You are on page 1of 6

Kematian dan Kerinduan sebagai Dasar Penciptaan

Sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS


Sunu Wasono
Universitas Indonesia

Judul buku: Kota Cahaya


Penulis: Isbedy Stiawan ZS
Penerbit: Grasindo
Tahun terbit: 2005
Tebal: xiv + 154 halaman

Seorang penyair tidak pernah dibatasi atau membatasi diri pada tema tertentu
dalam berkreasi. Kehidupan manusia dan lingkungannya telah menyediakan aneka
persoalan bagi penyair untuk digarap menjadi puisi. Namun, tanpa ketajaman dan
kepekaan, aneka persoalan itu tetaplah berhenti sebagai persoalan. Ia tak menjelma
rangsang yang menggerakkan manusia untuk menorehkan tanggapannya dalam wujud
puisi. Justru karena itulah, ada manusia penyair dan manusia bukan penyair. Barangkali
di tangan manusia biasa, air yang menetes dari kran, tik tok jam di dinding, atau
terlepasnya selembar daun dari tangkainya tetaplah sebagai tetesan air, suara tik tok jam,
atau selembar daun yang melayang karena terlepas dari tangkainya. Artinya, kejadian itu
dianggap sebagai gejala lumrah yang idak perlu dipersoalkan. Namun, bagi seorang
penyair yang terasah kepekaannya dan—karena itu—senantiasa mempersoalkan atau
bertanya-tanya tentang apa yang berada di balik gejala yang tampak, tetes air dari kran,
tik tok jam di dinding, ataupun terlepasnya daun dari tangkainya dibaca sebagai tengara
akan keberadaan maut, kematian, yang senantiasa mengintai kehidupan manusia. Maka
muncullah dari tangannya sajak tentang tetes air, tentang tik tok jam, atau sajak tentang
selembar daun yang luruh ke bumi yang menyiratkan kesadaran manusia tentang
datangnya kematian.
Sejumlah sajak Subagio Sastrowardoyo dan Sapardi Djoko Damono—sekadar
contoh—diangkat dari gejala atau kejadian “sepele” semacam itu. Saya kira, hal itu tidak
hanya berlaku pada dua penyair tersebut. Umumnya penyair juga menempuh cara-cara
serupa dalam mencipta puisi. Yang menjadi persoalan kemudian, sejauh mana penyair itu
sanggup memaknai fenomena (tik tok jam, tetes air dari kran, selembar daun yang luruh
ke bumi) semacam itu lewat bahasa sebab, bagaimanapun, sarana puisi adalah kata.
Persoalan apa pun dapat dijadikan bahan penulisan sajak, tetapi yang menentukan
berharga tidaknya sebuah sajak terutama adalah pembahasaan persoalan itu. Namun,
tidak berarti bahwa urusan (penulisan) puisi harus berhenti pada cara penyampaian
belaka. Ketika sebuah persoalan tertentu diterjemahkan menjadi larik-larik sajak, maka
di sana tidak ada lagi dikotomi yang tegas antara bentuk dan isi. Tema telah menyatu dan
bersenyawa begitu rupa dengan keseluruhan kata dalam sajak. Akhirnya, isi (tema) dan
bentuk dalam puisi merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama, satu dengan
lainnya saling melengkapi. Prinsip inilah yang akan menjadi landasan bagi saya untuk
menimbang sajak-sajak -Isbedy Stiawan ZS yang terhimpun dalam Kota Cahaya (KC).
Menurut penyairnya, seratus sajak dalam Kota Cahaya merupakan sajak pilihan,
dalam arti seleksian, dari sejumlah sajak yang pernah dihasilkannya. Pernyataan tersebut
menyuratkan bahwa jumlah keseluruhan sajak yang dihasilkan Isbedy sebetulnya lebih
dari seratus. Pernyataan Isbedy juga mengindikasikan bahwa secara tematik sajak-sajak
dalam KC memperlihatkan keragaman.
Jumlah sajak tentunya terkait dengan soal produktivitas. Dari pengakuan Isbedy
terlihat bahwa penyair asal Lampung itu tergolong penyair yang produktif. Tahun
1980-an ia sudah menulis puisi dan konon akhir-akhir ini justru semakin produktif. Dari
jumlah sajak yang dihasilkan dan lamanya berkiprah dalam penulisan puisi terlihat
bahwa dalam urusan penulisan puisi dia bukan orang baru. Boleh dikatakan ia memiliki
“jam terbang” tinggi dalam penulisan puisi. Adakah jam terbang itu berkorelasi dengan
kematangan? Pertanyaan itu tak bisa dijawab begitu saja. Namun, yang jelas,
produktivitas dan kesetiaan seseorang pada panggilannya—dalam hal ini panggilan untuk
menulis puisi—akan memungkinkan lahirnya puisi yang secara tematik beragam. KC
menyuguhkan tema yang beragam seiring perjalanan Isbedy selaku manusia penyair yang
dalam keseharian dan pekerjaannya—sebagai jurnalis—dihadapkan pada berbagai
peristiwa dan persoalan.
Oleh penyairnya 100 sajak dalam KC dikelompokkan menjadi tiga bagian:
Nyanyi Sunyi (bagian ke-1) berisi 21 sajak; Menandai Tahilalat (bagian ke-2) berisi 25
sajak; dan Dari Cerita yang Lain (bagian ke-3) berisi 54 sajak. Pengelompokan
tampaknya didasarkan pada pertimbangan tematik dan—terutama—kurun waktu
penciptaan. Dari tanggal dan tahun yang diletakkan di setiap akhir sajak terlihat bahwa
sajak paling tua dalam KC ditulis pada bulan Juli 1984 (“Tubuh tanpa Ruh”), sedangkan
sajak paling muda ditulis pada bulan Mei 2005 (“Hujan: Dari Cerita yang Lain”).
Agaknya dengan menyusun seperti itu Isbedy ingin menunjukkan perjalanan
kepenyairannya dari waktu ke waktu. Dikatakannya bahwa sajak-sajak yang dimasukkan
dalam bagian pertama secara tematik terkait dengan kecenderungan puisi pada tahun
1980-an.Pada tahun itu puisi religius (sufistik) mendapat tempat yang baik.
Dikatakannya pula bahwa dalam perkembangan kemudian, Isbedy menampilkan
tema yang beragam. Ini sejalan dengan pekerjaan dia selaku wartawan yang sering
melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Dalam perjalanan itu dia
menyaksikan berbagai ketimpangan. Lahirlah sejumlah sajak yang ditempatkannya dalam
bagian kedua. Sejumlah sajak pada bagian ketiga, menurut Isbedy, mencerminkan
perkembangan kejiwaan dia yang sudah mendekati usia setengah abad. Entahlah apa
yang dimaksudkannya, tetapi dia menyinggung soal kematangan. Dia tidak mengaku
bahwa pada usianya yang tiga tahun lagi genap setengah abad itu dirinya telah mencapai
tingkat kematangan dalam berpuisi. Dia menyerahkan hal itu sepenuhnya pada penilaian
pembaca. Namun, dari pernyataan dia pada bagian berikutnya diperoleh gambaran bahwa
sajak-sajak yang ditulisnya belakangan, menurutnya, memperlihatkan ciri yang berbeda
dari sajak-sajak sebelumnya. la tidak mengaitkan perubahan itu dengan soal tema, tetapi
gaya. Dikatakannya bahwa sajak-sajak terbarunya menggunakan kalimat-kalimat pendek
yang tidak melebar ke samping (him. xii).
Dari perspektif tertentu, penjelasan penyair memang dapat diabaikan ketika
pembaca hendak mengkaji puisi. Namun, saya tidak menempatkan diri pada posisi
demikian ketika membaca sajak-sajak Isbedy dalam KC. Dari pengantar yang diberikan
penyairnya setidaknya dapat diperoleh gambaran bahwa lahirnya sebuah sajak tidak
sepenuhnya murni terkait dengan soal apa yang sedang berkecamuk dalam dada penyair.
Boleh jadi kelahiran sajak dipengaruhi oleh faktor tren yang kebetulan bersesuaian
dengan apa yang sedang dirasakan penyair. Setidaknya hal itu dibuktikan oleh pengakuan
Isbedy tentang sajak-sajaknya yang ditempatkannya dalam bagian pertama pada KC.
Timbul pertanyaan, sajak-sajak sufistiknya lebih digerakkan oleh kegelisahan jiwanya
untuk mendekatkan pada Sang Khalik atau digerakkan oleh tren penulisan puisi yang
berkembang pada tahun 1980-an? Apa pun yang mendorong kelahiran sebuah sajak,
akhirnya yang menentukan adalah bagaimana persoalan dalam sajak itu bersenyawa
dengan gaya pengungkapannya.
Dalam soal gaya, mungkin benar pengakuan Isbedy yang menyatakan bahwa dia
telah melakukan perubahan gaya dalam menulis puisi. Pada sajak-sajak yang ditulis pada
tahun 2000-an, yang ditempatkannya pada bagian ketiga, hal itu tampak. Betul seperti
yang ia katakan, Isbedy tidak menyusun sajaknya dalam kalimat/larik yang panjang dan
mengurai. Ia lebih suka menyusunnya dalam larik dan kalimat yang pendek. Meskipun
demikian, menuruthemat saya, sajak-sajaknya cenderung memburuhkan banyak larik dan
bait. Hal itu, misalnya, terlihatpada sajak “Di Ambang”, “Kota Cahaya”, atau “Sampai
Aku Terjaga dan Menemukanmu”. Apakah hal itu berarti bahwa pada dasarnya Isbedy
tidak mengubah gaya? Saya kira perubahan tetap diusahakan—meskipun tidak radikal
dan eksperimental—sebab kalau diperhatikan, sajak-sajak Isbedy yang memanjang ke
bawah itu tidak mengurai. Kehadiran larik-larik dalam jumlah yang banyak itu memang
fungsional dan memperlihatkan kepekatan pengucapan. Jadi, tidak terhenti pada soal
penempatan larik dalam ruang. Tampaknya Isbedy secara sadar mengusahakan sajaknya
tampil lebih ramping dan pekat.
Hal yang juga menarik untuk ditilik adalah aspek tematiknya. Meskipun Isbedy
telah menggolong-golongkan sajaknya berdasarkan “riwayat” penciptaannya dan
dikatakannya pula bahwa ada upaya memperkaya tema, terutama pada sajak-sajak yang
ditempatkannya dalam bagian kedua, saya justru melihat adanya tema tertentu yang
muncul berkali-kali dalam KC. Tema kematian, kerinduan, dan pencarian (atas sesuatu
yang hilang, ketenangan) menurut hemat saya, muncul baik dalam bagian pertama,
kedua, maupun ketiga. Karena itulah, saya mengatakan bahwa tema kematian, kerinduan,
dan pencarian menjadi dasar penciptaan sajak-sajak Isbedy. Namun, tidak berarti bahwa
tema-tema tersebutlah yang dominan dalam KC.
Dalam bagian pertama, setelah “Tubuh Tanpa Ruh” muncul sejumiah sajak
(“Epitaph”, “Doa Jenazah”, “Aku Hanya Kerak di Liang Bumimu”) yang sarat dengan
soal kematian. Tema pencarian pun dijumpai dalam bagian ini, terutama pencarian aku
link yang menginginkan kedamaian. Simaklah sajak “Improvisasi II”, misalnya, yang
menyuarakan perlunya mencari kebahagiaan dan keceriaan pada senyum dan kesabaran
diri.
Pada sajak-sajak yang ditempatkan di bagian kedua tema kematian kembali
digemakan. Dalam “Ada Daun Gugur” aku lirik merasakan adanya aroma kematian dari
fenomena keseharian: daun yang terlepas dari tangkainya. Meski berbeda pengucapan,
“Aku Masih Rasakan”, dan “Requiem” agaknya juga menyuarakan tema kematian. Aku
lirik dalam “Aku Masih Rasakan” yang berbicara pada kau mencoba mengingatkan
bahwa aku-kau (kita) pada akhirnya akan tergelincir juga, seperti butiran air di atas daun
yang tinggal menunggu saat yang “tepat” untuk tergelincir atau digelincirkan. Sementara
dalam “Requiem” aku lirik menegaskan hubungan yang dekat antara kehidupan dan
kematian. Dikatakannya bahwa kehidupan dan kematian senantiasa berulang. Sama
halnya dengan tema kematian, tema pencarian dan kerinduan juga mewarnai sajak-sajak
yang ditempatkan dalam bagian kedua. Simak “Surat-Surat Cinta”, “Bila Pelayaranku
Sampai”, betapa nada kerinduan kental dalam sajak-sajak itu.
Tema kematian ternyata juga masih ditemukan dalam bagian ketiga KC. Meski
tidak secara tegas dinyatakan, “Tak Perlu Teluh”, “Beratuskali Aku Man”, “Aku Masuki
Kolammu”, “Dulu Aku Minta Mati di Lauf’, dan “Seperti Kematian” menyebut-nyebut
kematian. Yang tersuarakan dalam “Seperti Kematian” sebetulnya adalah pribadi
perempuan. Akan tetapi, cara melukiskan misteri perempuan mengambil perbandingan
maut. Kerahasiaan pribadi perempuan dibandingkan dengan misteri kematian. Meski
hanya muncul sebagai perbandingan, tak urung disinggung juga soal kematian yang
penuh misteri itu.
Ada satu hal lagi yang menandai sajak-sajak Isbedy, yakni ketunggalan nada.
Saya tidak menemukan nada humor, seloroh, atau main-main dalam sajak Isbedy. Secara
keseluruhan sajak-sajak Isbedy bernada serius. Mungkin hal itu disebabkan Isbedy
cenderung menjadi seorang perenung sehingga di matanya persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjelma sajak-sajak serius yang jauh dari nada humor atau main-main.
Sikap apa pun yang dipilih seorang penyair dalam menanggapi sesuatu tidaklah terlalu
menjadi masalah. Hal itu sepenuhnya menjadi hak penyair. Isbedy dengan pilihan
sikapnya telah melahirkan sejumlah sajak yang bernada tunggal: serius. Dan sajak-sajak
semacam itu mendapat tempat dalam sastra Indonesia. Pada akhirnya, yang penting
bukan soal ada atau tidaknya nada humor, seloroh, atau main-main, tetapi bagaimana
lewat piranti puitik seorang penyair dapat menuangkan apa yang dirasakan, dipikirkan,
dan dipendamnya. Dengan KC Isbedy telah menunjukkan sebagai penyair berkelas yang
laik diperhitungkan.

You might also like