You are on page 1of 21

farmakologi

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada ALLAH SWT. Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami menyelesaikan makalah ini yang alhamdulilla tepat pada waktunya mengenaiObat anti jamur. Makalah ini berisi mengenai tentang Farmakologi atau khususnya membahas tentang Obat anti jamur. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh Karen aitu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga ALLAH SWT. Senantiasa meridhoi segala usaha kita. amin.

Padang,

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN

ANTI JAMUR UNTUK INFEKSI SISTEMIK PENGOBATAN INFEKSI JAMUR SISTEMIK ANTI JAMUR UNTUK INFEKSI DERMATOFIT DAN MUKOKUTAN BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas ingeksi sistemik, dermatofit dan mukokutan. Infeksi sistemik dapat lagi dibagi atas : 1. Infeksi dalam (internal) seperti : - Aspergilosis - Blastomikosis - Koksidiodomikosis - Kriptokokosis - Histoplasmosis - Mukormikosis - Parakoksidiodomikosis - Kandidiasis 2. Infeksi subkutan, misalnya : - Kromomikosis - Misetoma - Sporotrikosis

Infeksi dermatofit disebabkan oleh tricophyton, epidermophyton dan microsporum yang menyerang kulit, rambut dan kuku. Infeksi mukokutan disebabkan oleh kandida, menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit yang lembab. Kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku. Dasar farmakologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya dimengerti. Secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik dan infeksi jamur topikal (dermatofit dan mukokutan). Dalam pengobatan beberapa anti jamur (imidazol, triazol dan antibiotik polien) dapat digunakan untuk kedua bentuk infeksi tersebut.

BAB II PEMBAHASAN
Obat-obat anti jamur juga disebut dengan obat anti mikotik, dipakai untuk m e n g o b a t i d u a j e n i s i n f e k s i j a m u r 1. Anti jamur untuk infeksi sistemik pada paru-paru atau sistem syaraf pusat a. b. c. d. e. Amfoterisin B Flusitosin Imidazol dan Triazole Kspofungin Terbinafin

2. Pengobatan infeksi jamur sistemik 3. Anti jamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan pada kulit atau selaput lendir a. Griseofulvin b. Imidazole dan Triazole c. Tolnaftat dan Tolsiklat d. Nistatin e. Anti jamur topical lainnya

1. Anti jamur untuk infeksi sistemik a. Amfoterisin B Asal dan kimia Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi streptomyces nodusus. 98% campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang mempunyai aktifitas anti jamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning jingga,, tidak berbau dan tidak berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larud dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu di atas 37 C tetapi stabil sampai berminggu-minggu pada suhu 4 C. Aktivitas antijamur Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang. Aktivitas anti jamur nyata pada Ph 6,0-7,5 tapi berkurang pada pH yang lebih rendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Farmakokinetik Amfoterisin B sedikit sekali di serap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai dengan dosis 1,5 mg/kg BB/ hari akan memberikan kadar puncak antara 0,5-2 /ml pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai setelah beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan keseluruh jaringan. Kira-kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfitorisin B dalam cairan pleura, peritoneal,

sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-kira 2/3 dari kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin B mungkin dapat menembus sawar uri. Sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi obat ini melalui ginjal berlangsung lambat sekali, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selama 24 jam sebelumnya ditemukan dalam urin. Efek samping Infus amfoterisin B seringkali menimbulkan kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flevitis, kejang dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan amfoterisin B tapi akan berkurang pada pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan menambahkan heparin 1000 unit kedalam infus. Belum ada data yang jelas terhadap efek hepatotoksik amfoterisin B. Penurunan fungsi ginjal terjadi pada lebih dari 80% pasien yang diobati dengan amfoterisin B. Keadaan ini akan kembali normal bila terapi dihentikan tetapi kepada kebanyakan pasien yang mendapat dosis penuh mengalami penurunan filtrasi glomerulus menetap. Derajat kerusakan yang terjadi tergantung darijumlah dosis amfoterisin B yang diterima, bukan dari kreatinin darah. Meskipun demikian, peningkatan kadar kreatinin darah sampai 3,5 mg/ml merupakan tanda perlunya pengurangan dosis amfoterisin B untuk mencegah timbulnya uremia. Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai dan keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kalium. Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama flusitosin. Anemia normositik normokrom hampir selalu ditemukan pada pemakaian jangka panjang. Indikasi Amfoterisin B sebagai antibiotika berspektrum lebar yang bersifat fungsidal dapat digunakan sebagai obat pilihan untuk hampir semua infeksi jamur yang mengancam kehidupan biasanya diberikan sebagai terapi awal untuk infeksi jamur yang serius dan selanjutnya diganti dengan salah satu azole baru untuk pengobatan lama atau pencegahan kekambuhan. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti oksidioidomikosis, parakosidioidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidiosis. Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis selain hidroksistilbamidin yang cukup efektif untuk sebagian besar pasien dengan lesikulit yang tidak progresif. Toksisitas hidrosisistilbamidin diduga lebih rendah dari pada amfoterisinB.

Tetesan topikal amfoterisin B efektif untuk korneal dan kreatitis mikotik. Untuk endoftalmitis, obat jamur ini harus disuntikan secara intraorbital. Bila perlu pemeriksaan laboratorium di ulangi 2-3 kali seminggu dan bila terjadi insufisiensi ginjal sebaiknya pengobatan ini dihentikan sampai fungsi ginjal normal kembali. Kesediaan dan posologi Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam fial berisi 50 mg bubuk liofilik, dilarutkan dengan 10 ml aquades steril untuk kemudian diencerkan dengan larutan dekstrosa 5 % dalam air sehingga di dapatkan kadar 0,1 mg/ml larutan. Pemberian melalui infus secara cepat pada pasien yang sakit berat diduga kurang menimbulkan efek samping, dari pada pemberian lambat, sedangkan kadar plasma yang dicapai setelah 18 dan 42 jam pada kedua cara ini tidak menunjukan perbedaan yang terjadi, b. Flusitosin Asal dan kimia Flusitosin merupakan anti jamur sintetik yang berasal dari fluorinasi pirimidin dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air tapi mudah larut dalam alkohol. Aktivitas anti jamur Spektrum antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan kriptokokosis kandidiasis, kromomikosis, tolulopsis dan aspergilosis. Crytococus dan candida dapat menjadi resistem selama pengobatan dengan funsitosin. 40-50% candida sudah resisten sejak semula pada kadar 100 mg/ml flusitosin. Mekanisme kerja Flusitosin masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung RNA setelah mengalami deaminase menjadi 5fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan lansung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil. Keadaan ini tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia flusitosin tidak di rubah menjadi fluorourasil. Farmakokinetik

Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna. Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tapi tidak mengurangi jumlah yang diserap. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian bersama suspensi alumunium hidroksida atau magnesium hidroksida dan dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per oral berkisar antara 70-8- mg/ml, akan dicapai 1-2 jam setelah pemberian dosis sebesar 37,5 mg/kg BB. Kadar ini lebih tinggi pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Setelah diserap, flusitosin akan didistribusikan dengan baik keseluruh jaringan dengan volume distribusi mendekati volume total cairan. Kadar dalam cairan otak 60-90% kadar dalam plasma. Flusitosin dapat memasuki cairan akuosa. Dalam salifa kadar flusitosin kira-kira setengah kadarnya dalam darah. 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulus dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200-500 mg/ml. Masa paruh eleminasi obat ini pada orang normal 3-6 jam dan sedikit memanjang pada bayi prematur tapi akan memanjang sampai 200 jam pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Pada orang normal klirens ginjal dari flusitosin adalah 75 % dari klirens kreatinin. Karena itu klirens kreatinin dapat dijadikan patokan untuk penyesuaian dosis. Flusitosin ini dapat dikeluarkan melalui hemodealisis atau peritoneal dealisis. Efek samping Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin B, namun dapat menimbulkan anemia, leukopenia dan trombisitopenia terutama pada pasien dengan kelainan hematologik yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi sum-sum tulang dan pasien dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Efek sampingnya adalahm mual, muntah, diare, dan eterokolitis yang hebat kira-kira 5% dari pasien mengalami peninggian enzim SGOT dan SGPT hepatomegali dapat pula terjadi. Efek samping ini akan hilang sendiri bila pengobata dihentikan gejala toksik ini lebih sering terjadi pada pasien azotemia dan jelas mengikat bila kadar melampaui 100-125/ml. Kadang-kadang dapat pula terjadi sakit kepala, pusing, mengantuk dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada kehamilan belum terbukti, sebaiknya tidak diberikan untuk wanita hamil. Indikasi Untuk infeksi sistemik flusitosin kurang toksis dari pada amfoterisin B dan obat ini dapat diberikan per oral, tetapi cepat menjadi resisten. Oleh sebab itu pemakaian tunggal flusitosin hanya untuk infeksi cryptococcus neorformans, beberapa spesies candida dan infeksi oleh kromoblastomikosis. Untuk infeksi lain biasanya dikombinasikan dengan amfoterisin B misalnya untuk meninitis oleh cryptococcus 100-150 mg/kg BB/ hari flusitosin dikombinasikan dengan 0,3 mg/kg BB/hari amfoterisin B. Kombinasi ini merupakan obat terpilih untuk

infeksi dengan kromoblastomikosis. Obat ini dapat juga dikombinasikan dengan itrakonazole. Posologi Flusitosin tersedia dalam kesediaan kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang di anjurkan antara 50-150 mg/kg BB/ hari yang terbagi dalam 4 dosis. Dosis ini harus dikurangi pada pasien dengan insufisiensi ginjal. c. Imidazole dan triazole Anti jamur golongan imidazole dan triazole mempunyai spektrum yang luas. Kelompok imidazole terdiri atas ketokonazole, mikonazole dan klorimazole. Sedangkan kelompok triazole meliputi intrapunazole, flukonazole dan vorikunazole. Berikut ini akan dibahas golongan imidazole dan triazole yang banyak digunakan sebagai anti jamur sistemik. Ketokonazole Asal dan kimia Ketokonazole merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur mirip mikonazole dan klotrimazole obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada pH asam aktivitas anti jamur. Ketokonazole aktif sebagai anti jamur baik sistemik maupun non sistemik efektif terhadap candida coccidioides immitis, cyrptococcus neoformans, H. Capsulatum, B. Dermatitidis, asperggilus sporthrik spp. Farmakokinetik Ketokonazole merupakan anti jamur sistemik per oral yang penyerapannya berfariasi antar individu. Obat ini menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagaijenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan pH lambung yang tinggi, pada pemberian bersama antagonis H2 atau bersama antasida. Pengaruh makanan tidak begitu nyata terhadap penyerapan ketokonazole Setelah pemberian per oral obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, juga pada kulit yang mengalami infeksi, tendo, cairan sinofial dan cairan vaginal. Kadar ketokonazole dalam cairan otak sangat kecil. Sebagian besar ketokonazole diekresikan bersama cairan empedu lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. Gangguan fungsi ginjal dan hati yang ringan tidak mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Efek samping

Efek toksik ketokonazole lebih ringan dari amfoterisin B. Mual dan muntah adalah efek samping yang paling sering dijumpai, keadaan ini akan lebih ringan bila obat ditelan bersama makanan efek samping yang lebih jarang ialah sakit kepala, fertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, pruritus , parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia. Obat ini dapat meningkatkan aktifitas enzim hati untuk sementara waktu dan kadang-kadang dapat menimbulkan kerusakan hati. Frekuensi kerusakan hati yang berat adalah sekitar 1: 10.000-15.000. hepatoksisitas yang berat lebih sering dijumpai pada wanita berumur lebih dari 50 tahun. Yang menggunakan obat ini untuk onikomikosis atau penggunaan lama. Ginekomastia dapat terjadi pada sejumlah pasien pria dan dapat menyebabkan haid yang tidak teratur pada sekitar 10% wanita. Hal ini disebabkan oleh efek perlambatan ketokonazole terhadap biosintesis steroid melalui enzim yang terkait dengan sitrokrom P450. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Pada tikus dosis 80 mg/kg BB/ hari menyebabkan cacat pada jari fetus hewan coba tersebut. Pemakaian pada wanita menyusui dsebaiknya juga dihindari karena obat ini disekresikan dalam ASI. Indikasi Ketokonazole terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak. Ketokonazole tidak di anjurkan untuk meningitis kriptokokus karna pernetrasinya kurang baik tapi obat ini efektif untuk kriptokokus nonmeningeal. Dan terbukti bermanfaat pula pada para koksidiohidomikosis, beberapa untuk koksidiohidomikosis, dermatomikosis, candidiasis (mukokutan vaginal dan oral) dengan adanya intrakonazole yang lebih aman penggunaan ketokonazole ini sudah mulai tergeser. Namun ketokonazole digunakan karena harganya yang murah.

Interaksi obat Pemberian ketokonzole bersama dengan obat yang menginjeksi enzim mikrosom hati (rimpafisin, isoniazid, fenitoin) dapat menurunkan kadar ketokonazole. Sebaliknya, ketokonazole dapat meningkatkan kadar obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 sitokrom P450 (siklosklorin, warfarin, midazolam, indinavir) Posologi Ketokonazole tersedia dalam sediaan tablet 200 mg, cream 2%, dan shampo 2%. Dosis yang dianjurkan pada dewasa adalah 1 kali 200-400 mg sehari. Pada anak-anak diberikan 3,3-6,6 mg/kg

BB/hari. Lamanya pengobatan berfariasi : 5 hari untuk kandidiasis vulvo vaginitis, 2 minggu untuk kandidiasis esofagus dan 6-12 bulan untuk mikosis dalam. Itrakonazole Asal dan kimia Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan nya dengan ketokonazole. Obat ini dapat diberikan per oral dan IV. efek samping Aktivitas anti jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan ketokonazole. indikasi Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali sehari. Itrakonazole juga tersedia dalam suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10 mg/ml dengan bioavailabilitas yang lebih baik. 10-15 % pasien mengeluh mual atau muntah namun pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, odema kaki, parestesia, dan kehilangan libido. Itrakonazole untuk mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg sehari yang diberikan bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis diberikan 1x 2oo mg sehari selama 12 minggu, atau dengan terapi berkala yakni 2x 200 mg sehari selama 1 minggu, diikuti 3 minggu periode bebas obat setiap bulannya. Lama pengobatannya biasanya 3 bulan. Infus diberikan dalam 1 jam. flukonazole Asal dan kimia ini adalah suatu fluorinated bis-striazole dengan khasiat farmakologis yang baru. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Kadar plasma setelah pemberian per oral sama dengan kadar plasma dengan pemberian IV. efek samping Gangguan saluran cerna merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan. Pada pasien AIDS ditemukan urtikaria, eosinofilia, sindroma stevensjohnson, gangguan fungsi hati yang tersembunyi dan trombositopenia. Flukonazole berguna untuk mencegah relaps meningitis yang disebabkan oleh cryphtococcus pada pasien AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B.

Obat ini juga efektif untuk pengebotan candidiasi mulut dan tenggoran pada pasien AIDS. Vorikonazole Asal dan kimia Obat ini adalah anti jamur baru golongan triazole yang di indikasikan untuk aspergilosis sistemik dan infeksi jamur berat yang disebabkan oleh scedosporium apiospermum dan fusarium sp. Obat ini juga mempunyai efektifitas yang baik terhadap candida sp, cryphtococcus sp dan dermatopit sp termasuk untuk infeksi candida yang resisten terhadap flukonazole. Pengobatan yang dimulai dengan pemberian IV ini, secepatnya harus dialihkan ke pemberian oral. >40 kg ialah 400 mg dan untuk pasien yang berat nya <40 kg diberikan 200 mg. Dosis muat oral ini juga diberikan hanya 2 x dengan interval 12 jam. Untuk pasien dengna gangguan fungsi hati ringan dan sedang (child-pugh kelas A atau B) diberikan dosis muat seperti biasa. Efek samping efek samping terpenting dari obat ini ialah gangguan penglihatan sementara berupa penglihatan kabur atau fotofobia yang terjadi sekitar 30 % pasien. d. Kaspofungin Asal dan kimia Kaspofungin adalah anti jamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut ekinokandin obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3) Dglukan, suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur. Kaspofungin di indikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut : 1. Kandidiasis infasif, termasuk kandidemia pada pasien neotropenia atau non neutropenia 2. Kandidiasi esofagus 3. Kandidiasis orofaring 4. Aspergiolosis infasif yang sudah refrakter terhadap antijamur lainnya. Efek samping Efek samping yang mungkin timbul ialah demam, mual, muntah, flusing, dan pruritus karena lepasnya histamin.

Indikasi Untuk pasien dewasa, obat ini diberikan pada hari pertama dengan dosis tunggal 70 mg IV. Bila dilanjutkan dengan dosis tunggal 50 mg sehari pada harihari berikutnya. Pengurangan dosis tidak diperlukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau pasien berusia lanjut. Pengobatan umumnya diberikan selama 14 hari. Keamanan obat ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur kurang dari 18 tahun. e. Terbinafin Asal dan kimia Terbinafin merupakan suatu derifat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis terutama onikomikosis. Farmakokinetik Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna tetapi bioavailabilitasnya oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama dihati. Terbinafin tidak aktif dan diekskresika di urin. Terbinafin tidak boleh diberikan untuk pasien azotemia tau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan terbinafin yang sulit diperkirakan. Aktifitas anti jamur Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi biosintesis ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen epoksidase pada jamur dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450. Efek samping Efek samping terbinafin jarang terjadi, biasanya berupa gangguan salura cerna, sakit kepala, atau rash. Posologi Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg. Terbinafin yang diberikan 1x 250 mg sehari untuk pengobatan onikomikosis 2. Pengobatan infeksi infeksi anti jamur Infeksi oleh jamur pathogen yang terinhalasi dapat sembuh spontan. Histoplasmosis, koksidioidomikosis, blastomikosis dan kriptokokosis pada paru

yang sehat tidak membutuhkan pengobatan kemoterapi baru dibutuhkan bila ditemukan pneumonia yang berat, infeksi cenderung menjadi kronis atau bila disangsikan terjadi penyebaran atau adanya risiko penyakit akanmenjadi lebih parah. Pasien AIDS atau pasien penyakit imunosupresi lain biasanya membutuhkan kemoterapi untuk mengatasi pneumonia karena jamur atau oleh sebab lain. a. Aspergilosis invasi aspergilosis paru sering terjadi pada pasien penyakit imunosupresi yang berat dan tidak member respons yang memuaskan trhadap pengobatan dengan anti jamur. Obat pilihan adalah amfoterisin B IV dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari dalam infus lambat. untuk infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan sampai dua kalinya. bila penyakit progresif, dosis obat dapat ditingkatkan. b. Blastomikosis Obat terpilih untuk kasus ini adalah ketokonazol per oral 400 mg sehari selama 6-12 bulan. itrakonazole juga efektif dengan dosis 200-400 mg sekali sehari pada beberapa kasus. Amfoterisin B dicadangkan untuk pasien yang tidak dapat menerima ketokonazol, infeksinya sangat progresif atau infeksi menyerang SSP. Dosis yang dianjurkan 0,4 mg/kg BB/ hari selama 10 minggu. kadangkala dibutuhkan tindakan operatif untuk mengalirkan nanah dari sekitar lesi. c. Kandidiasis Kateterisasi ataupun memperburuk kandidiasis. manipulasi instrument lain dapat

Bila lesi tidak mengeni parenkim ginjal pengobatan cukup dengan amfoterisin B 50 mg/ml dalam air steril selama 5-7 hari. bila ada kelainan parenkim ginjal, pasien harus diobati dengan amfoterisin B IV seperti mengobati kandidiasi berat pada organ lain. d. Koksidiidomikosis Ditemukannya kavitas tungal di paru atau adanya infiltrasi fibrokvitas yang tidk responsive terkadap kemoterapi merupakan iri yang khas dari penyakit kronis koksidioidomikosis. yang membutuhkan tindakan rseksi. bila terdapat penyebaran ekstrapulmonar, amfoterisin B IV bermanfaat untuk penyakit berat ini, juga pada pasien dengan penyakit imunosupresi dan AIDS. Ketokonaxol diberikan untuk terapi supresi jangka panjang terhadap lesi kulit, tuland dan jaringan lunak pada pasien fungsi imunologik normal. hasil serupa juga dapat

dicapai dengan pemberian itrakonazol 200-400 mg sekali sehari. untuk meningitis yang disebabkan oleh Coccidioides obat terpilih ialah amfoterisin B yang diberikan secara intratekal. e. Kriptokokosis Obat terpilih adalah amfoterisin B IV dengan dosis 0,4-0,5 mg/kg BB/hari. Pengobatan dilanjutkan sampai hasil pemeriksaan kultur negative. Penambahan flusitosin dapat mengurangi pemakaian amfoterisin B menjadi 0,3 mg/kg BB. disamping penyebarannya yang lebih baik ke dalam jaringan sakit, flusitosin diduga bekerja aditif terhadap amfoterisin sehingga dosis amfoterisin B dapat dikurangi dan dapat mengurangi terjadinya resistensi terhadap flusitosin. flukonazol banya digunakan untuk terapi supresi pada pasien AIDS. f. Histoplasmosis Pasien dengan histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan ketokonazol 400 mg per hari selama 6-12 bulan. itrakonazol 200-400 mg sekali sehari juga cukup efekif. Amfoterisin B IV juga dapat diberikan selama 10 minggu. untuk mencegah kekambuhan penyebaran histoplasmosis padda pasien AIDS yang sudah diobti dengan ketokonazol dapat ditambahkan pemberian amfoterisin B IV sekali seminggu.

g. Mukormikosis Amfoterisin B merupakan obat pilihan untu mukormikosis paru kronis. Mukormikosis kraniofasial juga diberikan amfoterisin B IV di samping melakukan debridement dan control diabetes mellitus yang sering menyertai. h. Parakoksidioidomikosis Ketokonazol 400 mg per hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12 bulan. pada keadaan yang berat dapat ditambahkan amfoterisin B. 3. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan a. Griseofulvin asal dan kimia pada tahun 1946, Brian dkk. menemukan bahan yang menyebabkan susut dan mengecilnya hifa yang disebut ebagai curling factor kemudian ternyata diketahui bahwa bahan yang mereka isolasi dari penicillim janczewski adalah griseofulvin

aktivitas jamur Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton, epidermohyton dan Microsporum. terhadap sel muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. obat ini tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan nocardia. Efek fungistatik obat ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan. ada laporan mengemukakan mekanisme kerja obat ini mirip dengan kolkisin dan alkaloid vinka.. tetapi seperti telh diutarakan di atas obat ini akan menghambat mitosis sel muda dengan mengganggu sintesis dan polimerisasi asam nukleat. farmakokinetik Griseofulvin kurang baik penyerapannya padda saluran cerna bagian atas karena obat ini tidak larut dalam air. dosis oral 0,5 g haya akan menghasilkan kadar plasma tertinggi kira-kira 1 ml setelah 4 jam. Preparat dalam bentuk yang lebih kecil diserap lebih baik. Absorpsinya meningkat bila diberika bersamaan dengan makanan berlemak. Obat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6metilgriseofulvin. waktu paruh obt ini kira-kira 24 jam, 50% dri dosis oral yang diberikan dikeluarkan bersama urin dlam bentuk metabolit selama 5 hari. kulit yang sakit mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin seingga sel baru ini akan resisen terhadap serangan jamur. Keratinn yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Antibiotik ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 408 jam setelah pemberian per oral. Keringat dan kehilangan cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat ini pada stratum korneum, kadar yang ditemukan dalam cairan dan jarngan tubuh lainnya kecil sekali. efek samping efek samping yang berat jarang timbul akibt pemakaian griseofulvin. leucopenia dan graulositopenia dapat terjadi pada pemakaian dosis besar dalam waktu lama. karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah yang teratur selama pemakaian obat ini. sakit kepala merupakan keluhan utama, terjadi kirakira pada 15 % pasien, yang akan hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. efek samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia, berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop. pada saluran cerna dapat terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi. indikasi

Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakitjamur di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan olehjamur yang sensitive. gejala pada kulit akan berkurang dalam 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin sedangkan penyembuhan sempurna baru terjadi setelah beberapa minggu. biakan jamur menjadi negative dalam 1-2 minggu tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. infeksi pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambat beraksi, biakan di sini baru negative setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8 minggu. infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan sedangkan infeki kuku kaki membutuhka waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan trichophyton mentarovites membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada dosis biasa. pada keadaan yang disertai hyperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. kandidiasis maupun tinea versi kolor tidak dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat karsiongenik dan teratogenik sehinga dematofitosis ringan tidak perlu diberikan griseofulvin, cukup dengan pemberian preparat topical. posologi Di Indonesia giseofulvin mkrokristal tersedia dalam bentuk tablet berisi 125 dan 500 mg dan tablet yang mengandung partikel ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg. untuk anak, griseofulvin diberikan 5-15 mg/kgBB/hari sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam dosis tunggal. bila dosis tunggl tidak dapat toleransi, maka dibagi dalam beberapa dosis. b. Imidazol dan Triazol Anti jamur golongan imidazol mempunyai spectrum yang luas. karena sifat dan penggunaannya praktis tidak berbeda, maka hanya mikonazol dan klotrimazol yang akan dibahas. Mikonazol asal dan kimia mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relative stabil, mempunyai spectrum anti jamur yang lebar terhadap jamur dermatofit. Obat ini berbentuk Kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau, sebagian kecil larut dalam air tapi lebih larut dalam pelarut organik. aktivitas anti jamur Mikonazol menghambat aktivitas jamur trichphyton, epidermophyton, microsporim, candida dan malassezia furfur. mikonazol in vitro efektif terhadap beberapa kuman gram positif.

Mekanisme krja obat ini belum diketahui sepenuhnya. mikonazole masuk ke dalam se jamur dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat. mungkin pula terjadi gangguan sintsis sel jamur yang akan menyebabkan kerusakan. obat yang sudah menembus ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana sampai 4 hari. Mikonazol topical diindikasikan untu dermatofitosis, tinea versikolor dan kandidiasis mukokutan. untuk dermatofitosis sedang atau berat yang menganai kulit kepala, telapa dan kuku sebaiknya dipakai griseofulvin. efek samping efek samping berupa iritasi, rasa terbakar dan masersi memerlukan penghentian terapi. sejumlah kecil mikonazol diserap melalui mukosa vagina tapi belum ada laporan tentang efek samping pada bayi yang ibunya mendapat mikonazol intravaginal pada waktu hamil, tetapi penggunaanya pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dihindari. sediaan dan posologi Obat ini tersedia dlam bentik cream 2% dan bedak tabor yang dipakai 2x sehari selama 2-4 minggu. cream 2% untuk penggunaan intavaginal diberikan 1x sehari pada malam hari selama 7 hari. Gel 2% tersedia untuk kandidiasis oral. Mikonzol tidak bole dbubuhkan pada mata. Klotrimazol Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang praktis tidak larut dalam air, larut dalam alcohol dan kloroform, sedikit larut dalam eter. Klotrimazol mempunyai efek anti jamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja mirip mikonazol dan secara topical digunakan untuk pengobatan tinea pedis, kruris dan korporis yang disebabkan oleh T. rubrum, dan juga untuk infeksi kulit dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh C, albicanns Obat ini tersedia dalam bentuk cream dan larutan dengan kadar 1% untuk dioleskan 2x sehari. cream vaginal 1% atu tablet vaginal 100 mg digunakan sekali sehari pada malam hari selama 7 hari. tau tablet vaginal 500 mg, dosis tunggal pada pemakaian topical dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema, gatal dan urtikaria. c. Tolnaftat dan Tolsiklat Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagain besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.

Tolnaftat tersedia dalam bentuk cream, gel, bubuk, caira aerosol atau larutan topical dengan kadar 1%. Digunakan local 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. pada lesi dengan hyperkeratosis, toinaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10%. Tolsiklat merupakan anti jamur topical yang diturunkan dari tiokarbamat. Namun karena spektrumnya yang sempit, anti jamur ini tidak banyak digunakan lagi. d. Nistatin asal dan kimia Nistatin merupakan suatu antibiotic polien yang dihasilkan oleh streptomyces noursel. obat yang beruba bubuk warna kuning kemerahan ini bersifat higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter. larutannya mudah trraid alam air atau plasma. sekalipun nistatin mempunyai struktu kima dan mekanisme kerja mirip dengan amfoterisin B, nistatin lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik. nistatin tidak diserap melalui saluran cerna, kulit maupun vagina.

aktifitas anti jamur Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. Mekanisme kerja Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitive. akfititas anti jamur tergantung dari adanya ikatan dengansterol pada membrane sel jamur atau ragi terutama sekali ergosterol. Akibtnya terbentuknya iktan antara sterol dengan antibiotic ini akan terjadi perubahan permeabilitias membrane sel sehingga sel akan kehilangan berbagi molekul kecil. Indikasi Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lender dan saluran cerna. paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan saluran cerna cukup diobati secara topical. Kandidiasis di mulut, esophagus dan lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama pada pasien yang mendapat

pengobatan imunosupresif. sebagian besar inifeksi ini memberikan respons yang baik terhadap nistatin. Kandidiasis saluran cerna jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan penyebab timbulnya nyeri perut dan diare. Efek samping Efek samping jarang ditemukan pada pemakaian nistatin. Mual, muntal dan diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per oral. Iritasi kulit maupun selaput ledir pada pemakaian topical belum pernah dilaporkan. Nistatin tidak memempengaruhi bakteri, protozoa dan virus maka pemberian nistatin dengan dosis tinggi tidak akan menimbulkan superinfeksi. posologi Dosis nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1 mg obat ini mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Untuk pemakaian klinik tersedia dalam bentuk krim, bubuk, salep, suspense dan obat tetes yang mengandung 100.000 unit nistatin per gram atau per ml. untuk pemakaian per oral tersedia tablet 250.00 dan 500.000 unit, 3 atau 4 kali sehari. Obat tidak langsung ditelan tetapi ditahan dulu dalam rongga mulut. Pemakaian pada kulit disarankan 2-3 kali sehari, sedangkan pemakaian tablet vagina 1-2 kali sehari selama 14 hari. e. Anti jamur topical lainnya Asam benzoate dan Asam salisilat Kombinasi asam benzoate dan asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6% dan 3%) ini dikenal sebagai salep whitfield. Asam benzoate memberikan efek fungistatik sedangkan sam salisialt memberikan efek keratolitik. Karena asam benzoate hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya, sehingga pemakaian obat ini membutuhkan waktu beberap minggu sampai bulanan. Salep ini banyak digunakan untuk pengobatan tinea pedis dan kadang-kadang juga untuk tinea kapitis. dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan kurang menyenangkan dari para pemakaiannya Karena salep ini berlemak. Asam undesilenat Asam undesilenat merupakan caira kuning dengan bau khas yang tajam. Dosis biasa dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek funigisidal. Obat ini aktif terhadap epidermophyton, trichophyton, dan microsporum. tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5% undesilenat dan 20% seng undesilenat.

Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat dengan 20% seng undesilenat. Dalam hal ini seng berperan untuk menekan luasnya peradangan. Pemakaian pada mukosa dapat menyebabkan iritasi bila kadar lebih dari 1%. Iritasi dan sensitivitas jarang terjadi pada pemakaian topical. Pada tinea kapitis efektivitasnya tidak nyata sehingga tidak digunakan lagi. Obat ini dapat menghambat pertumbuhan jamur pada tinea pedis, tetapi efktivitasnya tidak sebaik mikonazol, haloprogin atau tolnaftat. Haloprogin Haloprogin merukan anti jamur sintetik, berbentuk Kristal putih kekuningan, sukar laur dalam air tetapi larut dalam dalam alcohol. Obat ini bersifat fungsidal terhadap Epidermophyton, Trichophyton, Microsorum dan Malassezia furfur. Haloprogin sdikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh akan terurai menjadi trikorofenol. selama pemakaian obat ini sering timbul iritasi local, rasa terbakar, vesikel, meluasnya maserasi dan sensitisasi. sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya repons pengobatan sebab toksin yang dilepaskan kadang-kadang memperburuk lesi. Haloprogin tersedia dalam bentuk cream dan larutan dengan kadar 1%. terhadap tinea pedis efektivitas mendekati tolnaftat. Di samping itu obat ini juga digunakan untuk tinea versikolor.

Siklopiroks olamin Obat ini merupakan anti jamur topical berspektrum luas. penggunaan kliniknya ialah untuk dermatofitosi, kandidiasis dan tinea versikolor siklopiroks olamin tersedia dalam bentuk cream 1% yang dioleskan pada lesi 2x sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang. Terbinafin Terbinafin merupakan suatu derivate alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, tertama onikomikosis. Terbinafin topical tersedia dalam bentuk crem 1% dan gel 1%. Terbinafin topical digunakan untuk pengobatan tinea kruris dan korporis yang diberikan 1-2 kali sehari selama 1-2 minggu.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Infeksi jamur yang paling sering dijumpai adalah infeksi nonsistemik. Dermatofitosis dapat diatasi dengan obat bebas (dapat dibeli tanpa resep dokter) misalnya tolnaftat dan asam undesilenat. Obat topical dengan efektifitas sedang yang digunakan untuk kelainan ini ialah halprogin. Infeksi yang lebih berat biasanya dapat diatasi dengan golongan imidazol misalnya mikonazol, klotrimazol. Lesi hyperkeratosis pada kuku dan telapak tangan memerlukan kombinasi anti jamur tipikal yang poten dengan zat keratolitik, misalnya asam alisilat. infeksi berat pada kepala, telapak dan kuku biasanya mmerlukan pemberian griseofulvin selama beberapa bulan. untuk pengobatan onikomikosis, itrakonazol atau terbinafin, kini lebih banyak dipilih.

DAFTAR PUSTAKA
American Medical Association. Drug Evaluation Annual 1995. p. 1644-56 Arky R, Davidson CS. Physicianss Desk Refference. 51 ed. Montvale: Medical Economics Company; 1997. p. 1345-6

You might also like