You are on page 1of 38

Leukimia Leukimia Granulositik Kronis Leukimia granulositik kronik (LGK) merupakan leukimia yang pertama kali ditemukan serta

diketahui patogenesisnya, LGK dianggap sebagai suatu gangguan mieloproliferatif karena sumsum tulang hiperseluler dengan proliferasi pada semua garis diferensiasi sel. Jumlah granulosit umumnya lebih dari 30.000/mm3 . basofil dan eosinofil sering ditemukan. Pada 85% kasus, terdapat kelainan kromosom yang disebut kromosom philadelphia. Kromosom philadelphia merupakan suatu translokasi dari lengan panjang kromosom 22 ke kromosom 9. Kelainan kromosom ini mempengaruhi sel induk hematopoietik dan terdapat pada garis sel mieloid, serta beberapa garis limfoid.

Insidensi Kejadian leukimia ini terjadi menjadi 20% dari keseluruhan leukimia pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukimia limfositik kronik. Pada umumnya

menyerang usia 40-50 tahun, walaupun banyak ditemukan pada usia muda dan lebih progresif.

Tanda dan Gejala Klinik Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni : fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada fase kronis pasien sering mengeluh pembesaran limfa, atau merasa cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukimia. Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi. Bila pada saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis , maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit di kontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-

30% promielosit >30% dan trombosit <100.000/mm3 . secara klinis, fase ini dapat diduga bila limfa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul ptekie, ekimosis .

Patogenesis Gen BCR-ABL p[ada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Damapak dari kedua mekanisme di atas terbentuknya klon-klon yang abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoesis yang lainnya. Pemahaman tentang mekanisme kerja gen BCR-ABL terbagi dua, yaitu : sitogenik dan kejadian di tingkat molekuler.

Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti.Berdasarkan peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli mengatakan akibat mutasi spontan. Sejak tahun 1980, diketahui translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABLBCR pada kromosom 9. Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui . dalam perjalanan penyakitnya pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan. Hal imi terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase kritis blas, dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan patofisiologi LGK dan terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor.

Diagnosa Banding

1. LGK fase kronik: leukimia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukimia netrofilik kronik 2. LGK fase krisis blas: leukimia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia.

Pemeriksaan penunjang 1.6.1 hematologi rutin Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit antara 20-60.000/mm3 . persentasi eosinofil dan basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3 . 1.6.2 Apus Darah Tepi Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit. Persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil dan basofil 1.6.3 Apus sumsum tulang Seluleritas meningkat (hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak dengan pewarnaan retikulin, tampak strom sumsum tulang mengalami fiibrosis 1.6.4 karyotipik Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai di tinggalkan dan peranannya digantikan oleh metode FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain : +8, +9,+19,+21.

Pengobatan Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologi, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang, indikasi cangkok sumsum tulang: 1.

Usia tidak lebih dari 60 tahun , 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan sokal. 1.7.1 Hydroxyurea (Hydrea) 1. merupakan terapi terpilih untuk indikasi remisi hematologik pada LGK 2. lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan (alkeran) dan klorambusil 3. efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setalah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemi aplastik dan fibrosis paru 4. dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3 , dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari

1.7.2 busulfan (myleran) 1. termasuk golongan alkil yang sangat kuat


2.

dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai 12 mg/hari. Harus dihentikan bila leukosit antara 10-20.000/mm3 , dan baru dimulai kembali setelah leukosit >50.000/mm3

3. tidak boleh diberikan pada wanita hamil 4. interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan

meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya 5. bila leukosit sangat tinggi,sebaiknya pemberian busulfan disertai dengan alupurinol dan hidrasi yang baik 6. dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan

1.7.3 imatinib mesylate (Gleevec=Glyvec) 1. tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL 2. untuk fase kronik, dosis 400 mg/ hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon yang baik tetapi terjadi

perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit 3. dosis harus diturunkan apabila terjadi netropenia berat (<500/mm3 ) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3)atau peningkatan SGOT/SGPT dan bilirubin 4. untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800mg/hari 5. dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang 6. tidak boleh diberikan pada wanita hamil 7. interaksi obat:ketokenazol, simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat 8. selain remisi hematologik , obat ini dapat menghasilkan remisi siotogenik yang ditandai dengan hilangnya/berkurangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang dihasilkan

1.7.4 Interferon alfa-2a atau interferon alfa-2b 1. berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walupun dapat mencapai remisi sitogenik 2. dosis 5 juta IU/ m2 /hari subkutan sampai terjadi remisi sitogenik biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di indonesia, dosis yang dapat di toleransi adalah 3juta IU/m2/hari. 3. diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon untuk mencegah /mengurangi efek samping interferon berupa bluelike syndrome 4. Hati-hati apabila diberikan pada lanjut usia, gangguan faal hati dan ginjal yang berat, pasien epilepsi

1.7.5 Cangkok sumsum tulang 1. merupakan terapi definitif untuk LGK.CST dapat diperpanjang masa remisi sampai>9 tahun, terutama pada CST algenik

2. tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif

Prognosis Faktor-faktor di bawah ini yang memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain : 1. pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan,. Demam, keringat malam 2. Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif 3. terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Leukemia Mieloblastik Akut Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dab terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotic generasi baru dan tranfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu sejak 2 dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan teknik diagnosis leukemia dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenik yanf menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.(1)(IPD jilid II hal 706)

Klasifikasi Kelompok Kooperatif FAB (French-American-British) mengenai Leukemia Mieloblastik Akut M-0 Berdiferensiasi minimal

M-1 M-2

Diferensiasi granulostik tanpa maturasi Diferensiasi promielositik granulostik dengan maturasi sampai stadium

M-3

Diferensiasi

granulostik

dengan

promielosit

hipergranular,

dihubungkan dengankoagulasi intravascular diseminata M-4 M-5a M-5b M-6 M-7 Leukemia mielomonosit akut; garis sel monosit dan granulosit Leukemia monosit akut; berdiferensiasi buruk Leukemia monosit akut; berdiferensiasi baik Eritroblastosis yang menonjol dengan diseritropoiesis berat Leikemia megakariosit (2)(patofisiologi volume 1 hal 272)

Insidensi Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidensi LMA ummnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang berusia 30 tahun adalah 0,8% pada orang berusia 50 tahun 2,7% sedang pada orang berusia diatas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik pada insidens LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar dari ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat disbanding dengan ras Kaukasia.

Etiologi Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebebkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri penyamakan kulit di Negara sedang berkembang, diketahui sebagai zat leukomogenik untuk LMA. Faktor lain yang diketahui predisposisi untuk LMA adalah Trisomi kromosom 21 yang dijumpai

pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga18 kali lebih tinggi untuk penderita leukemia. Selain beberapa pasien sindrom genetic seperti sindrom Bloom dan anemia Faconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA. Faktor lain yang dapat menimbulkan terjadi LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi sitotoksis pada tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, myeloma multiple, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor.

Patogenesis Pathogenesis utama LMA adalah adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast disumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang kan menyebabkan gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sum-sum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanua sitopenia (anemia, leucopenia, dan trombositopenia). Adanya anemia dapat menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak napas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedangkan adanya leucopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora bakteri normal yang ada falam tubuh manusia. Slain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sum-sum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan system saraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

Tanda dan Gejala Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leikositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang

15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA. Tanda dan gejala utama pada LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sum-sum tulang sebagaimana disebutkan diatas. Perdarhan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdrahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus LMA tipe M-3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kilit dan daerah peri rectal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien :LMA dengan demam. (1) DIAGNOSIS Diagnosis dapat dibuat berdasarkan ganbaran darah tepi tetapi dibuktikan dengan biopsy dan aspirasi sum-sum tulang. Darah tepi dapat menunjukan mieloblas dalam sirkulasi yang meningkat, normal atau menurun dan penurunan jumlah granulosit absolute. Jumlah treombosit juga menurun, sering dibawah 50.000. anemia sedang dapat terjadi. Sum-sum tulang umumnya hiperseluler, 30% sampai 90% mieloblas mengandung batang Auer. Batang Auer merupakan struktur seperti batang dalam sitoplasma mieloblas dan bersifat diagnostic untuk leukemia

myeloid akut. Studi sito genetic paling sering menunjukan abnormalitas kromosom. Terdapat perubahan metabolic, dengan peningkatan kadar asan urat dan laktat dehirogenase yang terkait dengan kadar turnover sel darah putih yang tinggi

Manifestasi Klinis Manifestasui klinis berkaitan dengan berkurangnya sel hematopoietic normal terutama granulosit dan trombosit. Pasien sering menunjukan gejala infeksi atau perdarahan atau keduanya pada waktu diagnosis. Menggigil, demam, takikardia,

takipnea sering merupakan gejala yang muncul. Infeksi dapat mengenai semua system organ. Selulitis, pneumonia, infeksi oral, abses peri rectal dan septicemia merupakan sedikit contoh infeksi yang ditemukan pada populasi pasien ini. Organism yang paling sering adalah bakteri gram negative seperti E. coli dan pseudomonas serta infeksi fungus. Tanpa pengobatan yang tepat pasien dengan septicemia dapat meninggal dalam beberapa jam.

Pasien dengan jumlah SDP meningkat secara nyata dan blas dalam sirkulasi (jumlah melebihi 200.000/mm3) dapat menunjukan gejala hiperviskositas. Gejala ini mencakup nyeri kepala, perubahan pemglihatan, kebinngungan dan dispnea, yamg memerlukan leukoferesis segera (pembuangan sel darah putih melalui pemisah sel) dan kemoterapi yang tepat Pasien dengan leukemia promielositik (M-3) yang menampakan gejala diathesis perdarahan (koagulasi intravascular diseminata [DIC]) dengan leukemia monositik (M-4 atau M-5) sering menampakan infiltrasi gusi. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan oleh petekie dan ekimosis (perdarhan dalam kulit), epistaksis, hematoma pada membrane mukosa, serta perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kemih. Tulang mungkin sakit dan lunak yang disebabkan oleh infark tulang dan infiltrate subperiosteal. Anemia bukan merupakan manifestasi awal karena umur eritrosit yang panjang (120 hari). Jika terdapat anemia, aka ditemukan nyeri kepala dan gejala kelelahan serta dispnea waktu kerja fisik disertai pucat yang nyata. Penatalaksanaan Kombinasi kemoterapi yang mencakup timetabolit Cytosine arabinoside dan antibiotic antrasiklin seperti daunorubicin hydrochloride, idarubicin atau mitoxantrone merupakan standar perawatan. Kombinasi lain mencakup etoposide dan mitoxantrone atau topotecan dan mitoxantrone. Dengan identifikasi penanda antigenic tertentu (keleompok diferensisasi [CD]) seperti CD33 pada mieloblas, kategori biologis baru dan menjanjikan, telah dikembangkan dan pada uji klinis. Obat-obat ini merupakan antibody monoclonal yaitu sel target dengan penanda tertentu. Salah satu obat tersebut, Mylotarg telah digunakan pada pasien dengan

leukemia akut relaps dan menargetkan sel yaitu CD33 positif. Obat ini juga digunakan pada pasien usia tua, yang baru terdiagnosis. Pasien dengan leukemia promielositik akut (LPA) M-3, dengan penanda sitogenik yang baik t(15;17) telah mendapat manfaat dari terapi lanjutan. Pasien ini menunjukan diatessi perdarahan. Dengan kemoterapi standar, perjalanannya dipersulit dengan perdarahan dari orifisium yang berbeda dan mencakup area insersi kateter, gusi dan interkranial, yang pada waktunya, menyebabkan kematian mendadak. Asam trans-retinoat (vitamin A) yang digunakan sebagai antiakne topical telah terbukti paling berhasil sebagai agen oral pada pasien dengan LPA, memungkinkan dengan pemamtangan sel hematopoietic dengan pencapaian remisi. Regimen ini di ikuti oleh kemoterapi standar, dengan remisi dan harapan hidup jangka panjang. Pada keadaan relaps, agen oral lai tersedia dalam uji klinis, arsenic trioxide (disetujui oleh U.S Food and Drug Administrasi [FDA]), untuk pasien dengan LPA. Waktu saja akan menunjukan efektifitas dan manfaat pengobatan ini. Ini merupakan waktu yang menarik bagi peneliti kedokteran dan penyedia perawatan kesehatan dalam bidang hematologi-onkologi.

leukimia limfoid kronik beberapa penyakit termasuk dalam kelompok ini, ditandai dengan proliferasi limfosit jenis sel B atau T yang tampak matur. Terdapat cukup banyak tumpang tindih dengan limfoma. Pada banyak kasus limfoma non-Hodgkin, sel limfoma ditemukan didalma darah dan pada beberapa kasus, pembedaan antara leukimia dan limfoma bersifat semena-mena, bergantung pada proporsi relative penyakit dan massa jaringan lunak dibandingkan dengan yang terdapat dalam darah dan sum-sim tulang. Secara umum, penyakit-penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, tetapi perjalanan penyakit cenderung bersifat kronik dan berfluktuasi. Diagnosis

Kelompokm ini dicirikan dengan adanya limfositosis kronik persisten dan subtipenya dapat dibedakan berdasrkan morfologi, imunofenotipe, dan

sitogenetika. DNA mungkin bermanfaat untuk memperlihatkan penataan ulang monoclonal pada immunoglobulin atau gen reseptor sel T. Leukimia limfositik kronik Hingga saat ini, LLK adalah suatu keganasan hematologic yang di tandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, hati dan organ-organ lain. LLK ini masuk dalam kelainan limfoproliferatif. Tanda-tandanya meliputi limfositosis, limfadenopati, dan splenomegali. Kebanyakan LLK (95%) adalah neoplasma sel B, sisanya neoplasma sel T. Epidemiologi Usia rerata pasien saat diagnosis 65 tahun , hanya 10-15% kurang dari 50 tahun. Angka kejadiaanya di Negara barat 3/100.000. padaa populasi geriatric, insidens di atas 70 tahun sekitar 50/100.000. resiko terjadinya LLK meningkat seiring usia. Perbandingan risiko relative pada pria tua adalah 2,8 : 1 perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras kaukasia dan berpendapatan menengah. Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan LLK mempunyai masa hidup normal dan yang lain meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan penting dicapai dalam

pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan. Penyebab Penyebab LLk masih belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan retrovirus ( RNA tumour virus).

Diagnosis Manifestasi klinis Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLk tidak menunjukkan gejala asimptomatik. Pada pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penuruna berat badan dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan/ olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang terjadi awalnya, tetapo semakin menyolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali. Pemeriksaan fisis 20-30% pasien tidak menunjukkan kelaina fisik. Kelainan fisik yang sering dijumpai adalah limfadenopati. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati dan/atau hepatosplenomegali. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran. Splenomegali dan/ atau hepatomegali ditemukan pada 25-50% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung, pleura, paru dam saluran cerna umumnya jarang dan timbul pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan penyakit, limfadenopati massif dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstriktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asites berhubungan dengan prognosis yang buruk. Kriteria diagnosis Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi secara hati-hati dan cermat . gambaran darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan smudge cells yang dominan ; imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+, FMC7-/+, DAN CD22-/+); dan ilfiltrasi limfosit ke sumsum tulang (>30%

limfosit). Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interestial (33%), nodular (10%), campuran ineterestial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Meskipun telah didapatkan limfositosis daan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK. LLK dapat didiagnosis jiak ditemukan peningkatan absolute limfosit didalam darah (>5000/L) dan morfologi serta imufenotifnya menunjukkan gambaran khas. Klasifikasi FAB membagi tipe morfologinya berdasarkan perbandingan limfosit atipikal di dalam darah, yaitu : 1. LLK tipikal terdiri dari lebih 90% limfosit kecil. 2. LLk tipe prolimfositik ( sel prolimfositik 11-54%). 3. LLk atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi proporsi prolimfosit kurang dari 10%. Kriteria ini tidak selau menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal, oleh karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molecular dapat bermanfaat. Diagnosis banding 1. Leukimia Prolimfositik (sel prolimfosit >54%) 2. Hairy cell leukimia 3. Limfoma limfositik kecil 4. Mantle cell lymphoma 5. Leukimia limfoplasmasitik a. Makroglobulinemia waldenstrom b. Myeloma sel plasma 6. Leukimia sel T kronik 7. Leukimia LGL 8. Leukimia sel T dewasa 9. Limfoma sel T kutan/kulit

Komplikasi Pasien dengan LKK dapat menunjukkan berbagai komplikasi akibat progresivitas penyakitnya.yaitu : 1. Infeksi 2. Hipogamaglobulinemia 3. Transformasi menjadi keganasan limfoid yang agresif 4. Koplikasi akibat penyakit autoimun 5. Keganasan sekunder Penatalaksanaan Diagnosis LLK, tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak dapat terapi kuratif untuk LKK. Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LKK adalah meredakan gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan factor risiko buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Indikasi terapi adalah : 1. Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia. 2. Limfadenopati yang progresif (>10cm) 3. Splenomegali massif (>6) atau nyeri pada limpa limfositosis progresif dalam 2 bulan meningkat 50%. 4. Gejala sistematik yaitu penuruna berat badan >10% dalam 6 bulan,suhu badan >380 C selama > 2 minggu, fatique, keringat malam. 5. Sitopenia autoimun

Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin)


DEFINISI Limfoma adalah suatu kanker (keganasan) dari sistem limfatik (getah bening).

Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih yang disebut limfosit melalui suatu jaringan dari saluran tubuler (pembuluh getah bening) ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang. Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam nodus limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel limfoma) dapat bersatu menjadi kelenjar getah bening tunggal atau dapat menyebar di seluruh tubuh, bahkan hampir di semua organ.

Dua tipe utama dari limfoma adalah Limfoma Hodgkin (yang lebih sering disebut Penyakit Hodgkin) dan Limfoma Non Hodgkin. Limfoma Burkitt dan mikosis fungoides termasuk ke dalam jenis Limfoma Non Hodgkin. Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) adalah suatu jenis limfoma yang dibedakan berdasarkan jenis sel kanker tertentu yang disebut sel Reed-Stenberg, yang memiliki tampilan yang khas dibawah mikroskop. Sel Reed-Sternberg memiliki limfositosis besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel. Sel-sel tersebut dapat dilihat pada biopsi yang diambil dari jaringan kelenjar getah bening, yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Penyakit Hodgkin diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan karakteristik dasar jaringan yang terlihat dibawah mikroskop. Jenis Penyakit Hodgkin Perjalanan Penyakit

Jenis

Gambaran Mikroskopik Sel Reed-Stenberg sangat sedikit tapi ada banyak limfosit Sejumlah kecil sel ReedStenberg & campuran sel darah putih lainnya;

Kejadian

Limfosit Predominan

3% dari kasus

Lambat

Sklerosis Noduler

67% dari kasus

Sedang

daerah jaringan ikat fibrosa Sel Reed-Stenberg dalam Selularitas Campuran jumlah yang sedang & campuran sel darah putih lainnya Banyak sel Reed-Stenberg & Deplesi Limfosit sedikit limfosit jaringan ikat fibrosa yang berlebihan 5% dari kasus Cepat 25% dari kasus Agak cepat

PENYEBAB Penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa ahli menduga bahwa penyebabnya adalah virus, seperti virus Epstein Barr. Penyakit ini tampaknya tidak menular. Di Amerika, 6000-7000 kasus baru dari penyakit Hodgkin terjadi setiap tahunnya. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria. Penyakit Hodgkin bisa muncul pada berbagai usia, tetapi jarang terjadi sebelum usia 10 tahun. Paling sering ditemukan pada usia diantara 15-34 tahun dan diatas 60 tahun.

GEJALA Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar getah bening, paling sering di leher,tapi kadang-kadang di ketiak dan pangkal paha. Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam beberapa jam setelah penderita meminum alkohol dalam jumlah yang banyak. Kadang pembesaran kelenjar getah bening berada jauh di dalam dada atau perut, yang biasanya tidak nyeri dan ditemukan secara tidak terduga pada pemeriksaan rontgen dada atau CT scan untuk keperluan lain.

Gejala lainnya adalah demam, berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan. Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh

meinggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma. Gejala dari Penyakit Hodgkin Gejala Berkurangnya jumlah sel darah merah (menyebabkan anemia, sel darah putih & Limfoma sedang menyebar ke trombosit kemungkinan nyeri tulang Pembesaran kelenjar getah Hilangnya kekuatan otot suara serak bening menekan saraf di tulang belakang atau saraf pita suara Sakit kuning (jaundice Pembengkakan wajah, leher & alat gerak atas (sindroma vena kava superior) Pembengkakan tungkai dan kaki Limfoma menyumbat aliran empedu dari hati Pembesaran kelenjar getah bening menyumbat aliran darah dari kepala ke jantung Limfoma menyumbat aliran getah bening dari tungkai Limfoma menyebar ke paruparu sumsum tulang Penyebab

Keadaan yang menyerupai pneumonia Berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi & meningkatnya kecenderungan mengalami infeksi karena jamur & virus

Penyakit sedang menyebar

DIAGNOSA Pada penyakit Hodgkin, kelenjar getah bening biasanya membesar secara perlahan dan tidak menimbulkan nyeri, tanpa adanya infeksi. Jika pembesaran ini berlangsung selama lebih dari 1 minggu, maka akan dicurigai sebagai penyakit Hodgkin, terutama jika disertai demam, berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan. Kelainan dalam hitung jenis sel darah dan pemeriksan darah lainnya bisa memberikan bukti yang mendukung.

Tetapi untuk menegakkan diagnosis, harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah bening yang terkena, untuk menemukan adanya sel Reed-Sternberg.

Stadium Penyakit Hodgkin. Sebelum pengobatan dimulai, harus ditentukan luasnya penyebaran limfoma atau stadium dari penyakit ini. Penyakit ini dikelompokkan menjadi 4 stadium berdasarkan penyebaran dan gejalanya. Pemilihan pengobatan dan prognosisnya tergantung kepada stadium penyakit ini.

Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) satu atau lebih dari gejala berikut: 1. demam yang penyebabnya tidak diketahui (lebih dari 37,8? Celsius selama 3 hari berturut-turut) 2. keringat malam 3. penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya sebanyak lebih dari 10% berat badan sebelumnya dalam waktu 6 bulan.

Beberapa prosedur digunakan untuk menentukan stadium dan menilai penyakit Hodgkin:

1. Pemeriksaan rontgen dada membantu menemukan adanya pembesaran kelenjar di dekat jantung 2. Limfangiogram bisa menggambarkan kelenjar getah bening yang jauh di dalam perut dan panggul 3. CT scan lebih akurat dalam menemukan pembesaran kelenjar getah bening atau penyebaran limfoma ke hati dan organ lainnya 4. Skening gallium bisa digunakan untuk menentukan stadium dan menilai efek dari pengobatan 5. Laparatomi (pembedahan ntuk memeriksa perut) kadang diperlukan untuk melihat penyebaran limfoma ke perut. Stadium & Prognosis Penyakit Hodgkin Kemungkin untuk sembuh Stadium Penyebaran penyakit (angka harapan hidup selama 15 tahun tanpa penyakit lebih lanjut) Terbatas ke kelenjar getah bening I dari satu bagian tubuh (misalnya leher bagian kanan) Mengenai kelenjar getah bening dari 2 atau lebih daerah pada sisi yang II sama dari diafragma, diatas atau dibawahnya (misalnya pembesaran kelenjar getah bening di leher dan ketiak) Mengenai kelenjar getah bening III diatas & dibawah diafragma (misalnya pembesaran kelenjar getah 80% 90% Lebih dari 95%

bening di leher dan selangkangan) Mengenai kelenjar getah bening dan IV bagian tubuh lainnya (misalnya sumsum tulang, paru-paru atau hati 60-70%

PENGOBATAN 2 jenis pengobatan yang efektif untuk penyakit Hodgkin adalah terapi penyinaran dan kemoterapi. Dengan salah satu atau kedua pengobatan tersebut, sebagian besar penderita bisa disembuhkan. Terapi penyinaran sendiri menyembuhkan sekitar 90% penderita stadium I atau II.

Pengobatan biasanya dilakukan selama 4-5 minggu, penderita tidak perlu dirawat. Penyinaran ditujukan kepada daerah yang terkena dan kelenjar getah bening di sekitarnya. Kelenjar getah bening di dada yang sangat membesar diobati dengan terapi penyinaran yang biasanya mendahului atau mengikuti kemoterapi. Dengan pendekatan ini, 85% penderita bisa disembuhkan.

Pengobatan

untuk

stadium

III

bervariasi,

tergantung

kepada

keadaan.

Jika tanpa gejala, kadang terapi penyinaran saja sudah mencukupi. Tetapi hanya 65-75% penderita yang sembuh. Penambahan kemoterapi akan meningkatkan kemungkinan untuk sembuh sampai 75-80%. Jika pembesaran kelenjar getah bening disertai dengan gejala lainnya, maka digunakan kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran. Angka kesembuhan berkisar diantara 70-80%. Pada stadium IV digunakan kombinasi dari obat-obat kemoterapi.

2 kombinasi tradisional adalah:

- MOPP (mekloretamin, vinkristin/onkovin, prokarbazin dan prednison) - ABVD (doksorubisin/adriamisin, bleomisin, vinblastin dan dakarbazin).

Setiap siklus kemoterapi berlangsung selama 1 bulan, dengan waktu pengobatan total adalah 6 bulan atau lebih. Bisa juga digunakan kombinasi obat lainnya. Pengobatan ini memberikan angka kesembuhan lebih dari 50%. Kemoterapi memiliki efek samping yang serius, yaitu bisa menyebabkan: 1. kemandulan sementara atau menetap 2. meningkatnya kemungkinan menderita infeksi 3. kerontokan rambut yang bersifat sementara. Leukemia dan kanker lainnya terjadi pada beberapa penderita dalam 5-10 tahun atau lebih setelah pemberian kemoterapi atau terapi penyinaran atau keduanya. Penderita yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi penyinaran atau kemoterapi atau yang membaik tapi kemudian kambuh kembali dalam 6-9 bulan, memiliki harapan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan penderita yang mengalami kekambuhan dalam 1 tahun atau lebih setelah terapi awal. Kemoterapi lebih lanjut yang dikombinasikan dengan terapi penyinaran dosis tinggi dan pencangkokan sumsum tulang atau sel stem darah, bisa menolong penderita tersebut.

Kemoterapi dosis tinggi yang dikombinasikan dengan pencangkokan sumsum tulang memiliki resiko tinggi terhadap infeksi, yang bisa berakibat fatal. Tetapi sekitar 20-40% penderita yang menjalani pencangkokan sumsum tulang terbebas dari penyakit Hodgkin selama 3 tahun atau lebih dan bisa sembuh. Hasil terbaik bisa dicapai pada penderita yang berusia dibawah 55 tahun dengan keadaan kesehatan yang baik.

http://medicastore.com/penyakit/307/Penyakit_Hodgkin_Limfoma_Hodgkin.html

Limfoma Non-Hodgkin (LNH)


DEFINISI

Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan (kanker) yang berasal dari sistem kelenjar getah bening dan biasanya menyebar ke seluruh tubuh. Beberapa dari limfoma ini berkembang sangat lambat (dalam beberapa tahun), sedangkan yang lainnya menyebar dengan cepat (dalam beberapa bulan).

Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin.

PENYEBAB Penyebabnya tidak diketahui, tetapi bukti-bukti menunjukkan adanya hubungan dengan virus yang masih belum dapat dikenali. Sejenis limfoma non-Hodgkin yang berkembang dengan cepat berhubungan dengan infeksi karena HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yaitu suatu retrovirus yang fungsinya menyerupai HIV penyebab AIDS. Limfoma non-Hodgkin juga bisa merupakan komplikasi dari AIDS.

GEJALA Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat (misalnya leher atau selangkangan) atau di seluruh tubuh.

Kelenjar membesar secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesstsn kelenjar getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan menelan. Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan menyebabkan: 1. gangguan pernafasan

2. berkurangnya nafsu makan 3. sembelit berat

4. nyeri perut 5. pembengkakan tungkai.

Jika

limfoma

menyebar

ke

dalam

darah

bisa

terjadi

leukemia.

Limfoma dan leukemia memiliki banyak kemiripan. Limfoma non-Hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anakanak, gejala awalnya adalah masuknya sel-sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak dan tulang belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masulknya sel limfoma ini menyebabkan anmeia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya kelemahan dan sensasi yang abnormal).

Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di dalam, yang menyebabkan: 1. pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak nafas 2. penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah 3. penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.

Gejala Limfoma Non-Hodgkin Gejala Gangguan pernafasan Pembengkakan wajah Hilang nafsu makan Sembelit berat Nyeri perut atau perut kembung Pembengkakan tungkai Penyumbatan pembuluh getah bening di selangkangan atau 10% Pembesaran kelenjar getah bening di perut 30-40% Pembesaran kelenjar getah bening di dada 20-30% Penyebab Kemungkinan timbulnya gejala

perut Penurunan berat badan Diare Malabsorbsi Pengumpulan cairan di sekitar paru-paru (efusi pleura) Daerah kehitaman dan menebal di kulit Penyebaran limfoma ke kulit yang terasa gatal Penurunan berat badan Demam Keringat di malam hari Perdarahan ke dalam saluran pencernaan Penghancuran sel darah merah oleh limpa yang membesar & Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terlalu aktif Penghancuran sel darah merah oleh antibodi abnormal (anemia hemolitik) Penghancuran sumsum tulang karena penyebaran limfoma Ketidakmampuan sumsum tulang untuk menghasilkan 30%, pada akhirnya bisa mencapai 100% Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh 10-20% Penyumbatan pembuluh getah bening di dalam dada Penyebaran limfoma ke usus halus 10%

20-30%

50-60%

sejumlah sel darah merah karena obat atau terapi penyinaran Penyebaran ke sumsum tulang Mudah terinfeksi oleh bakteri dan kelenjar getah bening, menyebabkan berkurangnya pembentukan antibodi 20-30%

DIAGNOSA Harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah bening untuk menegakkan diagnosis limfoma non-Hodgkin dan membedakannya dari penyakit Hodgkin atau penyakit lainnya yang menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Menentukan stadium limfoma non-Hodgkin. Limfoma non-Hodgkin dikelompokkan berdasarkan tampilan mikroskopik dari kelenjar getah bening dan jenis limfositnya (limfosit T atau limfosit B). Salah satu dari pengelompokkan yang digunakan menghubungkan jenis sel dan prognosisnya: Limfoma tingkat rendah, memiliki prognosis yang baik Limfoma tingkat menengah, memiliki prognosis yang sedang Limfoma tingkat tinggi, memiliki prognosis yang buruk.

Pada saat terdiagnosis, biasanya limfoma non-Hodgkin sudah menyebar luas; hanya sekitar 10-30% yang masih terlokalisir (hanya mengenai salah satu bagian tubuh). Untuk menentukan luasnya penyakit dan banyaknya jaringan limfoma, biasanya dilakukan CT scan perut dan panggul atau dilakukan skening gallium.

PENGOBATAN Beberapa penderit bisa mengalami kesembuhan total, sedangkan penderita lainnya

harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Kemungkinan penyembuhan atau angka harapan hidup yang panjang tergantung kepada jenis limfoma dan stadkum penyakit pada saat pengobatan dimulai. Biasanya jenis yang berasal dari limfosit T tidak memberikan respon sebaik limfosit B. Angka kesembuhan juga menurun pada: 1. penderita yang berusia diatas 60 tahun 2. limfoma yang sudah menyebar ke seluruh tubuh 3. penderita yang memiliki tumor (pengumpulan sel-sel limfoma) yang besar 4. penderita yang fungsinya dibatasi oleh kelemahan yang berat dan ketidakmampuan bergerak. Penderita pada stadium awal (stadium I dan II) seringkali diobati dengan terapi penyinaran yang terbatas pada sisi limfoma dan daerah di sekitarnya. Terapi penyinaran biasanya tidak menyembuhkan limfoma tingkat rendah, tetapi dapat memperpanjang harapan hidup penderita sampai 5-8 tahun. Terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah biasanya akan memperpanjang harapan hidup penderita sampai 2-5 tahun, sedangkan pada limfoma tingkat tinggi hanya 6 bulan sampai 1 tahun. Jika dimulai sesegera mungkin, pemberian kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi, bisa menyembuhkan lebih dari separuh penderitanya.

Sebagian besar penderita sudah mencapai stadium lanjut (stadium III dan IV) pada saat penyakitnya terdiagnosis. Penderita limfoma tingkat rendah mungkin tidak memerlukan pengobatan segera, tetapi harus menjalani pemeriksaan sesering mungkin untuk meyakinkan bahwa penyakitnya tidak menyebabkan komplikasi yang serius. Kemoterapi dilakukan pada penderita limfoma tingkat menengah. Penderita limfoma tingkat tinggi memerlukan kemoterapi intensif segera karena penyakit ini tumbuh dengan cepat. Tersedia beberapa sediaan kemoterapi yang sangat efektif. Obat kemoterapi bisa diberikan tunggal (untuk limfoma tingkat rendah) atau dalam bentuk kombinasi (untuk limfoma tingkat menengah dan

tingkat tinggi). Pemberian kemoterapi disertai faktor pertumbuhan dan pencangkokan sumsum tulang masih dalam tahap penelitian. Pengobatan baru yang masih dalam penelitian adalah antibodi monoklonal yang telah digabungkan dengan racun, yang memiliki bahan racun (misalnya senyawa radioaktif atau protein tanaman yang disebut risin), yang menempel di antibodi tersebut. Antibodi ini secara khusus akan menempel pada sel-sel limfoma dan melepaskan bahan racunnya, yang selanjutnya akan membunuh sel-sel limfoma tersebut.

Pada pencangkokan sumsum tulang, sumsum tulang diangkat dari penderita (dan sel limfomanya dibuang) atau dari donor yang sesuai dan dicangkokkan ke penderita. Prosedur ini memungkinkan dilakukannya hitung jenis darah, yang berkurang karena kemoterapi dosis tinggi, sehingga penyembuhan berlangsung lebih cepat. Pencangkokan sumsum tulang paling efektif dilakukan pada penderita yang berusia dibawah 55 tahun dan bisa menyembuhkan sekitar 30-50% penderita yang tidak menunjukkan perbaikan terhadap pemberian kemoterapi.

Tetapi pencangkokan sumsum tulang memiliki resiko, sekitar 5% penderita meninggal karena infeksi pada minggu pertama, sebelum sumsum tulang membaik dan bisa menghasilkan sel darah putih yang cukup untuk melawan infeksi. Pencangkokan sumsum tulang juga sedang dicoba dilakukan pada penderita yang pada awalnya memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi tetapi memiliki resiko tinggi terjadinya kekambuhan.

http://medicastore.com/penyakit/308/Limfoma_Non-Hodgkin.html

Dasar Diagnosis Berdasarkan Klasifikasi Leukemia Terkait Dengan Mekanisme dan Manifestasi Klinis
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal (Baldy, 2006). Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mielogenosa (Guyton and Hall, 2007). Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1: Ny. Kassian DL, 42 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan lemas, pucat, mudah capai, kadang panas, yang sudah dirasakan sejak 6 bulan terakhir. Akhir-akhir ini sering disertai perdarahan lewat hidung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: pucat, gizi kesan kurang. Suhu aksiler 38,5 C, nadi 108 kali/menit, irama teratur, tekanan darah 124/78 mmHg, frekuensi nafas 18 kali/menit. Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, papil lidah atrofi, tidak ditemukan pembengkakan gusi. Terdapat limfadenopati leher, pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 7,5 g/dL; jumlah leukosit 24.500/mm3; jumlah trombosit 67 x 103/mm3. Penderita dianjurkan dirujuk ke rumah sakit. B. RUMUSAN MASALAH Apakah penyakit yang diderita oleh pasien? Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus? Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien? C. TUJUAN PENULISAN Mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien. Mengetahui penyebab pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus. Mengetahui penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien.

D. MANFAAT PENULISAN Mahasiswa mampu menjelaskan konsep patogenesis dan patofisiologi penyakit hematologi. Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit hematologi. Mahasiswa mampu menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit hematologi. Mahasiswa mampu merancang manajemen penyakit hematologi secaraa komprehensif. F. HIPOTESIS Pasien dalam kasus mengalami leukemia. Hal ini ditandai dengan adanya gejala trias leukemia yang berupa 1) anemia; 2) leukositosis; dan 3) trombositopenia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Etiologi Leukemia Walaupun penyebab dari leukemia tidak diketahui, predisposisi genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan (Baldy, 2006). Diduga hal ini dapat disebabkan oleh interaksi sejumlah faktor, diantaranya 1) Neoplasia; 2) Infeksi; 3) Radiasi; 4) Keturunan; 5) Zat kimia; dan 6) Perubahan kromosom (Hoffbrand and Petit, 1996). Klasifikasi Leukemia
t: translokasi *sel null: limfosit yang kekurangan sel B (immunoglobulin membrane) atau penanda sel T (pembentukan rosette-E) Badan auer: badan berwarna merah yang terlihat dalam sitoplasma mieloblas yang khas pada leukemia mielogenosa akut CD10: dahulu cALLa (antigen LLA yang lazim)kompleks glikoprotein membran permukaan yang jelas dibawa oleh 70% limfoblas leukemia sel bukan-T

(Baldy, 2006) Klasifikasi besar adalah leukemia akut dan kronis. Leukemia akut, dimana terdapat lebih 50% mieloblas atau limfoblas dalam sumsum tulang pada gambaran klinis, lebih lanjut dibagi dalam leukemia mieloid (mieloblastik) akut (AML) dan leukemia limfoblastik akut (ALL).

Leukemia kronis mencakup dua tipe utama, leukemia granulositik (mieloid) kronis (CGL/CML) dan leukemia limfositik kronis (CLL). Tipe kronis lain termasuk leukemia sel berambut, leukemia prolimfositik, dan berbagai sindroma mielodisplastik, yang sebagian dianggap sebagai bentuk leukemia kronis dan lainnya sebagai pre-leukemia (Hoffbrand and Petit, 1996). Leukemia limfositik disebabkan oleh produksi sel limfoid yang bersifat kanker, biasanya dimulai di nodus limfe atau jaringan limfositik lain dan menyebar ke daerah tubuh lainnya. Leukimia mielogenosa dimulai dengan produksi sel mielogenosa muda yang bersifat kanker di sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, sehingga leukosit diproduksi di banyak organ ekstramedular, terutama di nodus limfe, limpa, dan hati (Guyton and Hall, 2007). Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia Hematologi rutin dan Hitung darah lengkap digunakan untuk mengetahui kadar Hb-eritrosit, leukosit, dan trombosit. Apus darah tepi digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk, ukuran, maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum tulang, apakah terdapat kelainan atau tidak. Karyotipik digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH (Flurosescent In Situ Hybridization). Immunophenotyping mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi yang spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel. Sitokimia merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik daripada hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang. Analisis sitogenetik digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang pada leukemia dibagi menjadi 2: kelainan yang

menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom. Biologi molekuler mengetahui kelainan genetik, dan digunakan untuk menggantikan analisis sitogenetik rutin apabila gagal. (Sudoyo et.al, 2007). Patogenesis dan Patofisiologi Leukemia Populasi sel leukemik ALL dan banyak AML mungkin diakibatkan proliferasi klonal dengan pembelahan berturut-turut dari sel blas tunggal yang abnormal. Sel-sel ini gagal berdiferensiasi normal tetapi sanggup membelah lebih lanjut. Penimbunannya mengakibatkan pertukaran sel prekursor hemopoietik normal pada sumsum tulang, dan akhirnya mengakibatkan kegagalan sumsum tulang. Keadaan klinis pasien dapat berkaitan dengan jumlah total sel leukemik abnormal di dalam tubuh. Gambaran klinis dan mortalitas pada leukemia akut berasal terutama dari neutropenia,

trombositopenia, dan anemia karena kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand and Petit, 1996). Blokade maturitas pada AML menyebabkan terhentinya diferensiasi selsel mieloid pada sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan

mengakibatkan gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia). Selain itu, infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang diinfiltrasi, misalnya kulit, tulang, gusi, dan menings (Kurnianda, 2007). Pada umumnya gejala klinis ALL menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh

pasien ALL, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis ALL (Fianza, 2007). CGL/CML adalah penyakit gangguan mieloproliferatif, yang ditandai oleh seri grabulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit. Pada awalnya, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau keluhan lain yang tidak spesifik, seperti rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam, dan penurunan berat badan yang berlangsung lama. Semua akibat keluhan tersebut sel-sel merupakan gambaran dan

hipermetabolisme

proliferasi

leukemia.

Anemia

trombositopenia terjadi pada tahap akhir penyakit (Fadjari, 2007). CLL pada awal diagnosis, kebanyakan pasien CLL tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien adalah limfadenopati generalisata, penurunan berat badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan/olahraga. Demam, keringat malam, dan infeksi jarang terjadi pada awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan dengan penyakitnya. Akibat penuumpukan sel B neoplastik, pasien mengalami limfadenopati,

splenomegali, dan hepatomegali. Kegagalan sumsum tulang yang progresif pada CLL ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia (Rotty, 2007). Penatalaksanaan Leukemia Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade adalah pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini, pengobatan yang lain tersedia terbatas tetapi penggunaannya meningkat, dengan kemajuan dalam uji klinis, yang dikenal sebagai Biological. Kelompok obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami atau disintesis dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000). Biological dianggap menjaga sel induk hematopoietik dan oleh karena itu kurang toksik dan bersifat kuratif (Baldy, 2006).

Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak kapasitas sel untuk reproduksi. Tujuan terapi sitotoksik mula-mula menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi populasi sel leukemik yang tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi siklik dua, tiga atau empat obat. Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan kembali (differential regrowth pattern) sel hemopoietik normal dan sel leukemik. Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk memulihkan sistem hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh tubuh dan kemoterapi intensif diberikan dalam usaha membunuh semua leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996). Terapi ALL dibagi menjadi: Induksi remisi Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan Lasparaginase. Intensifikasi atau konsolidasi Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang dipakai. Profilaksis SSP Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi. Pemeliharaan jangka panjang Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2 tahun (Fianza, 2007).

BAB III PEMBAHASAN


Apakah penyakit yang diderita oleh pasien? Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium yang ada, pasien menderita leukemia. Namun jenis leukemia yang diderita belum dapat dipastikan lebih lanjut, karena masih

membutuhkan beberapa pemeriksaan lain seperti morfologi sel darah melalui pemeriksaan apusan darah, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, analisis sitogenetik, serta immunophenotyping. Untuk diagnosis sementara sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang seperti diatas, manifestasi klinis yang ada lebih merujuk ke arah leukemia limfoblastik. Perkembangan penyakit, yaitu dalam 6 bulan telah menimbulkan gejala hepatomegali dan splenomegali merujuk ke arah leukemia akut. Selain itu anemia dan trombositopenia pada leukemia kronis timbul pada stadium akhir penyakit. Padahal, stadium akhir leukemia kronik dicapai setelah penyakit berjalan selama bertahun-tahun. Sementara, dalam kasus, anemia dan

trombositopenia terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan. Kemudian tidak adanya pembengkakan gusi mungkin dapat menjadi salah satu petunjuk bahwa pasien tidak mengalami leukemia limfoblastik akut (AML). Jadi, kesimpulan yang didapatkan dari kasus, pasien mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL). Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti terdapat dalam kasus? Lemas, mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi (aksiler 38,5C), dan gizi kesan kurang. Disebabkan oleh hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel leukemia. Semua cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang ganas, sehingga semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin berkurang, akibatnya gizi pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan lain penyebab penurunan status gizi pasien adalah anemia dan gangguan oksigenasi jaringan. Peningkatan aktivitas seluler yang terjadi mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan mekanisme pengaturan suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya demam adalah adanya infeksi. Walaupun selsel leukosit yang berperan dalam sistem imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan sel imun jenis apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh. Fenomena ini disebut dengan leukopenia fungsional.

Perdarahan lewat hidung dan trombositopenia (trombosit 67 x 10 /mm3 [normal 1,5-3 x 105/mm3]). Akibat dari terjadinya penekanan hematopoiesis lainnya di sumsum tulang, maka produksi trombosit menurun. Padahal, trombosit berperan penting dalam sistem hemostasis primer. Jika trombosit berkurang, maka akan terjadi perdarahan yang waktunya lebih panjang daripada jika kondisi dan jumlah trombositnya normal. Kapiler pada keadaan normal memang sering mengalami ruptur, tetapi hal ini dapat cepat diatasi oleh sistem hemostasis primer, yaitu trombosit. Jika terjadi trombositopenia maka salah satu gejala yang timbul adalah perdarahan hidung akibat pecahnya dinding kapiler. Takikardi (108x/menit [normal 60-100/menit]), konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, dan anemia (Hb 7,5 g/dl [normal 12-16 g/dl]). Serupa dengan trombositopenia, anemia yang timbul terjadi akibat penekanan hematopoietik oleh sel-sel leukemik pada sumsum tulang. Akibatnya timbul manifestasi klinis khas anemia seperti di atas. Takikardi timbul akibat kerja keras jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen jaringan karena kuantitas hemoglobin (Hb) yang rendah dengan mekanisme mempercepat jalannya aliran darah. Kuantitas Hb yang rendah mengakibatkan central pallor eritrosit berwarna pucat. Hal inilah yang kemudian direpresentasikan oleh berbagai jaringan tubuh, misalnya konjungtiva, bantalan kuku, telapak tangan, serta membran mukosa mulut. Atrofi papil lidah mungkin saja terjadi akibat cedera sel papila akibat kekurangan oksigen yang terjadi akibat anemia yang diderita oleh pasien. Limfadenopati leher. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan dalam memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan menyebabkan timbulnya rasa sakit (pathy). Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2) akibat anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan yang paling mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan hepar. Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun,
3

dalam kasus ini, kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam limpa/splen. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus? Berdasarkan kesimpulan, pasien dalam kasus menderita leukemia limfositik akut (ALL). Sehingga penatalaksanaan pasien dalam kasus lebih difokuskan pada terapi untuk ALL. Terapi ALL itu sendiri meliputi induksi remisi, intensifikasi atau konsolidasi, profilaksis SSP, dan pemeliharaan jangka panjang.

BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pemeriksaan yang didapatkan sementara dan manifestasi klinis yang ada, pasien dalam kasus mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL). B. SARAN Sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan lanjutan untuk menentukan jenis leukemia yang diderita, agar rencana penatalaksanaan dapat ditentukan sesegera mungkin. Pemeriksaan lanjutan minimal yang dilaksanakan sebaiknya pemeriksaan morfologi sel darah dan aspirasi sumsum tulang.

You might also like