You are on page 1of 14

Tugas Higiene Makanan

PENGENDALIAN MIKROORGANISME DALAM BAHAN MAKANAN


Oleh: KELOMPOK 4

Yusni Mulyana Elsa Mariane Ramadani Sara Yulis Megi Satria Nurhafny Dedy Saputra Riky Suhendra Wanti Shelvy Maulizar Fadly Marjoni

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2013

Pengendalian Mikroorganisme Dalam Bahan Makanan

Pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan pada prinsipnya bertujuan untuk membuat bahan makanan menjadi tahan lama, atau dengan perkataan lain bertujuan untuk pengawetan bahan makanan. Pengendalian mikroorganisme berarti mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat berarti membunuh atau menghambat pertumbuhan itu sendiri. Biasanya tindakan ini dilakukan dengan perlakuan fisik atau perlakuan kimia. Perlakuan fisik dapat dilakukan dengan cara perlakuan termal, perlakuan pengeringan dan perlakuan penyinaran (iradiasi). Perlakuan termal terdiri dari suhu rendah, yaitu pendinginan dan pembekuan, dan suhu tinggi/pemanasan yang dapat berupa pasteurisasi atau sterilisasi. Perlakuan pengeringan dapat dilakukan dengan cara pengeringan atau cara pengeringan beku. Perlakuan penyinaran dapat dilakukan dengan sinar ultraviolet dan ionisasi (sinar rntgen, sinar gamma, sinar elektron). Perlakuan kimia dapat dilakukan dengan cara penggaraman, curing, pengasaman, pengasapan dan pemberian bahan pengawet. Perlakuan termal

Suhu merupakan faktor ekstrinsik yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Dibandingkan dengan mahluk tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat lebar (kira-kira 15 s/d 90 C). Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan berhenti, sedangkan pada suhu tinggi organisme ini akan mati. Pada kedua situasi di atas, terkait proses terjadinya metabolisme yang menyebabkan terjadinya kerusakan bahan makanan. Karena proses enzimatik juga bergantung pada suhu, maka perlakuan dengan suhu ekstrim akan menyebabkan pengawetan hampir seluruh bahan makanan.

Suhu rendah

Suhu

rendah

tidak Dengan

membunuh demikian

mikroorganisme pertumbuhan

tetapi

menghambat semakin

perkembangbiakannya.

mikroorganisme

berkurang seiring dengan semakin rendahnya suhu, dan akhirnya di bawah suhu pertumbuhan minimum perkembangbiakannya akan berhenti.

Tabel 1. Suhu pertumbuhan minimal beberapa mikroorganisme (Sinell, 1992) Genus atau spesies Suhu pertumbuhan

minimum (C) Patogen atau potensial patogen Bacillus cereus Staphylococcus aureus S. aureus pembentuk enterotoxin Vibrio parahaemolyticus E.coli enteropatogenik Clostridium botulinum tipe A Pseudomonas aeruginosa Salmonella sp Clostridium perfringens Clostridium botulinum tipe E dan beberapa strain tipe B dan F Fusarium, Penicillium Mikroorganisme index atau indikator E. coli Klebsiella sp, Enterobacter sp. Streptococcus faecalis Mikroorganisme penyebab busuk Bacillus subtilis Streptococcus faecium Lactobacillus sp Pseudomonas fluorescens Ragi -18 8 10 0 0 12 0 3 1 -3 -12 10 5 13 10 - 19 5- 8 8 10 10 9 6 5 3,5 5

Suhu pertumbuhan minimum yang tertera dalam Tabel 1 hanyalah angka perkiraan dan secara eksperimental hanya berlaku untuk beberapa strain dari spesies tertentu dan tidak dapat berlaku umum. Pada penyimpanan bahan makanan dalam suhu beku, proses pembusukan oleh mikroorganisme masih dapat terjadi walau sangat diperlambat. Proses kerusakan baru dapat dihentikan pada suhu di bawah -18C.

Suhu minimal hanya berlaku bila dalam keadaan lingkungan yang optimal. Adanya perubahan sedikit saja pada nilai aw atau pH telah dapat menyebabkan peningkatan suhu pertumbuhan secara drastis. Contohnya adalah Enterobacter aerogenes yang memiliki suhu pertumbuhan minimal sebesar 5 C apabila angka aktivitas airnya optimal yaitu di atas 0,97. Pada nilai aw sebesar 0,955 pertumbuhannya berhenti pada suhu sekitar 20 C , dan pada aw 0,950 pertumbuhan berhenti pada suhu 30 . Pada uji mikroorganisme yang sama, terjadi peningkatan suhu pertumbuhan minimal menjadi 15 C ketika terjadi penurunan pH dari pH optimal 7 menjadi 3,9. Pada beberapa mikroorganisme, suhu rendah dapat pula menyebabkan aktivitas enzimatik menjadi intensif. Pseudomonas lebih banyak menghasilkan lipase dan proteinase pada suhu di bawah suhu optimum pertumbuhannya. Hal ini dapat menjelaskan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa perubahan akibat kerja mikroorganisme dalam bahan makanan sering terjadi walau jumlah mikroorganisme tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan. Pada fase eksponensial, mikroorganisme sangat peka terhadap suhu rendah, khususnya Enterobacter dan Pseudomonas, sedangkan bakteri Gram positif nampaknya lebih tahan. Pembekuan sedikit banyak membuat kerusakan mikroorganisme. Kerusakan ini dapat bersifat reversibel maupun menyebabkan kematian sel bakteri. Kerusakan ini bergantung pada jenis dan kecepatan proses pembekuan. Pembekuan cepat dengan suhu sangat rendah tidak atau hanya sedikit membuat kerusakan sel bakteri, sedangkan pembekuan lambat dengan suhu pembekuan relatif tinggi (s/d 10 C) dapat membuat kerusakan hebat pada sel bakteri. Hal ini didukung pada kenyataan bahwa laju kematian bakteri meningkat dengan semakin meningkatnya suhu mendekati titik nol. Dalam suatu uji kultur diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 220 hari dalam suhu 10 C hanya tinggal 2,5 % sel bakteri yang masih hidup, sedangkan yang disimpan pada suhu 20 C masih ada 50 % sel bakteri yang hidup. Pada suhu 4 s/d 10 C angka kematian sangat tinggi. Meskipun demikian hal ini dalam prakteknya tidak dapat digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme pada bahan makanan yang dibekukan karena pada suhu ini mikroorganisme psikrofil tertentu masih dapat berkembangbiak dan juga perombakan kimiawi masih berjalan sehingga mempengaruhi kualitas bahan makanan. Pengetahuan mengenai proses ini penting karena alasan berikut:

Mikroorganisme yang subletal rusak sulit ditemukan pada pemeriksaan kultur bakteriologik. Setelah bahan makanan beku ini dihangatkan dan pada kondisi yang menguntungkan, bakteri ini dapat kembali beraktivitas sehingga seperti halnya pada kasus Salmonella, dapat menjadi ancaman kesehatan konsumen. Oleh karena itu, pada

pemeriksaan mikrobiologik bahan makanan yang dibekukan (demikian pula pada produk yang dikeringkan atau dipanaskan), hendaknya memakai metode dan media yang cocok untuk dapat menghidupkan kembali mikroorganisme yang rusak tersebut.

Tabel 2. Nilai pH dan aw sebagai petunjuk kemampuan simpan bahan makanan (Sinell, 1992)

Kemampuan simpan

Nilai pH dan aw pH 5,2 dan aw 0,95 atau pH 5,0 atau aw 0,91 pH 5,2 5,0 atau aw 0,95 0,91 pH 5,2 dan aw 0,95

Suhu penyimpanan yang dibutuhkan

Dapat disimpan

Tidak diperlukan pendinginan

Dapat busuk

Maximum 10 C

Mudah membusuk

Maximum 5 C

Suhu tinggi

Pengendalian mikroorganisme melalui perlakuan suhu tinggi pada umumnya dilakukan dengan pasteurisasi atau sterilisasi. Pasteurisasi adalah pemanasan dengan suhu di bawah 100 C dan tidak akan menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim secara sempurna. Dengan demikian produk yang dipasteurisasi tidak akan bertahan lama bila tidak disertai perlakuan pendinginan atau faktor proses lainnya seperti perubahan aw dan pH. Sterilisasi adalah pemanasan yang dapat menyebabkan inaktivasi mikroba dan enzim sehingga produk dapat tahan lama.

Perlakuan pengeringan

Pengeringan adalah identik dengan pengurangan aktivitas air. Pada aw kurang dari 0,70 pertumbuhan agen penyebab infeksi dan intoksikasi tidak perlu dikuatirkan lagi. Pada produk yang dikeringkan, mikroorganisme berada dalam keadaan tidur atau dengan perkataan lain berada dalam fase lag yang diperpanjang. Bila terjadi rekonstruksi (penyerapan air kembali) maka flora yang ada dalam bahan makanan dapat kembali beraktivitas. Secara umum pengeringan dibedakan menjadi pengeringan di bawah tekanan udara dan pengeringan vakum. Proses yang khusus adalah kombinasi antara pembekuan dan penghilangan air dengan atau tanpa vakum. Pengeringan dengan udara dilakukan dalam udara yang bergerak, dalam ruang pengeringan yang dipanaskan, dll.

Perlakuan penyinaran

Dosis penyinaran diukur dengan satuan Gray (Gy). Penyinaran rendah bila dosisnya adalah kurang dari 1 kGy, medium bila < 1-10 kGy, dan tinggi bila lebih dari 10 kGy. Lingkup proses penyinaran (iradiasi) adalah untuk desinfeksi, pemanjangan shelf-life, dekontaminasi dan perbaikan kualitas produk. Keuntungan yang diperoleh adalah pengurangan seminimal mungkin bahan makanan yang hilang akibat proses pengawetan, dan penghematan energi serta keuntungan lainnya. Daging sapi yang mendapat perlakuan iradiasi akan menyebabkan pertumbuhan Psedomonas dan Enterobacteriaceae sangat terhambat tanpa menyebabkan perubahan organoleptik. Shelf life daging mentah yang dikemas vakum dapat diperpanjang. Pada daging babi, iradiasi dengan dosis antara 0,3 1,0 kGy dapat membuat inaktivasi Trichinella spiralis.

Perlakuan kimia

Perlakuan yang biasa dilakukan antara lain dengan pemberian garam. Penggaraman ini bertujuan untuk menurunkan aktivitas air dan garam sendiri tidak memiliki pengaruh antimikroba secara langsung. Perlakuan yang lain adalah dengan curing, yaitu perlakuan dengan menggunakan garam dapur dan garam nitrit (natrium nitrit atau kalium nitrit). Perlakuan ini dapat menghambat pertumbuhan dan produksi toxin oleh Clostridium botulinum. Efek utamanya adalah menentukan panjangnya fase lag. Faktor yang mempengaruhi efektivitas nitrit antara lain pH, oksigen, komponen pangan lainnya

(konsentrasi garam), pemanasan dan iradiasi. Pengasapan juga merupakan salah satu cara pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan dengan menggunakan metode pengasapan dingin, pengasapan hangat dan pengasapan panas. Pengasaman dan penggunaan bahan pengawet juga lazim dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak merugikan kesehatan selama diberikan dengan dosis yang tepat untuk tujuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pengendalian dan Pencegahan mikroba dalam susu

Menurut Yusuf, A. (2011) kontaminasi susu perlu dicegah sedini mungkin dengan menjaga kebersihan dan kesehatan ternak agar susu yang diproduksi terjaga kebersihannya dan lebih tahan lama dari kerusakan. Terdapat beberapa penanganan yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Pendinginan Susu. Pendinginan susu bertujuan agar terjadi penurunan suhu dari suhu ambing 37oC ke berbagai suhu yang lebih rendah untuk menahan mikroorganisme perusak susu agar tidak berkembang, sehingga susu tidak mengalami kerusakan dalam waktu yang relatif singkat. Pendinginan susu biasanya menggunakan lemari es atau alat pendingin khusus dengan suhu dibawah 10oC. 2. Pasteurisasi Susu. Pasteurisasi susu adalah pemanasan susu di bawah temperatur titik didih dengan maksud hanya membunuh kuman ataupun bakteri patogen sedangkan sporanya masih dapat hidup. Terdapat 3 cara pasteurisasi, yaitu: a) Pasteurisasi lama (low temperature long time). Pemanasan susu dilakukan pada temperatur yang tidak begitu tinggi dengan waktu yang relatif lama yakni 63oC selama 30 menit. b) Pasteurisasi singkat (High temperature short time). Pemanasan susu dilakukan pada temperatur tinggi dengan waktu yang relatif singkat yakni 7275oC selama 1520 detik. c) Pasteurisasi dengan Ultra High Temperature (UHT). Pasteurisasi dengan UHT dilakukan pada suhu 125oC selama 15 detik atau 131oC selama 0,5 detik. Dalam Weebly (TT), produksi susu yang tinggi dan berkualitas baik didapatkan melalui penerapan Good Farming Practices (GFP) yang meliputi bangunan dan fasilitas

peternakannya, manajemen pakan, sumber daya manusia, proses pemerahan dan manajemen peternakan Yang harus diperhatikan dalam pemerahan : 1. Kandang harus bersih terutama kandang sapi yang hendak diperah. 2. Sapi yang akan diperah, ambingnya harus bersih, bagian daerah lilpatan paha dan pahanya harus dicuci hingga bersih. 3. Sapi yang akan diperah diberi makanan konsentrat terlebih dahulu supaya sapi tersebut dalam keadaan tenang. Jangan diberi rumput, silase atau hijauan lainnya sebelum dan selama pemerahan. 4. Alat-alat susu (ember, tempat penyimpanan susu) harus bersih.

Membersihkannya dengan air sabun yang hangat-hangat kuku serta disekat kemudian dibilas jangan memakai lap atau serbet. 5. Mengikat ekor sapi yang suka menggerak-gerakan ekornya. 6. Mencuci ambing dengan air bersih yang hangat (50-600c) dengan menggunakan lap bersih, kemudian dikeringkan dengan menggunakan handuk kering dan bersih. Mencuci ambing akan lebih baik bila menggunakan cairan chlor yang mengandung 150200 mg chlor per liter air. 7. Tukang perah harus selalu bersih tangannya selama pemerahan dan memakai pakaian yang bersih. Sebelum pemerahan tangannya harus dicuci dengan sabun. Jangan memakai vaselin atau minyak sebagai pelican. 8. Uji mastitis hendaknya dilakukan setiap melakukan pemerahan yaitu dengan memerah pakai tiga jari (Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah) pada setiap puting 2 atau 3 pancaran susu ke dalam cangkir atau piring alumunium yang bagian dalamnya di cat hitam untuk mengetahui ada tidaknya kelainan susu yang terdapat dalam susu misalnya darah atau nanah. Pencegahan : Sanitasi lingkungan diantaranya kebersihan sekitar ruang pengumpulan susu, meliputi kebersihan udara, lantai, dinding dan langitlangit. Lantai, dindingdan langit langit yang konstruksinya buruk sulit untuk menjaga sanitasinya, akan tetapi struktur yang licinpun merupakan sumber kontaminan yang tidak diinginkan jika tidak dibersihkan dan dipelihara secara teratur dan efektif (Unpad, 2009)

Pencegahan dan Pengendalian Bakteri Pembusuk pada Daging

Setelah hewan disembelih, karkas dapat terkontaminasi oleh feses, isi lambung, dan kulit. Kontaminasi silang dapat terjadi pada saat proses penyembelihan seperti dari alat-alat penyembelihan, bangunan, kontak oleh manusia, dan kontak antar karkas. Mikroba yang mengkontaminasi ini non patogen tetapi dapat menyebabkan kebusukan. Teknik dekontaminasi ditargetkan mengurangi atau menghilangkan bakteri patogen atau bakteri pembusuk. Bakteri-bakteri yang sering berperan sebagai pembusuk adalah Pseudomonas, Acinetobacter/Moraxella, Aeromonas, Alteromonas putrefaciens, Lactobacillus,

dan Brochothrix thermosphacta. Cara-cara untuk dekontaminasi karkas menurut Huffman (2002) antara lain : Pencabutan rambut dengan bahan kimia (chemical dehairing method) Metode ini merupakan pencabutan atau penghilangan rambut dengan kimia. Prosesnya meliputi tiga tahap bakteriostatik/bakteriosidal yaitu : pengaplikasian natrium sulfida, penggunaan hidrogen peroksida, dan pencucian (rinsing) dengan asam laktat. Penyiraman dengan air panas (hot water rinse) Metode ini menggunakan air panas untuk menyiram karkas. Suhu air yang digunakan pada banyak Rumah Potong Hewan di Amerika Serikat adalah >74oC. Pasteurisasi uap (steam pasteurization) Metode ini menggunakan air panas yang disemprotkan dengan cara kondensasi yang bertujuan untuk merusak bakteri yang berada di permukaan karkas.

Vakum uap (steam vacuum) Uap dari air dengan suhu tinggi disemprotkan ke karkas yang diikuti dengan proses vakum. Metode ini kombinasi dari menghilangkan dan atau menginaktivasi kontaminasi pada permukaan karkas. Peralatan yang digunakan meliputi vakum dan nozel semprot uap panas. Uap panas yang dihasilkan bersuhu 82-88oC. Pencucian dengan bahan kimia Dekontaminan kimiawi yang digunakan adalah larutan asam organik yang berfungsi menghancurkan ikatan asam pada sitoplasma sel bakteri. Bila pH intraseluler lebih tinggi daripada pKa asam, asam yang terprotonisasi akan terurai dan akan

melepaskan proton ke sitoplasma mikroba, hal ini menyebabkan sitoplasma mikroba menjadi asam. Larutan asam organik yang telah disetujui USDA adalah asam asetat, asam laktat, dan asam sitrat dengan konsentrasi 1,5-2,5%. Laktoferin Laktoferin adalah bahan pemblokir mikrobial, laktoferin adalah protein yang mengikat besi dan mempunyai potensi sebagai antimikrobial alami pada makanan. Laktoferin ditemukan secara alami di susu, saliva, mucin, dan granula pada netrofil. Laktoferin yang digunakan pada industri diambil dari susu skim atau dari whey. Laktoferin diaplikasikan ke permukaan karkas dengan cara disemprotkan setelah hewan disembelih atau saat karkas didinginkan. Laktoferin berfungsi sebagai agen pemblokir mikrobial yang menyebabkan pelepasan mikroba baik yang hidup maupun yang mati dari permukaan biologis, menghambat pertumbuhan mikroba, dan menetralisasi aktivitas endotoksin. Laktoferin yang diaktifkan (activated lactoferrin) menghambat aktivitas bakteri patogen seperti E. coli O157:H7, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., dan Campylobacter serta bakteri pembusuk seperti Pseudomonas spp. dan Klebsiella spp. Metode kombinasi Hurdle Technology Pencucian karkas dengan air bersuhu 35oC yang diikuti dengan pembasuhan dengan asam organik (laktat atau asetat) lebih efektif daripada metode tunggal berupa triming dengan pisau atau pencucian dengan air. Perlakuan dengan tekanan tinggi (high pressure treatment) Menurut Jung et al. (2003) perlakuan dengan tekanan tinggi (high pressure treatment) mampu untuk mengendalikan bakteri pembusuk serta mampu mempertahankan esensi daging dan nutrisi. Aplikasi tekanan tinggi dengan waktu singkat mampu menurunkan total flora pada daging dan menghambat waktu pertumbuhan selama satu minggu. Hal ini dapat menyebabkan proses pematangan daging berlangsung lebih lama yang berefek pada meningkatnya keempukan daging. Akan tetapi proses ini menyebabkan perubahan warna daging bila diberi tekanan lebih dari 325Mpa. Tekanan menengah (130MPa) meningkatkan warna daging menjadi lebih merah yang muncul pada beberapa hari masa penyimpanan, akan tetapi proses ini tidak cukup untuk memodifikasi jumlah mikroba pada daging. Untuk memodifikasi jumlah mikroba diperlukan tekanan yang lebih besar dari 130MPa.

Iradiasi Salah satu teknologi untuk menjaga keamanan daging terhadap mikroba adalah melalui proses radiasi. Selain bakteri pembusuk, daging dan produk olahan daging dapat mengandung parasit dan bakteri patogen, mikroba-mikroba ini dapat dihilangkan melalui iradiasi. Iradiasi daging saat keadaan beku, saat pengemasan dengan metode Modified Atmosphere Packing (MAP), atau penambahan antioksidan dapat meminimalisir atau menghindarkan daging dan produk daging dari ketengikan (Kannat et al. 2005). Bahan yang telah disetujui oleh FAO untuk iradiasi adalah 137Cs dan 60Co (Zhou et al. 2010).

Pengemasan Makanan Terdapat berbagai cara pengemasan makanan, bila dikombinasikan dengan teknik penyimpanan makanan dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging, metode yang sangat diperlukan selama penyimpanan adalah menghindarkan daging dari mikroba pembusuk dan atau tumbuhnya mikroorganisme patogen (Ercolini et al. 2010). Alternatif pengemasan makanan adalah dengan kemasan kemasan vakum, pengemasan dengan Modified Atmosphere Packaging (MAP), dan kemasan aktif mengunakan kemasan antimikrobial. Cara ini tidak mencampurkan antimikrobial langsung ke makanan tetapi menyatukan komponen antimikrobial ke film yang memungkinkan efek utamanya ke permukaan makanan yang merupakan lokasi utama pertumbuhan mikroba sehingga dapat dilokalisasi (Coma 2008). Kemasan Vakum (Vacuum Packaging) Kemasan ini menggunakan tiga lapisan yang terdiri dari etil vinil asetat, poliviniliden klorida, dan etil vinil asetat (Zhou et al. 2010). Kemasan vakum ini menyebabkan rendahnya kadar O2 di dalam kemasan. Rendahnya kadar O2(oksigen) menghambat reaksi oksidasi dan menghambat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan pigmen pada keadaan deoksimioglobin (Zhou et al. 2010).

Modified atmosphere packaging (MAP) MAP pada daging memerlukan barier kelembapan dan gas melalui material kemasan. Hal ini memelihara lingkungan yang konstan selama masa penyimpanan. Metode yang utama adalah dengan menghilangkan atau mengubah komposisi normal atmosfer dan membuat aerobik dan anaerobik tipe kemasan. MAP yang berkadar O2 rendah dan diganti dengan gas N2 dan CO2 (Zhou et al. 2010).

Active Packaging Salah satu metode lain yang dapat digunakan adalah dengan pengunaan kemasan aktif (active packaging). Menurut Quintavalla & Vicini (2002) active packaging adalah jenis kemasan yang mengubah kondisi kemasan untuk memperpanjang masa simpan (shelf-life) atau untuk meningkatkan keamanan pangan sementara menjaga kualitas pangan. Kemasan aktif ini mempunyai beberapa fungsi yang tidak terdapat pada pengemasan konvensional. Fungsi-fungsi itu meliputi pencarian oksigen, kelembaban atau etilen, emisi etanol dan rasa, serta aktivitas antimikrobial. Metode tradisional untuk pengawetan makanan adalah untuk menghambat pertumbuhan mikroba, metodenya meliputi proses termal, pengeringan, pembekuan, penyimpanan dalam suhu lemari pendingin, iradiasi, MAP, dan penambahan antimikrobial atau dengan penambahan garam. Akan tetapi metode-metode ini tidak dapat diterapkan pada beberapa produk makanan seperti daging segar dan makanan siap santap (ready to eat product). Salah satu bentuk kemasan aktif untuk produk daging adalah kemasan antimikrobial (antimicrobial packaging). Kontaminasi pada daging terjadi pada permukaan daging pada saat pengolahan makanan, upaya untuk meningkatkan keamanan pangan dan memperlambat pembusukan dilakukan dengan pemakaian antibakterial dengan cara pencelupan atau penyemprotan. Pemakaian kemasan yang terbuat dari film yang mengandung bahan antimikrobial dapat dapat membuat proses menjadi lebih efisien dengan cara menghambat migrasi bahan antimikrobial dari material kemasan ke permukaan produk daging (Ouattara et al. 2000). Cara kemasan antimikrobial dikelompokkan menjadi dua cara yaitu : 1. Mengikatkan bahan antimikrobial pada permukaan kemasan. Hal ini membutuhkan struktur molekul yang besar yang cukup untuk mempertahankan aktivitas dinding sel mikroba walaupun diikat pada plastik. Bahan antimikrobial jenis ini terbatas pada enzim atau protein antimikrobial lainnnya. 2. Melepaskan agen aktif ke permukaan pangan. Sistem kemasan non-edible dapat mengandung tipe-tipe bahan tambahan yang food grade pada material kemasannya. Di Jepang perak menggantikan zeolite yang dikembangkan sebagai bahan antimikroba yang ditambahkan pada plastik. Ion perak menghambat enzim-enzim metabolik dan mempunyai aktivitas antimikrobial spektrum luas. Bahan ini diaplikasikan dengan ketebalan 3-6mm pada polimer yang kontak dengan pangan. Bahan lain yang digunakan sebagai antimikrobial antara lain asam organik seperti asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, dan asam anhidridat; bakteorisin seperti nisin

dan pediosin; enzim seperti lisozim; fungisida seperti benomil dan imazalil. Modifikasi komposisi permukaan polimer dengan iradiasi elektron membuat permukaan mengandung kelompok amine yang menunjukkan aktivitas antimikrobial yang meninaktivasi organisme secara kontak. Metode ini aktif pada bufer fosfat melawanStaphylococcus

aureus, Pseudomonas fluorescens, dan Enterococcus faecalis (Quintavalla & Vicini 2002). Lapisan dan film yang edible yang dibuat dari polisakarida, protein, dan lipid mempunyai keuntungan yang besar seperti dapat diurai secara alami, dapat dimakan, biokompatibilitas, penampilan yang estetika, dan barier terhadap oksigen dan stres fisik. Menurut Quintavalla & Vicini (2002), lapisan edibel (edible coating) dapat :

Dapat membantu mengurangi kehilangan kelembaban daging selama penyimpanan dingin atau beku. Menahan jus pada daging segar dan karkas unggas yang dikemas pada nampan plastik komersial. Mengurangi kadar ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lipid dan warna kecoklatan yang disebabkan oleh oksidasi mioglobin. Mengurangi kebusukan dan mikroorganisme patogen pada permukaan daging yang dilapisi. Mencegah kehilangan rasa yang disebabkan zat volatil dan penerimaan aroma asing.

Pengendalian mikroba dalam telur

Telur merupakan produk unggas yang selalu dihubungkan dengan cemaran Salmonella. Cemaran Salmonellapada telur dapat berasal dari kotoran ayam dalam kloaka atau dalam kandang. Secara alami, cangkang telur merupakan pencegah yang baik terhadap cemaran mikroba. Cemaran bakteri dapat terjadi pada kondisi suhu dan kelembapan yang tinggi. Cemaran pada telur bebek lebih banyak dibanding pada telur ayam. Apabila pe-nanganan telur tidak dilakukan dengan baik, misalnya kotoran unggas masih menempel pada cangkang telur, maka kemungkinan Salmonelladapat men-cemari telur, terutama saat telur dipecah. Cemaran mikroba tersebut dapat dikurangi dengan cara mencuci dan mengemas telur sebelum dipasarkan.

Daftar pustaka

Anonimus,

2012.

Pengendalian

jaminan

mutu

susu.

http://holdakristhomas.blogspot.com/2012/10/pengendalian-jaminan-mutu-susu.html Diakses 24 november 2013 Anonimus, 2008. Pengendalian mikroorganisme dalam bahan pangan.

http://milkordie.blogspot.com/2008/05/pengendalian-mikroorganisme-dalambahan.html Diakses 24 November 2013 Djaafar F dan Rahayu S, 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan Dan Pencegahannya. Yogyakarta. Unpad. 2009. Kualitas Mikroba pada Ruang. http://pustaka.unpad.ac.id/wpBalai Pengkajian Teknologi Pertanian.

content/uploads/2009/09/kualitas_mikroba_pada_ruang.pdf. Prndl, O., Fischer, A.,Schmidhofer T., Sinell, H.J., 1988. Handbuch der

Lebensmitteltechnologie. Fleisch: Technologie und Hygiene der Gewinnung und Verarbeitung. Ulmer, Stuttgart. Prescott, L.M., Harley, J.P., Klein, D.A. , 1999. Microbiology. 4th ed. WCB McGraw-Hill, Boston. Sinell, H.J., 1992. Einfhrung in die Lebensmittelhygiene.3. Auflage. Verlag Paul Parey, Berlin, Hamburg Wulandari, 2011. Pembusukan daging. Diakses 24

http://drhwulandari.blogspot.com/2011/06/pembusukan-daging.html November 2013

Yusuf, A. 2011. Tingkat Kontaminasi Escherichia Coli Pada Susu Segar di Kawasan Gunung Perak, Kabupaten Sinjai. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

You might also like