You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Kanker serviks adalah penyakit keganasan dengan jumlah mortalitas dan morbiditas yang tinggi setiap tahunnya di seluruh dunia. Fakta tersebut menempatkan kanker serviks sebagai tumor ganas terbanyak kedua pada perempuan di dunia serta menempati peringkat pertama di negara berkembang termasuk Indonesia.1-4 Departemen Kesehatan RI melaporkan, penderita kanker serviks di Indonesia diperkirakan 90-100 di antara 100.000 penduduk per tahun. Data tersebut memperlihatkan bahwa kanker serviks menduduki peringkat pertama pada kasus kanker yang menyerang perempuan di Indonesia.5 Di Indonesia, insidens kanker serviks mulai meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 50 tahun.3,4,6 Ketahanan hidup seseorang tergantung stadium kanker serviks; five years survival rate untuk stadium I, II, III, IV adalah 85%, 60%, 33%, 7%.7,8 Infeksi HPV (Human Papillomavirus) risiko tinggi merupakan awal dari patogenesis kanker serviks. HPV risiko tinggi merupakan karsinogen kanker serviks, dan awal dari proses karsinogenesis kanker serviks uteri. Proses karsinogenesis melalui tahap lesi prakanker yang terdiri dari Neoplasia intraepitelial serviks (NIS) I, II, dan III. Lesi prakanker NIS I sebagian besar akan mengalami regresi, sebagian kecil yang berlanjut menjadi NIS II, dan kemudian berlanjut menjadi kanker invasif serviks uterus. Kanker serviks bersifat atipikal atau tidak memiliki gejala dan tanda tertentu dalam perkembangan awalnya. Penurunan kejadian kanker serviks di negara maju disebabkan karena pencegahan sekunder kanker serviks berjalan dengan baik; meliputi deteksi dini dengan pap smear yang dilanjutkan dengan terapi lesi prakanker akan menurunkan kejadian kanker serviks

Pemeriksaan rutin sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia karena sulitnya akses ke pusat pelayanan yang memiliki laboratorium dan tenaga kesehatan yang memadai, harga tes Pap yang relatif mahal serta perlunya kunjungan yang berkali-kali ke pusat kesehatan.11,13 Kesulitan
1 di Indonesia menjadi malas untuk tersebut menjadikan banyak perempuan

melakukan skrining. Padahal dengan skrining rutin, kanker serviks stadium dini akan lebih mudah didiagnosis dan dengan penatalaksanaan yang tepat akan menurunkan insidens kanker serviks.12,13 Penatalaksanaan kanker serviks juga memerlukan biaya yang tidak murah. Masalah kanker serviks diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang. Hal tersebut dipicu oleh berubahnya gaya hidup saat ini seperti seks bebas, berganti-ganti pasangan seksual, dan kebiasaan merokok. Tingkat perekonomian yang rendah semakin memperparah hal tersebut karena kebersihan dan gaya hidup yang tidak higienis.2-4 Masalah sosial pun muncul dengan banyaknya kematian pada perempuan yang sudah berkeluarga.3,12,13 Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan berbagai tindakan

pencegahan seperti penggunaan alat kontrasepsi mekanik, sirkumsisi, kebersihan alat kelamin, edukasi mengenai kanker serviks, skrining rutin, peningkatan status sosial ekonomi serta vaksin terhadap infeksi human papilloma virus (HPV) sebagai salah satu pencegahan primer kanker serviks.4,12,13 Pemberian vaksinasi HPV akan mengeliminasi infeksi HPV. Tujuan tulisan ini adalah membahas pencegahan kanker serviks uteri, terutama memperkenalkan pencegahan primer dengan pemberian vaksin HPV risiko tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KANKER SERVIKS Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya. Kanker serviks atau yang lebih dikenal dengan istilah kanker leher rahim adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim, perubahan untuk menjadi sel kanker memakan waktu lama, sekitar 10 sampai 15 tahun atau bahkan mencapai 20 tahun. Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang berusia kisaran 30 sampai dengan 50 tahun, yaitu puncak usia reproduktif perempuan sehingga akan meyebabkan gangguan kualitas hidup secara fisik, kejiawaan dan kesehatan seksual. A.1. Faktor Risiko Kanker Serviks Faktor risiko kanker serviks adalah hubungan seksual pada usia muda, hubungan seksual dengan banyak pasangan seksual, laki-laki berisiko tinggi, tembakau, kontrasepsi oral, supresi sistem imun, nutrisi, serta adanya penyakit hubungan seksual misalnya, trikomoniasis, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus.4,11,12 Faktor risiko terakhir dan yang paling penting adalah infeksi HPV. Perempuan yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia <20 tahun lebih berisiko menderita kanker serviks.4,14 Hal tersebut karena pada periode dewasa muda proses metaplasia sel skuamosa sangat meningkat sehingga risiko terjadinya transformasi atipik skuamosa meningkat yang kemudian menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS).14,15

Berganti-ganti pasangan seksual meningkatkan risiko menderita kanker serviks. Apabila seseorang berganti pasangan seksual lebih dari 5 orang dalam 2 tahun terakhir, maka kemungkinan menderita kanker serviks meningkat sampai 12 kali lipat.4,14 Faktor lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan pekerja seks komersial dan dari sumber itu membawa HPV kepada isterinya.4,15 Keterlibatan peran laki-laki terlihat dari korelasi kejadian kanker 3 serviks dengan kanker penis.4 Konsep laki-laki berisiko tinggi sebagai vektor dari agen penyebab infeksi timbul karena meningkatnya kejadian tumor pada perempuan monogami yang suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak perempuan lain.15 Laki-laki yang tidak melakukan sirkumsisi juga dapat meningkatkan faktor risiko seorang perempuan terkena kanker serviks melalui mekanisme yang diduga berasal dari smegma yang terdapat pada prepusium laki-laki.14,15 Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif seseorang menjadi 2 kali daripada orang normal.14,15 Proses tersebut diduga karena regulasi transkripsi DNA virus dapat mengenali hormon dalam pil KB sehingga meningkatkan karsinogenesis virus.4,14 WHO juga melaporkan peningkatan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dari normal yang meningkat seiring dengan lamanya pemakaian.16 Tembakau baik yang diisap sebagai rokok atau dikunyah mengandung bahan karsinogen sedangkan asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines yang memberikan pengaruh buruk pada orang yang menghirupnya baik sebagai perokok aktif maupun pasif.7,8,14 Seorang perempuan perokok memiliki

konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum.8,14,15 Kanker serviks juga meningkat pada keadaan supresi sistem imun pada pasien transplantasi ginjal dan HIV/AIDS.7,8

Terdapat hubungan antara defisiensi asam folat, vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dengan peningkatan risiko kanker serviks.8,14 Dengan berkurangnya antioksidan tubuh maka radikal bebas dengan mudah terbentuk dan semakin menginduksi proses karsinogenesis. 4,14,15

A.2. Etiologi Kanker Serviks Infeksi HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks. Pendapat ini ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) terhadap 1 000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10.000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2 500 kasus karsinoma serviks dan 2500 perempuan yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS II/III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun.1,2 HPV adalah virus DNA sirkuler dengan untaian ganda yang tidak berselubungkan virion.14,15,17 Virus tersebut adalah anggota famili Papoviridae, genus papillomavirus.3,17 HPV memiliki kapsul isohedral dengan ukuran 72 kapsomer dan berdiameter 55 mikrometer. Berat molekul HPV adalah 5 x 106 Dalton.3,17 Saat ini telah diidentifikasi lebih dari 100 tipe HPV dan mungkin akan lebih banyak lagi di masa mendatang.17 Dari 100 tipe tersebut, hanya kurang dari setengahnya yang dapat menginfeksi saluran kelamin. Masing-masing tipe mempunyai sifat

tertentu pada kerusakan epitel dan perubahan morfologi lesi yang ditimbulkan. Tipe yang dapat menyebabkan keganasan adalah HPV tipe 16, 18, 26, 27, 30, 31, 33-35, 39, 40, 42-45, 51-59, 61, 62, 64, 66-69 dan 71-74. 14,15 Infeksi HPV meningkat sejak tahun 1960 karena meningkatnya penggunaan kontrasepsi oral.7,8 Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh beberapa faktor yaitu:4 1. Timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus papilloma 2. Perkembangan kondiloma akuminata menjadi karsinoma 3. Angka kejadian kanker serviks meningkat pada infeksi HPV 4. DNA HPV sering ditemukan pada lesi intraepitel serviks. Pada proses karsinogenesis, asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam gen dan DNA manusia sehingga menyebabkan mutasi sel.7,8 HPV memproduksi protein yaitu protein E6 pada HPV tipe 18 dan protein E7 pada HPV tipe 16 yang masing-masing mensupresi gen P53 dan gen Rb yang merupakan gen penghambat perkembangan tumor.7,8 A.3. Patogenesis Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo columnar junction ( SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks ( porsio ) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh factor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu dysplasia dari SCJ tersebut. Pada

wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau rektraksi otot oleh prostaglandin. Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel skuamosa yang diduga berasal dari skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kulomnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi. Penelitian akhir akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu factor penyebab penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut dysplasia. Dimulai dari dysplasia ringan, dysplasia sedang, dysplasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat dysplasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat prakanker. Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi sel epitel skuamosa yang secara sitologik dan histologic berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi persyaratan secara karsinoma. Perbedaan derajat dysplasia didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih utuh.

Kalsifikasi terbaru menggunakan istilah neoplasma intraepitel serviks ( NIS ) untuk kedua bentuk dysplasia dan karsinoma. NIS terdiri dari : 1) NIS I untuk dysplasia ringan 2) NIS II untuk dysplasia sedang 3) NIS III untuk dysplasia berat dan karsinoma in-situ. A.4. Diagnosis dan Staging Staging untuk kanker serviks berdasarkan pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan yang lebih teliti dan cermat dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis. Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, komposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif.7 Pemeriksaan patologi anatomi setelah prosedur operasi dapat menjadi data yang akurat untuk penyebaran penyakit, tetapi penemuan ini tidak dianjurkan untuk menajdi perubahan diagnosis staging sebelumnya. Nomenklatur TNM lebih sesuai untuk penemuan ini.7 Tabel 1. Staging karsinoma serviks menurut FIGO FIGO Deskripsi Kategori TNM TX T0 Tis

Tumor primer tidak dapat diasses Tidak ada bukti tumor primer 0 Karsinoma insitu (preinvasive carcinoma)

I IA

Karsinoma terbatas pada serviks Karsinoma mikroskopik hanya dapat didiagnosis

T1 secara T1a

IA1

Invasi stroma dalamnya < 3 mm dan lebarnya < 7 T1a1 mm Invasi stroma dalamnya 3 5 mm dan lebarnya < 7 T1a2 mm

IA2

IB

Secara klinis, tumor dapat diidentifikasi pada serviks T1b atau massa tumor lebih besar dari IA2

IB1 IB2 II

Secara klinis lesi ukuran < 4 cm Secara klinis lesi ukuran > 4 cm Tumor telah

T1b1 T1b2

menginvasi uterus tapi tidak T2

mencapai 1/3 distal vagina atau dinding panggul IIA IIB III Tanpa invasi parametrium Dengan invasi parametrium T2a T2b

Tumor menginvasi smpai dinding pelvis dan atau T3 menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina, dan atau menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal

IIIA IIIB IVA

Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina Tumor sudah menginvasi dinding panggul

T3a T3b

Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau T4a rektum dan atau menginvasi keluar dari true pelvis

IVB

Metastasis jauh

T4b

A.5. Pencegahan Kanker Serviks Sebuah penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sepertiga dari seluruh kanker sebenarnya dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan, dan sepertiga lainnya dapat dibebaskan dari rasa nyeri jika

diberi

obat

yang

tepat.

Mencegah

timbulnya

kanker

berarti

mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kanker pada manusia dan membuat faktor-faktor ini tidak efektif dengan cara apapun yang mungkin dilakukan. Pencegahan yang dilakukan dapat bersifat primer maupun sekunder. Pencegahan primer merujuk pada kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindarkan diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan tumbuhnya kanker. Pencegahan primer melalui imunisasi HPV pada kelompok masyarakat merupakan kemungkinan lain yang sedang menjadi titik perhatian saat ini, mengingat penyebab utama dari sebagian besar keganasan serviks adalah HPV. Sedangkan pencegahan sekunder adalah istilah yang lebih umum dipakai oleh para petugas kesehatan yang berminat dalam penelitian penanggulangan kanker. Penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi dapat melindungi seseorang dari kanker serviks.13 Kontrasepsi mekanik tersebut

memberikan perlindungan terhadap berbagai infeksi virus yang ditularkan melalui hubungan seksual meskipun tidak 100% efektif.6,13 Sirkumsisi dan kebersihan alat kelamin dapat menurunkan kemungkinan seseorang terkena kanker serviks karena kebersihan dapat menurunkan jumlah kuman dan virus penyebab infeksi. Pendidikan seks diperlukan dalam mencegah kanker serviks.Melalui pendidikan, perempuan dapat diinformasikan segala hal yang dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker serviks seperti berhubungan seksual sejak usia muda dan berganti-ganti pasangan seksual.13 Apabila seseorang mengubah gaya hidup seksualnya maka kemungkinan untuk terkena infeksi berkurang sehingga kemungkinan terkena kanker serviks juga berkurang.4,13 Kanker serviks termasuk kanker yang dapat dideteksi secara dini karena tersedianya cara pemeriksaan yang sensitif. WHO menyarankan skrining sekali dalam hidupnya pada perempuan berusia 35-40 tahun dan

10

pemeriksaan dilakukan pada perempuan berumur 35-55 tahun sekali setiap 10 tahun apabila fasilitas tersedia atau sekali setiap 5 tahun apabila fasilitas berlebih.11,13 Skrining yang ideal adalah sekali setiap 5 tahun pada perempuan berumur 25-60 tahun . Hal-hal yang digunakan sebagai petunjuk untuk dilakukan skrining adalah usia, frekuensi skrining dan manajemen terhadap hasil sitologi serviks. Usia untuk memulai skrining seharusnya berbeda untuk tiap negara tergantung mortalitas akibat karsinoma serviks populasi masingmasing. Kematian akibat karsinoma serviks sangat jarang pada usia di bawah 25 tahun. Wanita dengan usia 65 tahun dan telah diperiksa sitologi serviks dengan hasil negatif pada 10 tahun sebelumnya juga tidak perlu mengikuti skrining.7 Papaniculaou (Pap) test merupakan cara skrining standard yang dilakukan untuk mendeteksi dini adanya keganasan pada serviks sejak tahun 1950. Standardisasi terminologi pelaporan sitologi serviks disepakati tahun 1988 melalui implementasi sistem Bethesda.9,10, Skrining dengan Paps smear menggunakan citobrush atau spatula yang lebih panjang atau extended spatula dinyatakan lebih baik dari pada menggunakan spatula Ayre dalam rangka pengumpulan sel-sel sitologi serviks untuk deteksi dini karsinoma serviks.11 American Cancer Society menyarankan pemeriksaan rutin pada perempuan yang tidak menunjukkan gejala, sejak usia 20 tahun atau lebih, atau kurang dari 20 tahun bila secara seksual sudah aktif.4,13 Pemeriksaan dilakukan dua kali berturut-turut dan bila negatif, pemeriksaan berikutnya paling sedikit setiap 3 tahun sampai berusia 65 tahun. Pada perempuan risiko tinggi atau pernah mendapat hasil abnormal harus diperiksa setiap tahun. Tabel 2. Kategorisasi diagnosis deskriptif Pap smear berdasarkan sistem Bethesda

11

Sel skuamosa atipik yang tidak dapat ditentukan artinya (ASCUS) Atipia jinak Atipia kelas II curiga neoplasia Lesi intraepitel skuamosa derajat rendah (LISDR) atau Lesi intraepitel derajat rendah (LGSIL) Neoplasia intraepitel serviks 1 (NIS 1) Displasia ringan Analisa sebagai human papilloma virus (HPV) Human papilloma virus (HPV) Kondiloma Koilositosis Atipia virus Lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi (LISDT) atau Lesi intraepitel derajat tinggi (HGSIL) Displasia sedang Displasia berat Neoplasia intraepitel serviks 2 (NIS 2) Neoplasia intraepitel serviks 3 (NIS 3) Karsinoma in situ (KIS) Karsinoma sel kuamosa Adenokarsinoma

Banyak masalah dalam penyelenggaraan skrining kanker serviks antara lain keengganan perempuan untuk diperiksa karena malu, keraguan akan pentingnya pentingnya pemeriksaan, takut terhadap kenyataan hasil pemeriksaan yang akan dihadapi, ketakutan merasa sakit pada pemeriksaan, rasa segan diperiksa pemeriksaan akibat kurangnya pengetahuan tentang

12

oleh dokter laki-laki dan kurangnya dorongan keluarga.7 Masalah tersebut dapat dihilangkan melalui pendidikan. Vitamin E yang banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan), vitamin C yang banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan serta beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan tersebut dapat melindungi DNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia.7,8 Dewasa ini vaksin sebagai metode pencegahan berbagai penyakit infeksi telah ditemukan. Penggunaan vaksin dalam mencegah kanker serviks berdasarkan 99% penyebab kanker serviks adalah infeksi HPV menetap.7,8,17 Penelitian efektivitas vaksin HPV 16 dan 18 dilakukan pada 2261 sampel yang diberi vaksin HPV dan sejumlah 2279 diberi placebo. Pada kelompok yang diberikan vaksin tidak dijumpai sampel yang menderita infeksi HPV ataupun NIS, sedangkan pada kelompok yang diberikan placebo ditemukan lesi prakanker dan infeksi HPV sebanyak 40 dari 2279 sampel penelitian. Penelitian yang lain pada 552 perempuan (277 sampel diberi vaksin and 275 diberi pacebo). Vaksin menurunkan sampai 90% (95% CI, 7197%) insidensi dari infeksi persisten dan lesi genital yang disebabkan oleh hpv. Penlitian berikutnya pada 10,000 perempuan umur 15-26 tahun (5,305 grup yang diberi vaksin dan 5,260 grup yang diberi placebo), di follw-up selama 3 tahun, keampuhan vaksin adalah 98% (95% CI, 86100%) untuk mencegah dari NIS 2,3 dan adenocarcimoma in situ yang berhubungan dengan HPV-16 dan HPV-18 dan Lebih dari 5,000 perrempuan(2,261 acak dalam grup yang diberi vaksin and 2,279 acak yang diberi placebo) umur antara 16-24 tahun terlihat setelah 3 tahun diberi vaksin, vaksin menunjukan kemanjuran 100%

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Shanta V, Krishnamurthi S, Gajalakshmi CK, Swaminathan R, Ravichandran K. Epidemiology of cancer of the cervix: global and national perspective. J Ind Med Assoc 2000;98(2):49-52. 2. Franco LE, Duarte-Franco E, Ferenczy E. Cervical cancer:epidemiology, prevention and the role of human papillomavirus infection. Can Med Assoc J 2001;164(7). 3. Aziz MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133 4. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:8-13. 5. Available at http://www.depkes.go.id 6. Indarti J. Pengambilan tes pap yang benar dan permasalahannya. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:14-7. 7. Young RC. Gynecologic malignancy. In: Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Jameson J, Kasper D, Longo D. editors. Harrisons principles of internal medicine.16th ed. New York: McGraw-Hill; 8. Mackay HT. Gynecology: carcinoma of the cervix. In: Tierney LM, Macphee SJ, Papadakis MAA, editors. Current medical diagnosis & Treatment. New York: McGraw-Hill; 2002.p.736-7.

14

9. Kusuma F, Moegni EM. Penatalaksanaan tes pap abnormal. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:18-21. 10. Schiffman M, Castle PE. The promise of global cervical-cancer prevention. N Eng J M 2005;353(20):2101-4. 11. Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). Improving screening coverage rates of cervical cancer prevention programs: A focus on communities. Cervical Cancer Prevention Issues in Depth 4;2004. 12. Crum CP. The beginning of the end for cervical cancer? N Eng J Med 2002;347(21):1703-5. 13. Arends MJ, Buckley CH, Wells M. Aetiology, pathogenesis, and pathology of cervical neoplasia. J Clin Path 1998;51:96-103. 14. Haverkos HW. Multifactorial etiology of cervical cancer: a hypothesis. Medscape General Medicine 2005;7(4):57. 15. Available at: http://www.who.int 16. Jastreboff AM, Cymet T. Role of the human papilloma virus in the

development of cervical intraepithelial neoplasia and malignancy. Postgrad Med J 2002;78:225-28. 17. Gottlieb S. Persistence of HPV increases risk of cervical cancer. Br Med J 2002;324:69

15

You might also like