosis dari t1 ke t3 menurunkan jumlah fibril sebesar 5,8 buah/100 (P<0,05). Pola perkembangan fibril otot rectus femoris ternyata serupa dengan perkembangan fibril otot longissimus dorsi, sehingga semua argumen yang berlaku pada fibril otot longissimus dorsi juga berlaku bagi fibril otot rectus femoris.

Pembandingan data rata-rata bobot otot rectus femoris dengan data rata-rata jumlah fibril pada otot rectus femoris; menunjukkan bahwa pemberian hormon testosteron mampu memperbesar ukuran fibril, namun tidak mampu meningkatkan bobot otot.

Luas Mata Rusuk


Nilai rata-rata LMR secara lengkap disajikan pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan sangat nyata (P<0,01). Data rata-rata LMR pada Tabel 5 menunjukkan bahwa peningkatan umur pada t0 tidak berpengaruh nyata (P>0,05), namun peningkatan umur pada t1, t2, dan t3 meningkatkan ratarata LMR masing-masing sebesar 1,43 cm2 (P<0,01); 1,41 cm2 (P<0,01); dan 3,94 cm2 (P<0,01).
Tabel 5. Rata-rata luas mata rusuk (cm2) Testosteron (T mg/kg BB) t0 (kontrol) t1 (0,77) t2 (1,54) t3 (2,31)
a,b,c, A,B,

Bobot Otot Rectus Femoris


Rata-rata bobot otot rectus femoris disajikan pada Tabel 4, dengan rata-rata umum bobot otot rectus femoris sebesar 18,90 g. Interaksi antar perlakuan tidak nyata (P>0,05); demikian juga dengan pengaruh setiap faktor (P>0,05).
Tabel 4. Rata-rata bobot otot rectus femoris (g) Testosteron (T mg/kg BB) t0 (kontrol) t1 (0,77) t2 (1,54) t3 (2,31) Rataan U Umur (U) 7-8 bulan 9-12 bulan 20,00 18,80 20,20 20,00 17,60 18,80 15,00 20,80 18,20 19,60 Rataan T 19,40 20,10 18,20 17,90 18,90

Umur (U) 7-8 bulan 3,63a A 3,13abA 2,70abA 2,50b A 9-12 bulan 4,11b A 4,57b B 4,11b B 6,441a B

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Tabel 4 mempunyai makna bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap bobot otot rectus femoris. Tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap rata-rata bobot otot rectus femoris kemungkinan dapat terjadi karena otot rectus femoris mempunyai peran sebagai otot gerak pada bagian belakang yang selalu dalam keadaan dinamis, sehingga proses anabolisme dan katabolisme protein pada bagian otot rectus femoris selalu dalam keadaan keseimbangan dinamis. Hal ini berarti bahwa pembentukan protein sebagai akibat pemberian testosteron pada saat yang bersamaan diubah menjadi energi untuk digunakan dalam pergerakan tubuh, sehingga bobot otot rectus femoris selalu berada dalam keadaan relatif konstan. Tidakadanya pengaruh perlakuan terhadap bobot otot rectus femoris hasil penelitian ternyata berbeda dengan laporan Nold et al. (1992); Arnold et al. (1996); serta Ono et al. (1996); yang menyatakan adanya pengaruh testosteron terhadap bobot otot rectus femoris. Perbedaan respon dapat terjadi karena adanya perbedaan spesies dan umur ternak yang digunakan dalam penelitian.

Pemberian testosteron pada u1 akan menyebabkan terjadinya perbedaan LMR antara t0 dengan t3 sebesar 1,124 cm2 (31%; P<0,05). Pemberian testosteron sebesar 3 dosis pada u2 mampu meningkatkan rata-rata LMR 2,329 cm2 lebih besar daripada kontrol (56,60%; P<0,01); 1,876 cm2 lebih besar daripada t1 (41,09%; P<0,01); dan 2,336 cm2 lebih besar daripada t2 (56,90%; P<0,01). Data penelitian yang disajikan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa sebagian besar perbedaan LMR terjadi antara u1 dengan u2. Hal ini mempunyai arti bahwa LMR lebih dipengaruhi oleh umur daripada oleh dosis testosteron. Hasil yang diperoleh dari penelitian ternyata sesuai dengan pendapat Hansen et al. (1995); Reiling et al. (1996); serta Johnson et al. (1996). Sebaliknya, penelitian memberikan hasil berbeda dengan pendapat Trenkle (1987) dan Apple et al. (1991) yang menyatakan bahwa testosteron berpengaruh nyata terhadap peningkatan luasan LMR. Pembandingan rata-rata LMR hasil penelitian dengan rata-rata LMR laporan Hufstedler et al. (1996) memperlihatkan hasil tidak berbeda jauh, yakni dalam

66

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 59 - 66

kisaran 2,08-2,34 cm2. Meskipun demikian perbandingan dengan laporan peneliti lain menunjukkan hasil yang jauh lebih kecil, sebab De Haan et al. (1990) melaporkan LMR sebesar 12,08 cm2; Nold et al. (1992) melaporkan 19,90 cm2; Koohmaraie et al. (1996) melaporkan 17,80-19,10 cm2; dan Hansen et al. (1995) melaporkan 14,88 cm2. Perbedaan hasil dapat terjadi karena adanya perbedaan spesies dan umur ternak yang digunakan dalam penelitian.

Boggs, D.L. and R.A. Merkel, 1993. Live Animal Carcass Evaluation and Selection Manual. Fourth Ed. Kendall/Hunt Pub. Co., Dubuque, Iowa. Bradlow, H.L., N.T. Telang, D.W. Sepkovic, and M.P. Osborne, 1996. 2-Hydroxy estrone: the good estrogens. Journal of Endocrinology 150:s259. Brown, D.R., D.C. Beitz, D.G. Detilleux, and P.D. Ekema, 1988. Effects of testosterone on respiratory metabolism and ultrastructure of caprine hepatic mitochondria. Biochemistry Arch. 4:189. Cakraborty, P.K., L.D. Stuart, and J.L. Brown, 1989. Puberty in male Nubian goat: serum concentration of luteinizing hormone, follicle stimulating hormone, and testosterone from birth through puberty and semen characteristics at sexual maturity. Animal Reproduction Science 20:91. Cardenas, H. and W.F. Pope, 1997. Administration of testosterone from day 13 of the oestrus cycle to oestrus increased the number of corpora lutea and conceptus survival in gilts. Journal Animal Science 75:202. Carey, M.P, C.H. Deterd, J. de Koning, F. Helmerhorst; and E.R. de Kloet, 1995. The influence of ovarian steroids on hypothalamic-pituitary-adrenal regulation in the female rat. Journal of Endocrinology 144:311. Coxam, V., M.J. Davicco, D. Durand, D. Bauchart, F. Opmeer, and J.P. Barlet, 1990. Steroid hormone may modulate hepatic somatomedin C production in newborn calves. Biology of Neonate 58:16. De Haan, K.C., L.L. Berger, D.J. Kesler, F.K. Mc.Keith, and D.L. Thomas. 1990. Effects of prenatal trenbolone acetate treatment on lamb performance and carcass characteristics. Journal Animal Science 68:3041. De Haan, K.C., L.L. Berger, D.J. Kesler, F.K. Mc.Keith, D.B. Faulkner, G.F. Cmarik, and R.J. Favero. 1990. Effects of prenatal testosterone treatment and postnatal steroid implantation on growth performance and carcass traits of heifers and steers. Journal Animal Science 68:2198. De Haan, K.C., L.L. Berger; P.J. Bechtel, D.J. Kesler, F.K. Mc.Keith, and D.L. Thomas. 1990. Effects of prenatal testosterone treatment on nitrogen utilisation and endocrine status of ewe lambs. Journal Animal Science 68:4100. Desler, M.M., S.J. Jones, C.W. Smith, and T.L. Woods. 1996. Effects of dexa- methasone and anabolic agents on proliferation and protein synthesis and degradation in C2C12 myogenic cells. Journal Animal Science 74:1265. Fletcher, T.D., G.B. Thomas, F.R. Dunshea, L.G. Moore, and I.J. Clarke. 1995. Insulin like growth factor feed

Kesimpulan
Pemberian hormon testosteron dengan dosis 0,77 mg/kg BB/hari pada umur 7-9 bulan memberikan hasil terbaik dan mampu meningkatkan ukuran fibril otot longissimus dorsi, otot rectus femoris, dan Luas Mata Rusuk, namun tidak meningkatkan bobot otot-otot tersebut. Pemberian hormon Testosteron secara berlebih, yakni sampai dengan 2,31 mg/kg BB/hari, tidak mampu memberikan respon positif terhadap perkembangan otot.

Daftar Pustaka
Aldrich, D.L., L.L. Berger, D.J. Kesler, T.G. Nash, and R.H. Mc.Custer, Jr., 1996. Effects of prenatal androgenization and postnatal steroid treatment on growth hormone, iInsulin like growth factor-I and II, insulin, thyroxin, and triiodothyronine concentrations in beef heifers. Journal Animal Science 75: 420. Apple, J.K., M.E. Dikeman, D.D. Simms, and G. Kuhl, 1991. Effects of synthetic hormone implants, singularly or in combinations, on performance, carcass traits, and longissimus muscle palatability of Holstein steers. Journal Animal Science 69:4437. Argente, J. and J.A. Chowen, 1993. Control of the transcription of the growth hormone releasing hormone and somatostatin genes by sex steroids. Hormone Research 40:48. Arnold, A.M., J.M. Peralta, and M.L. Thonney, 1996. Ontogeny of growth hormone, insulin like growth Factor-I, estradiol, and cortisol in the growing lambs : effects of testosterone. Journal of Endocrinology 150:48. Blakely, J. and D.H. Bade, 1994. The Science of Animal Husbandry. Sixth edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Pengaruh Hormon Testosteron (Rudiono)

65

back effects on growth hormone secretion in ewes: evidence for action at the pituitary but not the hypothalamic level. Journal of Endocrinology 144:323. Garrett, R.P., J.W. Savel, H.R. Cross, and H.K. Johnson. 1992. Yield grade and carcass weight effects on the cutability of lamb carcasses fabricated into innovative style subprimals. Journal Animal Science 70:1829. Hadley, M.E. 1984. Endocrinology. Englewood Cliffs, New Jersey. Prentice Hall,

carcass characteristics, and carcass composition of feedlot steers. Journal Animal Science 74:363. Kearl, L.C., 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuff Institute, Utah State University, Logan, Utah. Koohmaraie, M., S.D Skalkelford, and T.L. Wheeler, 1996. Effects of -Andrenergic agonist (L-644, 969) and male sex condition on muscle growth and meat quality of Callipyge lambs. Journal Animal Science 74:70. Lamming, G.E., 1989. Scientific Report on The Use of Anabolic In Animal Production. TierarztlicheUmschau 44:294. Lee, L.Y., D.M. Henrick, G.C., Skelley, and L.W., Grimes, 1990. Growth and hormonal responses of intact and castrate male cattle to trenbolone acetate and estradiol. Journal Animal Science 68:2682. Mayer, M. and F., Rosen, 1975. Interaction of anabolic steroid with glucocorticoid receptor sites in rat muscle cytosol. American Journal Physiology 229:1381. Mc.Lachlan, R.I., W.G. Wreford, L. ODonnell, D.M. de Kretser, and D.M. Robertson, 1996. The endocrine regulation of spermatogenesis: independent roles for testosterone and follicle stimulating hormone. Journal of Endocrinology 148:1. Murray, J.D. and A.M. Oberbauer, 1992. Growth hormone manipulation and growth promotant in sheep. In: Progress in sheep and goat research. Speedy, A.W. (editor). C.A.B International, Wallingford, Oxon. Noguchi, K., J. Arita, A. Nagamoto, M. Hosaka, and F. Kimura, 1996. A quantitative analysis of testosterone action on FSH secretion from individual pituitary cells using the cell immunoblot assay. Journal of Endocrinology 148: 427. Nold, R.A., J.A. Unruh, C.W. Spaeth, and J.E. Minton, 1992. Effect of zeranol implant in ram and wether lambs on performance traits, carcass characteristics, and subprimal cut yields and distribution. Journal Animal Science 70:1699. Ono, Y., M.B. Solomon, T.H. Elsasser, T.S. Rumsey; and W.M. Moseley, 1996. Effects of Synovex-S and recombinant bovine GH (SomavuboveR) on growth responses of steers: II. muscle morphology and proximate composition of muscles. Journal Animal Science 74:2929. Rawling, N.C. and A.C.O. Evans, 1995. Androgen negative feed back during the early rise in LH secretion in bulls calves. Journal of Endocrinology 145:243.

Hansen,L.R., J.K., Drackely, L.L. Berger, and D.E. Grum. 1995. Prenatal androgenization of lambs: I. Alterations of growth, carcass characteristics, and metabolites in blood. Journal Animal Science 73:1694. Hansen,L.R., J.K. Drackely, L.L. Berger, and D.E. Grum. 1995. Prenatal androgenization of lambs: II. Metabolism in adipose tissue and liver. Journal Animal Science 73:1701. Hassan, H.A., R.A., Merkel, W.J., Enright, and H.A., Tucker, 1992. Androgens modulate growth hormone releasing factor induced growth hormone release from Bovine anterior pituitary cells in static culture. Domestic Animal Endocrinology 9:209. Heitzmann, R.J., 1983. The absorption, distribution, and excretion of anabolic agents. Journal Animal Science 57:233. Hoffmann, B. and C. Blietz. 1983. Application of Radioimmuno Assay (RIA) for the determination of residues of anabolic sex hormones. Journal Animal Science 57:239 Hufstedler, G.D., P.L. Gillma, G.E. Carstens, L.W. Greene, and N.D. Turner, 1996. Physiological and hormonal responses of lambs repeatedly implanted with Zeranol and provide two levels of feed intake. Journal Animal Science 74:2376. IRRISTAT., 1992. Users Guide. University of Philippine at Los Banos. Isaacson, W.K., S.J. Jones, and R.J. Krueger, 1993. Testosterone, dihydro-testosterone, trenbolone acetate, and zeranol alter the synthesis of cortisol in bovine adrenocortical cells. Journal Animal Science 71:1771. Jaffrain, R.M.L., E. Petrangeli, F. Ortolam, A. Lise, V. Esposito, L.G. Spagnoli, G. Tamburrano, L. Frati, and A. Gulino, 1996. Cellular receptors for sex steroids in human pituitary adenomas. Journal of Endocrinology 151:175. Johnson, B.J., P.T. Anderson, J.C. Meiske, and W.R. Dayton, 1996. Effects of combined trenbolone Acetate and Estradiol implant on feedlot performance

66

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 59 - 66

Reiling, B.A., L.L. Berger, D.B. Faulkner, F.K. Mc.Keith, T.G. Nash, and F.A. Ireland, 1996. Effects of prenatal androgenization, melengestrol acetate, and synovexH in feedlot performance, carcass, and sensory traits of once calved heifer. Journal Animal Science 74:2043. Rico, A.G., 1983. Metabolism of endogenous and exogenous anabolic agents in cattle. Journal Animal Science 57:226. Sauerwien, H. and H.H.D. Meyer, 1989. Androgen and Estrogens receptors in Bovine skeletal muscle: relation to steroid induced allometric muscle growth. Journal of Animal Science 67:206. Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Suntoro, S.H., 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta. Taylor, R.E., 1984. Beef Production and the Beef Industry. a Beef Producers Perspective. Burges Publishing Company, Minneapolis, Minnesota. Trenkle, A., 1987. Combining trenbolone acetate-estrogens implant result in additive growth promoting effects in steers. Feedstuff 26: 43-45.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 67 72 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Umur Dewasa Kelamin Puyuh Jepang Betina yang Diberi Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus, L. Merr.)
(Age Maturity of Female Japanese Quails Fed Diets Containing Katuk Leave Meal (Sauropus androgynus L.Merr.)
Rachmat Wiradimadja1, Wiranda Gentini Piliang2, Maggy Thenawidjaya Suhartono3, dan Wasmen Manalu4
1 2

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor 3 Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Bogor 4 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRACT: This experiment was conducted to study the effects of katuk leave meal on sexual maturity in Japanese quail. Three hundred female Japanese quails, with 4 weeks age, were assigned into a completely randomized design with 4 treatments i.e., R1 (diet with neither katuk leave meal nor cholesterin), R2 (diet without katuk leave meal + 0.10% cholesterin), R3 (diet with 15% katuk leave meal without cholesterin), and R4 (diet with 15% katuk leave meal + 0.10% cholesterin). The parameters measured were estradiol hormone in plasma, and age maturity (five percent henday production). Estradiol hormone was measured with Radioimmunoassay. The data were collected and analyzed by using completely randomized design. The results showed that the addition of 15% katuk leave meal in the diet significantly decreased the estrogen concentration (P<0.05), so that slow down on the age maturity of female Japanese quail. Key Words : Katuk leave meal, estradiol hormone, age maturity, quail

Pendahuluan
Umur dewasa kelamin pada puyuh betina ditandai dengan pertama kali bertelur, sedangkan untuk jantan ditandai dengan mulainya berkokok dengan suara khas. Puyuh pertama kali bertelur berumur antara 35 72 hari dengan rataan umur 41 hari (Woodard et al., 1973; Kaur et al., 2004). Dilaporkan oleh Sefton dan Siegel (1974) puyuh mencapai rataan dewasa kelamin pada umur enam minggu, tetapi ditemukan juga yang lebih tua dari umur tersebut. Keadaan ini disebabkan karena faktor kesehatan, tatalaksana, dan makanan turut mempengaruhi dewasa kelamin. Faktor lain yang berpengaruh adalah genetik, pencahayaan, dan berat badan (North dan Bell, 1990). Minville (2004) menyatakan bahwa puyuh lebih dikenal sebagai ternak model untuk percobaan biologis. Estrogen adalah hormon steroid yang diperlukan untuk pertumbuhan folikel sehingga erat kaitannya dengan umur dewasa kelamin. Estrogen mempunyai peran penting dan erat hubungannya dengan perangsangan dan perkembangan oviduk, sintesis albumin oleh magnum serta kerabang oleh uterus (Nesheim et al.,1979). Konsentrasi plasma basal estrogen kurang dari 5 pg/ml (InterAg, 1996), dan

akan semakin meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel ( folikel de Graff 160 pg/ml) (Pineda dan Bowen, 1989). Estrogen berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen disintesis dari kolesterol terutama di ovarium, dan kelenjar lain misalnya korteks adrenal, testis, dan plasenta. Kemudian melalui beberapa reaksi enzimatik dalam biosintesis steroid terbentuklah hormon kelamin steroid (Suherman, 2001). Jika kolesterol yang berasal dari makanan dalam jumlah sedikit maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain. Sebaliknya jika jumlah kolesterol di dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus menurun (Ravnskov, 2003). Pada unggas estrogen yang banyak dijumpai adalah dalam bentuk estron, 17 -estradiol dan 17estradiol (Sturkie, 1976). Sekresi estrogen meningkat sejak folikel ovarium mulai berkembang menjelang dewasa kelamin. Level estrogen pada 7 minggu sebelum bertelur adalah sebesar 94 pg/ml, selanjutnya 2 3 minggu menjelang bertelur level estrogen mencapai 355 pg/ml. Tingginya produksi telur yang dicapai erat kaitannya dengan kemampuan puyuh untuk memproduksi hormon FSH dan LH yang berperan dalam pembentukan folikel

67

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

(Allen dan Schwartz, 1981). Estrogen juga mempunyai peran penting dalam metabolisme kalsium. Reseptor estrogen dapat dijumpai pada sel granulosa dan jaringan duodenum sehingga aktifitasnya mengakibatkan terjadinya gelombang ionisasi kalsium yang sangat cepat pada sel granulosa serta peningkatan transportasi kalsium dalam duodenum (Beck dan Hansen, 2004). Penggunaan tepung daun katuk (Sauropus androgynus L.Merr.) dalam campuran ransum mampu menurunkan kandungan kolesterol pada hati, karkas, dan telur. Sebagai akibat fungsi tersebut, suplementasi daun katuk dalam ransum akan berpengaruh pada percepatan umur dewasa kelamin dan produksi telur. Pemberian tepung daun katuk dalam ransum ayam petelur lokal sebanyak 9% mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur sebesar 62,34% dibandingkan dengan kolesterol dalam kuning telur yang diberi ransum tanpa tepung daun katuk (Piliang et al., 2001). Penurunan kolesterol juga terjadi pada hati dan karkas ayam lokal, masing-masing sebesar 1,055 dan 0,099 mg% dibandingkan dengan kolesterol dalam hati dan karkas ayam yang tidak mendapat suplementasi daun katuk dalam ransum, yaitu masing-masing sebesar 1,502 dan 1,609 mg% atau penurunan kolesterol dalam hati dan karkas masing-masing sebesar 29,76% dan 40,60%. Pemberian daun katuk cenderung mengurangi kecernaan lemak kasar dan menurunkan akumulasi lemak (Hoshino et al., 1993; Kumai et al., 1994; Santoso dan Sartini, 2001). Hal ini diduga ada efek penghambatan komponen sterol yang terkandung dalam daun katuk terhadap sintesis cairan empedu sehingga sekresi cairan empedu naik, dan sebagai konsekuensi tingginya sekresi cairan empedu menyebabkan menurunnya kecernaan lemak kasar, yang akhirnya berindikasi kepada menurunnya absorpsi lemak, dan komponenkomponen lemak serta derivatnya, seperti kolesterol, LDL, HDL, dan trigliserida. Hasil analisis dengan cara kromatografi gas dan spektrometri massa (GCMS) dapat diketahui bahwa daun katuk mengandung enam senyawa sterol utama yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku farmasi (Agustal et al., 1997). Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian untuk mempelajari aktivitas reproduksi pada puyuh jepang betina yang diberi tepung daun katuk dalam ransum, yang tercermin dari perubahan kadar hormon estrogen plasma darah sebelum dan pada saat dewasa kelamin.

Metode Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan di kandang ternak unggas milik Sabani, Curug Mekar, Bogor Barat. Analisis laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB Bogor, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Ternak percobaan yang digunakan, puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) betina berumur 3 (tiga) minggu sebanyak 300 ekor dengan rataan bobot 97,18 g/ekor (koefisien variasi 3,94%). Secara acak puyuh ditempatkan dalam 20 kandang individual cages berukuran 80 x 50 x 50 cm, masing-masing berisi 15 ekor. Ransum percobaan terdiri atas empat macam ransum perlakuan, yaitu : R 1 = tanpa kristal kolesterin dan tanpa daun katuk R 2 = 0,1% kristal kolesterin + 0% tep. daun katuk R 3 = tanpa kristal kolesterin + 15% tep. daun katuk R 4 = 0,1% kristal kolesterin + 15% tep. daun katuk Formulasi ransum percobaan terdiri atas : dedak halus, bungkil kedele, bungkil kelapa, tepung ikan, tepung tapioka, minyak kelapa, tepung kerang, tepung tulang, premiks, kristal kolesterin, dan tepung daun katuk. Kebutuhan nutrien ransum didasarkan kepada kebutuhan puyuh fase produksi, yaitu protein 20% dan energi metabolis 2900 kkal/kg (NRC, 1994). Kristal kolesterin yang ditambahkan pada ransum R 2 dan R 4 adalah kolesterol murni yang dijadikan sebagai kontrol negatif ransum mengandung kolesterol tinggi. Komposisi dan kandungan nutrien ransum percobaan disajikan pada Tabel 1. Untuk membandingkan perbedaan rataan perlakuan digunakan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Untuk melihat bentuk hubungan antara kadar estradiol dengan umur dewasa kelamin dilakukan analisis regresi menggunakan program SPSS 11.5 for Windows . Peubah yang diamati : kadar estradiol plasma darah umur 4 minggu, rataan umur pertama kali bertelur (saat dewasa kelamin), dan kadar estradiol plasma darah saat dewasa kelamin. Penentuan kadar estradiol (pg/ml) dilakukan saat puyuh belum bertelur (umur 4 minggu) dan saat dewasa kelamin (umur 6 minggu) melalui pengukuran kadar estradiol dalam plasma darah. Jumlah sampel darah yang dianalisis untuk setiap ulangan diambil secara acak 5 ekor puyuh dari setiap ulangan sehingga jumlah sampel untuk setiap perlakuan adalah 25 sampel. Kadar estradiol dalam darah diukur dengan menggunakan metode RIA ( Radioimmunoassay)

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum percobaan Bahan Makanan R1 Tepung daun katuk (%) Dedak halus (%) Bungkil Kedelai (%) Bungkil Kelapa (%) Tepung ikan (%) Tepung Tapioka (%) Minyak kelapa (%) Tepung Kerang (%) Tepung Tulang (%) Premiks (%) Kolesterin (%) Jumlah (%) Kandungan nutrien Energi Bruto (kkal/kg) E.M (kkal/kg) 1) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Ca (%) P total (%) P tersedia (%) 2) Metionin (%) 2) Sistin (%) 2) Metionin+Sistin (%) 2) Lisin (%) 2) Vitamin A (IU/kg) 3) Kolesterol (mg/g) 4) 0,00 35,00 16,25 12,00 12,50 12,25 6,50 3,00 1,50 1,00 0,00 100 4118 2985,55 21,85 7,75 8,08 2,58 1,06 0,67 0,56 0,45 1,01 1,50 15000 1,59 Ransum perlakuan R2 0,00 35,00 16,25 12,00 12.50 12,25 6,50 3,00 1,40 1,00 0,10 100 4082 2959,45 22,44 6,53 8,62 2,36 0,91 0,51 0,47 0,43 0,90 1,45 15000 2,58 R3 15,00 29,00 12,00 7,00 12,50 12,50 6,50 3,00 1,50 1,00 0,00 100 4148 3007,30 21,99 8,31 11,05 2,94 0,98 0,67 0,45 0,41 0,86 1,39 73581,60 1,59 R4 15,00 29,00 12,00 7,00 12,50 12,50 6,50 3,00 1,40 1,00 0,10 100 4158 3014,55 22,64 7,82 11,43 2,74 1,07 0,51 0,56 0,45 1,01 1,50 73581,60 2,58

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fapet, IPB (2005). 1) 0,725 x Energi Bruto 2) Hasil perhitungan berdasarkan Scott et al . (1982). 3) Hasil perhitungan berdasarkan hasil analisis Laboratorium BBIA, Bogor (2004). 4) Hasil perhitungan berdasarkan kadar kolesterin (Merck) dan hasil analisis kolesterol tepung ikan (Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, 2005).

yang berdasar pada prinsip adanya kompetisi antigen dilabel dengan antigen tak dilabel mengikat antibodi (Chan 1987). Antibodi ergosterol spesifik diletakkan pada dinding tube polipropilene. Estradiol yang dilabel 125 I dalam waktu tertentu akan berkompetisi dengan estradiol sampel (plasma puyuh) untuk mengikat antibodi. Semakin tinggi estradiol dilabel mengikat antibodi maka persentase estradiol sampel akan semakin rendah, jumlah estradiol terlabel yang tersisa pada tube akan meradiasikan sinar gamma, yang selanjutnya dihitung pada gamma counter. Penentuan kadar estradiol, menggunakan Kit total estradiol dari DPC ( Diagnostic Products Corporation ), Los Angeles (DPC 2005). Umur dewasa kelamin puyuh didasarkan pada penghitungan rataan umur puyuh pada saat pertama kali bertelur pada setiap perlakuan.

Hasil dan Pembahasan


Estrogen adalah hormon steroid yang diperlukan untuk pertumbuhan folikel. Konsentrasi estrogen akan semakin meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel (Pineda dan Bowen, 1989). Estrogen disintesis dari kolesterol terutama di ovarium, dan kelenjar lain, misalnya korteks adrenal, testis, dan plasenta (Suherman, 2001). Penentuan kadar estrogen ditentukan melalui pengukuran kadar estradiol, yang diperoleh dari pengurangan rataan kadar estradiol pada saat puyuh mencapai umur pertama kali bertelur (dewasa kelamin) oleh kadar estradiol sebelum dewasa kelamin, yaitu umur puyuh 4 minggu. Hasil analisis pengaruh pemberian daun katuk terhadap kadar estradiol menunjukkan masing-masing perlakuan ransum memberikan pengaruh yang berbeda nyata

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

(P<0,05) pada selisih kadar estradiol plasma darah (Tabel 2). Kelompok puyuh yang diberi ransum mengandung daun katuk 15% tanpa penambahan kolesterin mempunyai rataan kadar estradiol terendah, yaitu 2,49 pg/ml, dan ransum yang mengandung tepung daun katuk dengan penambahan kolesterin adalah 3,40 pg/ml. Kedua nilai kadar estradiol ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar estradiol pada puyuh yang diberi ransum tanpa diberi daun katuk dan kolesterin sebesar 9,19 pg/ml maupun tanpa daun katuk tapi diberi kolesterin sebesar 17,12 pg/ml. Umur dewasa kelamin menunjukkan bahwa umur dewasa kelamin pada puyuh jepang betina berkisar antara 41,0 dan 48,2 hari. Umur dewasa kelamin yang paling lambat terjadi pada kelompok puyuh yang diberi ransum mengandung 15% tepung daun katuk tanpa penambahan kolesterin adalah 48,2 hari, dan yang diberi ransum yang mengandung 15% tepung daun katuk dengan penambahan kolesterin adalah 47,8 hari. Hasil analisis ragam membuktikan bahwa umur dewasa kelamin pada R3 dan R 4 lebih lambat (P<0,05) dibanding dengan

umur dewasa kelamin pada kelompok puyuh yang diberi ransum tanpa tepung daun katuk dan tanpa kolesterin, yaitu 42,40 hari maupun puyuh yang diberi ransum tanpa daun katuk dengan penambahan kolesterin, yaitu 41,00 hari. Lambatnya umur dewasa kelamin pada puyuh yang diberi ransum yang mengandung daun katuk dibandingkan dengan puyuh yang diberi ransum tanpa mengandung daun katuk, diduga ada kaitannya bahwa daun katuk mempunyai serat kasar yang tinggi, karena sifat makanan berserat adalah amba ( bulky) sehingga ada kecenderungan transit time sangat sebentar dan berdampak kepada penurunan penyerapan nutrien (termasuk lemak dan komponenkomponennya termasuk kolesterol). Disamping itu adanya pandangan senyawa fitosterol pada daun katuk yang mampu menghambat absorpsi kolesterol. Penelitian Subekti (2007) membuktikan bahwa daun katuk mengandung beberapa senyawa fitosterol (Tabel 3). Kandungan fitosterol dalam daun katuk tersebut berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh.

Tabel 2. Rataan kadar estradiol dan rataan umur dewasa kelamin pada puyuh jepang betina yang diberi berbagai perlakuan ransum Perlakuan R1 R2 R3 R4
a,b,c,d

Rataan kadar estradiol (pg/ml) 9,19 4,43 17,12 a 5,49 2,49 d 1,32 3,40 c 1,84
b

Rataan umur dewasa kelamin (hari) 42,4 b 41,0 b 48,2 a 47,8 a

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 R 1 = ransum tanpa kristal kolesterin dan tanpa tepung daun katuk, R 2 = ransum yang mengandung 0,1% kristal kolesterin + 0% tepung daun katuk, R 3 = ransum tanpa kristal kolesterin + 15% tepung daun katuk, R 4 = ransum yang mengandung 0,1% kristal kolesterin + 15% tepung daun katuk.

Tabel 3. Senyawa fitosterol dalam daun katuk Golongan Klorofil C 20 H 40 O Vitamin Asam lemak C 21 H 36 O 2 Stigmasterol -Sitosterol Fukosterol
Sumber : Subekti (2007)

Nama senyawa Fitol Tokoferol (Vitamin E) 11,14,17-asam eikosatrienoat metal ester Stigmasta-5,22-dien-3 -ol Stigmasta-5-en-3 -ol Stigmasta-5,24-dien-3 -ol

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

50 Umur Dewasa Kelamin (hari) 48 46 44 42 40 2 Y= 0,05X 2 -1,46X+51,84 R2 = 0,98

14 10 12 Kadar Estradiol (pg/ml)

16

18

Quadratik Observed c Gambar 1. Hubungan kadar estradiol dengan umur dewasa kelamin

Dampak terhambatnya absorpsi kolesterol berakibat kepada terhambatnya ovarium dalam mensintesis hormon estrogen dan akan menghambat kepada pembentukan folikel-folikel sel telur sehingga akhirnya berpengaruh kepada percepatan umur dewasa kelamin. Salah satu peranan kolesterol berfungsi sebagai prekursor dari beberapa hormon steroid seperti estrogen dan testosteron (Muchtadi et al., 1993). Menurut Sturkie (1976), ovarium menghasilkan hormon estrogen yang berguna selama proses pembentukan sel telur. Hambatan pada absorpsi kolesterol akan menghambat sintesis estrogen oleh ovarium sehingga pembentukan folikel-folikel sel telur akan dihambat, yang pada akhirnya berpengaruh pada percepatan umur dewasa kelamin. Keadaan ini membuktikan bahwa daun katuk mampu memperlambat umur dewasa kelamin puyuh betina melalui penekanan sekresi estradiol. Hasil penelitian Santoso dan Sartini (2001) membuktikan bahwa suplementasi 0,90% ekstrak daun katuk dalam ransum ayam petelur tidak meningkatkan produksi telur. Berbeda dari hasil penelitian Piliang et al. (2003) bahwa suplementasi tepung daun katuk pada tingkat 0, 3, 6, dan 9% dalam ransum ayam petelur membuktikan walaupun pada tingkat pemberian 9% menghasilkan kadar kolesterol yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, tetapi menghasilkan dewasa kelamin yang lebih cepat. Hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi nutrien dan senyawa fitosterol dalam daun katuk yang

merupakan prekursor hormon steroid yang berperan dalam fungsi reproduksi unggas. Pada Gambar 1 dapat dilihat model kurva penduga hubungan antara kadar estradiol (X) dengan dewasa kelamin (Y), berbentuk kuadratik dengan model persamaan : Y = 0,05X2 -1,4X+51,84 (R 2 = 0,98) Gambar 1 menunjukkan adanya keeratan hubungan antara kadar hormon estradiol dengan umur dewasa kelamin (R 2 = 0,98). Kisaran umur dewasa kelamin yang terjadi akibat pemberian tepung daun katuk dalam ransum menunjukkan bahwa apabila kadar estradiol dalam plasma mempunyai konsentrasi yang tinggi, umur dewasa kelamin akan menjadi lebih cepat (singkat), sebaliknya apabila konsentrasi estradiol rendah, puyuh akan semakin lambat mencapai dewasa kelamin. Dewasa kelamin pada puyuh betina ditandai dengan pertama kali bertelur. Umur pertama kali bertelur pada puyuh terjadi antara 35 sampai 72 hari atau dengan rataan 41 hari (Woodard et al., 1973).

Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung daun katuk pada level 15% dalam ransum terbukti secara nyata (P<0,05) menghambat sintesis estrogen dan berdampak kepada terlambatnya umur dewasa kelamin pada puyuh jepang betina.

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

Daftar Pustaka
Agustal, A., M. Harapini dan Chaerul, 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk ( Sauropus androgynus (L) Merr.) dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3): 31. Allen, NK., and R.W. Schwartz, 1981. Effect of aging on the protein requirement of mature female Japanese quail for egg production. Journal of Poultry Sci ence 59: 2029-2037. Beck, M.M. and K.K. Hansen, 2004. Role of estrogen in avian osteoporosis . Poultry Science 83: 200-206. Chan, D,W., 1987. General Principle In : Chan D.W. and M.T. Immunoassay A Practical Guide. Inc. San Diego, New York, Sydney, Tokyo, Toronto. 1-24. of Immunoassay. Perlstein (Ed). Academic Press, Boston, London

Nesheim, M.C., R.E. Austic and L.E. Card, 1979. Poultry Production . 2 Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. Nort, M.O. and D.D. Bell, 1990. Commercial Production Manual fourth edition. Avi Book Published by Von Nostrand Reinhold. New York. [NRC] Nutrient Requirement of Poultry. 9 th , 1994. Revised Edition. National Academy Press. Washington, D.C. Piliang, W.G., A. Suprayogi, N. Kusumorini, M. Hasanah, S. Yuliani, dan Risfaheri, 2001. Efek pemberian daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap kandungan kolesterol karkas dan telur ayam lokal. Lembaga Penelitian IPB Bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Proyek ARMP II. Piliang W.G., A. Suprayogi, and N. Kusumorini, 2003. Vitamin A content in katuk leaves ( Saurophus androgynus L.Merr.) and its effect in enhanging the performance of laying hens. Improving the Vitamin A Status of Populations. Abstract XXI IVACG Meetin g. Marrakech. Marocco. Pineda, M.H. and R.A. Bowen, 1989. Embryo Transfer in Domestic Animals. In: Veterinary Endocrinology and Reproduction. McDonald, L.E. (editor). 4 th Ed. Lea and febiger, Philadhelpia. Ravnskov, U., 2003. The Cholesterol Myths. http://home2.swipnet.se/~w-25775/ [21 Desember 2005]. Santoso, U., dan Sartini, 2001. Reduction of fat accumulation in broiler chickens by Sauropus androgynus (Katuk) leaf meal supplementation. Asian-Australian Journal of Animal Science 14 : 346-350. Sefton, A.E., and P.B. Siegel, 1974. Inheritance of body weight in Japanese quail. Poultry Science 53: 1597-1603. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika-Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Cetakan Keempat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sturkie, P.D., 1976. Hypophysis. In : Avian Physiology . Sturkie, P.D. (editor). Edisi ke-3. New York : Springer-Verleg; hal. 287-301. Subekti, S., 2007. Senyawa fitosterol dalam daun katuk ( sauropus androgynus L.merr.) dan pengaruhnya pada fungsi reproduksi puyuh. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana : Institut Pertanian Bogor. Suherman, S.K., 2001. Estrogen, Antiestrogen, Progestin, dan Kontrasepsi Hormonal. Di dalam : Farmakologi dan Terapi. Ganiswarna SG (editor). Ed 4. Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

[DPC] Diagnostic Products Corporation, 2005 . Coat a Count 125 I Estradiol. TE 21 1361. Los Angeles, CA 90045-6900. Hoshino, M., T. Ohiwa, Y. Kamiya, A. Tanaka, A. Hirano, T. Kumai, K. Katagiri, M. Miyaji, and T. Takeuchi, 1993. Effect of dibutyril cicli AMP and papaverine on intrahepatocytic bile acid transport. Scand. Journal Grantoenterol Sept. 28 (9) : 838883. InterAg, 1996. Controlled Breeding and Reproductive Management . Eazi Breed CIDR. Hamilton New Zealand. Kaur, S., AB. Mandal, KB. Singh, and R. Narayan, 2004. Optimizing needs of essential amino acids in diets with or without fishmeal of growing Japanese quails (heavy body weight line). Central Avian Research Institute, Izatnagar 243 122 (UP), India. Di dalam : Worlds Poultry Congress, 8-13 June. Istambul Turkey. Kumai TT, M. Hosino, T. Hayakawa, and K. Higashi, 1994. Papaverine inhibits bile acid excretion in isolated perfused rat liver. Hepatology , 20:692699. Minville, F., 2004. The Future of Japanese for Research and Production. INRAGDA, Dpartement de Gntique Animale, 78352 Jonyen-Josas, France. Di dalam : XXII Worlds Poultry Congress, 8-13 June. Istambul Turkey. Muchtadi, D., N. Sri Palupi dan M. Astawan, 1993. Metabolisme Zat Gizi. Dalam : Sumber, Fungsi Dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Jilid. II. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 43-48.

Umur Dewasa Kelamin (Wiradimadja et al.)

71

Woodard, A.E., H. Abplanalp, Wilson, and P. Vohra, 1973. Javanese Quail Husbandry in the Laboratory . Departement of Avian Science. University of California.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 73 78 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Pengaruh Penggunaan Naungan terhadap Kualitas Semen Kambing Peranakan Ettawa


(The Effect of Shelter on Semen Quality of Peranakan Ettawa Goat)
Arif Qisthon dan Sri Suharyati
Fakultas Pertanian , Universitas Lampung, Bandarlampung 35145

ABSTRACT: The experiment was conducted to study the effect of shelter on semen quality of Peranakan Ettawa (PE) Goats Eight PE goats were allocated into cross over design. Four PE goats were placed under no shelter (09.00-14.30) and another one was placed under shelter. The results of this research showed that semen volume, sperm motility, sperm concentration, and live sperm percentage of PE goat under shelter were higher (P<0.01) than those of PE goat under no shelter. On the other hand, sperm abnormality of PE goat under shelter was lower (P<0.01) than that of PE goat under no shelter. It was concluded that the use of shelter could improve semen quality. Key Words : Shelter, semen, goat

Pendahuluan
Petani ternak di Indonesia umumnya memelihara ternak kambingnya secara semi intensif. Ternak dilepas atau digembalakan di tanah lapang atau padang rumput lain pada siang hari dan malam hari dikandangkan. Konsekuensi sistem pemeliharaan demikian adalah terjadinya beban panas yang berlebih atau cekaman panas pada ternak disiang hari, karena pengaruh langsung dari radiasi matahari dan suhu lingkungan yang tinggi. Purwanto et al. (1996) melaporkan bahwa cekaman panas menyebabkan meningkatnya frekuensi pernafasan, denyut jantung, suhu tubuh, suhu rektal, dan suhu permukaan kulit. Selain itu, akan menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum. Kondisi ini memaksa ternak untuk mengaktifkan mekanisme termoregulasi guna mempertahankan suhu tubuh pada kisaran normal, sehingga proses metabolisme atau biokimiawi di dalam tubuh dapat berlangsung secara optimum. Namun, mekanisme termoregulasi ini mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi dan reproduksi dipakai untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh ternak. Dengan demikian, dampak akhirnya adalah menurunnya kinerja produksi dan reproduksi ternak. Stott (1961) menyatakan bahwa suhu lingkungan panas akan mempengaruhi spermatogenesis dan menurunnya kualitas semen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan naungan atau atap sebagai salah satu upaya mengatasi cekaman panas terhadap kualitas semen kambing PE.

Metode Penelitian
Materi
Penelitian dilakukan dengan menggunakan delapan ekor kambing Peranakan Ettawa jantan berumur 1218 bulan dengan bobot badan awal 20-30 kg, di kandang yang berlokasi di Kelurahan Ganjar Agung, Kecamatan Metro Barat, Kota Metro, dari Oktober sampai Desember 2004. Peralatan yang digunakan adalah tempat pakan, tempat minum, timbangan dengan kapasitas 50 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang kambing, timbangan duduk kapasitas 10 kg dengan tingkat ketelitian 0,01 kg untuk menimbang rumput, termometer bola kering dan basah, higrometer, dan benda hitam pengukur radiasi matahari (black globe temperature), vagina buatan, mikroskop, haemocytometer, termos, gelas objek dan penutup, pemanas buncen, counter number, pipet hisap, kertas tisu, dan tabung reaksi. Bahan penelitian yang digunakan adalah air panas, pewarna eosin 2,00%, NaCl 3,00%, alkohol 70,00%, dan vaselin.

Metode
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Cross Over Design dengan dua perlakuan yaitu penempatan kambing di dalam kandang tanpa naungan atau atap dari pukul 09.00-14.30 (N0) dan penempatan kambing di dalam kandang dengan naungan/beratap sepanjang 24 jam (N1). Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan delapan kali pada dua periode.

73

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 73 78

77

Untuk mengetahui perbedaan respons antarperlakuan dilakukan dengan analisis ragam (Gaspersz, 1991). Ternak ditempatkan secara individual pada petakpetak dalam kandang dengan ukuran 125 x 150 cm. Atap yang digunakan terbuat dari rumbia. Atap kandang didesain sedemikian rupa sehingga bisa digeser untuk dibuka atau ditutup. Sebelum maupun sesudah perlakuan ternak berada dalam kandang dengan atap kandang terpasang. Selanjutnya kambing yang mendapat perlakuan tanpa naungan (dijemur matahari) ditempatkan pada kandang yang atapnya dibuka mulai pukul 09.00 14.30 setiap hari. Pada setiap periode, empat ekor kambing sepanjang hari ditempatkan di bawah naungan dan empat ekor lainnya di jemur langsung di bawah sinar matahari dari 09.0014.30. Tempat pakan dan minum disediakan untuk masing-masing kambing percobaan. Pemeliharaan kambing dilakukan selama delapan minggu. Dua minggu pertama merupakan masa adaptasi ternak terhadap perlakuan yang dicobakan, selanjutnya empat minggu berikutnya adalah masa pengambilan data. Pemberian pakan berupa rumput lapang dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 08.00 dan 17.00, sedangkan konsentrat diberikan sekali sehari pada pukul 07.00. Jumlah pemberian pakan berdasarkan kebutuhan bahan kering yaitu 3% bobot badan, dengan rasio hijauankonsentrat 60 : 40%. Air minum diberikan secara ad libitum.

meneteskan semen ke gelas objek lalu ditutup dengan cover glass dan dilihat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10 (Cole dan Cupps, 1981). Konsentrasi spermatozoa dihitung dengan cara: semen segar dihisap menggunakan pipet haemocytometer sampai skala 0,5 kemudian dihisap pengencer NaCl 3,00% dengan pipet yang sama sampai menunjukkan angka 101. Pipet dikocok berlahan-lahan seperti angka delapan selama 2-3 menit, lalu dibuang beberapa tetes dan dikocok kembali, dibuang lagi beberapa tetes dan setelah itu diteteskan pada kamar neubaur untuk diamati dengan mikroskop. Spermatozoa dihitung pada 5 dari 25 kotak yang ada yaitu pada kiri atas dan bawah, kanan atas dan bawah, serta yang berada di tengah (Hafez, 1993). Selanjutnya, konsentrasi spermatozoa dihitung dengan rumus berikut (Toelihere, 1993): Konsentrasi spermatozoa = Y x 400 x 200 (sel sperma/mm3) 80 0,10 Keterangan : Y = jumlah spermatozoa pada 5 kotak 400 = jumlah seluruh bilik kecil di haemocytometer 80 = jumlah bilik kecil dari 5 kotak 200 = pengenceran (200 kali ) 0,10 = volume bilik-bilik kecil Persentase spermatozoa hidup diketahui dengan menggunakan metode perwarnaan diferensial, dengan cara spermatozoa diteteskan ke kaca objek dan ditambahkan eosin 2%, lalu dibuat preparat ulas dan difiksasi dengan pemanas buncen selama 5-10 menit, selanjutnya preparat ulas tersebut diperiksa menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10 (Toelihere, 1993). Sel spematozoa yang hidup tidak atau sedikit menyerap zat warna, sedangkan sel yang mati akan menyerap warna. Kepala spermatozoa akan berwarna abu-abu pada bagian atas dan merah pada bagian bawah, sedangkan spermatozoa hidup akan berwarna terang (Hafez, 1993). Selanjutnya, persentase spermatozoa hidup dan mati dihitung dengan rumus Toelihere (1993): Persentase spermatozoa hidup (%) = X Y x 100% X Keterangan: X = Jumlah sel spermatozoa keseluruhan Y = Jumlah sel spermatozoa yang mati Persentase spermatozoa abnormal diketahui dengan penilaian spermatozoa secara morfologik pada preparat ulas yang telah dibuat. Pengamatan dilakukan pada bagian kepala, badan, dan ekor spermatozoa.

Peubah yang Diukur


Peubah yang diamati terdiri atas faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara relatif (RH), dan radiasi matahari), dan kualitas semen (volume semen, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, persentase spermatozoa hidup, dan persentase spermatozoa abnormal). Iklim. Pengamatan iklim dilakukan setiap hari pada pukul 09.00, 10.00, 12.00, dan 14.00. Suhu dan kelembaban udara diukur di bawah naungan dengan termometer bola kering-basah. Radiasi matahari diukur dengan mencatat suhu yang diterima benda hitam (black globe temperature) dan kemudian dihitung dengan rumus Stefan-Boltzmann, yaitu: Radiasi = T4 ; dimana = konstanta Stefan-Boltzmann (4,93x10-8) dan T = suhu mutlak (oK). Kualitas semen. Volume semen (ml/ekor/ejakulat) dihitung dengan melihat jumlah semen yang tertampung pada setiap ejakulat pada tabung penampung (Toelihere, 1993). Pemeriksaan motilitas spermatozoa dilakukan dengan pemeriksaan gerakan individu, dengan cara

78

ANIMAL ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 73 78

Menurut Toelihere (1993), rumus yang digunakan untuk menghitung persentase spermatozoa abnormal adalah sebagai berikut: Persentase spermatozoa abnormal (%) = Y/X x 100% Keterangan: X = Jumlah sel spermatozoa keseluruhan Y = Jumlah sel spermatozoa yang abnormal

Volume Semen
Rata-rata volume semen kambing PE yang dipelihara di bawah naungan (0,88 ml/ekor/ejakulat) sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata volume semen kambing PE yang dipelihara tanpa naungan (0,72 ml/ekor/ejakulat) (Tabel 2). Hal ini terjadi karena beban panas yang dialami kambing di kandang yang ternaungi lebih rendah daripada kambing di kandang yang tidak ternaungi. Beban panas yang lebih rendah tersebut diindikasikan dengan lebih rendahnya suhu lingkungan di dalam kandang yang ternaungi dibandingkan suhu dalam kandang yang tidak ternaungi (Tabel 1). Gatenby (1985) menyatakan bahwa hewan yang berada di bawah penyinaran matahari langsung, selain produksi panas metabolisme internal, juga akan memperoleh panas dari absorbsi langsung radiasi gelombang pendek. Dengan demikian, kambing yang mendapat perlakuan tanpa naungan akan mengalami tingkat cekaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang mendapat perlakuan naungan. Menurut Edey (1983), suhu lingkungan yang lebih dari 30oC akan menyebabkan penurunan sekresi gonadotropin dari kelenjar pituitari anterior yang menyebabkan penurunan produksi semen. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan hipothalamus terkena cekaman panas dan respon ini akan diteruskan ke hipofisa yang akan menghambat sekresi LH dan FSH. Keadaan ini mengakibatkan proses spermatogenesis dalam tubuli seminiferi terganggu sehingga produksi spermatozoa menurun (Haj, 1990). Cekaman panas juga mengakibatkan fungsi termoregulatoris skrotume terganggu dan suhu pada testes meningkat. Kondisi ini menyebabkan proses spermatogenesis menjadi terhambat sehingga menghasilkan volume semen yang kurang optimal.

Hasil dan Pembahasan


Kondisi Mikroklimat
Rataan suhu dan kelembaban lingkungan, serta intensitas radiasi matahari kandang penelitian disajikan pada Tabel 1. Data Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu dan radiasi matahari pada kandang tanpa naungan lebih tinggi daripada kandang dengan naungan. Sebaliknya, kelembaban dalam kandang tanpa naungan lebih rendah daripada di dalam kandang dengan naungan. Data faktor klimat, khususnya suhu lingkungan, baik pada kandang tanpa naungan maupun kandang dengan naungan menunjukkan lokasi penelitian tidak berada pada kondisi yang nyaman bagi ternak kambing, seperti yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkuwidjojo (1988) bahwa daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 dan 30oC. Peningkatan suhu terjadi sejalan dengan peningkatan besarnya radiasi matahari yang diterima. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ternak kambing di dua kondisi pemeliharaan selama penelitian mengalami beban panas yang cukup besar. Namun demikian, beban panas lebih kecil dialami pada kambing yang dipelihara di bawah naungan. Kondisi ini terlihat dari kemampuan naungan untuk memperbaiki lingkungan mikro dalam kandang naungan, yaitu menurunkan suhu dan radiasi matahari.

Tabel 1. Rataan suhu, kelembaban, serta intensitas radiasi matahari kandang penelitian Perlakuan Peubah Suhu (o C) Kelembaban (%) Radiasi (Kkal/m2 /jam) N0 (tanpa naungan) 34,30 1,62 59,84 6,32 457,54 2,67 N1 (dengan naungan) 33,18 1,69 62,18 8,13 440,43 11,37

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 73 78

77

Tabel 2. Rataan volume semen, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta spermatozoa hidup dan abnormal Perlakuan Peubah Volume semen (ml/ekor/ejakulat) Motilitas spermatozoa (%) Konsentrasi spermatozoa (juta sel/ml) Spermatozoa hidup (%) Spermatozoa abnormal (%)
a,b,

N0 (tanpa naungan) 0,72 0,09b 74,61 4,69b 3,14 0,60 b 82,17 5,48 b 2,84 0,17 b

N1 (dengan naungan) 0,88 0,08a 83,73 4,90a 3,77 0,51a 88,34 2,73a 2,46 0,34
a

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,01

Hasil penelitian ini, meskipun suhu lingkungan pada kedua perlakuan kurang nyaman, volume semen yang dihasilkan masih masuk dalam kisaran normal yaitu 0,1-3,5 ml (Williamson dan Payne, 1993) atau 0,5 -1,5 ml (Evans dan Maxwell, 1987).

Motilitas Spermatozoa
Hasil pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai ratarata motilitas spermatozoa kambing PE yang dipelihara di bawah naungan sangat nyata (P<0,01) lebih baik (83,73%) dibandingkan nilai rata-rata motilitas spermatozoa kambing PE yang dipelihara tanpa naungan (74,61%). Pemberian naungan terbukti mampu menurunkan suhu lingkungan kandang. Menurut Curtis (1983), desain naungan yang baik akan mampu mengurangi total beban panas yang diterima ternak sebesar 30-50%, serta mampu menurunkan suhu udara lingkungan di bawah struktur naungan selama radiasi matahari mencapai maksimal. Kambing yang dipelihara tanpa naungan menunjukkan motilitas yang lebih rendah dibandingkan ternak yang dipelihara menggunakan naungan. Hal ini berhubungan dengan suhu lingkungan kandang yang tidak menggunakan naungan lebih tinggi (Tabel 1). Motilitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Peningkatan dan penurunan suhu dapat menurunkan daya motilitas spermatozoa. Ternak yang mengalami cekaman panas akan mengurangi produksi panas dengan cara menurunkan konsumsi ransum. Hal tersebut akan menurunkan suplai energi di dalam tubuh ternak. Menurut Purwanto et al. (1996), temperatur yang tinggi dapat memengaruhi fungsi reproduksi ternak sebagai akibat dari menurunnya sintesis hormon tiroksin sehingga proses metabolisme sel akan menurun. Selanjutnya Nalbandov (1990) menyatakan bahwa fungsi hormon tiroid adalah menstimulasi spermatogenesis.

di bawah naungan sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi (3,77 juta sel/ml) dibandingkan nilai rata-rata konsentrasi spermatozoa kambing PE yang dipelihara tanpa naungan (3,14 juta sel/ml). Nilai rataan konsetrasi spermatozoa yang diperoleh dari kambing yang ternaungi lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata konsentrasi spermatozoa yang diperoleh dari kambing yang tidak ternaungi. Hal ini disebabkan ternak pada kandang tanpa naungan mengalami beban panas yang lebih besar dibandingkan dengan ternak pada kandang naungan. Ternak yang mendapat beban panas yang besar akan berakibat pada berkurangnya suplai energi yang didapat dari metabolisme pakan, hal ini akan berakibat pada berkurangnya sintesis hormon. Menurut Johnson (1985), lingkungan yang panas menyebabkan penurunan motilitas, konsentrasi, dan menghambat spermatogenesis. Pada kandang yang tidak ternaungi memiliki suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan kandang ternaungi. Keadaan ini menyebabkan hipothalamus terkena cekaman panas yang berlebih. Respon ini akan diteruskan ke hipofisa yang akan menghambat sekresi LH dan FSH. Rendahnya hormon LH dan FSH menyebabkan penurunan produksi sperma dan motilitas spermatozoa yang dihasilkan akan rendah (Haj, 1990). Nilai rata-rata konsentrasi spermatozoa kambing PE yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 3,14 dan 3,77juta sel/ml. Menurut hasil penelitian Williamson dan Payne (1993), rata-rata konsentrasi spermatozoa dalam semen sebesar 2,70 juta/ml.

Persentase Spermatozoa Hidup


Hasil pengamatan secara mikroskopis terlihat bahwa nilai rata-rata persentase spermatozoa hidup kambing PE yang dipelihara di bawah naungan memberikan hasil lebih tinggi (88,34%) dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase spermatozoa hidup kambing PE yang dipelihara tanpa naungan (82,17%).

Konsentrasi Spermatozoa
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2), nilai rataan konsentrasi spermatozoa kambing PE yang dipelihara

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 73 78

77

Hafez (1993) menyatakan bahwa lingkungan panas akan menurunkan persentase spermatozoa normal dan fertil pada ejakulat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Stott (1961) bahwa temperatur yang tinggi berpengaruh pada spermatogenesis dan menurunnya kualitas semen. Cekaman panas juga akan memengaruhi kerja testes untuk menghasilkan hormon testosteron. Salah satu fungsi hormon testosteron adalah memperpanjang umur sperma di epididimis. Semakin menurunnya sekresi hormon testosteron tersebut menyebabkan persentase spermatozoa hidup juga menurun. Berdasarkan hasil penelitian ini, sperma yang dihasilkan dari kambing yang mendapat perlakuan naungan memiliki motilitas spermatozoa yang lebih tinggi sehingga persentase spermatozoa hidup yang diperoleh akan lebih tinggi juga. Hal ini karena sperma yang motil menunjukkan bahwa sperma itu hidup.

rendah dibandingkan dengan rata-rata suhu rektal kambing PE yang dipelihara tanpa naungan (39,08C). Pada hewan mamalia, proses spermatogenesis terjadi pada suhu tubuh 34-37C (Salisbury dan VanDemark, 1985). Menurut McDowell (1972), suhu lingkungan yang lebih dari 30C akan menaikkan suhu testikuler, melemahkan spermatogenesis, menurunkan produksi androgen, libido, dan kualitas sperma. Rata-rata persentase spermatozoa abnormal berkisar antara 2,46 dan 2,84%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semen yang dihasilkan masih layak untuk digunakan untuk inseminasi maupun untuk pemacek, karena kurang dari 15% sperma abnormalnya (Evans dan Maxwell, 1987).

Kesimpulan
Penggunaan naungan di lingkungan panas dapat memperbaiki kualitas semen kambing PE yang meliputi volume semen, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, persentase spermatozoa hidup, dan persentase spermatozoa abnormal.

Persentase Spermatozoa Abnormal


Persentase spermatozoa abnormal dari kambing PE yang mendapat perlakuan tanpa naungan lebih tinggi (2,84%) dibandingkan persentase spermatozoa abnormal dari kambing yang mendapat perlakuan naungan (2,46%). Hal ini terjadi karena pada kambing PE yang mendapat perlakuan tanpa naungan memiliki suhu lingkungan yang lebih tinggi, dan kelembaban udara yang lebih rendah dibandingkan pada kambing yang mendapat perlakuan naungan. Selain itu pada kambing yang tidak mendapat naungan juga menerima radiasi sinar matahari secara langsung. Adanya suhu lingkungan yang tinggi, kelembaban udara yang rendah, dan radiasi sinar matahari langsung yang diterima pada siang hari menyebabkan kambing menerima cekaman panas yang berlebih. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya spermatozoa abnormal. Menurut Hafez (1993), lingkungan yang panas menyebabkan penurunan persentase spermatozoa normal. Pembentukkan sperma secara aktif akan terjadi bila suhu testes lebih rendah dari suhu tubuh, sehingga proses spermatogenesis akan berlangsung dengan baik. Apabila suhu tubuh terlalu tinggi akibat pengaruh suhu lingkungan yang tinggi, maka akan menyebabkan meningkatnya suhu testes. Dengan meningkatnya suhu testes abnormalitas pada sperma akan tinggi. Hal ini terjadi karena adanya perubahan suhu testes yang memengaruhi reproduksi hewan jantan sehingga fungsi termoregulasi skrotum terganggu. Pada penelitian ini, rata-rata suhu rektal kambing PE yang dipelihara di bawah naungan (38,69C) lebih

Ucapan Terimakasih
Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui Penelitian Dosen Muda.

Daftar Pustaka
Cole, H. H. and T. Cupps. 1981. Reproduction in Domestic Animal. Academic Press. New York. Curtis, S. E. 1983. Environmental Management in Animal Agricultural. The Iowa State University Press. Ames. Iowa. Edey, T.N. 1983. Tropical Sheep and Goat Prodution. Australian Universities International Development Program. Canberra. Evans, G. and W.M.C. Maxwell. 1987. Salamons Artificial Insemination of Sheep and Goats. Butterworths. London. Gaspersz, V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Vol II. Tarsito Bandung. Gatenby, R. M. 1985. Shelter for Animal in Hot Countries. In: Effects of Shelter on The Physiology in Livestock. J. Grace (ED). Sweats and Zeitlinger B. V. Lisse.

78

ANIMAL ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 73 78

Hafez, E.S.E., 1993. Semen Evaluation. In: Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. E.S.E. Hafez (Ed). Lea and Febiger. Philadelphia. Haj, S. D. A., 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Volume 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Johnson, H.D., 1985. Physiological Responses and Productivity of Cattle. In: Stress Physiology of Livestock. Vol II. M. K. Yousef (Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. McDowell, R.E., 1972. Improvement of Livestock Prodution in Warm Climates. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Nalbandov, A. V., 1990. Ilmu Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Edisi Ketiga. UI Press. Jakarta. Purwanto, B.P., M. Harada and S. Yamamoto, 1996. Effect of drinking water temperature on heat balance and

thermoregulatory responses in dairy heifer. Australia Journal Agriculture Resume 47:505-511. Salisbury, G. W. and N. L. VanDemark, 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Alihbahasa oleh R. Djanuar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Smith, J,B. dan S. Mangkuwidjoyo, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Cetakan Pertama. Penerbit UI. Jakarta. Stott, G.H., 1961. Female and breed associated with seasonal fertility variation in dairy cattle. Journal of Dairy Science 44: 1698-1704. Toelihere, M.R., 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa Bandung. Bandung. Wiliamson, E. dan W. J. A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis. Alihbahasa oleh Ida Bagus Djagra. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 79 81 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Pengaruh Pemberian Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) dan Bioplus terhadap Solid Non Fat, Total Solid dan pH Susu Sapi Perah Fries Holland Penderita Mastitis Sub-Klinis
(The Effect of Supplementation Sunflowers (Helianthus annuus L.) and BIOPLUS to the Solid Non Fat, Total Solid and Milk Acidity of Sub-clinical Mastitiss Holstein Dairy Cows)
Ellyza Nurdin
Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang

ABSTRACT: A research about The Effect of Supplementation Sunflowers (Helianthus annuus L.) and BIOPLUS to the Solid Non Fat, Total Solid and Milk Acidity of Sub-clinic Mastitiss Holstein Dairy Cows had been done in a small farm at Nagrak Kulon Valley, Lembang-Bandung. The aim of this research is to know about the effect of supplementation Sunflower and BIOPLUS to the Solid Non Fat (SNF), Total Solid (TS) and Milk Acidity (pH) of sub-clinic Mastitiss Holstein Dairy Cows. This research using 16 Holstein Dairy Cows with 2-4 lactation periode and 2-4 lactation month. The method that using in this research is Random groups method with 4 treatment such as R0 (control), R1 (0.01% body weight of sunflowers), R2 (100 gram of BIOPLUS) and R3 (R1 + R2). As the result of this research is no effect (P>0.05) of supplementation sunflowers and BIOPLUS to the Solid Non Fat, Total Solid and Milk Acidity of Sub-clinical Mastitiss Holstein Dairy Cows. SNF is 8.50 % - 8.75 %, TS is 12.51 % - 12.65 % and pH is 6.72 6.85. Key Words : Sunflowers, BIOPLUS, Sub-clinical Mastitis, SNF, TS, pH

Pendahuluan
Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah adalah pakan dan penyakit. Makanan sapi perah yang utama adalah rumput, sedangkan di Indonesia kualitas hijauan masih relatif rendah dan ketersediaannya sepanjang tahun tidak merata. Disamping itu, kondisi sapi perah di Indonesia 60 90 % terserang mastitis dan 80 - 90% diantaranya adalah mastitis sub-klinis. Penyakit ini keberadaannya kerapkali tidak disadari oleh peternak, padahal penyakit mastitis sangat merugikan secara ekonomis karena dapat menurunkan kualitas dan kuantitas susu sapi perah. Kondisi ternak yang terserang penyakit mastitis akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem mikroba dalam rumen sehingga laju fermentasi akan menurunkan produktivitas sapi perah. Laju fermentasi rumen sangat tergantung kepada keseimbangan ekosisitem mikroba di dalam rumen, oleh sebab itu untuk mengatasi masalah diatas dilakukan biotransfer dengan cara memasukkan kultur mikroba hidup ke dalam rumen resipien atau lebih dikenal dengan probiotik. Probiotik yang ada di pasaran diantaranya adalah BIOPLUS yang diproduksi oleh BALITNAK, Ciawi-Bogor.

Mastitis dapat diobati dan pengobatan yang dilakukan selama ini adalah dengan menggunakan antibiotika secara intra-mammae . Masalahnya selama ini kontrol terhadap pemakaian antibiotika ini sangat sulit dilakukan, sedangkan konsumen susu menuntut kualitas susu (SNF, TS dan pH) yang baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan yang terpenting bebas dari antibiotik (Barton, 2000; Barton and Hart, 2001). Latar belakang masyarakat Indonesia yang telah terbiasa dan telah mengenal tanaman obat untuk mengatasi berbagai macam penyakit menjadi salah satu faktor pemanfaatan tanaman obat dalam mengatasi penyakit mastitis. Ada berbagai macam alternatif tanaman obat untuk mastitis tetapi yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia adalah receptalum Bunga Matahari (BUMATA). Tanaman ini mengandung senyawa antiokidan dan antiinflamasi yaitu alkaloid, flavanoid, triterpenoid dan saponin yang diharapkan dapat mencegah terjadinya kerusakan oksidatif dari membran sel alveoli dan menekan derajat mastitis melalui perbaikan integritas sel alveoli kelenjar mammae sehingga kuantitas dan kualitas susu dapat ditingkatkan, juga menekan jumlah bakteri patogen dan rumen. Berdasarkan hal tersebut dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pemberian

79

80

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 79 - 81

Bunga Matahari ( Helianthus annuus L. ) dan BIOPLUS terhadap solid non fat (SNF), total solid (TS) dan pH Susu Sapi Perah Fries Holland Penderita Mastitis Sub-klinis.

keragaman dan untuk mengetahui perbedaan ratarata antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan.

Hasil dan Pembahasan Metode Penelitian


Penelitian dilaksanakan di peternakan rakyat Kampung Nagrak Kulon, Desa Sukajaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung menggunakan 16 ekor sapi perah FH mastitis sub-klinis positif 2 (++), berada dalam kondisi masa laktasi 2 dan periode laktasi bulan ke 2 4. Ransum yang diberikan adalah hijauan (50% rumput raja + 50% lapangan) sebanyak 40 kg/ekor/hari dan konsentrat jadi yang berasal dari KPS-BU sebanyak 6 kg/ekor/hari. Ransum yang diberikan tersebut telah memenuhi kebutuhan berdasarkan 4% FCM (Sudono, 1999). Bunga Matahari berasal dari Balai Benih Utama (BBU) Lembang yang telah dipanen bijinya untuk industri, selanjutnya limbah Bunga Matahari berupa tongkol bunga ( receptalum) digiling halus dan diberikan kepada ternak sebanyak 0,01% berat badan/ekor/minggu. BIOPLUS berasal dari BALITNAK-Ciawi, Bogor diberikan sebanyak 100 gram/ekor. Penelitian menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan (R 0: kontrol; R 1: pemberian BUMATA sebanyak 0,01% berat badan; R 2 : pemberian BIOPLUS sebanyak 100 gram; dan R 3 : R 1 + R 2). Ternak dikelompokkan ke dalam 4 kelompok ternak sebagai ulangan, pengelompokkan ternak berdasarkan produksi susu yaitu kelompok I: < 8 l/ekor/hari, Kelompok II: 8 12 l/ekor/hari, Kelompok III: 12 16 l/ekor/hari dan Kelompok IV: > 16 l/ekor/hari. Peubah yang diukur adalah solid non fat (SNF), total solid (TS) dan pH. SNF dan TS dihitung dengan rumus Fleischman . Data diambil setiap minggu selama 3 bulan penelitian. Data hasil penelitian di analisis menggunakan analisis Data pengaruh perlakuan terhadap solid non fat (SNF), total solid (TS) dan pH susu dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai SNF dan TS (P>0,05). Nilai SNF berkisar antara 8,50 - 8,75% dengan nilai tertinggi adalah SNF pada perlakuan kontrol. Sedangkan rata-rata nilai TS pada penelitian ini adalah 12,50 - 12,66% dengan nilai tertinggi pada perlakuan R 3. Nilai SNF dan TS pada penelitian ini sesuai dengan standar dari SNF dan TS yang ditetapkan SNI (1998) yaitu sebesar 8%. Rendahnya nilai SNF dan tingginya TS pada perlakuan pemberian BIOPLUS, BUMATA dan kombinasinya dibandingkan dengan kontrol disebabkan kadar lemak masing-masing perlakuan lebih besar dibandingkan kadar lemak kontrol. SNF dan TS sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan BJ karena SNF merupakan pengurangan TS dengan kadar lemak. Apabila kadar SNF rendah berarti kadar lemak tinggi, BJ turun dan TS cenderung meningkat (Foley et al., 1973). Pada perlakuan R 1 terjadi penurunan SNF sebesar 2,94%, R 2 penurunan 2,55% dan R 3 terjadi penurunan sebesar 1,23% dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan nilai TS masing-masing perlakuan pada penelitian ini menunjukkan peningkatan nilai dibanding perlakuan kontrol. TS meningkat sebesar 0,02% pada perlakuan R 1 , 0,70% pada perlakuan R 2 , dan 1,26% pada perlakuan R 3 . Terjadinya penurunan SNF perlakuan dibandingkan kontrol karena terjadi peningkatan kadar lemak susu akibat pemberian BUMATA dan BIOPLUS yang berakibat baik terhadap kondisi ternak pada masingmasing perlakuan. Pemberian BUMATA sebagai

Tabel 1. Solid non fat (SNF), total solid (TS) dan pH susu Perlakuan R0 R1 R2 R3 Solid Non Fat (%) 8,75 8,50 8,53 8,65 Total Solid (%) 12,50 12,51 12,59 12,66 pH 6,85 6,72 6,83 6,76

Keterangan : R 0 = kontrol R 1 = pemberian BUMATA sebanyak 0.01% berat badan R 2 = pemberian BIOPLUS sebanyak 100 gram R 3 = R 1 + R 2.

Pengaruh Pemberian Bunga Matahari (Nurdin)

81

antioksidan dan antiinflamasi pada ternak menciptakan ekologi rumen yang baik, demikian juga dengan pemberian BIOPLUS dapat menambah populasi mikroba di dalam rumen sehingga produksi asam asetat sebagai prekursor pembentukan lemak susu juga meningkat. Kadar lemak untuk masing-masing perlakuan adalah R 0 : 3,75%, R 1 : 4,06%, R 2 : 4,02%, R 3 : 4,01%. Perlakuan BUMATA, BIOPLUS dan kombinasinya menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Perlakuan dengan BUMATA mampu meningkatkan populasi bakteri karena kandungan antioksidan dan antiinflamsi yang dikandungnya memberikan lingkungan yang baik bagi mikroba rumen untuk berkembang dan kandungan saponin yang ada dalam BUMATA dapat membantu menekan bakteri patogen dan meningkatkan populasi bakteri apatogen rumen. Pada pemberian BIOPLUS, bakteri selulolitik yang dikandungnya menyebabkan pencernaan serat kasar menjadi lebih tinggi (Martin dan Nisbet, 1992). Hal ini dapat dilihat pada Nurdin (2004) bahwa pemberian BUMATA, BIOPLUS dan kombinasinya nyata meningkatkan bakteri rumen 11,79 x 10 10 ; 14,90 x 10 10 ; dan 7,28 x 10 10 CFU/ml, produksi total VFA sebesar 329,39; 267,06 dan 326,28 mg/100ml. Kondisi ini mengakibatkan kadar lemak susu meningkat dan dengan meningkatnya kadar lemak, maka SNF akan turun dan TS akan meningkat. Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pH susu (P>0,05) dan rata-rata pH susu berkisar antara 6,72 6,85. Angka ini berada diatas pH susu normal yaitu 6,30 6,75. Tingginya rata-rata nilai pH tersebut karena sapi yang dipakai dalam penelitian ini adalah sapi yang terserang mastitis sub-klinis dan akan memberikan reaksi basa pada susu yang dihasilkan, hal ini disebabkan jumlah sel radang dan adanya bakteri patogen dalam susu (Sudarwanto, 1998; Harmon, 1994). pH susu perlakuan R 1 sebesar 6,72 berada dalam batas susu normal, hal ini disebabkan pada pemberian BUMATA (R 1) sel radang turun secara nyata sebesar 67,96%, bakteri patogen turun sebesar 66% dan total bakteri susu turun 88,75% (Nurdin, 2006). Berarti pemberian BUMATA mampu mengatasi mastitis pada ternak sapi perah.

solid non fat (SNF), total solid (TS) dan pH susu sapi perah Fries Holland penderita mastitis subklinis. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan meningkatkan dosis pemberian BIOPLUS dan Bunga Matahari dalam memperbaiki SNF, TS dan pH susu sapi perah Fries Holland penderita mastitis sub-klinis. Pemberian Bunga Matahari dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas susu dan mengatasi mastitis subklinis pada sapi perah Fries Holland.

Daftar Pustaka
Barton, M.D., 2000. Antibiotics or probiotics. Reducing antibiotic resistance. Asian-Australian Journal Animal Science. 13: 352 355 (Supplement). Barton, M.D. and W.S. Hart, 2001. Public health risks. Antibiotic resistance. Review. Asian-Australian Journal Animal Science. 14(3): 414 422. Chant, G., 1997. The Effect of SCC on milk and dairy product quality. http//www.agri.gov.ns.ca/news/ 1997/vol.69/13 html. Folley, R.C., D.I. Bath, F.N.Dickinson and H.A.Tucker, 1973. Dairy Cattle. Principal, Practices, Problem, Profit. Lea and Febinger. Philadelphia. Harmon, R.J., 1994. Mastitis and genetics. Evaluation for somatic cell count. Journal Dairy Science 77(7). Martin, S.A. and D.J. Nisbet, 1992. Effect of direct-fed microbials on rumen microbial fermentation. Journal Dairy Science 75: 1736. Nurdin, E., 2004. Efek pemberian BIOPLUS-Sc dan receptalum bunga matahari terhadap ekologi rumen sapi perah Fries Holland penderita mastitis subklinis. Jurnal Petenakan dan Lingkungan 10(02). Nurdin, E., 2006. Pengaruh Pemberian Receptalum Bunga Matahari dan BIOPLUS terhadap Penurunan Derajat Mastitis pada Sapi Perah Fries Holland Penderita Mastitis Subklinis. Seminar Nasional BKS Barat. Universitas Jambi, Jambi. Sudarwanto, M. 1998. Pereaksi IPB-1 Sebagai Pereaksi Alternatif untuk Mendeteksi Mastitis Subklinis. Media Veteriner 5(1): 1 5.

Kesimpulan
Pemberian BIOPLUS, Bunga Matahari dan kombinasinya tidak berpengaruh nyata terhadap

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 82 91 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Bakteri Asam Laktat dari Intestin Ayam sebagai Agensia Probiotik


(Lactic Acid Bacteria Isolated from the Gastro-Intestinal Tract of Chicken: Potential Use as Probiotic)
Sri Harimurti 1 , Endang Sutriswati Rahayu
1 2

2*

, Nasroedin 1 dan Kurniasih 3

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 Department of Food and Agricultural Technology Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281 3 Faculty of Veterinary Medicine Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281

ABSTRACT: Lactic acid bacteria have been suggested to have several beneficial effects on human and animals. These bacteria, indigenous to the gastro-intestinal tract, are important in regulating the balance among the desirable and undesirable intestinal microflora and in controlling enteric pathogenic infection in the host. Objectives of this research are to obtain lactic acid bacteria isolates from gastro-intestinal tract of chicken and to screen their ability as a probiotic agent i.e., their antagonistic against pathogenic bacteria, their survival at low pH and high concentration of bile salt. In this research, 74 samples used as sources of bacteria, and among them only 11 samples could be isolated as lactic acid bacteria with the total number of isolates of 61. Based on the preliminary screening i.e., their antagonistic factor against pathogenic bacteria, 20 isolates was further studied. Based on the identification scheme, these isolates belong to three species, i.e., Lactobacillus murinus, Pediococcus acidilactici, and Streptococcus thermophilus. The result showed that most isolates grow well in the media with the initial pH of 5.5, but their growth were retarded when the initial pH 3.5. Only one isolate Streptococcus thermophilus Kp-2 showed its growth at initial pH of 3.5. All isolates did not show any growth at initial pH 2.5, though their viability still high. The result based on the isolates resistance to bile salt showed that most isolates could grow at media with 0.20% of bile salt. Their growth was inhibited with the increasing bile salt concentration. However, few isolates could grow well at media with 1% of bile salt. Based on their characteristics three isolates i.e., Lactobacillus murinus Ar-3, Streptococcus thermophilus Kp-2, and Pediococcus acidilactici Kd-6 were selected as probiotic agents for the continuing research. i.e. production of biomass and its application to chicken production. Key Words : Lactic acid bacteria, gastro- intestinal tract of chicken, probiotic agents

Pendahuluan
Probiotik oleh Fuller (1989) diartikan sebagai suplemen pakan yang berisi mikrobia hidup ( directfed microbials ). Kini banyak dijadikan alternatif untuk menggantikan penggunaan antibiotik yang berlebihan atau paling tidak menurunkan dosis yang digunakan oleh para peternak ayam (Yeo dan Kim, 1997). Menurut Jin et al. (1997) penggunaan antibiotik yang terus menerus dengan dosis subterapi untuk pakan ayam akan meninggalkan residu pada daging dan telur dan dapat meningkatkan resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik ( drugresistant bacteria ). Di-laporkan bahwa ayam broiler yang dipelihara selama 33 hari diberikan dua tingkatan dosis antibiotik fluoroquinolone dan erofloxacin sebesar 25 ppm dan 50 ppm, memperlihatkan adanya residu dari keduanya pada daging

Korespondensi penulis : e-mail endangsrahayu@yahoo.com

dada dan paha baik selama ayam diberi antibiotik maupun setelah tiga hari dan tujuh hari diberhentikan pemberiannya (Reyes Herrera et al., 2005). Standard maksimal residu antibiotik sudah ditentukan oleh FDA yaitu sebesar 0,50 g/g daging. Namun demikian hasil monitoring Food Safety Inspection Service (FSIS) tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 ditemukan pelanggaran adanya residu antibiotik pada daging kalkun muda dan ayam muda sebesar 0,20% dan pada ayam dewasa 0,40% (Donoghue, 2003). Probiotik dengan menggunakan bakteri yang potensial dapat memacu keseimbangan mikroflora pada saluran pencernaan sehingga mikroflora yang normal dapat sedini mungkin dimiliki oleh ayam. Ayam dengan kondisi mikroflora yang seimbang akan memiliki resistensi atau daya tahan yang lebih kuat, khususnya terhadap serangan bakteri patogen usus (Carvalho dan Hansen, 2005). Probiotik yang diperkirakan dapat meningkatkan produksi ternak juga memiliki keuntungan yang lain yaitu dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan,

82

Bakteri Asam Laktat (Harimurti et al.)

91

menurunkan aktivitas enzim bakteri dan produksi amonia, perbaikan feed intake and digestion, serta dapat menstimulasi sistem imunitas (Davis dan Anderson, 2002). Gilliland (1989) dan Fuller (1989) menyebutkan persyaratan bakteri asam laktat (BAL) yang dapat digunakan sebagai agensia probiotik, selain harus merupakan penghuni tetap jalur pencernaan, bakteri ini harus memiliki sifat : toleran terhadap asam atau empedu, mampu tumbuh dengan cepat dan memproduksi asam dalam jumlah besar pada jalur intestin, memproduksi substansi antimikrobia yang dapat menekan patogen intestin, mempunyai kemampuan untuk menempel pada sel epitel usus, sehingga akan terjadi peningkatan sel lempeng Peyer sebagai indikasi tersekresinya immunoglobulin (IgA) yaitu reaksi terbentuknya kekebalan ayam terhadap infeksi bakteri. Syarat ideal lainnya adalah dapat dikembangbiakkan dengan mudah dan cepat, toleran terhadap panas dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap proses preparasi dan penyimpanan (Salminen dan Wright, 1998). Probiotik komersial saat ini memang telah banyak dipasarkan, namun demikian potensinya perlu diuji terlebih dahulu untuk dikembangkan di Indonesia. Probiotik dengan memanfaatan isolat BAL yang diisolasi dari ayam lokal dan yang berpotensi untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen yang menjadi kasus setempat, diperkirakan lebih prospektif. Penggunaan isolat indigenous dari saluran pencernaan ayam sehat lokal memiliki keunggulan karena lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga keseimbangan mikroflora dengan cepat dapat diperoleh. Ayam yang sejak dini sudah memiliki keseimbangan mikroflora yang baik dan mantap akan lebih resisten terhadap serangan infeksi bakteri patogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui isolasi bakteri asam laktat (BAL) dari saluran pencernaan ayam dan skrining terhadap potensinya sebagai agensia probiotik ayam.

digunakan untuk isolasi bakteri asam laktat adalah dengan metode goresan pada media GYP yang ditambah dengan CaCO 3 . Caranya dengan inokulasi goresan kultur yang tumbuh pada GYP cair. Sampel dari berbagai organ pencernaan ayam yang masih segar dimasukkan ke dalam media cair GYP (glukosa-yeast ekstrak-pepton pada berbagai variasi pH awal) yang ditambah 0,20% oxgall dan 0,20% bile salt sebagai agensia selektif mikrobia intestin dan 10 ppm sodium azida untuk mengikat oksigen sehingga menekan pertumbuhan mikrobia aerob. Inkubasi dilakukan pada vacuum chamber, suhu 37 C selama 24-48 jam untuk memberi kesempatan bakteri berkembang biak. Koloni bakteri asam laktat dapat dibedakan dengan koloni bakteri yang lain yaitu dengan munculnya zona jernih akibat dari asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Koloni yang diduga bakteri asam laktat ini selanjutnya dimurnikan.

Uji Aktivitas Antibakteri Patogen


Salah satu kriteria yang digunakan untuk memilih isolat BAL yang akan digunakan sebagai agensia probiotik adalah kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen enterik yang menjadi kasus utama di Indonesia, yaitu Esherichia coli dan Salmonella. Adapun metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah difusi agar menggunakan metode sumuran. Untuk uji antibakteri (non asam), kultur yang telah tumbuh pada medium TGE (triptonglukosa-yeast ekstrak) umur 24 jam, dipisahkan dengan sentrifugasi. Supernatan yang telah dinetralkan diuji aktivitas penghambatannya terhadap bakteri patogen. Cara pengujiannya yaitu dengan meneteskan kultur atau supernatan netral pada sumuran atau paper disc yang diletakkan ditengah cawan Petri yang sebelumnya telah dituangi (overlay) dengan media yang diinokulasi dengan bakteri patogen (Rahayu et al., 1996). Kemampuan penghambatan terhadap bakteri patogen ditunjukkan dengan munculnya zona jernih disekeliling sumur atau paper disc. Bakteri patogen enterik yang digunakan dalam penelitian ini diambilkan dari koleksi Klinik Hewan di Yogyakarta.

Metode Penelitian
Sumber dan Isolasi Bakteri Asam Laktat
Sampel yang digunakan sebagai sumber bakteri asam laktat dalam penelitian ini adalah organ pencernaan ayam ( crop, gizzard, duodenum, jejunum dan ileum, caecum, colon). Organ pencernaan diambil dari ayam kampung dewasa sehat di Yogyakarta. Adapun metode yang

Kecepatan Tumbuh dan Uji Asam


Uji yang lain yang digunakan sebagai kriteria untuk seleksi BAL adalah uji kecepatan tumbuh dan asam yang dihasilkan, caranya yaitu isolat BAL ditumbuhkan pada media yang cocok (MRS atau TGE) dan setiap periode waktu tertentu diuji massa sel (OD) dan asam (titrasi dengan 0.1 N NaOH) yang

90

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 82 - 91

terbentuk. Uji yang lain adalah ketahannya terhadap asam (bile salt), caranya adalah menumbuhkan BAL pada MRS atau TGE yang ditambah dengan bervariasi konsentrasi bile salt, dan diuji ketahanannya.

Pengujian Ketahanan terhadap Bile Salt


Untuk mengetahui ketahanannya terhadap bile salt atau garam empedu, isolat BAL ditumbuhkan pada media cair PGY dengan variasi konsentrasi bile salt yaitu 0,20; 0,40; 0,80 dan 1,00%, dan tanpa bile salt sebagai kontrol. Kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37C. Pertumbuhan BAL dinyata-kan dengan OD (optical density) pada = 660 nm. Pada uji ini juga dilakukan perhitungan jumlah koloni pada awal dan setelah inkubasi 24 jam.

Pengujian Ketahanan terhadap Kondisi Asam


Untuk mengetahui ketahanannya terhadap kondisi asam, isolat BAL ditumbuhkan pada media cair PGY dengan variasi pH awal media yaitu pH 2,50; 3,50; 4,50; dan 5,50 dan tanpa pengaturan pH. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan HCl. Kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37C. Pertumbuhan BAL dinyatakan dengan OD (optical density) pada = 660 nm. Pada uji ini juga dilakukan perhitungan jumlah koloni pada awal dan setelah inkubasi 24 jam.

Hasil dan Pembahasan


Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Tahapan isolasi adalah diarahkan pada LactobacilLus dan bakteri asam laktat yang lain dari bagian-

bagian saluran pencernaan ayam mulai dari crop, gizzard, duodenum, jejunum dan ileum, caecum serta colon yang berasal dari berbagai jenis ayam kampung (Arab, Legund, Kedu, Ayam Kapas) ataupun ayam kampung yang dijual di pasaran. Pemilihan ayam kampung sebagai sumber mikrobia pada penelitian ini adalah dugaan bahwa mikroflora yang terdapat pada ayam ini lebih bervariasi dibandingkan ayam ras pedaging maupun ayam petelur yang sering kali pakannya disuplementasi dengan antibiotik. Di samping itu ayam kampung yang dilepas berkeliaran (liar) belum dipengaruhi antibiotik. Isolat yang sudah terpengaruh dikhawatirkan resisten terhadap mikrobia. Gen resistensi mikrobia diatur oleh plasmid dan DNA yang strukturnya sirkular. Bila terjadi konjugasi maka khusus untuk plasmid tertentu akan menstransfer DNA dari strain bakteri yang satu kepada strain yang lain. Bilamana berpindah pada mikrobia patogen, maka mikrobia tersebut menjadi resisten sehingga sulit untuk dibunuh, penggunaan antibiotik menjadi tidak efisien (Anonimus, 2006). Hasil isolasi disajikan pada Tabel 1. Dari 74 sampel yang digunakan sebagai sumber mikrobia, bakteri asam laktat hanya dapat diisolasi dari 11 sampel. Dari hasil isolasi ini diperoleh sekitar 61 isolat yang setelah diuji lebih lanjut, khususnya daya antagonismenya terhadap patogen enterik (E. coli dan Salmonella) hanya dipilih 20 isolat yang representatif untuk penelitian berikutnya. Tabel 2 menyajikan hasil uji antagonistik isolat bakteri asam laktat terhadap Escherichia coli dan Salmonella enteritdis serta dugaan spesies.

Tabel 1. Isolasi BAL dari saluran pencernaan ayam Sumber Crop Gizzard Intestin Kolon Caecum Jenis ayam Indigenous Indigenous Indigenous Indigenous Indigenous Jumlah sampel 25 10 8 1 30 Jumlah isolat 13 3 8 0 34 Isolat terpilih Ar 5,6,7,8,9 Ps 7 Kp 8,9,10 Lg 16 Kp 2 Kd 3, 8 Kd 6,10 Lg 8 Ar 1,2,3,4 20 Dugaan species Lactobacillus murinus Pediococcus acidilactici Pediococcus acidilactici Pediococcus acidilactici Streptococcus thermophilus Streptococcus thermophilus Pediococcus acidilactici Pediococcus acidilactici Lactobacillus murinus

Total

74

61

Ar isolat dari ayam Arab; Lg isolat dari ayam Legund; Kd isolat dari ayam Kedu; Kp isolat dari ayam Kapas; Ps isolat dari ayam pasar

Bakteri Asam Laktat (Harimurti et al.)

91

Tabel 2. Hasil uji antagonistik 20 isolat bakteri asam laktat hasil seleksi awal terhadap Escherichia coli dan Salmonella enteritidis No isolat Ar-5 Ar-6 Ar-7 Ar-8 Ar-9 Ps-7 Kp-8 Kp-9 Kp-10 Lg-16 Ar-1 Ar-2 Ar-3 Ar-4 Kd-3 Kd-6 Kd-8 Kd-10 Kp-2 Lg-8 Titrasi * (ml 0,1 N NaOH) 1,30 1,50 2,50 2,50 1,10 2,40 2,30 2,30 2,20 1,90 2,10 2,80 3,00 2,30 2,00 1,90 1,90 2,40 2,10 2,20 Penghambatan** S E. coli SN S. enteritidis S SN ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ + + + + + ++ ++ ++ + + + + +

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Dugaan spesies L. murinus L. murinus L. murinus L. murinus L. murinus P.acidilactici P. acidilactici P. acidilactici P. acidilactici P. acidilactici L. murinus L. murinus L. murinus L. murinus S. thermophilus P. acidilactici S. thermophilus P. acidilactici S. thermophilus P. acidilactici

Sumber Crop Crop Crop Crop Crop Crop Gizzard Gizzard Gizzard Ileum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum

+ + + + + + + ++ + + ++ + + +

* Titrasi yang diperlukan untuk menetralkan asam yang dihasilkan selama fermentasi 2 (dua) ml kultur ** Nilai +/++/+++ menunjukkan luas zona jernih secara kualitatif yang menunjukkan adanya penghambatan, nilai (negatif) menunjukan tidak ada penghambatan

Tahapan berikut dari penelitian ini adalah identifikasi ke 20 isolat terpilih. Identifikasi didasarkan pada karakteristik masing-masing isolat yaitu pertumbuhannya pada berbagai pH dan suhu, tipe fermentasi serta kemampuannya menghasilkan asam dari berbagai sumber karbon. Isolat berbentuk batang sebanyak sembilan isolat (Tabel 3), isolat berbentuk bulattetrat sebanyak delapan isolat (Tabel 4) dan isolat berbentuk bulat ada tiga isolat (Tabel 5). Hasil isolasi diperoleh bahwa bakteri asam laktat yang berasal dari saluran pencernaan ayam didominasi oleh Lactobacillus murinus, Pediococcus acidilactici dan Streptococcus thermophilus. Lactobacillus murinus merupakan bakteri asam laktat yang habitatnya adalah saluran pencernaan, sedangkan Pediococcus acidilactici dan Streptococcus

thermophilus adalah bakteri asam laktat yang tahan terhadap kekeringan maupun suhu tinggi.

Ketahanan Isolat Probiotik pada pH Rendah


Standar yang digunakan untuk isolat bakteri asam laktat untuk dapat digunakan sebagai agensia probiotik adalah isolat tersebut harus mampu bertahan pada pH 3 selama 2 jam (Itoh, 1992). Selain itu, Drasar dan Barrow (1985) juga menyebutkan berbagai kondisi yang berbeda pada saluran pencernaan, yang terendah diperkirakan pada gizzard yang mencapai 2,50. Dengan demikian isolat bakteri asam laktat yang digunakan sebagai agensia probiotik harus dapat bertahan pada kondisi pH yang bervariasi saat melewati saluran pencernaan ayam.

90

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 82 - 91

Dari hasil uji ini diperoleh kesimpulan bahwa ke 20 isolat yang telah melewati seleksi awal rata-rata memiliki ketahanan yang cukup tinggi pada pH

rendah. Saat ditumbuhkan pada media dengan pH awal 5,50 isolat ini tetap tumbuh dengan baik dan tidak memberikan perbedaan pertumbuhan yang nyata.

Tabel 3. Identifikasi isolat berbentuk batang Lactobacillus Karakteristik Asal Bentuk sel Gram Produksi Gas Tipe fermentasi Katalase Pertumb. 15 C Pertumb. 45 C Pertumb. pH 3,5 Pertumb. pH 9,0 Tipe DAP Arabinosa Celobiosa Fruktosa Galaktosa Glukosa Glukonat Laktosa Maltosa Manitol Manosa Melibiosa Melezitosa Rhamnosa Ribosa Salisin Sorbitol Pati (Starch) Sukrosa Trehalosa Xylosa Tanpa gula (Dugaan) spesies Ar5 Crp Rod + Hm + + + NoD + + + D + + + + D D + + + La Ar6 Ar7 Ar8 Ar9 Ar1 Ar2 Ar3 Ar4 Ccm Rod + Hm + + + + NoD + + + + + + D + + + D + + + + + + + D Lm Lm Ref Rod + Hm + + + NoD + + La Ref Rod + Hm + + NoD + + + + + + + D + + + D -

Crp Crp Crp Crp Ccm Ccm Ccm Rod Rod Rod Rod Rod Rod Rod + + + + + + + Hm Hm Hm Hm Hm Hm Hm + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + NoD NoD NoD NoD NoD NoD NoD Pembentukan asam dari berbagai sumber karbon + + + + D D + + D D + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + D D + + + + D + + D D + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + D D D D D D D + + + D D D D D + D + + + + D D + + + + + + + + + + D + + + + + + + + + + + + + D D Lm Lm Lm Lm Lm Lm Lm

+ -

D + + + -

Ar- ayam Arab; Crp crop; Ccm caecum; Ref - referensi D fermentasi berlangsung lambat NoD Tipe Non DAP La lactobacillus acidophilus Lm Lactobacillus murinus

Bakteri Asam Laktat (Harimurti et al.)

91

Tabel 4. Identifikasi isolat berbentuk bulat - tetrad Pediococcus Karakteristik Asal Bentuk sel Susunan Gram Produksi Gas Tipe fermentasi Katalase Pertumb. 10 C Pertumb. 15 C Pertumb. 50 C Pertumb pH 3,5 PertumbpH 9,0 Arabinosa Cellobiosa Fruktosa Galaktosa Glukosa Glukonat Laktosa Maltosa Manitol Manosa Melibiosa Melezitosa Rafinosa Rhamnosa Ribosa Salisin Sorbitol Pati (Starch) Sukrosa Trehalosa Xylosa Tanpa gula (Dugaan) spesies Ps-7 Crop Bulat Tetrad + Homo + + D + + + + + + + + D + + Pa Kp-8 Kp-9 Kp-10 Lg-16 Kd-6 Ccm Bulat Tetrad + Homo + + D + + + + + + + + + + Pa Kp-10 Ccm Bulat Tetrad + Homo + + D + + + + + + + + D + Pa Lg-8 Ccm Bulat Tetrad + Homo + + D + + + + + + + + D + + Pa

Gzrd Gzrd Gzrd Ileum Bulat Bulat Bulat Bulat Tetrad Tetrad Tetrad Tetrad + + + + Homo Homo Homo Homo + + + + + + + + + + D D + + + + Pembentukan asam dari berbagai sumber karbon + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Pa + D + + Pa + D + + Pa + D D + + Pa

Ps- ayam dibeli dipasar; Kp- ayam Kapas; Lg- ayam Legund; Kd- ayam Kedu; Gzrd Gizzard ; Ccm - caecum D fermentasi berlangsung lambat Pa Pediococcus acidilactici

90

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 82 - 91

Tabel 5. Identifikasi isolat berbentuk bulat Karakteristik Asal Bentuk sel Gram Produksi Gas Tipe fermentasi Katalase Pertumb. 10 C Pertumb. 15 C Pertumb. 50 C Pertumbuhan pH 3,5 Pertumbuhan pH 9,0 Kd-3 Ccm Bulat + Homo + + D + Pembentukan asam dari berbagai sumber karbon Arabinosa + Selobiosa (Cellobiosa) + Fruktosa + Galaktosa + Glukosa + Glukonat Laktosa D Maltosa Manitol Manosa + Melibiosa Melezitosa Rafinosa Rhamnosa + Ribosa + Salisin + Sorbitol Pati (Starch) Sukrosa D Trehalosa D Xylosa + Tanpa gula (Dugaan) spesies St Kd-8 Ccm Bulat + Homo + + D + + + + + + D + + + + + St Kp-2 Ccm Bulat + Homo + + + + + + + + + + + D + + + + + D + + + St

Kd ayam Kedu; Kp- ayam Kapas; Ccm caecum; D fermentasi berlangsung lambat St Streptococcus thermophilus

Kekeruhan yang menunjukkan intensitas pertumbuhan yang diuji dengan mencermati OD setelah isolat ditumbuhkan selama 24 jam, ternyata tidak memberikan berbedaan yang menyolok, rata-rata OD yang dicapai tetap di atas 2, seperti halnya pertumbuhan pada pH media normal (pH 6,80). Namun setelah isolat-isolat ini ditumbuhkan pada media yang pH awalnya 4,50 ternyata pertumbuhan beberapa isolat tidak selebat pada pertumbuhan dengan kondisi normal ditunjukkan dengan OD setelah 24 jam mengalami sedikit penurunan. Pada Tabel 6 menunjukkan rata-rata pertumbuhan isolat mulai nampak terhambat pada pH 3,5. Namun

isolat Kp-2, Kd-6 dan Ar-3 tetap dapat tumbuh dengan baik. Pada saat pH awal media diturunkan menjadi 2,5 ternyata seluruh isolat tidak mampu melakukan pertumbuhan, ditunjukkan dengan OD yang rata-rata tidak meningkat setelah isolat diinkubasi selama 24 jam. Namun demikian dari enumerasi, diketahui bahwa jumlah sel yang survive tetap tinggi (angka kematian sel rendah). Kondisi ini didukung oleh Ricke (2003) yang melaporkan bahwa telah dikenal lebih dari 60 tahun bahwa bakteri memiliki kemampuan metabolik untuk merespon kondisi lingkungan dengan pH rendah.

Bakteri Asam Laktat (Harimurti et al.)

91

Tabel 6. Pertumbuhan isolat bakteri asam laktat pada berbagai pH No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 No isolat Ar-5 Ar-6 Ar-7 Ar-8 Ar-9 Ps-7 Kp-8 Kp-9 Kp-10 Lg-16 Ar-1 Ar-2 Ar-3 Ar-4 Kd-3 Kd-6 Kd-8 Kd-10 Kp-2 Lg-8 Sumber pH 6,8 Crop Crop Crop Crop Crop Crop Gizzard Gizzard Gizzard Ileum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ pH 5,5 +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ pH pH 4,5 +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ pH 3,5 + + + + + + + + + + + + ++ + + ++ + + ++ + pH 2,5 -

OD awal sekitar 0,1-0,2 +++ = apabila pertumbuhan mencapai OD > 2, setelah 24 jam inkubasi; ++ = OD 1-2 ; + = terjadi kenaikan OD, namun OD < 1; - = tidak terjadi kenaikan OD

Daya Antagonisme terhadap Bakteri Patogen


Untuk mengetahui efektifitas isolat bakteri asam laktat sebagai agensia penghasil antibakteri digunakan Escherichia coli dan Salmonella enteridis sebagai indikator bakteri enterik. Hasil dari pengujian disajikan pada Tabel 2. Diketahui bahwa dari 20 isolat yang diuji daya antagonistiknya terhadap kedua bakteri patogen enterik tersebut, umumnya mampu menghambat kedua patogen ini. Tiga dari isolat yang diuji Ar-1, Ar-2 dan Ar-4 (berasal dari caecum ) nampaknya tidak cocok untuk digunakan sebagai agensia probiotik. Bila dicermati nampak penghambatan supernatan bakteri asam laktat lebih besar dibandingkan aktivitas penghambatan supernatan netralnya terhadap ke dua bakteri patogen. Hal ini diduga aktivitas penghambatan supernatan netral

(SN) hanya dilakukan oleh komponen metabolit selain asam yaitu diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin. Adapun asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat (asam laktat, asetat, propionat) mempunyai efek antimikrobia terhadap bakteri patogen (Ray dan Sadine, 1992), hal ini yang memperkuat penghambatan patogen pada supernatan bakteri asam laktat (S). Pada akhir dari penelitian ini akan dipilih isolat-isolat yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai agensia probiotik ayam untuk dilanjutkan pada penelitian berikutnya. Isolat Lactobacillus murinus Ar-3, Pediococcus acidilactici Kd-6 dan Streptococcus thermophilus Kp-2 dipilih sebagai isolat probiotik ayam untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut.

90

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 82 - 91

Tabel 7. Pertumbuhan isolat bakteri asam laktat pada berbagai konsentrasi bile salt No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 No isolat Ar-5 Ar-6 Ar-7 Ar-8 Ar-9 Ps-7 Kp-8 Kp-9 Kp-10 Lg-16 Ar-1 Ar-2 Ar-3 Ar-4 Kd-3 Kd-6 Kd-8 Kd-10 Kp-2 Lg-8 Sumber Crop Crop Crop Crop Crop Crop Gizzard Gizzard Gizzard Ileum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Caecum Pertumbuhan pada berbagai konsentrasi bile salt Tanpa +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ 0,20% + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ 0,40% + + + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ 0,80% + + + + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ 1,00% + + + + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++

OD awal sekitar 0,1-0,2 +++ = apabila pertumbuhan mencapai OD > 2, setelah 24 jam inkubasi ++ = OD 1-2 + = terjadi kenaikan OD, namun OD < 1 = tidak terjadi kenaikan OD

Ketahanan Isolat Probiotik pada Bile Salt


Fuller (1992) menyebutkan bahwa untuk digunakan secara efektif sebagai agensia probiotik maka isolat bakteri asam laktat harus mampu tumbuh pada konsentrasi bile salt 0,15 0,30%. Pada penelitian ini telah dilakukan uji ketahanan 20 isolat bakteri asam laktat terhadap bile salt untuk seleksi sebagai agensia probiotik, disajikan pada Tabel 7.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Zahirotul Hikmah, Susanti Hardewi dan Sari Setyaningrum yang telah membantu berlangsungnya penelitian ini.

Daftar Pustaka
Anonimous, 2006. The Transferance of Resistant Genes. http://www.udel.edu/chem/c465/senior/fall00/Organicfoods/hormones.htm [diakses 12-07-2006]. Carvalho, N. and Steffen Hansen, 2005. Prospect for Probiotics in Broiler. Feed International, Nov/Des 9 12. Davis, G.S. and K.E. Anderson, 2002. The effect of feeding the direct- fed microbial, primalac, in growth parameters and egg production in sinle comb white leghorn hens. Journal of Poultry Science 81: 755 759. Donoghue, D. J., 2003. Antibiotic residues in poultry tissues and eggs : Human health concern. Journal of Poultry Science 82: 618 621.

Kesimpulan
Isolat Lactobacillus murinus Ar-3, Pediococcus acidilactici Kd-6 dan Streptococcus thermophilus Kp2dipilih sebagai isolat probiotik ayam untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut.

Ucapan Terimakasih
Paper ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai melalui HIBAH BERSAING IX tahun 2001, kepada pihak pemberi dana diucapkan terima kasih.

Bakteri Asam Laktat (Harimurti et al.)

91

Drasar, B.S., and P.A. Barrow, 1985. Intestinal Microbiology. American Society for Microbiology. Washington. Fuller, R., 1989. Probiotics in man and animal. Journal Applied Bacteriology 66: 365 378. Fuller, R., 1992. Probiotic : The Scientific Basic. Chapman & Hall. London. Gilliland, S.E., 1989. Acidophilus milk products : a review of potential benefits to consumers. Journal of Dairy Science 72: 2483- 2494. Itoh, T., 1992. Functional benefits from lactic acid bacteria used incultured milk. Animal Science Technology 63: 1278 1289. Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Jalaludin, 1997. Probiotics in poultry : modes of action. Journal Worlds Poultry Science 53: 351 368. Rahayu, E.S., Djaafar, T.F., Wibowo, D., dan Sudarmadji, S., 1996. Lactic acid bacteria from indigenous fermented foods and their antimicrobial activity. Indonesian Food and Nutrition Progress 3 (2): 21 28.

Ray, B., dan Sadine, 1992. Acetic, Propionic, Lactic Acid of Starter Culture Bacteria as Bio Preservatives. In : Food Biopreservatives of Microbial Origin. Ray, B and M.A. Daeschel (editor). CRC. Press. Mexico. Reyes-Herrera I., M. J. Schneider, M.B. Farnell, P. J. Blore and D. J. Donoghue, 2005. Concentrations of antibiotics residues vary between edible muscle tissue in poultry. Journal Food Protein. 68 (10) : 2217 2219. Ricke, S.C., 2003. Perspectives on the use of organic acids and short chain fatty acids as antimicrobials. Journal of Poultry Science 82: 632 639. Salminen, S., dan Atte van Wright, 1998. Lactic Acid Bacteria Microbiology and Funcional Aspect. 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc. New york. Basel. Yeo, J. dan Kyu- Il Kim, 1997. Effect of feeding diets containing an antibiotic, or yucca extract on growth and intestinal urease activity in broiler chicks. Journal of Poultry Science 76: 381 385.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 92 98 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Respon Ayam yang Mempunyai Pengalaman Infeksi Ascaridia galli terhadap Infeksi Ulang dan Implikasinya terhadap Produktivitas dan Kualitas Telur
(Response of Chicken that Having Experience Infection of Ascaridia galli to Re-infection and its Implication to Productivity and Quality of Eggs)
Lili Zalizar1*, Fadjar Satrija2, Risa Tiuria2 dan Dewi Apri Astuti3
1 2

Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT: The aimed of this research was to find out the effect of infection experience of Ascaridia galli on productivity and eggs qualities. The research was held in Helminthology Laboratory, Veterinary Faculty and Animal Production Laboratory, Faculty of Animal Husbandry, Bogor Institute of Agriculture. The research was based on a Randomized Completely Design. The treatments were P0 = without infection ; P1 = have been infected with 200 infective eggs A. galli every chick every week ( 8, 15, 22 and 30 days old chick) and re-infected with 500 infected eggs at 18 weeks old; P2= chicks with no infection experience at starter period, and infected with 500 infected eggs at laying period. The productivity and quality of eggs were examined. The results showed that infection experience of Ascaridia galli influenced the layer productivity and their eggs qualities. The experience of A. galli infection several times with light dosage at starter period (P1) made the layers more resistance to re-infection by the parasite in the laying period. Consumption and conversion of feed, eggs weight, shell thickness and calcium concentration of P 1 was not significant difference with control group (P0). First A. galli infection in layer period in group without experience of A. galli infection before (P2 ), have showed that, compare with the control group (P0), the feed conversion of P2 was 15.78% higher (P<0.01), eggs weight of P2 was lighter 5.35% (P<0.05), the shell thickness of P2 eggs was lower 5.55% (P<0.05), the calcium concentration in serum was lower 36.26% (P<0.05). Beside that the color of eggs yolk in infected (P 1 and P2 ) group more colorless (11.63%) than control group. A. galli (P<0.01). Ascaridia galli infection has no effects on Haugh Unit Value, titer serum protein and eggs protein. Key Words : Infection experience, Ascaridia galli, productivity of layer, eggs qualities

Pendahuluan
Cacing Ascaridia galli (A. galli) dapat menyebabkan peradangan pada mukosa saluran pencernaan. Setiap peradangan mukosa pada tempat tersebut umumnya diikuti gangguan pencernaan, penyerapan dan sekresi zat-zat yang berperan dalam proses pencernaan makanan (Castro, 1990; Ikeme, 1971; Symons, 1989). Infeksi cacing A. galli dapat menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada sel-sel epitel vili dan kripta usus halus dan terjadi penurunan luas permukaan vili usus halus (Zalizar et al., 2007). Penurunan luas permukaan vili usus dapat menurunkan penyerapan zat-zat makanan (Iji et al., 2001). Pola pengelolaan peternakan ayam petelur di Indonesia yang memisahkan peternakan yang mem*

Korespondensi penulis utama : e-mail liliz@umm.ac.id

besarkan DOC sampai pullet dengan peternakan layer memungkinkan terciptanya kondisi dimana ayam yang belum pernah terinfeksi dimasa muda mengalami infeksi pada periode produksi apabila pada tempat yang terakhir kondisi sanitasinya lebih buruk. Di samping itu dimungkinkan pula terjadinya reinfeksi pada ayam layer yang sebelumnya pernah terpapar infeksi pada masa mudanya. Ayam yang mempunyai pengalaman berulang kali terinfeksi cacingan kemungkinan apabila terinfeksi kembali pada saat menjelang masa layer lebih tahan terhadap infeksi dan akan memperlihatkan produktivitas dan kualitas telur yang lebih baik dibandingkan kelompok yang baru pertama kali terinfeksi. Hal tersebut sesuai pendapat Soulsby (1982), bahwa ayam yang pernah mengalami infeksi cacing A.galli biasanya akan lebih tahan terhadap infeksi berikutnya. Oleh karena itu pada penelitian ini dicobakan pada kelompok ayam yang mengalami infeksi buatan (4 kali) dengan telur cacing tersebut

92

Infeksi Ascaridia galli (Zalizar et al.)

97

pada masa starter dan diinfeksi ulang pada masa layer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok ayam yang telah berpengalaman terhadap infeksi A.galli mempunyai kekebalan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak terinfeksi maupun yang pertama kali terinfeksi dan mengalami infeksi ulang pada saat menjelang masa bertelur. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada produktivitas dan kualitas telur ayam.

yang diambil dari ayam yang dipotong di daerah Darmaga Bogor. Metode penyediaan telur infektif A. galli dan teknik infeksi cacing pada ternak percobaan mengikuti petunjuk Tiuria et al. (2000). Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) dihitung dengan memakai metode McMaster yang dimodifikasi (Thienpont et al., 1979).

Pengamatan Konsumsi dan Konversi Pakan


Konsumsi pakan dihitung menggunakan timbangan Salter (kapasitas minimal 500 mg, maksimal 10 kg). Konversi pakan dihitung dari perbandingan produksi telur dengan ransum yang dihabiskan ayam.

Metode Penelitian
Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan 51 ekor ayam petelur jenis Isa Brown umur sehari (DOC) sampai 26 minggu. Ayam dipelihara dengan pakan standar dan dikandangkan pada kandang litter pada masa starter dan baterai pada masa grower dan layer . Untuk mencegah penyakit lain diadakan program vaksinasi.

Pengamatan Kualitas Telur


Berat telur ditimbang menggunakan timbangan analitik (kapasitas 120 g x 0,01). Untuk pemeriksaan warna kuning telur, telur dipecahkan diatas kaca bening, kemudian warna kuning telur dibandingkan dengan skor warna yang ada di Roche yolk colour fan (North dan Bell, 1990). Pemeriksaan Haugh Unit (HU) dilakukan setelah telur dipecahkan di atas kaca yang datar kemudian tripod micrometer diletakkan di atas putih telur yang berjarak lebih kurang 1 cm dari kuning telur, kemudian tinggi putih telur diukur dengan tripod mikrometer dalam satuan mm (Neisheim et al., 1979). Untuk pengamatan kerabang telur, pertama kali telur dipecahkan, kemudian bagian selaput putih yang menempel pada kerabang telur dilepaskan, kerabang dipisahkan menjadi 3 bagian yaitu ujung tumpul, ujung runcing dan tengah. Kemudian masing-masing diukur menggunakan jangka sorong (Stadelman dan Cotterill, 1977). Pemeriksaan kadar kalsium serum menggunakan metode kolorimetri dan kadar protein serum menggunakan metode Biuret yang dimodifikasi (Spinreact, 2002). Pemeriksaan kadar protein telur menggunakan metode Kjeldahl (Sudarmadji et al., 1997). Telur yang digunakan untuk pengamatan kualitas telur dipilih dari telur yang mempunyai umur produksi yang sama. Pemeriksaan telur diadakan setiap hari pada waktu yang sama (pagi hari mulai jam 9.00 WIB).

Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap. Setelah adaptasi selama 1 minggu, ayam dibagi dalam 3 kelompok percobaan masing-masing 17 ekor ayam dan mendapatkan perlakuan sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1. Kelompok P 1 diinfeksi dengan dosis ringan yaitu 200 telur infektif A. galli perekor ayam sebanyak 4 kali (seminggu sekali, pada waktu ayam umur 8, 15, 22 dan 30 hari), dan kemudian mendapat infeksi ulang dengan 500 telur infektif A. galli pada umur 18 minggu. Kelompok P 2 merupakan kelompok yang pertama kali mendapat infeksi 500 telur infeksi pada umur 18 minggu. Sebagai pembanding (P 0) adalah kelompok ayam yang tidak pernah terinfeksi A. Galli (Tabel). Pengambilan sampel tinja untuk pengamatan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) dilakukan seminggu sekali selama penelitian berlangsung. Pengamatan kualitas telur dilakukan selama 28 hari mulai umur 21 minggu. Adapun pengamatan protein telur dan protein serum dilakukan 3 minggu pasca infeksi ulang. Penelitian diakhiri pada saat ayam berumur 26 minggu dengan melakukan nekropsi 3 ekor ayam dari setiap kelompok untuk menghitung jumlah cacing pasca mati.

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis ragam pada program SAS versi 6.12 . Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Teknik Parasitologi
Telur cacing infeksi dipupuk dari telur yang dikumpulkan dari uterus cacing A. galli dewasa

98

ANIMAL ANIM AL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 98

Tabel 1. Rancangan penelitian Kelompok P0 P1 P2 Kondisi Masa Starter Tidak diinfeksi Infeksi A. galli dengan dosis ringan (200 telur infektif/ekor/infeksi) Tidak diinfeksi Perlakuan Masa Layer Tidak diinfeksi Infeksi dengan 500 telur A. galli Infeksi dengan 500 telur A. galli

Hasil dan Pembahasan


Jumlah Telur dan Rataan Cacing Dewasa
Pada 6 minggu pasca infeksi ulang sudah dapat terdeteksi adanya telur cacing di dalam tinja ayam. Jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) tidak berbanding lurus dengan rataan jumlah cacing yang ditemukan dalam saluran cerna ayam (Tabel 2). Rataan TTGT pada akhir penelitian memakai rataan ukur ( geometric mean) pada kelompok P 0 , P 1 , dan P2 yaitu 0; 274,95; 173,23. Hasil analisis statistik menunjukkan kelompok kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05), namun tidak ada perbedaan diantara kelompok P 1 dan P 2 (Tabel 2). Rataan jumlah cacing pada akhir penelitian pada kelompok P 0 , P 1 , dan P 2 yaitu 0; 19,83; dan 29,50 ekor cacing (Tabel 2). Hasil analisis statistik juga menunjukkan kelompok P 1 dan P 2 mempunyai jumlah cacing yang tidak berbeda. TTGT dan jumlah cacing dewasa merupakan nilai yang dinamis mengikuti keadaan fisiologis cacing. Setiap cacing mempunyai masa bertelur berbeda-beda, demikian juga umur saat cacing mencapai tahap larva 1-4 maupun dewasa dapat berbeda-beda pada setiap ekor cacing. TTGT dipengaruhi banyak faktor dan tidak semata-mata oleh jumlah cacing. Faktor yang mempengaruhi TTGT antara lain oleh stadium perkembangan parasit, fekunditas cacing betina dan perbandingan jumlah cacing jantan dan betina (Permin dan Hansen, 1998; Satrija et al., 1996). Nilai TTGT tidak mencerminkan jumlah cacing di dalam tubuh inang, karena apabila sebagian besar cacingnya masih dalam periode larva maka penghitungan TTGT pada kelompok tersebut akan menyebabkan nilai TTGT yang kecil atau negatif.

Konsumsi dan Konversi Pakan


Rataan konsumsi pakan pada kelompok P 0 , P 1 , dan P2 sebagai berikut 91,18; 94,65; dan 99,53 g/ekor/hari (Tabel 3).

Ayam yang tidak diinfeksi (P 0) mengkonsumsi pakan paling sedikit dibandingkan ayam yang diinfeksi untuk pertama kali (P 2). P 0 tidak berbeda nyata dengan P 1 tapi sangat berbeda nyata dengan P 2 (P<0,01). Rataan konversi pakan terhadap produksi telur pada kelompok P 0 , P 1 , dan P2 yaitu 1,71; 1,80; dan 1,98 (Tabel 3). Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa konversi pakan P 0 sangat nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan P2 (P<0,01). P 0 sangat berbeda nyata dengan P 2 tapi tidak berbeda dengan P 1 . Hasil ini sesuai dengan penelitian Zalizar et al. (2007) bahwa infeksi cacing A. galli dapat menyebabkan degenerasi dan nekrosa sel-sel epitel vili dan kripta usus halus, namun kerusakan sel-sel akibat infeksi ringan (dosis 200 x 4 telur infektif) lebih sedikit dibandingkan akibat infeksi berat (dosis 2000 x 4 telur infektif). Infeksi A. galli berulang kali (4 kali) menyebabkan terjadi infiltrasi sel-sel pertahanan tubuh seperti sel limfosit, eosinofil dan makrofag pada lamina propia. Hal ini mendukung pendapat Riwidiharso (1989), bahwa infeksi berulang telur infektif A. galli dapat menimbulkan kekebalan pada ayam yang dimanifestasikan dengan peningkatan jumlah leukosit terutama sel-sel limfosit. Data penelitian menunjukkan konsumsi pakan dan nilai konversi yang terkecil pada kelompok tanpa infeksi cacing (P 0) dan ayam yang pernah memiliki pengalaman infeksi A. galli dengan dosis ringan (P 1 ). Hal ini menunjukkan ayam di kelompok P 1 lebih mampu untuk menanggulangi efek buruk akibat infeksi ulang dibandingkan dengan P 2 . Pengalaman infeksi ringan di masa starter menggertak tanggap kebal tubuh inang definitif seperti yang dihasilkan oleh vaksinasi yang akan memperkuat tanggap kebal tubuh terhadap infeksi berikutnya. Menurut Soulsby (1982), ayam yang pernah mengalami infeksi cacing A.galli biasanya akan lebih tahan terhadap infeksi berikutnya. Infeksi cacing A. galli yang pertama kali pada P 2 kemungkinan selain menghisap zat-zat makanan di

Infeksi Ascaridia galli (Zalizar et al.)

97

Tabel 2. Pengaruh infeksi ulang terhadap ayam yang mempunyai pengalaman infeksi A. galli dilihat dari aspek parasitologi Peubah P0 TTGT Jumlah Cacing dewasa (ekor)
a,b,

Perlakuan P1 274,95 104,78 a 19,83 18,99 ab P2 173,23 192,93 a 29,50 14,22 a 0b 0b

Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Tabel 3. Pengaruh infeksi ulang terhadap ayam yang telah mempunyai pengalaman infeksi A. Galli terhadap aspek produktivitas Peubah P0 Konsumsi Pakan (g/ekor) Konversi Pakan HDP (%)
a,b,

Perlakuan P1
b b

P2
b b

91,76 3,11

94,65 4,73

99,53 5,42 a 1,98 0,16 a 83,23 7,28

1,71 0,08 86,71 6,12

1,80 0,09 86,00 7,97

Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

usus halus ayam juga menyebabkan kerusakan selsel epitel yang lebih buruk dibandingkan P 1 . Hal tersebut menyebabkan karbohidrat yang dapat diserap usus dan kadar karbohidrat yang beredar di dalam darah menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurwitz et al. (1972) dalam Permin (1997) bahwa cacing A. galli menyebabkan kemampuan ayam untuk menyerap zat-zat makanan terutama karbohidrat menurun. Sehingga hal tersebut akan merangsang ayam untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak dalam rangka memenuhi rasa laparnya dan kebutuhan hidupnya.

Berat Telur, Warna Kuning Telur, Tebal Kerabang dan Kadar Kalsium Serum
Hasil pengamatan menunjukkan rataan berat telur (g) pada kelompok P0 , P 1 , dan P 2 yaitu 53,39; 52,52 dan 50,53 (Tabel 4). Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa kelompok P0 dan P 1 mempunyai berat telur yang tidak berbeda dan lebih berat dibandingkan P 2 (P<0,05). Rataan skor warna pada kelompok P 0 , P1 dan P 2 sebagai berikut 7,31; 6,46 dan 6,47 (Tabel 4). Dari rataan terlihat bahwa kelompok P 0 mempunyai nilai skor warna yang paling besar dibandingkan kelompok lainnya. Hasil analisis statistik memperlihatkan P 0 berbeda sangat nyata dengan kelompok perlakuan lainnya (P<0,01), namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok P 1 dan P 2 (P>0,05). Rataan tebal kerabang pada kelompok P 0 , P 1 dan P 2 yaitu 0,36; 0,35 dan 0,34 mm (Tabel 4). Dari rataan tersebut terlihat kerabang telur kelompok P 0 paling tebal dibandingkan perlakuan. Hasil analisis stastistik menunjukkan kerabang telur P 0 lebih tebal dibandingkan P 2 (P<0,05), namun tidak berbeda dengan P1 . Pengamatan untuk membandingkan kadar kalsium serum menunjukkan bahwa rataan kadar kalsium darah pada kelompok P 0 , P 1 dan P 2 yaitu 23,33, 20,83 dan 14,87 (Tabel 4). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar kalsium serum P 0 nyata lebih tinggi dari P 2 (P<0,05).

Persentase Produktivitas Harian ( Hen Day Production/ HDP)


Rataan Produktivitas Harian (HDP) pada kelompok P 0 , P 1 , dan P 2 masing-masing sebagai berikut 86,71%; 86,00%; dan 83,23% (Tabel 3). Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara P0 dengan kelompok yang lain. Rataan Produktivitas Harian (HDP) kelompok P 0 walaupun lebih tinggi dari kelompok P 1 dan P 2 namun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal tersebut karena konsumsi pakan pada kelompok infeksi lebih tinggi dari P 0 , sehingga kebutuhan nutrisi untuk produksi telur tetap terpenuhi. Sesuai dengan Anggorodi (1990), ayam akan mengkonsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan hidup pokok dan produksi.

98

ANIMAL ANIM AL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 98

Tabel 4. Pengaruh infeksi ulang terhadap ayam yang telah mempunyai pengalaman infeksi terhadap aspek kualitas telur Peubah Berat Telur (g) Skor Warna Haugh Unit/HU Tebal Kerabang (mm) Kalsium serum (g%) Protein serum (g%) Protein telur (%)
a,b,

A. galli

P0 53,39 2,15 a 7,31 0,64 a 95,18 3,64 0,36 0,02 6,20 0,29 11,79 0,24
a

Perlakuan P1 52,52 2,69 ab 6,46 0,38 b 92,86 5,07 0,35 0,01


ab

P2 50,53 4,11 b 6,47 0,47 b 91,71 3,98 0,34 0,02 b 14,87 4,04 b 5,67 0,84 11,76 0,57

23,33 2,83 a

20,83 2,47 ab 6,11 1,19 11,88 0,51

Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Hasil perhitungan berdasarkan data dari Tabel 4, diketahui bahwa telur kelompok P 2 (yang tidak mempunyai pengalaman infeksi sebelumnya) lebih ringan dibandingkan P0 dengan persentase penurunan berat telur mencapai 5,35%. Kerabang telur P 2 lebih tipis dibandingkan P 0 dengan persentase penurunan tebal kerabang sebesar 5,55%, karena kadar kalsium di serum pada kelompok ini mengalami penurunan sampai 36,26%. Warna kuning telur pada kelompok yang diinfeksi (P1 dan P 2 ) lebih pucat dibandingkan P 0 dengan persentase penurunan skor warna mencapai 11,63%. Kualitas telur, baik berat telur maupun skor warna kuning telur ayam yang bebas infeksi A. galli lebih tinggi dari ayam yang diinfeksi A. galli. Berat telur dan warna kuning telur dipengaruhi antara lain oleh penyakit. Penyakit menurunkan kemampuan ayam untuk menyerap zat-zat makanan termasuk xantofil dari saluran pencernaan. Demikian juga setiap keadaan stress (akibat penyakit ataupun pengaruh lingkungan) akan menurunkan jumlah xantofil dalam ovarium (North dan Bell, 1990). Kalsium merupakan komponen yang penting namun dalam ransum hanya merupakan bagian yang sangat kecil (pada layer sekitar 3%). Cacing A. galli selain menghisap zat-zat makanan juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa sel-sel epitel vili dan kripta usus halus yang berakibat pada penurunan luas permukaan villi usus halus (Zalizar et al., 2007). Penurunan luas permukaan villi usus menyebabkan penurunan kemampuan organ tersebut dalam penyerapan zat-zat makanan (Iji et al., 2001). Pada penelitian ini infeksi A. galli pada kelompok yang tidak mempunyai pengalaman infeksi (P 2) kemungkinan menyebabkan penyerapan kalsium menurun sehingga kadar kalsium serumnya

rendah dan kerabang.

berakibat

pada

menipisnya

tebal

Haugh Unit (HU), Kadar Protein Serum dan Kadar Protein Telur
Rataan nilai HU pada kelompok P 0 , P 1 , dan P 2 yaitu 95,18; 92,86 dan 91,71 (Tabel 4). Dari data rataan tersebut terlihat bahwa kelompok P 0 mempunyai nilai HU yang paling besar, namun hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok P 0 dengan perlakuan lainnya. Rataan protein darah (g%) tiga minggu pasca infeksi ulang pada kelompok P 0 , P 1 , P2 masingmasing sebagai berikut 6,20; 6,1 dan 5, 67 (Tabel 3). Data rataan tersebut menunjukkan kadar protein serum kelompok P 0 dan P 1 hampir sama kecuali P2 sedikit lebih rendah. Hasil analis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar protein serum P 0 dengan kelompok perlakuan dan di antara semua kelompok perlakuan yang ada (P>0,05). Rataan protein telur (%) tiga minggu pasca infeksi ulang pada kelompok P 0 , P1 dan P 2 sebagai berikut 11,79; 11,88 dan 11,76 (Tabel 3). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar protein telur P0 dengan perlakuan yang lain dan diantara semua kelompok perlakuan yang ada (P>0,05). Meskipun rataan nilai Haugh Unit (HU) pada kelompok kontrol (P 0 ) lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan, namun hasil analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai HU menunjukkan kualitas putih telur khususnya albumin yang merupakan senyawa protein. Cacing A. galli memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan menyerap

Infeksi Ascaridia galli (Zalizar et al.)

97

karbohidrat dalam usus (Ackert et al., 1940 dalam Permin,1997). Hal ini sesuai dengan penelitian Hurwitz et al. (1972) dalam Permin, 1997 dan Soulsby, 1976 bahwa walaupun infeksi A. galli menyebabkan penekanan terhadap aktifitas ezim kimotripsin dan tripsin sehingga terjadi penurunan proses proteolitik namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyerapan protein oleh inang definitif. Demikian juga menurut Ikeme (1971) dan Tabbu (2002), menyatakan bahwa infeksi A. galli tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai-nilai protein darah antara lain seperti PCV dan hemoglobin. Hal ini juga dapat menjelaskan kenapa infeksi cacing tersebut tidak berpengaruh terhadap kadar protein serum dan kadar protein telur.

on wheat-based diets supplemented microbial enzyme. Asian-Australian Animal Science 14: 54-60.

with a Journal

Nesheim, M.C., Austic RE, Card LE, 1979. Poultry Production. 12 th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. North, MO, D.D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Manual . 4 th Ed. Van Nostrand Reinhold, New York.

Permin, A., 1997. Helminths and helminthosis in poultry with special emphasis on ascaridia galli in chickens. [Tesis]. The Royal Veterinary and Agricultural University Copenhagen, Denmark. Permin, A., J.W. Hansen, 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual No.4. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Presidente, PJA., 1985. Methods for Detection of Resistance to anthelmintics. In : Resistance to Anthelmintic Drugs . Andeson N and Walker PJ (editor). CSRIO Division of Animal Health, Sidney. Riwidiharso, E., 1989. Perubahan populasi Ascaridia galli pada ayam petelur sebagai akibat infeksi ulang. http://digilib.bi.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbbi-Gdls2-1987-ediriwidih-533 [Juli 2005]. Satrija, F., P. Nansen, R.J. Jorgensen, J. Monrad, and A. Esfandiari, 1996. The effect of first season strategical or tactical ivermectin treatments on trichostrongylosis and performance in the first and second grazing young cattle. Veterinary Parasitology 64:219-237. Spinreact, 2002. Total Protein. Biuret modification . Santa Coloma Espana. Soulsby, EJL. 1976. Pathophisiology of Parasitic Infection . Academic Press, New York. Soulsby, EJL., 1982 . Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals . 7 th Ed. Lea and Febiger, Philadelpia. Sudarmadji, S., B. Harjono, dan Suhardi, 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Stadelman, J.W., and J.O. Cotterill, 1977. Egg Science and Technology . 2 nd Ed. AVI Publishing Company, Inc, Connecticut. Symons, LEA. 1989. Pathophysiologi of Endoparasitic Infection Compared with Ectoparasitic Infestation

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah : Infeksi pertama A. galli dimasa layer pada kelompok yang tidak mempunyai pengalaman infeksi sebelumnya menyebabkan dibandingkan kontrol, konversi pakan meningkat sebesar 15,68%, berat telurnya lebih ringan dengan persentase penurunan berat telur mencapai 5,35%, kerabang telur lebih tipis dengan persentase penurunan tebal kerabang sebesar 5,55%, kadar kalsium di serum mengalami penurunan sampai 36,26%. Warna kuning telur pada kelompok yang diinfeksi A. galli lebih pucat dibandingkan yang tidak diinfeksi dengan persentase penurunan skor warna mencapai 11,63%. Infeksi A. galli tidak berpengaruh terhadap nilai Haugh Unit, kadar protein di serum dan kadar protein di telur. Produktivitas layer dan kualitas telur kelompok yang mempunyai pengalaman infeksi secara umum tidak berbeda dengan kontrol.

Daftar Pustaka
Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia. Castro, G.A., 1990 . Intestinal Pathology. Di dalam : Behnke JM. Editor. Parasites: Immunity and Pathology. The Consequences of Parasitic Infection in Mammals. Taylor and Francis, Philadelphia. Ikeme, M.M., 1971. Observations on Pathogenicity and Pathology of Ascaridia galli. Parasitology 63: 169-179. Iji, P.A, R.J. Hughes, M. Choet and D.R. Tivey, 2001 . Intestinal structure and function of broiler chickens

98

ANIMAL ANIM AL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 98

and Microbial Infection . Jovanovich, Sidney.

Harcourt

Brace

infeksi cacing Ascaridia galli terhadap respon sel goblet dan sel mast pada usus halus ayam petelur. Majalah Parasitologi Indonesia : 13 (1-2): 40-48. Zalizar, L., dan I.D. Rahayu , 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal Agritek 9 (2): 874-879. Zalizar, L., F. Satrija, R. Tiuria, dan D.A. Astuti, 2007. Dampak infeksi Ascaridia galli terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta penurunan bobot hidup . Starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3): 215-222.

Penyakit Ayam dan Tabbu, C.R., 2002. Penanggulangannya. Penyakit Asal Parasit, Non Infeksius dan Etiologi Kompleks . Vol. 2. Kanisius, Yogyakarta. Thienpont, D., F. Rochette and O.F.J. Van Parijs, 1979. Diagnosing Helminthiasis through Coprological Examination. Janssen Research Foundation, Beerse, Belgium. Tiuria, S., F. Athaillah, B.P. Priosoeryanto, F. Satrija, E.B. Retnani, dan Y. Ridwan, 2000. Pengaruh

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 99 104 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Ekstraksi Kolagen Cakar Ayam dengan Berbagai Jenis Larutan Asam dan Lama Perendamannya
(Extraction of Collagen from Chicken Feet with Various Acidic Solutions and Soaking Time)
Prayitno
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT: The objective of this research was to know the ability of various acidic solutions on dissolving collagen chicken feet, with different soaked time. Each acid 5 percent (v/v), collagen extraction was done by washing chicken feet and then cutted into small pieces and finally grinded. Every 100 gram treatment was soaked in acetic acid (a1), citric acid (a2), lactic acid (a3) and hydrochloric acid (a4), for 12, 24 and 36 hours. Precipitated collagen in the filtrate was 5 percent NaOH to reach the neutral pH (pH 7). Collagen precipitate was separated by filtration usingfilter paper and then rendement was calculated, HPLC was used to determin amino acid composition, and SDS-PAGE was use determin the type of collagen. This experiment use factorial completely randomized design (CRD) 4 x 3 and three time replication. Result showed that lactic acid has highest capability to dissolve collagen, while citric acid the lowest. Combination of acid solution and soaking time had significant (P<0.01) effect on dissolving collagen of chicken feet. Extracted collagen in all acid solution, hassame amino acid, composition but different in percentage of amino acid molecules. Collagen type in treatment combination was the same, but for soaking time of 36 hours revealed some peptide band. Lactic acid had highest capability of collagen extraction in chicken feet than citric acid, acetic acid and hydrochloric acid with soaking time of 12, 24 and 36 hours. It was estimated that extracted collagen can be grouped to type I consisted of two chain of 1 . Key Words : Chicken feet, acids, soaking time, collagen

Pendahuluan
Cakar ayam banyak tersedia di tempat rumah pemotongan ayam, hingga saat ini pemanfaatannya masih terbatas untuk digoreng, campuran sayur, bubur atau dibuat krecek rambak (kripik). Keadaan tersebut terjadi karena masih sangat terbatasnya informasi dan ketersediaan teknologi pengolahan yang tepat serta manfaat produk cakar ayam yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian Baliant dan Bowes (1977), bahwa cakar ayam mengandung protein 17,40%, kolagen berkisar 9,07%, air 60,05%, abu 5,98% dan lemak 12,00%. Kolagen yang paling banyak dikenal orang adalah kolagen tipe I yang terdiri dari tiga rantai polipeptida. Dua rantai polipeptida disebut tipe 1 dan rantai polipeptida yang ketiga adalah tipe 2 . Kolagen tipe I adalah paling banyak terdapat pada bagian tubuh yang lunak seperti kulit dan tendon maupun bagian tubuh yang keras seperti tulang dan gigi serta jaringan penghubung. Kolagen tipe II yang terdiri dari tiga rantai peptide 1 adalah kolagen yang banyak terdapat pada tulang kartilago. Kolagen tipe III yang juga terdiri tiga rantai peptide 1 banyak terdapat pada pembuluh darah (Liu et al., 2001).

Keberadaan kolagen dalam tubuh biasanya menempel pada otot dibawah kulit dan bagian persendian tulang. Sifat kolagen adalah mudah merenggang (melunak) apabila kondisi lingkungan keasamannya tinggi (pH dibawah empat). Asam asetat, sitrat, laktat dan asam klorida memiliki sifat keasaman yang berbeda. Maka apbila cakar ayam yang telah dihancurkan direndam dalam larutan tersebut, maka kolagennya akan lepas sehingga mudah dipisahkan dari cakar ayam. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis asam dan lama perendaman yang mampu mengekstraksi kolagen dari cakar ayam broiler secara optimal namun tidak merusak kolagen yang dihasilkan. Mengetahui rendemen kolagen hasil ektraksi dengan asam asetat, sitrat, laktat dan asam klorida serta komposisi asam aminonya. Kecuali itu juga untuk mengetahui tipekolagen yang terkandung dalam cakar ayam broiler. Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan teknologi untuk ekstraksi dan pemurnian kolagen dari cakar ayam secara tepat, mudah dan murah guna memenuhi kebutuhan kolagen dalam negeri yang masih tergantung impor. Keberhasilan penemuan teknologi ini juga mempunyai dampak terhadap pemanfaatan serta peningkatan nilai jual cakar ayam di berbagai tempat pemotongan ayam.

99

100

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 104

Metode Penelitian
Materi
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cakar ayam broiler, asam asetat, asam sitrat, asam laktat dan asam klorida, NaOH, bahan-bahan kimia untuk elektroforesis. Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, magnetic stirer , blender, alat elektroforesis, kain mori, kertas saring, timbangan digital dan alat sentrifugasi. Cakar ayam yang digunakan berasal dari tempat pemotongan ayam dan penjual daging ayam di pasar Wage dan pasar Cerme Purwokerto. Cakar ayam yang telah terkumpul dicuci sampai bersih, kemudian disimpan dalam freezer untuk digunakan dalam penelitian.

penyaringan dengan kain. Filtrat (cairan hasil penyaringan) ditambah larutan NaOH 1 N sampai pH mencapai 7 (netral) dan didiamkan sampai kolagen menggumpal dan selanjutnya disaring dengan kertas saring. Bobot basah kolagen dari masing-masing kombinasi perlakuan ditimbang untuk ditentukan rendemennya (persentase kolagen yang dapat terekstrak), dan tipe kolagen yang terekstrak. Masing-masing kolagen dari hasil ekstraksi dengan berbagai larutan asam dengan lama perendaman 36 jam diambil sampel untuk dianalisis komposisi asam aminonya

Penentuan Peubah
Rendemen kolagen dihitung menurut petunjuk Liu et al. (2001), yaitu : R = Bobot basah kolagen yang dihasilkan x 100% Bobot sempel cakar yang digunakan Asam amino kolagen dianalisis menggunakan teknik HPLC. Tipe kolagen ditentukan dengan teknik elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 7 % menurut ODriscall et al. (1985).

Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, pola faktorial (4 x 3). Sebagai faktor pertama adalah jenis pelarut ekstraksi (A) yaitu asam asetat (a 1), sitrat (a2 ), laktat (a3 ), dan klorida (a 4). Faktor kedua adalah lama perendaman cakar ayam dalam pelarut ekstraksi (R) yaitu 12 (r 1), 24 (r 2), dan 36 (r 3 ) jam, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 kali (Steel dan Torrie, 1989). Ke empat pelarut asam dibuat dalam konsentrasi 5%. Hasil ekstraksi berupa kolagen selanjutnya diidentifikasi tipenya dengan elektro-foresis menggunakan teknik gel poliakrilamid 7%. Kolagen hasil ekstraksi kemudian diamati komposisi asam amino. Peubah lain yang diamati selain komposisi asam amino adalah bobot basah dan persentase rendemen kolagen, serta tipe kolagen.

Hasil dan Pembahasan


Rendemen Kolagen
Perendaman cakar ayam dengan 5% larutan asam asetat, sitrat, laktat dan HCl, selama 12, 24 dan 36 jam dihasilkan rendemen ekstrak kolagen seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen kolagen hasil ekstraksi pada berbagai kombinasi perlakuan No. Perlakuan Rataan Rendemen Kolagen (%) 26,21 f 29,39 g 30,82 h 10,40 i 11,87 a 12,14 a 36,40 bd 36,83 bc 38,76 j 28,73 k 36,64 cde 36,40 cde 1003,87

Ektraksi Kolagen Cakar Ayam


Ektraksi kolagen dari cakar ayam digunakan metode Ichie et al. (1999) dan Liu et al. (2001) dimodifikasi. Cakar ayam dikeluarkan dari freezer kemudian dipotong potong menggunakan pisau dengan ukuran kurang lebih 3 cm. Potongan cakar selanjutnya dihancurkan menggunakan gilingan daging. Cakar yang telah hancur diambil sampel 100 g kemudian direndam larutan asam 5% dengan volume 8 kali berat sampel (1 : 80). Setiap sampel ( masing-masing 100 g) direndam dalam 5% larutan asam asetat, sitrat, laktat dan asam klorida dengan variasi lama perendaman 12, 24 dan 36 jam. Selama perendaman semua sampel disimpan dalam kulkas. Setelah mencapai waktu perendaman cairan dipisahkan melalui

1 a 1 r1 2 a 1 r2 3 a 1 r3 4 a 2r1 5 a 2r2 6 a 2r3 7 a 3 r1 8 a 3 r2 9 a 3 r3 10 a 4 r1 11 a 4 r2 12 a 4 r3 Jumlah


a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,

Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05

Ekstraksi Kolagen Cakar Ayam (Prayitno)

101

Tabel 1 menunjukkan rendemen kolagen tertinggi dihasilkan dari perendaman dengan larutan asam laktat selama 36 jam (a 3 r 2) dan terendah dengan asam sitrat selama 12 jam (a4 r 1). Perendaman dengan larutan HCl dan asam laktat selama 24 jam dan 36 jam dihasilkan rendemen kolagen yang hampir sama, namun pada perendaman 12 jam berbeda. Perendaman dengan asam laktat selama 12, 24 dan 36 jam dihasilkan kolagen tidak jauh berbeda. Hasil analisis variansi (anova) rendemen kolagen hasil ekstraksi dengan asam asetat, sitrat, laktat dan HCl, dengan lama perendaman 12, 24 dan 36 jam dan juga interaksinya menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Rendemen kolagen hasil ekstraksi antara asam asetat (a1) dengan HCl (a4), asam asetat (a 1 ) dengan asam laktat (a2 ), asam asetat (a1 ) dengan asam sitrat (a 2), asam sitrat (a 2 ) dengan HCl (a 4), asam sitrat (a2) dengan asam laktat (a 3 ) asam laktat (a 3 ) dengan HCl (a4 ) masing-masing berbeda sangat nyata (P<0,01). Antara lama perendaman 12 jam (r 1) dengan 24 jam (r 2 ), 12 jam (r 1) dengan 36 jam (r 3) dan 24 jam (r 2 ) dengan 36 jam (r 3 ) masing-masing berbeda sangat nyata (P<0,01). Kecuali antara a 2 r 3 dengan a2 r 2 , a4 r 2 dengan a3 r 2 , a4 r 2 dengan a3 r 3 , a 4 r 2 dengan a 4 r 1 , a 4r 1 dengan a 3r 2 , a4 r 1 dengan a 3 r 3 , a3r 3 dengan a 3 r 2 masing-masing berbeda tidak nyata (P>0,05), interaksinya sangat nyata (P<0,01). Keadaan ini menunjukkan asam laktat dan HCl pada saat digunakan untuk merendam cakar ayam selama 24 dan 36 jam mempunyai kemampuan mengekstrak kolagen yang hampir sama. Pada lama perendaman yang sama, kemampuan mengekstrak kolagen lebih besar bila dibandingkan dengan asam asetat maupun asam sitrat. Kolagen banyak terdapat pada tubuh dan merupakan protein unik dengan kadar mencapai 3% dari total protein yang terdapat dalam tubuh. Paling sedikit ada 14 tipe kolagen yang telah berhasil diidentifikasi dan banyak dipengaruhi oleh faktor genetik (Liu et al., 2001). Li (1993) menyatakan bahwa Ikatan antar molekul kolagen dalam otot bagian kulit dan atau tulang akan merenggang (melunak) pada kondisi pH dibawah 4 atau diatas 10. Ekstraksi kolagen dari cakar ayam dengan larutan asam sitarat 5% diperoleh kolagen sebanyak 36% dari berat cakar ayam yang digunakan. Chow (1981) melakukan perendaman kulit babi menggunakan larutan asam laktat 5% dengan pH 2,15 mampu

melepaskan molekul kolagen pada bagian kulit. Wang (1994) menyatakan bahwa rantai protein kolagen apabila dipotong (dipecah) dengan asam klorida (HCl) akan dihasilkan asam amino dan rantai peptida. Akan tetapi pemecahan kolagen oleh HCl tidak spesifik serta tidak teratur sehingga sulit dikontrol.

Komposisi Asam Amino


Perendaman cakar ayam dengan 5% larutan asam asetat, asam sitrat , asam laktat dan klorida (HCl) selama 24 jam diperoleh ekstrak kolagen dengan komposisi asam amino seperti pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa kolagen dari cakar ayam hasil ekstraksi menggunakan empat jenis asam masing-masing mengandung 17 macam asam amino, dan komposisi residu asam amino terbesar adalah glisin yaitu sebesar 33,24; 24,11; 27,98 dan 36,19%. Masing-masing dihasilkan dari perendaman berturut-turut dengan 5% asam asetat, HCl, laktat dan sitrat selama 24 jam. Pada kondisi perlakuan yang sama residu asam amino prolin dalam ekstrak kolagen berturut-turut adalah 11,96; 11,12; 11,03 dan 13,25%. Komposisi asam amino alanin berturut 13,04, 16,06, 11,35 dan 13,93%, sedangkan untuk glutamat bertururttururt 9,12, 18,94, 8,79 dan 11,12%. Berdasarkan hasil penelitian ini menggambarkan bahwa ekstrak protein yang dihasilkan dari perendaman cakar ayam dengan larutan asam asetat, sitrat, laktat dan HCl sebagian besar adalah kolagen karena komposisi asam amino terbesar adalah glisin dan prolin. Menurut Lehninger et al. (1993) bahwa penyusun kolagen adalah residu asam amino glisin 35%, alanin 11% dan prolin atau hidroksiprolin 21%. Kolagen tersusun dari tiga (triple) urutan asam amino secara berulang-ulang dan setiap tiga urutan tersebut tersusun dari asam amino glisin-X-prolin atau hidroksiprolin. Urutan asam amino X dapat ditempati oleh berbagai jenis asam amino, tetapi yang paling umum adalah valin. Asam amino tersebut membentuk struktur helik sederhana yang unik. Asghar dan Henrickson (1982) menyatakan, ada 20 atau 21 macam asam amino terdapat pada tipe kolagen yang berbeda. Liu et al. (2001) menyatakan, kolagen dari cakar (kaki) ayam mengandung 21 macam asam amino dan sebanyak 30 persennya adalah glisin, 11% prolin dan 10 sampai 12,70% alanin serta glutamat. Kandungan

100

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 104

lisin, histidin, penil alanin, isoleusin, tirosin dan metionin berkisar 2 persen atau kurang, sedangkan 14 asam amino lainnya juga relatif kecil.

Tipe Kolagen
Elektroforesis dengan SDS-poliakrilamid gel elektroforesis (SDS-PAGE) kolagen cakar ayam hasil ektraksi dengan 5 persen larutan asam asetat, HCl, laktat dan sitrat dengan lama perendaman 12 sampai 24 jam diperoleh pita-pita peptida seperti tertera pada Gambar 1 dan 2. Kolagen hasil ekstraksi dengan asam asetat, sitrat, laktat dan HCl, menunjukkan pita dengan pola jarak migrasi hampir sama. Berdasarkan pola dan jarak migrasinya, pita peptida (protein) untuk kolagen hasil ektraksi dengan ke empat jenis larutan asam masing-masing diduga termasuk kolagen tipe I yang terdiri dari dua rantai peptida kembar yaitu rantai 1 . Li (1993) menyatakan bahwa semua tipe kolagen terdiri dari tiga rantai dan . Selanjutnya dinyatakan hasil elektroforesis ekstrak kolagen dari ekor tikus yang diekstraksi menggunakan larutan asam dapat memisahkan rantai (rantai 1 dan 2 ) dan rantai . Kolagen yang paling banyak dikenal orang adalah kolagen tipe I yang terdiri dari tiga rantai polipeptida.
Tabel 2. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Dua rantai polipeptida disebut tipe 1 dan rantai polipeptida yang ketiga adalah tipe 2. Kolagen tipe I adalah paling banyak terdapat pada bagian tubuh yang lunak seperti kulit dan tendon maupun bagian tubuh yang keras seperti tulang dan gigi serta jaringan penghubung. Kolagen tipe II yang terdiri dari tiga rantai peptide -1 adalah kolagen yang banyak terdapat pada tulang kartilago. Kolagen tipe III yang juga terdiri pada tiga rantai peptide 1 banyak terdapat pembuluh darah (Liu et al., 2001). Todbunter et al. (1994) melaporkan telah berhasil mengisolasi kolagen tipe I dan II dari kulit dan tendon fleksor kuda dengan menggunakan larutan asam asetat 5 persen. Hasil penelitian Yoshino (1996), Toguchi et al. (1999), Trenthan et al. (1993) dan Liu et al. (2001) didapatkan bahwa berdasarkan hasil elektroforesis kolagen yang diekstraksi dari cakar ayam dengan larutan asam, diketahui mengandung kolagen tipe I dan tipe II. Ichie et al. (1999) melaporkan ekstraksi secara mekanik tulang bagian tubuh ayam dihasilkan kolagen tipe I, III dan V, sedangkan yang diekstraksi dari tulang leher banyak mengandung kolagen tipe I (Tanaka dan Shimokomaki, 1996).

Komposisi asam amino kolagen hasil ekstraksi menggunakan empat jenis larutan asam konsentrasi 5% dengan lama perendaman 24 jam Asam Amino Asam Asetat 4,40 9,12 2,98 33,14 1,05 8,35 3,08 13,04 11,92 1,03 5,02 1,24 0,42 2,23 5,06 1,98 5,12 Kandungan asam amino ekstrak kolagen (%) HCl Asam Laktat Asam Sitrat 15,97 8,29 10,11 18,94 8,79 11,12 6,13 3,04 2,89 24,11 27,98 36,19 2,86 0,92 1,62 10,07 8,12 8,92 6,65 2,86 4,04 16,08 11,35 13,93 11,12 11,03 13,25 1,92 1,02 1,45 9,98 4,08 4,76 3,02 1,11 1,35 0,62 0,27 0,24 6,89 2,42 3,06 12,84 4,72 5,15 4,82 1,95 3,11 9,01 3,84 4,92

Aspartat Glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistein Isoleusin Leusin Penil alanin Lisin

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 104

100

K12

K 24

K36

a1r1

a 2 r1 a 4 r1

a1r2

a 2r2

a4 r2

Gambar 1.

Pita protein kolagen hasil ektraksi dengan berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman, padaSDS-poliakrilamid gel elektroforesis (SDS-PAGE). K12 , K 24 dan K36 adalah berturut-turut sampel kolagen hasil perendaman cakar ayam dengan aquades selama 12, 24 dan 36 jam a3 r1 a 3 r2 a 3 r3 a 1 r3 a 2r3 a 4 r3

Gambar 2. Pita protein kolagen hasil ektraksi dengan berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman pada SDS-poliakrilamid Gel elektroforesis (SDS-PAGE).

Ichie et al. (1999) melaporkan ekstraksi secara mekanik tulang bagian tubuh ayam dihasilkan kolagen tipe I, III dan V, sedangkan yang diekstraksi dari tulang leher banyak mengandung kolagen tipe I (Tanaka and Shimokomaki, 1996). Bailey dan Light (1989) menyatakan bahwa semua tipe kolagen yang terdapat dalam tubuh hewan terdiri dari tiga rantai polipeptida (rantai ). Kolagen tipe I terdiri dari dua rantai 1 dan satu rantai 2 , sedangkan kolagen tipe II hanya terdiri tiga rantai peptide kembar yaitu 1 . Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk memisahkan dan mengidentifikasi rantai peptida 1 dan 2 yang

terdapat pada kolagen baik tipe I maupun II. Kolagen II. Pada kolagen hasil ekstraksi dengan 5% larutan asam asetat, laktat dan sitrat setelah diidentifikasi dengan SDS-PAGE mempunyai berat molekul yang besar. Hasil penelitian ODriscall et al. (1985) bahwa gel SDSPAGE dapat digunakan untuk mengidentifikasi kolagen tipe I dan kolagen II.

Kesimpulan
Perendaman cakar ayam dengan larutan asam asetat, sitrat, laktat dan HCl selama 12 sampai 36 jam dihasilkan rendemen ekstrak kolagen berbeda.

100

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 92 - 104

Larutan asam laktat dan HCl mempunyai kemampuan hampir sama dalam mengekstrak kolagen cakar ayam. Kolagen hasil ektraksi dengan kombinasi berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman mempunyai komposisi asam amino yang sama namun berbeda persentasenya. Kolagen hasil ekstraksi dengan kombinasi berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman mempunyai tipe yang sama. Asam laktat mempunyai kemampuan terbaik dalam melarutkan kolagen cakar ayam.

Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001. Optimum cocndition of extrcting collagen from Chicken feet and its caracetristics. Asian-Australasian Journal of Animal Sci ence 14 : 1638-1644. ODriscqll, S.W., R.B. Salter, and F.W. Keeley, 1985. A method for quantitative analysis of ratio of type I and II collagen in small samples of articular cartilage. Analytical Biochemistry . 145 : 277-285. Rose, H.J. 1968. Method of Preparating Tubular Collagen Casing . US. Patent. an Edible

Daftar Pustaka
Asghar, A. and R.L. Hendrickson, 1982. Chemical, Biochemical, function and nutritional characteristics of collagen food systems. Advances in Food Research . 28: 232-312. Bailey, A.J. and N.D. Light, 1989. Conective Tissue in Meat and Meat Product. Elsevier Science. London 75-119. Baliant, G. and J.H. Bowes, 1977. The Structure and Properties of Collagen. Science and Technology of Gelatin. Edited by Ward, A.G. and Court A., Academic Press Inc. New York USA. 1-27. Chow, 1981. Studies on Using Pork Skin Collagen to Manufacture Edible Film. National, Taiwan University, Taipei, Taiwan, ROC. Ichie, K., Y. Toguchi, Y. Takahata, S. Toki, F. Morimatus, T. Yamanaka, T. Kumagai, Y. Wataya, K. Kumara, Y. Tanaka, K. Ikeda, A. Umetsu, R. Shibata, J. Kurisaki, and R. Yamada, 1999. Low allergenic gelatin prepared from chicken cartilage by acid processing. 45 th . ICoMST, Japan. Proceeding. 2 : 714-715. Lehninger, A.L., D.L. Nelson and M.M. Cox, 1993. Principles of Biochemistry. 2 nd Worth. New York. Li, Shu-Tung, 1993. Collagen biotechnology and its medical application . Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5 :646-657.

Taguchi, Y., T. Matsumoto, K. Fujita, F. Morimatus, and T. Shigchisa, 1998. Oral administration of type II collagen from chicken cartilage suppress adjuvant arthritis in rats. Proceeding of 44 th . CoMST, Spain. 2 : 1030-1031. Tanaka, C.Y. and M. Shimokamaki, 1996. Collagen type in mechanically deboned chicken meat. Journal Food Biochem istry 20 : 215-225. Todbunter, J. Rory, A.M. Wooton, and R.R. Minor, 1994. Structure of equin type I and type II collagen. American Journal of Vet eriner 55 (3) : 425-431. Trenthan, D.E., R.A. Dynersius-Trenthan, E.J. Orov, H. Cornbitchi, C. Lorenzo, K.L. Sewell, D.A. Hofler, and H.A. Weiner, 1993. Effect of oral administration of type II collagen on rheumatoid arthritis. Science . 261 :1727-1730. Steel, R.G.D dan J.H. Torrie, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik . Bambang Sumantri (penerjemah). PT. Gramedia, Jakarta. Studies on manufacturing a Wang, D., 1994. functional ingredient from porcine skin collagen by enzyme hydrolysis. Tunghai University, Taichung, Taiwan, ROC. Yoshino, S., 1996. Oral administration of type III collagen supresed non-specifically induced chronic arthritis in rats. Biomedical and Pharmacotheraphy. 50 : 24-28.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 105 110 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Analisis Usaha Ternak Kambing dalam Sistem Usahatani Terpadu di Kabupaten Banyumas
(Analysis of Goat Farming on Integrated Farming System in Banyumas)
Nunung Noor Hidayat
Fakultas Peternakan Uiversitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT : The objective of this research were : 1) to find out the income generated from goat farming and its contribution to farmer income in several farming combination, 2) to find out the economic efficiency in goat farming with paddy and fish production, 3) to determine factors affecting level of production and income in different farming system, partially and aggregately, and 4) to determine the best combination of farming which generated maximum income. Household farmer survey method was performed to conduct this research. Farming model chosen in this research was partial and average aggregate. Cobb-Douglas function were chosen to predict functional relationship. Result stated from this research were : 1) goat farming has a significant contribution in integrated farming system, 2) integrated farming (goat and paddy, goat and fish, and goat, fish and paddy) in Banyumas district was economically efficient. 3) partially, factor affecting production level in goat farming was number of goat owned (P<0.01), factor affecting paddy production were urea application and number of land owned (P<0.01), TSP application (P<0.05) and man power (P<0.10). Furthermore, factor affecting fish farming were feed, breed and number of land owned (P<0.01); 4) aggregately, factor affecting integrated farming I were urea application and number of land owned (P<0.01), feed and number of land owned (P<0.01), number of goat owned (P<0.10) integrated farming II, where as in integrated farming III were number of paddy land area and breed (P<0.01) also number of goat owned (P<0.10); 5) integrated farming III (goat, paddy and fish farming) gave the highest profit, which gave Rp 6.219.283,81 with relatively high efficiency. Therefore, goat farming could be an alternative solution to be developed in integrated farming and could be combined with other farming activities such as paddy and fish farming. Key Words : Goat, income, economic efficiency, survey, contribution, integrated farming

Pendahuluan
Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang mempunyai peranan yang cukup penting sebagai penyedia protein hewani yang berupa daging, karena kambing merupakan ternak yang memiliki kemampuan untuk mengolah bahan pakan yang bernilai gizi rendah menjadi bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu pemeliharaannya relatif mudah. juga sebagai penghasil kompos dan merupakan tabungan keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual. Menurut (Knipscheer et al., 1983) keberadaan ternak ruminansia kecil didorong oleh kenyataan bahwa ternak ini hanya memerlukan luasan lahan yang reltif sempit, mudah dipasarkan, biaya pemeliharaannya rendah, dapat memanfaatkan hasil sampingan pertanian, dan mempunyai adaptasi yang tinggi dengan resiko rendah. Ternak kambing banyak dipelihara petani di Kabupaten Banyumas di samping usahatani tanaman pangan dan perikanan. Potensi pengembangan usahatani tanaman ternak di lahan sawah irigasi cukup besar mengingat produktivitas tanaman padi

sudah melandai. Oleh karena itu untuk meningkatkan pendapatan petani dan menyediakan protein hewani diversifikasi usahatani dengan memasukkan ternak sangat potensial (Wardana et al ., 1995). Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah sebesar 132.792 Ha memiliki populasi ternak kambing yang cukup besar yaitu 157.766 ekor. Penduduk Kabupaten Banyumas sebagian besar bermatapencaharian di sektor pertanian (50,35%), di samping itu pemeliharaan ikan air tawar juga merupakan salah satu alternatif berusaha yang banyak dilakukan oleh masyarakat dengan luas kolam sebesar 411 Ha. Dalam penelitian ini dipelajari bagaimana pendapatan dan efisiensi ekonomi dari kombinasi cabang usaha ternak kambing dengan usahatani tanaman pangan dan perikanan. Di Kabupaten Banyumas banyak terdapat peternak kambing selain bertani juga memelihara ikan. Sampai seberapa jauh kondisi peternak kambing dalam sistem usahatani terpadu belum terinformasikan, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang kondisi usaha ternak kambing pada

105

108

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 105 - 110

usahatani terpadu, juga dibahas kombinasi usahatani yang paling menguntungkan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui besarnya pendapatan usaha ternak kambing dan kontribusinya terhadap pendapatan petani pada berbagai kombinasi usahatani 2. Mengetahui efisiensi ekonomi pada usaha ternak kambing, usahatani padi dan usahatani ikan. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan pada usaha ternak kambing, usahatani padi dan usahatani ikan. 4. Menentukan kombinasi usaha ternak kambing dan usahatani lain yang memberikan pendapatan maksimum.

Y 2 = produksi padi (kg); X 3 = tanaga kerja (jam); X 4 = bibit (kg); X 5 = pupuk urea (kg); X 6 = pupuk TSP (kg); X 7 = obat-obatan (kg) dan X 8 = luas lahan (m 2 ). 3. Cabang usahatani ikan Y 3 = f (X 9,,X 10,, X 11,, X 12, X 10 ) Y 3 = produksi ikan (kg); X 9 = pakan ikan (kg); X 10 = tenaga kerja (jam) ; X 11 = bibit (kg); X 12 = luas lahan (m 2 ) b. Model agregat rataan 1. Usaha ternak kambing dan cabang usahatani padi Y q = f (X 1, X 2, X 3, X 4,, X 5, X 6, X 7, X 8 ) Y q = luaran usaha pada cabang usahatani kambing dan padi (Rp) 2. Usaha ternak kambing dan cabang usahatani ikan Y r = f (X 1,X 2, X 3, X 4,, X 6, X 10 ) Y r = luaran usaha pada cabang usahatani kambing dan ikan (Rp) 3. Usaha ternak kambing, cabang usahatani padi dan ikan Y s = f (X 1s, X 2s, X 3s, X4s,, X 5s, X 6s, X 7s, X 8s, X 9s, X 10s) Y s = luaran usaha pada cabang usahatani kambing, padi dan ikan (Rp) Bentuk hubungan fungsional yang diperkirakan mendekati fungsi produksi di atas adalah fungsi Cobb-Douglas, bentuk umum fungsi Cobb-Douglas menurut Heady dan Dillon (1961). Janvry (1972) adalah sebagai berikut : Y j = A j X ij bij j = 1 dan c I = 1. 2. .. k Keterangan : Y j = luaran ke-j; X ij = masukan ke-i pada luaran ke-j; bij = parameter dari masing-masing masukan; dan A j = intersep ke-j. Selanjutnya dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil ( Ordinary Least Squares) digunakan untuk menduga parameter fungsi produksi parsial dan agregat rataan. Sedangkan pengujian hipotesis mengenai parameter fungsi produksi dilakukan dengan uji t-student. Pengujian efisiensi ekonomi dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya (R/C).

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei terhadap rumah tangga peternak. Responden dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok usahatani terpadu I (usahatani kambing dan padi), kelompok usahatani terpadu II (kelompok usahatani kambing dan ikan) dan kelompok usahatani terpadu III (kelompok usahatani kambing, padi dan ikan). Sampel wilayah diambil dengan menggunakan metode Purposive Sampling (sengaja), terpilih empat kecamatan yaitu Kecamatan Karanglewas, Baturraden, Kedung Banteng dan Sumbang. Sampel peternak diambil dengan metode Stratified Random Sampling. Jumlah responden sebanyak 118 orang. Data pendapatan dan kontribusi peternak kambing dianalis berdasarkan pengeluaran dan penerimaan tunai yang diperhitungkan dan dilaporkan secara deskriptif, perhitungan efisiensi ekonomi dengan menggunakan R/C sedang model analisis usahatani yang digunakan dalam penelitian ini adalah model parsial dan agregat rataan (Johnson, 1971). Bentuk hubungan fungsional yang diperkirakan mendekati fungsi produksi di atas adalah fungsi Cobb-Douglas. a. Model parsial 1. Usaha ternak kambing Y 1 = f (X 1. X 2. X 3.) Y 1 = keluaran ternak kambing (kg); X 1 = jumlah kambing yang dipelihara (AU); X 2 = pakan ternak (kg); X 3 = tenaga kerja (Jam). 2. Cabang usahatani padi Y 2 = f (X 3,,X 4, X 5, X 6, X 7, X 8)

Analisis Usaha Ternak (Hidayat)

109

Hasil dan Pembahasan


Pendapatan dan Kontribusi Ternak Kambing
Pendapatan rata-rata pertahun yang diperoleh peternak kelompok I dari usaha ternak kambing sebesar Rp 909.041,00 sedangkan pendapatan dari usahatani rata-rata sebesar Rp 1.610.528,25, dan kontribusi usaha ternak kambing pada usahatani terpadu rata-rata sebesar 53,47%. Pada kelompok II pendapatan rata-rata dari usaha ternak kambing sebesar Rp 1.899.686,19, sedangkan pendapatan dari usahatani rata-rata sebesar Rp 3.353.972,28, dan kontribusi usaha ternak kambing rata-rata sebesar 57,25%. Sedangkan pada kelompok III, pendapatan rata-rata dari usaha ternak kambing sebesar Rp 2.479.719,64 sedangkan pendapatan dari usahatani rata-rata sebesar Rp 6.219.283.81, dan kontribusi usaha ternak kambing pada usahatani terpadu rata-rata sebesar 43,61%. Terlihat dari ketiga kelompok tersebut, kontribusi dari usaha ternak kambing cukup besar (untuk kelompok I dan II di atas 50%), dan yang memperoleh pendapatan terbaik adalah kelompok III (usahatani terpadu kambing, padi dan ikan). Pendapatan usahatani kelompok III lebih tinggi jika dibandingkan usahatani terpadu sapi potong, jagung dan padi menurut (Widiyanti et al. , 2005) Pendapatan peternak sapi di Kabupaten Purbalingga rata-rata sebesar Rp 3.137.874,00, dengan kontribusi usaha ternak sebesar 41,43%. Sedangkan hasil penelitian Chamdi (2004) pendapatan peternak kambing di Kecamatan Gumelar sebesar Rp 349.184,71 per tahun.

Hasil penelitian Chamdi (2004) R/C usaha ternak kambing di Kecamatan Gumelar adalah 2,20.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi


Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini digunakan secara agregat dan parsial. Hasil analisis fungsi produksi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 1. Nilai Koefisien determinasi (R2 ) dan hasil uji F dari fungsi produksi parsial dan agregat rataan tiga cabang usahatani dan kombinasinya Uraian Fungsi Prod. Parsial Usaha ternak Usaha padi Usaha ikan Fungsi Produksi Agregat Rataan : Usahatani terpadu I Usahatani terpadu II Usahatani terpadu III R2 0,22 0,53 0,65 F hit 10,80** 16,45** 30,07** Prob. 2,65E-06 1,57E-12 3,62E-14

0,61 0,86 0,54

7,50** 5,25E-06 18,03** 11,02E-06 4,97** 0,00104

** nyata pada taraf kepercayaan 99%

Efisiensi Ekonomi
Hasil perhitungan R/C pada kelompok I sebesar 8,31, hal ini menunjukkan bahwa setiap biaya sebesar Rp 1,00 akan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 8,31. Pada kelompok II diperoleh R/C sebesar 12,81 dan pada kelompok III sebesar 16,34. R/C yang diperoleh cukup besar dan semua kelompok nilainya lebih besar dari satu, hal ini menunjukkan bahwa usaha ternak kambing sangat efisien jika diternakan secara tradisional oleh rakyat. Besarnya nilai R/C disebabkan pemeliharaan ternak kambing diusahakan secara tradisional, untuk mengisi waktu luang petani, sehingga tenaga kerja tidak diperhitungkan, sedangkan pakan yang diberikan cukup rumput atau pakan lain hasil sisa usahataninya jarang yang diberi pakan penguat.

Pada fungsi produksi parsial terlihat bahwa koefisien determinasi dari ketiga cabang usahatani, usaha ternak menunjukkan koefisien determinasi terendah, hal ini diduga masih ada faktor produksi yang mempunyai peranan besar terhadap produksi ternak namun belum di masukan dalam model, seperti harga jual ternak dan waktu penjualan, hal tersebut juga menunjukkan bahwa walaupun kontribusi usaha cukup tinggi namun masih dianggap hanya sebagai tabungan saja yang sewaktu-waktu dijual jika memerlukan dana. Berbeda dengan usaha padi dan ikan yang memang diusahakan dengan orientasi mendapatkan keuntungan. Dilihat dari nilai F hitung fungsi produksi pada semua cabang usahatani signifikan pada taraf kepercayaan 99%, hal ini menunjukkan secara bersama-sama faktor produksi yang dimasukan dalam model berpengaruh terhadap produksi. Pada fungsi produksi agregat koefisien determinasi (R2) yang diperoleh masing-masing usahatani terpadu cukup besar (0,61 untuk usahatani terpadu I, 0,86 untuk usahatani terpadu II dan 0,54 untuk usahatani terpadu III dan hasil uji F menghasilkan signifikan pada taraf kepercayaan 99%. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel independent cukup memberikan arti terhadap variabel dependen.

108

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 105 - 110

Hasil analisis fungsi produksi secara parsial dari masing-masing cabang usaha tani (kambing, padi dan ikan) dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat bahwa masukan-masukan (faktor produksi) yang mempunyai arti penting terhadap hasil kotor dari setiap cabang usahatani.
Tabel 2. Variabel dugaan fungsi produksi parsial usaha ternak kambing, cabang usahatani padi dan ikan Masukan Jmh ternak (X1 ) Pakan (X2 ) Ten. kerja (X3 ) Bibit (X 4 ) Urea(X5 ) TSP(X 6 ) Obat(X7 ) Luas lahan(X 8 ) Pakan(X 9 ) Ten. kerja(X10 ) Bibit(X 11 ) Luas lahan(X 12 ) Parameter Dugaan Kambing Padi Ikan 0,57** ( 0,53 ) -0,00 ( -0,18 ) 0,08 -0,24 ( 0,65 ) (-1,79) -0,01 (0,41) 0,26** (4,82) 0,05* (2,51) -0,01 (-0,85) 0,30** (5,51) 0,11** (6,11) -0,09 (-0,53) 0,22** (3,07) 0,27** (3,67)

*signifikan pada taraf kepercayaan 95% **signifikan pada taraf kepercayaan 99%

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada usaha ternak kambing hanya ada satu faktor produksi yang signifikan, yaitu jumlah ternak dengan koefisien regresi sebesar 0,57, signifikan pada taraf kepercayaan 99% (P<0,01). Besarnya koefisien regresi menunjukkan bahwa setiap penambahan 1% unit ternak maka luaran (produksi) akan meningkat sebesar 0,57%. Sedangkan faktor produksi yang lain seperti jumlah pakan dan tenaga kerja tidak signifikan. Keadaan ini diduga karena pemberian pakan digunakan untuk seluruh ternak, sehingga sulit untuk dihitung per individu, demikian juga untuk tenaga kerja karena hanya sebagai usaha sambilan untuk mengisi waktu luang di antara kesibukan pekerjaan yang lain, maka curahan kerjanya tidak efektif. Pada usahatani padi variabel urea dan luas lahan berpengaruh terhadap produksi, pada tingkat kepercayaan 99% (P<0,01), TSP signifikan pada

tingkat kepercayaan 95% (P<0,05) sedangkan bibit dan obat-obatan tidak berpengaruh terhadap produksi. Koefisien regresi pada variabel urea sebesar 0,26 menunjukkan bahwa setiap penambahan urea satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,26%. Koefisien regresi pada variabel luas lahan sebesar 0,30, menunjukkan bahwa setiap penambahan luas lahan satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,30%. Sedangkan pada variabel TSP besarnya koefisien regresi 0,05, menunjukkan bahwa setiap penambahan TSP satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,05%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan urea dan TSP dalam batas tertentu dan luas lahan masih dapat dilakukan untuk menghasilkan produksi padi yang lebih banyak Pada usahatani ikan variabel pakan, bibit dan luas lahan berpengaruh terhadap produksi (luaran) ikan, pada tingkat kepercayaan 99% (P<0,01), sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap produksi. Koefisien regresi pada variabel pakan sebesar 0,11 menunjukkan bahwa setiap penambahan pakan satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,11%. Koefisien regresi pada variabel bibit sebesar 0,22 menunjukkan bahwa setiap penambahan bibit satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,22%. Sedangkan pada variabel luas lahan besarnya koefisien regresi 0,27, menunjukkan bahwa setiap penambahan luas lahan satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,27%. Hasil tersebut memberikan informasi bahwa penambahan pakan, bibit dan luas lahan dapt menghasikan produksi ikan yang lebih banyak.

Parameter Fungsi Produksi Agregat


Fungsi produksi agregat dari kombinasi cabang usahatani pada penelitian ini dikelompokan menjadi tiga, yaitu terpadu I kelompok kombinasi usahatani kambing dan padi, terpadu II kelompok kombinasi usahatani kambing dan ikan dan terpadu III kelompok usahatani kambing, padi dan ikan. Data selengkapnya tentang fungsi produksi dari ketika usahatani terpadu dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada usahatani terpadu I hanya variabel pupuk urea dan luas lahan yang berpengaruh terhadap luaran usahatani (kambing dan padi) pada tingkat kepercayaan 99% (P<0,01), sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata. Pada usahatani terpadu II variabel jumlah ternak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% dan variabel pakan ikan

Analisis Usaha Ternak (Hidayat)

109

serta luas lahan untuk ikan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%, sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap luaran usaha kambing dan ikan. Pada usahatani terpadu III, variabel yang berpengaruh nyata terhadap luaran usaha tani kambing, padi dan ikan adalah luas lahan padi dan bibit ikan pada taraf kepercayaan 99% (P<0,01).
Tabel 3. Variabel dugaan fungsi produksi agregat cabang usahatani terpadu I, II dan III Parameter Dugaan Terpadu I Terpadu Terpadu III II Intersep 4,90 6,54** 5,54** (7,69) (6,10) (6,35) Jml ternak(X 1) 0,06 -0,56* 0,26 (0,54) (-2,30) (1,68) Pakan (X 2 ) 0,00 0,02 -0,02 (0,30) (0,94) (-1,59) Ten. kerja (X 3) -0,07 -0,32 -0,22 (-0,48) (-1,13) (-1,06) Bibit (X 4) 0,00 -0,01 (0,11) (-0,14) Urea(X 5) 0,22** 0,01 (3,68) (0,08) TSP(X 6) 0,02 0,07 (1,70) (1,40) Obat(X 7) -0,01 -0,01 (-0,58) (-0,59) Luas lahan(X 8) 0,17** 0,24** (3,60) (3,11) Pakan(X 9) 0,09** -0,22 (3,52) (-1,06) Bibit(X 11) 0,01 0,18** (0,07) (3,02) Luas lahan(X 12 ) 0,42** 0,01 (4,13) (0,20) Masukan
* signifikan pada taraf kepercayaan 95% ** signifikan pada taraf kepercayaan 99%

antara kambing dan ikan. Variabel pakan dengan koefisien regresi sebesar 0,09 menunjukkan bahwa setiap penambahan pakan sebesar 1% akan dapat meningkatkan luaran sebesar 0,09%. Variabel luas lahan dengan koefisien regresi sebesar 0,41 menunjukkan bahwa setiap penambahan lahan 1% akan dapat meningkatkan luaran sebesar 0,41%. Pada usahatani terpadu kambing, padi dan ikan, yang berpengauh adalah variabel luas lahan dengan koefisien regresi sebesar 0,24 menunjukkan bahwa setiap penambahan lahan 1% akan dapat meningkatkan luaran sebesar 0,24%. Variabel bibit dengan koefisien regresi sebesar 0,18 menunjukkan bahwa setiap penambahan bibit sebesar 1% akan meningkatan luaran sebesar 0,18%.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1). Usaha ternak kambing di Kabupaten Banyumas memberikan kontribusi pendapatan yang cukup berarti dalam usahatani terpadu. 2). Usahatani terpadu (kambing dan padi, kambing dan ikan serta kambing padi dan ikan) yang ada di Kabupaten Banyumas cukup efisien baik secara parsial maupun agregat. 3). Secara parsial faktor yang mempengaruhi produksi ternak kambing adalah jumlah ternak, yang mempengaruhi produksi padi tenaga kerja, pupuk urea, TSP dan luas lahan, sedang yang mempengaruhi usaha ikan adalah pakan, bibit dan luas lahan. 4). Secara agregat yang mempengaruhi usaha tani terpadu I adalah pupuk urea dan lahan, pada usahatani terpadu II adalah jumlah ternak, pakan dan luas lahan, sedangkan pada usahatani terpadu III adalah luas lahan padi dan bibit ikan. 5). Usahatani yang memberikan keuntungan terbesar adalah usahatani terpadu III (kambing, padi dan ikan). Usaha ternak kambing dapat dijadikan sebagai usaha sambilan karena dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan keluarga. Untuk meningkatkan pendapatan peternak dapat dengan cara meningkatkan skala usaha seperti peningkatan jumlah ternak, peningkatan luas lahan ikan dan luas lahan padi, menggunakan pakan dari lahan sendiri secara intensif, serta penggunaan pupuk kandang dari usaha ternak kambing.

Pada usaha terpadu kambing dan padi variabel yang berpengaruh adalah terhadap luaran adalah pupuk urea dengan koefisien regresi sebesar 0,22 menunjukkan bahwa setiap penambahan urea sebesar 1% maka akan dapat meningkatkan luaran sebesar 0,22%. Variabel luas lahan dengan koefisien regresi sebesar 0,17 menunjukkan bahwa setiap penambahan luas lahan 1% akan dapat meningkatkan luaran sebesar 0,17%. Pada usahatani terpadu kambing dan ikan, variabel jumlah ternak justru berpengaruh negartif terhadap luaran dengan koefisien regresi sebesar 0,56 menunjukkan bahwa setiap penambahan jumlah kambing 1% justru menurunkan luaran sebesar 0,56%, hal ini menunjukkan adanya sifat kompetitif

Daftar Pustaka
Chamdi, A.N., 2004. Study of socio economic profile of small holder goat farming in Gumelar sub-district

108

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 105 - 110

Banyumas regency. Jurnal Animal Production 6 (2) : 61 67. Agricultural Heady. E.O. and J.L. Dillon, 1961. Production Function. Iowa State University Press. Ames. Janvry. A.D., 1972. The generalized power productions function. American Journal Agricultural Economics . 54 : 234 237. Johnson. R.W.M., 1971. Agregation on micro function to obstaind a whole farm production function. The Australian Journal of Agricultural Economics. 15 : 3. Knipscheer, H.C., M. Sabrani, A.J. DeBoer and T.D. Soedjana, 1983. The economic role of sheep and goats in Indonesia : A case study of West Java. Bulletin of Indonesian Economics Studies 29.

Pakpahan, A., 1981. Analisa fungsi usahatani untuk me nunjang kebijaksanaan pengembangan sumberdaya daerah aliran sungai Cimanuk. [Tesis] Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wardana, I.P.E. Saptono dan S. Suriapermana, 1995. Kontribusi Ternak Domba dalam Diversifikasi Usaha Tani di Lahan Irigasi. Prosseding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balitnak. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. pp : 417 421. Widiyanti, R., Sugiyanto, N.N., Hidayat, M., Sri dan N.W., Yusmi., 2005. Introduksi Usaha Ternak Sapi Potong dalam Sistem Usahatani Terpadu ( Crop Livestock System) di Kabupaten Purbalingga. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 111 115 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Persepsi Masyarakat Purwokerto tentang Produk Daging


(Perception of the Purwokerto Society on Meat Product)
Krismiwati Muatip dan Hudri Aunurohman
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT: Meat consumption has increased significantly due to improvement of wage and education level of people. Importation of meat was done to meet local demand that experienced a shortage because of low cattle production. Besides, negative issues on avian influenza and anthrax have become a barrier on cattle development. The aims of this research were to (1) know perception of the Purwokerto society on meat product (2) identity factors that are related to perception of the Purwokerto society on meat product. The research used survey method to families in Purwokerto. Samples of area were taken purposively and total of 25 persons were drawn randomly as respondents. Collected data were analyzed using Spearman Rank Correlation Coefficient Test to identity factors that are related to perception of the Purwokerto society on meat product. The results showed that perception of the Purwokerto society on meat product was moderate. Income was significantly correlated to perception of the Purwokerto society on meat product. Key Words : Perception, meat product, income

Pendahuluan
Permintaan konsumsi per kapita daging segar menunjukkan peningkatan sejalan dengan membaiknya pendapatan dan pendidikan masyarakat. Upaya mencukupi permintaan daging, pemerintah Indonesia selain menggalakan peternakan di dalam negeri juga melakukan impor daging dan sapi bakalan. Permintaan daging yang meningkat merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi perkembangan dunia peternakan. Akhir-akhir ini di media massa banyak pemberitaan bahwa terdapat penyakit yang sangat berbahaya pada ternak dan dapat menular kepada manusia atau sebaliknya ( zoonosis). Penyakit pada ternak yang dapat menular pada manusia adalah penyakit bovine spongiform encephalopathy , penyakit mulut dan kuku yang menyerang ternak berkuku belah dan genap seperti sapi, kerbau, kambing, domba, rusa dan babi, dan avian influenza yang menyerang ayam. Berita lainnya mengenai kota Bogor yang divonis saat ini sebagai endemi penyakit anthrax. Pemberitaan yang tidak bijaksana dan keterbatasan masyarakat tentang penyakit pada ternak akan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat saat mengkonsumsi daging, karena perilaku seseorang dalam mengkonsumsi suatu bahan pangan berkaitan dengan persepsi yang dibentuk dalam diri individu yang bersangkutan (konsumen). Persepsi yang negatif terhadap produk peternakan akan

menghambat pembangunan peternakan. Persepsi seseorang dapat berhubungan dengan keadaan sosial ekonominya, seperti kondisi umur, pendidikan, pendapatan maupun lamanya seseorang mendedahkan pada media massa. Eks Kotatip Purwokerto merupakan salah satu daerah yang mempunyai masyarakat relatif terbuka terhadap pemberitaan, karena mayoritas masyarakatnya telah memiliki pendidikan yang memadai untuk menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi produsen hasil ternak, pemberitaan tentang mewabahnya penyakit ternak yang dapat menular kepada manusia (khususnya produk daging asal luar negeri) menjadi peluang berusaha melalui pemacuan produksi ternak lokal. Bagi konsumen produk peternakan, pemberitaan tersebut dapat menimbulkan ketakutan untuk mengkonsumsi produk daging ternak karena khawatir tertular penyakit yang berasal dari ternak yang dikonsumsinya. Ketakutan ini beralasan, karena masyarakat tidak bisa membedakan antara daging impor dan daging lokal. Keterbatasan dana yang tersedia juga menyebabkan masyarakat terkadang membeli produk dengan harga murah tanpa melihat kualitasnya. Berdasarkan latar belakang tersebut masyarakat sebagai sasaran penjualan produk peternakan perlu didengar pendapat dan tanggapannya sebagai langkah awal untuk mengkaji aspek sosial mengenai daya terima (acceptability) masyarakat terhadap keberadaan produk daging asal ternak. Oleh karena

111

114

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 111 - 115

itu perlu segera dilakukan penelitian yang mengevaluasi dampak pemberitaan media massa terhadap persepsi masyarakat tentang produk daging ditinjau dari aspek sosial. Tujuan penelitian adalah (1) mengetahui persepsi masyarakat eks Kotatip Purwokerto tentang produk daging, dan (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai persepsi masyarakat eks Kotatip Purwokerto tentang produk daging.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan tanggal 1 September sampai dengan 15 Nopember 2004 berlokasi di Eks Kotatip Purwokerto. Sasaran penelitian ini adalah masyarakat di eks Kotatip Purwokerto. Variabel penelitian meliputi : persepsi masyarakat tentang produk daging (Y), pendidikan (X 1 ), umur (X 2), pendapatan (X 3) dan lama mendedahkan diri pada media massa (X 4 ). Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode suvei terhadap rumah tangga msyarakat eks Kotatip Purwokerto. Sampel wilayah diambil dengan menggunakan metode purposive sampling (sengaja), yaitu 4 (empat) kecamatan di Eks Kotatip Purwokerto, berturut-turut : Kecamatan Purwokerto Utara (Desa Sumampir, Bancar Kembar, Pabuaran, Grendeng dan Karang Wangkal), Purwokerto Barat (Desa Karanglewas, Pasir Kidul, Kedung Wuluh,Rejasari dan Kober), Purwokerto Selatan (Desa Purwokerto Kidul, Karang Pucung, Berkoh, Teluk dan Tanjung) dan Purwokerto Timur (Desa Purwokerto Lor, Purwokerto Wetan, Kranji dan Mersi). Masing-masing desa diambil 5 responden sehingga setiap kecamatan terdapat 25 orang responden sebagai sampel dan metode pengambilan sampel secara acak (Simple Random Sampling). Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini mengandung variabel kualitatif dan kuantitatif yang mencerminkan persepsi masyarakat tentang produk daging asal ternak (Nawawi, 1998). Jawaban kuisioner berupa skor berdasarkan skala Likert (Blalock, 1987). Penilaian diberikan mulai : sangat tidak setuju = 1, tidak setuju = 2, ragu-ragu = 3, setuju = 4, sangat setuju = 5. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan yang ada pada Dinas Peternakan dan Perikanan, Bappeda dan BPPS Kabupaten Banyumas. Penelitian ini menggunakan instrumen kuisioner yang dikembangkan dari hasil kajian teoritis dan di -

ujicobakan. Uji kuisioner dimaksudkan untuk menghitung reliabilitas butir-butir yang digunakan dalam penelitian. Uji kuisioner dilakukan menggunakan Reliability Analysis Based on Alpha Cronbavh. Untuk mengetahui nilai persepsi (1) tinggi, (2) sedang dan (3) rendah dilakukan kuantifikasi data kualitatip melalui penggunaan dat ordinal (peringkat). Untuk menganalisis faktor-faktor yang terkait dengan nilai persepsi masyarakat tentang daging, data dianalisis menggunakan Korelasi Ranking Spearman ( Spearman Rank Correlation ).

Hasil dan Pembahasan


Gambaran Responden
Penelitian ini melibatkan 100 responden rumah tangga di Eks Kotatip Purwokerto, karakteristik responden disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pendidikan responden relatif cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat sebanyak 51% responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas, Diploma dan Sarjana, meskipun sebanyak 2 orang responden tidak tamat Sekolah Dasar. Tujuh belas persen responden dalam penelitian ini yang mempunyai pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil, sisanya (83%) bekerja bidang swasta dan berdagang atau membuka usaha jasa. Banyaknya penduduk yang membuka usaha jasa dimungkinkan karena adanya perguruan tinggi yang cukup banyak di Purwokerto. (Unsoed, Unwiku, Amik, UMP, STT Wiworotomo dan lainnya). Mayoritas responden (68%) memiliki dua anak, ada juga yang memiliki anak lebih dari dua. Jumlah anggota keluarga yang lebih dari empat orang terjadi karena ada beberapa keluarga responden yang mempunyai saudara ataupun orang tua yang ikut pada keluarga tersebut (keluarga batih). Pendapatan responden pada penelitian ini sangat beragam, pendapatan kurang dari Rp.1.000.000,00 adalah yang terbanyak yaitu sebanyak 49%. Sedangkan pendapatan responden yang lebih dari Rp.2.000.000,00 sebanyak 14%. Sebanyak 99% responden memiliki televisi, 82% responden telah memiliki radio dan 30% berlangganan koran secara teratur baik berupa koran harian maupun mingguan (tabloid). Responden yang berlangganan majalah hanya sebanyak 18%. Banyaknya media massa yang ada ditengah-tengah masyarakat tidak menyebabkan anggota masyarakat

Persepsi Masyarakat Purwokerto ( Muatip et al.)

115

tersebut memanfaatkan media tersebut sebagai sumber informasi.


Tabel 1. Karakteristik responden Karakteristik Jenis kelamin - Wanita - Pria Umur (tahun) - Produktif - Non Produktif Pendidikan (tahun) - <6 tahun - 7 9 tahun - 10 12 tahun 27 > 13 tahun Pekerjaan PNS Non PNS Pendapatan <Rp1.000.000,Rp1.00.000 Rp2.000.000,> Rp2.000.000,Jumlah Anggota Keluarga < 4 orang 5 7 orang > 8 orang Kepemilikan Media Televisi Radio Koran Majalah Tujuan Mendedahkan Diri Mencari informasi pengetahuan Refresing Memanfaatkan waktu luang Iseng Topik Diskusi Pengetahuan Umum/Politik Kesehatan Seni dan Budaya Kriminal Olah Raga Rumah Tangga
Jumlah (jiwa) Persentase (%)

53 47 99 1 22 25 27 26 17 83 49 37 14 48 48 4 99 82 30 4 72 38 36 12 42 33 41 61 27 46

53 47 99 1 22 25 27 26 17 83 49 37 14 48 48 4 99 82 30 4 72 38 36 12 42 33 41 61 27 46

menambah pengetahuan (42%), selebihnya responden menggunakan koran sebagai sarana mencari hiburan yaitu dengan mencari berita-berita ringan seperti topik olah raga ataupun masalah rumah tangga dan kriminal. Adapun majalah dipergunakan oleh responden sebagai sarana hiburan dan memanfaatkan waktu luang. Menurut Devito (1997), surat kabar mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai sumber informasi tentang apa yang sedang terjadi di dunia dan di daerah setempat juga berfungsi sebagai sarana penghibur. Untuk fungsi inilah kaum muda dan kaum yang kurang pendidikannya membaca surat kabar, seperti rubrik seni, olah raga ataupun berita kriminal. Pembaca surat kabar adalah mereka yang lebih terdidik dan usia tua. Hanya 50% orang berusia antara 21-35 tahun yang membaca surat kabar secara teratur. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa televisi telah merebut peran radio sebagai media sumber informasi, sehingga radio terpaksa mengubah fokus programnya kepada khalayak massal tetapi mengkonsentrasikan kepada khalayak yang lebih terbatas. Radio melayani kelompok-kelompok khusus.

Persepsi Masyarakat Purwokerto tentang Produk Daging


Dalam menggali persepsi masyarakat eks Kotatip Purwokerto tentang produk daging digunakan kuisioner yang terlebih dahulu sudah diujicobakan pada khalayak sasaran uji coba sebanyak 10 orang (memiliki karakteristik relatif sama dengan khalayak sasaran). Hasil ujicoba menunjukkan kuisioner dapat dipergunakan sebagai instrumen penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dari 100 responden tentang persepsi masyarakat selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : persepsi tinggi, persepsi sedang dan persepsi rendah. Responden yang memiliki persepsi tinggi ditandai dengan tingginya tingkat pengetahuan tentang penyakit zoonosis, tetapi pengetahuan ini selanjutnya diolah dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga tidak menerima berita atau informasi dari media massa apa adanya. Responden yang memiliki persepsi sedang ditandai dengan tingkat pengetahuan yang sedang tentang penyakit zoonosis, dan pengetahuan ini selanjutnya diolah dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga tidak menerima berita atau informasi dari media massa apa adanya tetapi menanyakan (penguatan) kepada orang yang

Hasil penelitian menunjukkan hanya 77 orang responden yang menggunakan televisi sebagai media sumber informasi. Selebihnya (22 orang) menggunakan televisi sebagai media hiburan, sedangkan radio dipergunakan responden sebagai sarana mencari hiburan. Koran digunakan oleh responden pelanggannya untuk mencari informasi atau

114

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 111 - 115

dianggap lebih mengetahui tentang kebenaran sebuah berita. Responden yang memiliki persepsi rendah ditandai dengan tingkat pengetahuan yang rendah tentang penyakit zoonosis, karena memiliki sumber berita atau informasi yang terbatas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat eks kotatip Purwokerto tentang produk daging disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Persepsi masyarakat Purwokerto tentang produk daging Persepsi Tinggi Sedang Rendah Jumlah (orang) 35 46 19 Persentase (%) 35 46 19

Kecenderungan nilai persepsi sedang (46%) dan tinggi (35%) pada masyarakat disebabkan karena banyaknya sumber informasi yang menginformasikan tentang penyakit zoonosis dan pemberitaan dilakukan secara bijaksana dan proporsional. Pemberitaan yang baik ditandai dengan penggunaan bahasa yang sederhana, dan tidak menimbulkan ketakutan pada khalayak sasaran (Sadiman et al .,1993). Persepsi pada masyarakat eks kotatip Purwokerto terhadap pemberitaan penyakit zoonosis pada media massa juga disebabkan karena tidak terjadinya kasus-kasus penyakit zoonosis pada masyarakat di Purwokerto, sehingga masyarakat tetap mengkonsumsi daging asal ternak (sapi, kambing, ayam dan bebek) secara tetap. Berdasarkan analisis ranking Spearman antara variabel independen (umur, pendidikan, pendapatan dan keterdedahan pada media) dengan variabel dependen (persepsi) diperoleh hasil sebagai berikut : pendapatan merupakan faktor yang sangat nyata (P<0.01) berhubungan dengan persepsi masyarakat tentang daging asal ternak akibat pemberitaan media massa tentang penyakit zoonosis, sedangkan umur, pendidikan dan lama mendedahkan diri pada media,

tidak mempunyai hubungan dengan persepsi masyarakat (Tabel 3). Pendapatan berhubungan sangat nyata dengan persepsi masyarakat disebabkan karena seseorang yang mempunyai pendapatan lebih, akan cenderung membelanjakan uangnya tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi juga untuk menjaga keselamatan ataupun menjaga gengsinya. seseorang yang mempunyai pendapatan rendah atau cukup, cenderung memaksimalkan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Umur responden dalam penelitian ini tidak berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat, hal ini dimungkinkan karena mayoritas responden pada umur produktif (15 - 60) tahun. Menurut Mardikanto (1993), umur berhubungan dengan kapasitas belajar seseorang. Kapasitas belajar seseorang umumnya berkembang cepat sampai umur 20 tahun dan semakin berkurang hingga pada puncaknya sampai dengan umur sekitar 50 tahun. Kemampuan belajar seseorang akan berkurang secara bertahap dan terasa sangat nyata setelah usia 50 60 tahun, kemudian setelah itu menurun lebih cepat lagi. Menurut Jahi (1988) pendidikan berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi, sedangkan menurut Effendi (1992) pendidikan mempengaruhi pengetahuan dan wawasan seseorang, namun dalam sebuah sistem sosial pengetahuan dan wawasan seseorang bertambah karena komunikasi multi tahap. Pada penelitian ini pendidikan responden tidak berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat, dimungkinkan karena mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi (rata-rata pendidikan responden 10,88 tahun), sehingga mempunyai keterampilan berkomunikasi yang relatif sama. Seseorang yang mempunyai keterampilan berkomunikasi akan mampu melakukan komunikasi antar pribadi secara efektif.

Tabel 3. Hubungan antar variabel yang diteliti dan taraf nyata koefisien korelasi Umur Pendidikan Pendapatan Keterdedah Persepsi Umur 1,00 0,17 0,10 0,28 0,00 -0,06 0,55 0,04 0,69 Pendidikan 0,17 0,10 1,00 -0,03 0,78 0,11 0,26 0,05 0,64 Pendapatan 0,28** 0,00 -0,03 0,78 1,00 0,12 0,24 0,32** 0,00 Keterdedah -0,06 0,55 0,11 0,26 0,12 0,24 1,00 0,10 0,31 Persepsi 0,04 0,69 0,04 0,64 0,32** 0,00 0,10 0,31 1,00 -

* = Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen ** = Korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen

Persepsi Masyarakat Purwokerto ( Muatip et al.)

115

Kesimpulan
Persepsi masyarakat tentang produk daging akibat pemberitaan media massa tentang penyakit zoonosis, cukup baik. Faktor pendapatan merupakan faktor yang berhubungan dengan persepsi masyarakat, sedangkan umur, pendidikan dan lama mendedahkan diri pada media tidak berhubungan dengan persepsi masyarakat. Dalam pemberitaannya, hendaknya media massa tetap proporsional sehingga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat dan masyarakat lebih mengaktifkan pertemuan kelompok sebagai sarana untuk bertukar informasi.

Devito, J.A., 1997. Komunikasi Antar Manusia. Kuliah Dasar . Alih Bahasa oleh Agus Maulana. Professional Books. Jakarta. Effendy, O.U., 1992. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek . Remaja Rosdakarya. Bandung. Jahi, A., 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga : Suatu Pengantar . Gramedia. Jakarta. Mardikanto, T., 1993 . Pertanian. Sebelas Surakarta. Penyuluhan Pembangunan Maret University Press .

Nawawi, H., 1998 . Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press . Yogyakarta. Sadiman, A.S., Rahardjo, 1993. Media Pengembangan dan Dikbud dan Raja A. Haryono dan Rahardjito, Pendidikan, Pengertian, Pemanfaatannya. Pustekom Grafindo Persada. Jakarta.

Daftar Pustaka
Blalock, H.M., 1987. Pengantar Penelitian Sosial . Rajawali Press. Jakarta.

ANIMAL PRODUCTION, Mei 2007, hlm. 116 122 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.2

Karakterisasi Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran


(The Characterization of Wastewater at the Pesanggaran Slaughterhouse)
I Wayan Suardana
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar Bali

ABSTRACT: This research aimed to analyze the ability of wastewater treatment to reduce the pollutant component at the wastewater that produced by slaughtered activities, so that the hazards that impacted by the activities to the community that lived surrounding the area can be monitoring. This experiment used Randomize Completely Block Design, with 5 point collected samples as block and 5 times repeatly as treatment. Result of the research at 50 meters from the end of wastewater treatment to generally sewage for the temperature parameter (26.40 + 0.42 0 C), pH (6.97 + 0.11), BOD5 (124.200 + 8.352 mg/l) and COD (255.000 + 20.07 mg/l) indicated equal with the standard. The result means the wastewater management at Pesanggaran slaughterhouse is effective to produce wastewater quality with the second standard (waste water standard for agriculture) of wastewater quality according to the Indonesian National Standard. Key Words : Slaughterhouse, temperature, pH, BOD5 , COD

Pendahuluan
Rumah pemotongan hewan Pesanggaran yang berlokasi 5 km dari Pusat Kota Denpasar sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada, yang sebaiknya berlokasi di pinggiran kota yang tidak padat penduduk (Badan Standarisasi Nasional, 1999). RPH Pesanggaran selain menghasilkan daging untuk konsumsi masyarakat antar kabupaten di daerah Bali, juga menghasilkan produk-produk samping yang masih bisa dimanfaatkan serta limbah baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah RPH berupa darah, sisa lemak, tinja, isi rumen dan usus tergolong limbah organik karena mengandung protein, lemak dan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi besar mencemari lingkungan. Beberapa sifat limbah cair yang perlu diketahui antara lain volume aliran, konsentrasi organik, sifatsifat karakteristik dan toksisitas (Jenie dan Rahayu, 1993). Lebih lanjut menurut Badan Standarisasi Nasional (1999) dijelaskan bahwa kualitas limbah cair dapat diketahui dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter fisik, kimia dan biologis dari air limbah. Pengukuran BOD dan COD adalah salah satu parameter pengukuran terhadap kadar organik dari limbah, disamping pengukuran

Korespondensi penulis utama : e-mail wayansuardana@plasa.com

terhadap suhu, pH, kandungan logam berat, tingkat cemaran bakteri dan lain-lainnya. Apabila limbah cair mempunyai COD tinggi dan BOD rendah maka studi toksisitas mungkin diperlukan (Jenie dan Rahayu, 1993). Dengan memperhatikan perkiraan berat isi rumen menurut Mitchell (1980) untuk sapi dan kerbau sebesar + 30,50 kg/ekor dan isi usus untuk babi 20 kg/ekor, dengan rata-rata jumlah pemotongan sapi setiap harinya berjumlah 40 ekor dan babi sebanyak 75 ekor, maka tiap hari limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemotongan sapi/babi berupa isi rumen/usus sebesar 2720 kg dan setiap bulannya rata-rata menghasilkan limbah untuk isi rumen/usus saja sebesar 81.600 kg. Disamping itu penggunaan air untuk pembersihan RPH dari sisa darah dan limbah lainnya juga memberikan andil terhadap meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan. Menurut Thronton dan Gracey (1981), jumlah air yang digunakan didalam industri rumah pemotongan hewan adalah 10 liter /kg berat badan. Dengan rata-rata berat badan ternak yang dipotong di RPH Pesanggaran adalah 280 kg untuk sapi dan 60 kg untuk babi, maka jumlah rata-rata limbah cair yang dihasilkan yaitu 157.000 liter/hari. Sementara itu sistem pengolahan limbah cair yang ada di RPH Pesanggaran hanya berupa 3 buah bak penampungan yang terdiri dari 1 buah bak penyaringan dengan ukuran 1 x 1 x 1 m 2 , dan 2 buah bak pengendapan dengan ukuran masing-masing 3 x 3 x 1 m2 dan pada bak pengendapan yang terakhir ditanami dengan tanaman kangkung.

116

Karakterisasi Limbah Cair (Suardana)

121

Bertitik tolak dari tingginya jumlah limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemotongan hewan di RPH Pesanggaran dengan memperhatikan sarana pengolahan limbah yang ada serta ditunjang dengan belum adanya informasi mengenai identifikasi dan karakterisasi dari limbah yang dihasilkan, maka tujuan dari penelitian ini yaitu diperolehnya data yang akurat tentang karakterisasi limbah RPH Pesanggaran sehingga dapat dijadikan acuan didalam langkah penanganan limbah selanjutnya.

Metode Penelitian
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air limbah RPH. Alat yang diperlukan terutama dalam penelitian lapangan adalah : pH meter digital, tempat sampel air limbah, kertas label, termometer, alat tulis dan kamera.

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer berupa parameter fisika, kimia dan biologi dilakukan secara langsung, sedangkan data sekunder berupa informasi, peta RPH diperoleh dengan cara mencatat dari berbagai instansi terkait.

pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan pH standar pH 4,0 dan 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan kedalam contoh air, tunggu selama 1-2 menit, baca dan catat pHnya. c. Pengukuran BOD 5. Terlebih dahulu dilakukan pengenceran terhadap sampel dengan 3 jenis pengenceran yaitu P=0,25; 0,125 dan 0,0625. Selanjutnya 2 botol BOD diisi dengan larutan tersebut yaitu 1 botol (R 1) untuk analisa pada saat t = 0 dan yang satu lagi (R 2 ) untuk analisa pada saat t = 5 hari. Dua botol BOD lainnya diisi dengan air pengencer serta benihnya berlaku sebagai blanko. Botol-botol BOD (sampel dan blanko) lalu disimpan dalam inkubator (suhu 20 0C) selama kira-kira 1 jam. Setelah 1 jam botol tersebut dibuka sebentar lalu diisi dengan air pengencer sehingga didalam botol tertutup tidak ada gelembung udara. Separuh dari jumlah botol BOD tersebut lalu disimpan terus dalam inkubator selama 5 hari. Separuhnya dipakai untuk analisis oksigen terlarut (OT). Nilai BOD yang diperoleh dihitung dengan rumus : = (X 0-X 5) (B0 -B5 ) (1-P) mg O 2/l P Keterangan : X 0 : Oksigen terlarut sampel pada saat t = 0 X 5 : Oksigen terlarut sampel pada saat t = 5 B0 : Oksigen terlarut blanko pada saat t = 0 B5 : Oksigen terlarur blanko pada saat t = 5 P : Derajat pengenceran d. Pengukuran COD. Sampel terlebih dahulu diencerkan dengan air suling sehingga COD diperkirakan sekitar 50-800 mg/l, lalu masukkan 0,4 g HgSO 4 kedalam gelas erlenmeyer COD 250 ml. Masukkan 5 atau 6 batu didih lalu ditambahkan 20 ml sampel yang telah diencerkan. Tambahkan larutan K 2Cr 2O 7 0,25N sebanyak 10 ml. Siapkan 30 ml reagen asam sulfat-perak sulfat lalu pindahkan dengan dispenser sebanyak 5 ml H 2SO 4 kedalam gelas COD. Kocok perlahan-lahan. Alirkan air pendingin pada kondensor dan letakkan gelas erlenmeyer COD dibawah kondensor. Tuangkan sisa reagen H 2SO 4 tadi sebanyak 25 ml, melalui kondensor kedalam gelas erlenmeyer COD (gelas refluk ) dan selama ini goyangkan gelas refluk agar semua reagen dan sampel tercampur. Tempatkan kondensor dengan gelas elenmeyer ( gelas refluk) diatas pemanas bunsen selama 2 jam. Setelah gelas refluk dingin lalu dibilas dengan air suling sebanyak 25-50 ml. Lepaskan gelas refluk dari kondensor kemudian encerkan larutan yang telah direfluk sampai volumenya menjadi 2 kali. Tambahkan 150BOD 5
20

Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan masing-masing sebanyak 5 kali antara pukul 12.00-05.00 (saat dilakukan pemotongan) yaitu pada lokasi I (tempat pencampuran limbah sapi dan babi), lokasi II (bak penampungan I), lokasi III (bak penampungan II), lokasi IV (tempat keluarnya limbah ke saluran umum) dan lokasi V (50 m dari tempat keluarnya limbah ke saluran umum). Sampel diambil dengan botol gelas sebanyak 500 ml, lalu ditempatkan didalam termos es untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk analisis parameter BOD 5 dan COD-nya, sedangkan untuk parameter suhu dan pH dilakukan secara langsung ( insitu).

Parameter yang Diukur dan Metode Analisis


Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah : Suhu, pH, BOD 5, dan COD menurut metode Alaerts dan Santika (1984) yaitu : a. Pengukuran Suhu. Contoh air dituangkan kedalam labu erlenmeyer, lalu masukkan termometer dan tunggu selama 1-2 menit, baca dan catat suhunya. b. Pengukuran pH. Sebelum digunakan elektroda dari

122

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 116 - 122

200 ml. Tambahkan 3-4 indikator feroin. Dikromat yang tersisa dalam dalam larutan sesudah direfluk dititrasi dengan larutan standar fero ammonium sulfat 0,1 N sampai warna hijau biru menjadi coklat merah. Blanko terdiri dari 20 ml air suling yang mengandung semua reagen yang ditambahkan pada larutan sampel. Refluk dengan cara yang sama. Nilai COD dihitung dengan rumus : COD (mg O 2 /l) = (a-b) N x 8000 ml sampel Keterangan : a : ml FAS yang digunakan untuk titrasi blanko b : ml FAS yang digunakan untuk titrasi sampel N : normalitas dari larutan FAS.

melalui bak-bak penampungan yang jumlahnya ha nya 2 buah dengan ukuran masing-masing 3 x 4 m dan pada bak penampungan yang kedua ditanami kangkung, serta 1 bak pencampuran limbah babi dan sapi dengan ukuran 2 x 1 m yang terletak sebelum 2 buah bak penampungan tadi. Gambaran bak pengolahan limbah cair RPH Pesanggaran seperti terlihat pada Gambar 1.

Mutu Air Limbah


Hasil pengujian pengamatan terhadap parameter suhu, pH, nilai BOD 5 dan nilai COD sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran dengan uji Jarak Berganda Duncan seperti tersaji pada Tabel 1.

Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 5 titik pengambilan sampel sebagai blok dan ulangan 5 kali sebagai perlakuan. Model linier : Yijk = + i + j + ijk Keterangan: Y ijk = pengamatan perlakuan ke- i , blok ke- j = rataan umum i = pengaruh perlakuan ke -i j = pengaruh blok ke-j ijk = galat perlakuan ke-i dan blok ke-j Apabila terdapat perbedaan yang nyata diantara blok dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. (Gaspersz, 1991; Steel and Torrie, 1995).

Suhu Air Limbah


Dari Tabel 1 terlihat bahwa hasil pengamatan terhadap parameter suhu dari sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran pada lokasi I, II, III, IV dan V, masing-masing adalah : 28,00 + 1,58 0 C, 26,70 + 0,67 0C, 25,80 + 0,27 0 C, 26,50 + 0,50 0C dan 26,40 + 0,42 0 C. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa lokasi I berbeda secara nyata (P<0,05) dengan lokasi II, sedangkan lokasi II dengan lokasi IV dan lokasi V tidak berbeda nyata (P>0,05) namun berbeda secara nyata (P<0,05) dengan kelompok III. Relatif rendahnya suhu air limbah pada bak pengendapan II (lokasi III), karena pada tempat ini bak pengolahan ditanami tanaman kangkung sehingga berpengaruh terhadap penurunan suhu dibandingkan dengan ke-4 lokasi lainnya. Aneja dan Singh (1992) menyatakan bahwa penurunan suhu limbah cair terkait erat dengan kepadatan tanaman. Semakin banyak permukaan kolam/bak ditutupi oleh tanaman, akan semakin besar menghalangi pertukaran panas antara atmosfir dengan permukaan air. Memperhatikan adanya penurunan suhu dari tempat pencampuran limbah sapi dan babi sebesar 28,00 + 1,58 0C menjadi 26,40 + 0,42C pada akhir pengolahan limbah dengan jarak pengambilan 50 m dari tempat pengeluaran limbah ke saluran umum, menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran cukup efektif menurunkan suhu limbah, dan apabila dibandingkan dengan standar baku mutu limbah cair golongan II menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, suhu limbah cair RPH Pesanggaran masih berada di bawah standar maksimal yang diperbolehkan sebesar 40 0 C.

Hasil dan Pembahasan


Pengolahan Limbah RPH Pesanggaran
RPH Pesanggaran yang pada awalnya terletak jauh dari pemukiman, dengan berjalannya waktu maka perumahan-perumahan mulai bermunculan sehingga RPH Pesanggaran saat ini tidak memenuhi syarat lagi sebagaimana layaknya rumah pemotongan hewan yang seharusnya berlokasi jauh dari pemukiman penduduk. Kegiatan pemotongan hewan dilakukan pada malam hari antara pukul 23.30 05.00 Wita dengan rata-rata jumlah pemotongan sapi pada saat pengambilan data sebesar 38 ekor/hari dan pemotongan babi 114 ekor/hari. Dengan jumlah pemotongan sebanyak ini, maka perkiraan jumlah limbah yang dihasilkan RPH Pesanggaran berupa isi rumen dan usus + 3439 kg/hari. Limbah cair yang dihasilkan RPH dikelola secara sederhana, yakni dengan cara diendapkan

Karakterisasi Limbah Cair (Suardana)

121

Tempat Pemotongan Sapi

Tempat Pemotongan Babi

II

III

Aliran limbah V

50 m

IV

Gambar 1. Denah bak pengolahan limbah cair RPH Pesanggaran dan tempat pengambilan sampel
Keterangan : I II III IV V : : : : : Bak tempat pencampuran limbah sapi dan babi Bak pengendapan I Bak pengendapan II Tempat keluar limbah ke saluran umum Saluran umum (50 m dari tempat pembuangan limbah ke saluran umum)

Tabel 1. Rataan dan simpang baku suhu, pH, BOD 5 dan COD dari berbagai tempat pengambilan sampel Tempat Pengambilan Sampel L-I L-II L-III L-IV L-V
a,b,c,

Parameter Suhu ( oC) 28,00 1,58 c 26,70 0,67 b 25,80 0,27 a 26,50 0,50 ab 26,40 0,42 ab pH 7,47 0,22 c 6,94 0,14 a 7,14 0,17 b 6,94 0,10 a 6,97 0,11 a BOD 5 (mg/l) 221,86 12,87 b 156,52 16,34 ab 112,88 23,90 a 133,76 34,99 a 124,20 8,52 a COD (mg/l) 461,46 247,80 b 332,52 42,47 ab 238,26 44,71 a 276,18 67,19 a 255,00 20,07 a

L-I L-II L-III L-IV L-V

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 : Bak tempat pencampuran limbah sapi dan babi : Bak pengendapan I : Bak pengendapan II : Tempat keluar limbah ke saluran umum : Saluran umum (50 m dari tempat pembuangan limbah ke saluran umum)

pH Air Limbah Hasil pengamatan terhadap parameter pH dari sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran terlihat bahwa pada lokasi I, II, III, IV dan V masingmasing adalah : 7,47 + 0,22; 6,94 + 0,14; 7,14 + 0,17; 6,94 + 0,10 dan 6,97 + 0,11.

Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai pH pada lokasi I berbeda secara nyata (P<0,05) dengan lokasi III, serta berbeda secara nyata (P<0,05) juga dengan lokasi V, IV dan II, sedangkan antara lokasi V, IV dan II tidak berbeda secara nyata (P>0,05). Relatif

122

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 116 - 122

tingginya pH air limbah pada lokasi III (bak pengendapan II) dibandingkan dengan lokasi II (bak pengendapan I), karena pada tempat ini bak pengendapan ditanami tanaman kangkung sehingga berpengaruh terhadap peningkatan pH dibandingkan dengan ke-3 tempat lainnya. Pada proses fotosintesis dari tumbuhan CO 2 akan direduksi menjadi karbohidrat. Penurunan jumlah CO 2 bebas dalam air limbah memiliki korelasi terhadap peningkatan pH (Effendi, 2000). Disamping itu peningkatan nilai pH ini terkait dengan adanya penguraian bahan organik protein menjadi amoniak oleh bakteri aerobik yang menghasilkan CO2 , H 2 O dan NH 3 dengan proses kimia Cx H yO zN + O 2 CO 2 + H 2 O + NH 3 (Bahan bakteri aeroborganik) (Pandia et al., 1995; Effendi, 2000) Memperhatikan adanya penurunan pH dari tempat pencampuran limbah sapi dan babi sebesar 7,47 + 0,22 menjadi 6,97 + 0,11 pada akhir pengolahan limbah dengan jarak pengambilan 50 m dari tempat pengeluaran limbah ke saluran umum, menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran cukup efektif menurunkan pH limbah, dan apabila dibandingkan dengan standar baku mutu limbah cair golongan II menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, pH limbah cair RPH Pesanggaran masih berada pada kisaran standar yang diperbolehkan yakni berkisar pada pH 6-9. BOD5 Air Limbah BOD adalah banyaknya oksigen (mg/l) yang dibutuhkan ole bakteri untuk menetralisir bahanbahan organik dalam air melalui proses oksidasi biologik secara aerobik dan anaerobik. Bahan yang terurai oleh mikroorganisme pengurai secara langsung merupakan indikator jumlah bahan organik yang terlarut dalam air limbah dan merupakan gambaran beban pencemaran dari bahan organik. (Pandia et al., 1995 ; Wardana, 1995) Nilai BOD dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi proses pengolahan limbah (Saeni, 1989). Hasil pengamatan terhadap parameter BOD 5 dari sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran terlihat bahwa pada lokasi I, II, III, IV dan V masingmasing adalah : 221,86 + 112,87, 156,52 + 16,34, 112,88 + 23,90 l, 133,76 + 34,99 dan 124,20 + 8,35 mg/l. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai BOD 5 pada lokasi I tidak

berbeda secara nyata (P>0,05) dengan lokasi II, juga berbeda secara nyata (P<0,05) dengan ke-3 lokasi lainnya. Sedangkan lokasi II dengan lokasi IV, lokasi V dan lokasi III tidak berbeda nyata (P>0,05). Rendahnya nilai BOD 5 pada lokasi III (bak penampungan II yang ada tanaman kangkungnya) disebabkan karena kemampuan ganda yang dimiliki oleh tanaman (kangkung) yakni menyerap berbagai bahan organik dalam bentuk ion dan juga membebaskan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk proses oksidasi sehingga mengakibatkan penurunan nilai BOD 5 (Wuhrmann 1976, dalam Sitorus, 1989). Memperhatikan adanya penurunan BOD 5 dari tempat pencampuran limbah sapi dan babi sebesar 221,86 + 112,87 mg/l menjadi 124,20 + 8,35 mg/l pada akhir pengolahan limbah dengan jarak pengambilan 50 m dari tempat pengeluaran limbah ke saluran umum, menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran cukup efektif menurunkan nilai BOD 5 dari air limbah, dan apabila dibandingkan dengan standar baku mutu limbah cair golongan II menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, BOD 5 limbah cair RPH Pesanggaran masih berada dalam kisaran standar yang diperbolehkan yakni sebesar 150 mg/l (KEPMEN 51/MENLH/10/1995. COD Air Limbah COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (K 2Cr 2O 7 ) untuk mengoksidasi bahan organik didalam air menjadi gas CO 2 , H 2O dan ion krom (Pandia et al., 1995; Wardana, 1995). Pengukuran COD dalam air limbah dapat mendeteksi jumlah bahan organik di dalam air sampai 90% sehingga hasil pengukurannya akan lebih besar dari nilai BOD (Suryadiputra, 1995). Hasil pengamatan terhadap parameter COD dari sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran terlihat bahwa pada nilai COD pada lokasi I, II, III, IV dan V masing-masing adalah : 461,46 + 247,80, 332,52 + 42,47, 238,26 + 44,71, 276,18 + 67,19 dan 255,00 + 20,07 mg/l. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa lokasi I tidak berbeda secara nyata (P>0,05) dengan lokasi II, juga berbeda secara nyata (P<0,05) dengan ke-3 lokasi lainnya. Sedangkan lokasi II dengan lokasi IV, V dan III tidak berbeda nyata (P>0,05) Rendahnya nilai COD pada lokasi III (bak penampungan II yang ada tanaman kangkungnya) seperti halnya dengan nilai

Karakterisasi Limbah Cair (Suardana)

121

BOD 5 , juga disebabkan karena kemampuan ganda yang dimiliki oleh tanaman (kangkung) yakni menyerap berbagai bahan organik dalam bentuk ion dan juga membebaskan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk proses oksidasi sehingga mengakibatkan penurunan nilai COD (Wuhrmann 1976, dalam Sitorus, 1989). Apabila diandingkan dengan nilai BOD 5 terlihat bahwa COD memiliki nilai lebih tinggi, hal ini karena adanya fraksi nonbiodegradable yang tertinggal, dimana bahan yang tidak teroksidasi secara biologik baru akan teroksidasi secara kimia (Pandia et al., 1995; Effendi, 2000). Memperhatikan adanya penurunan COD dari tempat pencampuran limbah sapi dan babi sebesar 461,46 + 247,80 menjadi 255,00 + 20,07 mg/l pada akhir pengolahan limbah dengan jarak pengambilan 50 m dari tempat pengeluaran limbah ke saluran umum, menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah RPH Pesanggaran cukup efektif menurunkan nilai COD dari air limbah, dan apabila dibandingkan dengan standar baku mutu limbah cair golongan II menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, COD limbah cair RPH Pesanggaran masih berada dibawah kisaran standar yang diperbolehkan yakni sebesar 300 mg/l (KEPMEN 51/MENLH/10/1995.

pH (6,97 + 0,11), BOD 5 (124,20 + 8,35 mg/l) dan COD (255,00 + 20,07 mg/l).

Ucapan Terimakasih
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak Lembaga Penelitian Universitas Udayana yang telah mendanai proyek penelitian ini melalui dana DIK tahun anggaran 2004.

Daftar Pustaka
Alaerts, G., dan S.S. Santika, 1984. Metode Penelitian Air . Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Indonesia. Hlm 309. Aneja, K.R., and K. Singh, 1992. Effect of Water Hyacinth ( Eichhornia crassipes (Mart) Solm ) on The Physico Chemical Environmental of Shallow Pond. Proceeding of National Academic Sciences. 56 (66): 357-364. Badan Standarisasi Nasional, 1999. SNI 01-6159-1999. SNI Rumah Pemotongan Hewan. Badan Standarisasi Nasional-BSN. Jakarta. Effendi, H., 2000. Telaahan Kualitas Air . Bagian Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Hlm.259. Gaspersz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan . CV Armico. Bandung. Hlm.472. Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu, 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm.184. KEP 51/MENLH/10/1995. Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Hlm. 253-304 Mitchell, J.R., 1980. Guide to Meat Inspection in the Tropics . 2 nd ed. Commonwealth Agriculturel Bureaux Farnham Royal Bucks England. Pandia, S., Husin A., dan Masyithah Z., 1995. Kimia Lingkungan . Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 128 hal. Saeni, S., 1989. Kimia Lingkungan . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. 151 hal. Sitorus, H., 1989. Studi penggunaan eceng gondok

Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lokasi RPH Pesanggaran saat ini sudah tidak sesuai lagi bagi peruntukannya, yang semestinya berlokasi cukup jauh dari pemukiman penduduk. Rata-rata jumlah pemotongan yang dilakukan di RPH Pesanggaran setiap harinya adalah untuk sapi 38 ekor, dan babi 114 ekor. Atas dasar jumlah pemotongan tersebut diperkirakan RPH Pesanggaran menghasilkan limbah berupa isi rumen dan isi usus setiap harinya sekitar 3439 kg. Dilihat dari sistem pengolahan limbahnya, dengan jumlah limbah yang dihasilkannya (3439 kg/hari), sistem pengolahan limbah yang telah dijalankan cukup memadai mengingat hasil yang diperoleh ternyata belum melampaui standar baku mutu Limbah Cair Golongan II menurut KEPMEN 51/MENLH/10/1995 dilihat dari parameter suhu, pH, BOD 5 dan COD pada 50 meter dari akhir pembuangan limbahnya ke saluran umum dengan nilainya masing-masing yakni pH (26,40 0C + 0,42),

122

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 2, 2007 : 116 - 122

( Eichhornia crassipes (mart) solm) dalam menurunkan kadar fenolik pada limbah industri farmasi. Tesis . Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm. 16. Steel, R.G.D., and J.H.Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika . PT, Gramedia Pustaka. Jakarta: 168-266.

Thronton and J.F.Gracey, 1981. Bailliere Tindall. London

Meat Hygiene . 7 th ed.

Dampak Pencemaran Wardhana, W.A., 1995. Lingkungan . Andi Offset Yogyakarta. Hlm.284.

You might also like