You are on page 1of 12

HIDRADENITIS SUPURATIVA

A. PENDAHULUAN Hidradenitis supurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung menimbulkan sikatrik. Penyakit ini secara klinis ditandai dengan pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut hipertrofik dan supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada area lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dengan ekstensi subkutan yang mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi, sinus, dan fistula.[1, 2] Daerah aksila, inguinal, dan perineal merupakan daerah yang sering terkena, sementara gluteal dan submamary jarang terkena. Penyakit ini biasanya terjadi setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang yang obesitas.[1] Prevalensi kejadian HS diperkirakan 4,1%. Namun ada juga yang melaporkan prevalensi sekitar 1/3000. Berdasarkan ras, penyakit ini sering pada orang kulit hitam, karena kelenjar apokrin pada kulit hitam lebih banyak daripada orang kulit putih. Kejadian terbanyak pada masa pubertas sampai dewasa muda, dan masa klimakterik dengan onset rata-rata pada umur 23 tahun. Penyakit ini dilaporkan lebih sering pada perempuan, dengan perbandingan antara 2:1 hingga 5:1. Pada lakilaki, lokasi tersering di area anogenital, sedangkan pada area aksila rasionya sama.[3]

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan ruptur pada kulit,

fibrosis, dan pembentukan sinus.[4] Infeksi sekunder oleh bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi.[3] Beberapa penyebab terjadinya HS antara lain:[3] Faktor genetik Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis supurativa diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak ditemukan. Hormonal Kecenderungan terjadinya hidradenitis supurativa ketika pubertas atau setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu, adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan pada pasien postpartum yang berhubungan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik pada beberapa studi. Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis supurativa. Selain itu, tidak seperti kelenjar sebasea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian hidradenitis supurativa masih belum jelas. Obesitas Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis supurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan bagi pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol penyakit. Infeksi bateri

Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis supurativa masih belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan coagulase-negative-staphylococcus adalah yang peling sering diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan. Merokok Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis supurativa dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis supurativa perineal adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok dapat mempengaruhi kemotaksis sel polimorfonuklear. Penghentian merokok dapat memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.

C. PATOGENESIS Regio aksila dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering terkena HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae, regio submammary, periumbilikalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori, leher dan punggung.[4] Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar ini berbau.[4] Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan jelas, telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung banyak nutrisi dari keringat apokrin.

Kelenjar dapat ruptur, sehingga menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi Streptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan inflamasi lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit di atasnya.[4]

D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis hidradenitis supurativa yang paling sering adalah lesi nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak.[5] Keluhan yang sering dikatakan oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu timbul nodul merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak berbenjol-benjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang tidak serentak, disebut abses multipel.[4, 5]

Gambar 1. Hidradenitis supurativa yang superficial.[5]

Hidradenitis supurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran 0,5-2 cm). Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur spontan, menghasilkan discharge purulen.[4]

Ganbar 2. Multipel abses di bagian aksila.[4]

Gambar 3. Stadium akhir hidradenitis supurativa dengan fibrosis berat.[4]

Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis, kontraktur dan

peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones. Sinus telah dilaporkan melibatkan jaringan dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang mengandung kelenjar apokrin.[1, 4]

Gambar 4. Hidradenitis supurativa genitofemoralia pada wanita.[1]

Gambar 5. HS pada daerah perianal dan gluteal.[1]

Daerah yang paling sering menjadi tempat predileksi hidradenitis supurativa adalah aksila, gluteal, inguinal, perianal, mammae, dan inframammae. Perianal hidradenitis bisa menyebar hingga mencapat anus dan rectum, Fistula uretra dan vagina bisa terjadi jika penyebarannya hingga bagian dalam vagina.[4]

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk hidradenitis supurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan berbagai bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan streptococcus. Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi hidradenitis supurativa akut dapat memperlihatkan peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak toksik atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat, dan kimia rutin perlu dilakukan.[4]

F. DIAGNOSIS Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:[6] 1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: blind boils pada lesi awal; abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi sekunder. 2. Topografi tipikal seperti aksila, paha dan regio perianal, bokong, lipatan inframammary dan intermammary. 3. Kronik dan rekuren Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk masingmasing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global. Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.[6]

Klasifikasi Hurley:[4] Tingkat I Karakteristik Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau sinus. (sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang jarang; mungkin keliru untuk jerawat) II Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang terpisah jauh, dengan sinus (inflamasi yang membatasi pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor seperti insisi dan drainase) III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan sinus dan abses yang saling berhubungan. (inflamasi berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar bola baseball; timbul sik\atriks, termasuk infeksi subkutan. Pasien pada tingkat ini mungking tidak dapat berfungsi)

Gambar 6. Tingkatan klasifikasi Hurley[1]

G. DIAGNOSIS BANDING Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan aksila dapat didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, dan cat-scratch disease[7] 1. Furunkel adalah penyakit kulit yang berasal dari folikulitis stafilokokal dengan gambaran klinis berupa nodul berbatas tegas, nyeri, fluktuatif, terdapat abses dan berdiameter 1-2 cm. Distribusi furunkel biasanya di sekitar daerah berambut, seperti daerah janggut, scalp, aksila, dan gluteal.[7]

Gambar 7. Furunkel berupa abses flutuatuf yang besar. [7]

2. Karbunkel adalah penyakit kulit yang merupakan progresi dari furunkel. Terdiri dari beberapa kumpulan furunkel. Karbunkel dikarakterisasi oleh multipel dan subkutaneus abses, pustule superfisial, dan jaringan nekrotik.[7]

Gambar 8. Karbunkel yang terdiri dari kumpulan furunkel disertai abses yang besar.[7]

3. Cat-scratch disease adalah penyakit yang disebabkan oleh Bartonella henselae. Penyakit ini didapatkan dari kontak dengan kucing terutama dari luka bekas cakaran kucing. Gejala klinis berupa demam, lemah, mual dan muntah. Untuk lesi dermatologi, didapatkan berupa papul, pustule, dan ulserasi sesuai luka bekas cakaran kucing. Bisa juga didapatkan limfadenopati yang soliter dan tender.[7]

Gambar 9. Limfadenopati akut pada aksila yang merupakan hasil dari cat-scratch disease.[7]

H. PENATALAKSANAAN Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi, pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.[7] Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali sembuh dengan cepat dengan pemberian terapi steroid intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi dengan tetrasiklin atau minosiklin oral.[4]

10

Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan triamsinolon (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamsinolon (3-5 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah eritromisin (250-500 mg 4 kali sehari), tetrasiklin (250-500 mg 4 kali sehari), atau minosiklin (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin (300 mg 2 kali sehari) dengan rifampisin (300 mg 2 kali sehari) Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, dosis diturunkan selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.[4,7] Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah modalitas pengobatan. Rekurensi pascaoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik atau sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit pada aksila atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan fascia sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer, grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin berhubungan dengan hasil yang tidak begitu baik.[3] Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi dalam pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda. Efek samping jangka panjang perlu diperhatikan. [3]

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa.N Engl J Med. 2012; 366: p. 158-64. 2. Mortimer PS & Lunniss PJ. Hidradenitis suppurativa. J R Soc Med. 2000;93: p. 420-2. 3. Jemec GBE. Hidradenitis Suppurativa. J Cutan Med Sung. 2003: p. 47-56. 4. Daoud MS & Dicken CH. Disorders of the Apocrine Sweat Glands. In : Wolff K., Goldsmith L.A., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffeld DJ. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 918. 5. McMichael A, Sanchez DG & Kelly P. Folliculitis and the Follicular Occlusion Tetrad. In : Bolognia JL, Jorizzo JL & Rapini RP. Bolognia: Dermatologi, 2nd ed. United States of America: Elsevier Inc; 2008. p. 10-4. 6. Fimmel S & Zouboulis CC. Comorbidities of Hidradenitis Suppurativa (acne inversa). Dermato-Endocrinology. 2010;2(1):p. 9-16. 7. Wolff K & Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 6th. New York: McGraw Hill; 2009. p. 605-8, 655-7.

12

You might also like