You are on page 1of 41

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DEWASA DENGAN UROLITHIASIS (BATU GINJAL)

OLEH : I WAYAN DEDY SURYA ADI TANAYA (0902105026)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013

KONSEP DASAR PENYAKIT UROLITHIASIS

1.

DEFINISI Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah (Brunner and Suddatrh, 2002). Urolithiasis/Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu salaran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2003). Urolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff, 1999). Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, dan buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra. Batu saluran kemih terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Batu saluran kemih (urolitiasis) bersifat idiopatik, dapat menimbulkan statis, dan infeksi. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimptomatik. Ukurannya sangat bervariasi dari deposit granuler yang kecil yang disebut pasir atau kerikil, sampai batu sebesar kandung kemih yang berwarna oranye. Perbedaan letak batu akan berpengaruh pada keluhan penderita dan tanda/gejala yang menyertainya. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998).

Jadi Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penyumbatan oleh penumpukan oksalat, kalkuli ( batu ginjal ), yang terbentuk di tubuli ginjal dan kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan ureter.

Gambar 1. Urolithiasis

2.

EPIDEMIOLOGI Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Sama halnya dengan Eropa, di negaranegara berkembang penyakit ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya di Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir. Batu saluran kemih menduduki gangguan sistem kemih ketiga terbanyak setelah infeksi saluran kemih dan BPH (Yayan Akhyar, 2008). Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak. Pada negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Pada suku bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika Selatan (Aprelia, 2011). Di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 12 % penduduk menderita batu saluran kemih (Basuki, 2000). Jika disajikan dalam bentuk perbandingan maka prevalensirisiko terjadinya urolithiasis adalah arab > kulit putih > asia > afrika dengan jumlah 1-5% di Asia, 5-9% di Eropa, 13% di Afrika Utara, dan 20% in Saudi Arabia. Sedangkan di indonesia sendiri diperkirakan setiap tahunnya penderita batu saluran kemih bertambah

877 jiwa dengan perbandingan Laki-laki : wanita = 3:1, dan pada akhir tahun 2010 perbandingannya adalah Laki-laki : wanita = 2:1. Batu kalsium dan asam urat lebih banyak diderita laki-laki, sedangkan insidensi batu struvit lebih tinggi dialami wanita. Puncak kejadian uretrolithiasis yaitu di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. (Nugroho, Ditto. 2009). Menurut Brunner & Suddarth ( 2002 ), batu ginjal terutama pada dekage ketiga atau kelima kehidupan dan lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Sekitar 50% pasien dengan batu ginjal tungggal akan mengalami kembali episode ini dalam waktu 10 tahun. Batu terutama mengandung kalsium atau magnesium dalam kombinasinya dengan fosfat atau oksalat. Kebanyakan batu adalah radipaq dan mudah dideteksi melalui sinar X.

3.

ETIOLOGI Etiologi pembentukan batu saluran kemih meliputi terbentuknya batu dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu cenderung terjadi pada pasien dehidrasi). Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor intrinsik, meliputi: a) Herediter : diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi. b) Umur : paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun. c) Jenis kelamin : jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita. Faktor ekstrinsik, meliputi: a) Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu). b) Iklim dan temperature : pada mereka yang setiap hari bekerja outdoor atau di ruang bermesin yang panas, kurang minum, maka akan cepat menimbulkan efek perubahan keasaman dan kebasaan pada urine. c) Asupan air dan dehidrasi : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Kurangnya cairan tubuh yang menyebabkan produksi air seni sedikit dan pekat.

d) Diet : diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih. e) Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life). Disamping itu, terdapat pula beberapa factor lain yang mempengaruhi sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) Idiopatik Peningkatan konsentrasi kalsium dalam darah ( hiperkalsemia ). Peningkatan konsentrasi kalsium dalam urine ( hiperkalseuria ). Malignasi. Masukan Vitamin D dan susu dan alkali yang berlebihan. Penyakit granulomatosa (sarkoidosis dan tuberkulosis) yang menyebabkan peningkatan produksi vitamin D oleh jaringan granulomatosa. g) Penyakit mieloproliperatif (leukimia, polisitemia, mieloma multipel) yang menyebabkan proloferasi abnormal sel sel darah merah dari sumsum tulang. h) i) Gangguan aliran kemih. Faktor infeksi, dimana penyebab tersering dari infeksi ini adalah adanya Escherichia Coli dan Proteus mirabilis. j) k) Hyperparathiroidisme dan penyakit metabolic bawaan. Tirah baring yang lama (Anonim, www.detikhealth.com/konsultasi/ urologi/html, 07 Oktober 2003). Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit imflamasi usus dan pada individu dengan iliostomi atau reseksi usus, karena individu mengabsorbsi oksalat secara berlebihan (Brunner and Suddatrh, 2002). Menurut Aprelia ( 2011 ) beberapa faktor yang menjadi etiologi pembentukan batu, antara lain meliputi: a. Hiperkalsiuria Kelainan ini dapat menyebabkan hematuria tanpa ditemukan pembentukan batu. kejadian hematuria diduga disebabkan kerusakan jaringan lokal yang dipengaruhi oleh ekskresi kalsium dalam air kemih dengan atau tanpa faktor risiko lainnya, ditemukan pada setengah dari pembentukan batu kalsium idiopatik. Kadar kasium urine lebih dari 250-300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.

b. Hiposituria Suatu penurunan ekskresi inhibitor perbentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat merupakan suatu mekanisme lain untuk timbulnya batu ginjal. Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama. c. Hiperurikosuria Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium. Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen. d. Penurunan jumlah air kemih Keadaan ini biasanya disebabkan masukan cairan yang sedikit. selanjutnya dapat menimbulkan pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih. e. Hiperoksaluria Merupakan kenaikan ekskresi oksalat di atas normal. ekskresi oksalat air kemih normal di bawah 45 mg/hari (0,5 mmol/hari), dimana banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam. f. Hipomagnesiuria Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium dengan oksalat. g. ISK Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme pemecah urea (Proteus mirabilis). h. Dehidrasi Kurangnya cairan tubuh yang menyebabkan produksi air seni sedikit dan pekat. Pada mereka yang setiap hari bekerja di udara terbuka (petani, pekerja lapangan) atau di ruang mesin yang panas, terutama yang kurang minum, akan cepat menimbulkan efek perubahan keasaman atau kebasaan air seni. Masalahnya, di sini faktor penghambat pembentukan batu jadi berkurang atau hilang sama sekali.

Beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal antara lain: a. Gaya hidup Penyakit gagal ginjal juga banyak dipengaruhi makanan. Semakin makmur suatu masyarakat, semakin banyak terjadi endapan batu pada ginjal, dibandingkan pada kandung kemih. Konsumsi minuman dan makanan yang kurang higienis memicu terjadinya air seni pekat, sehingga memudahkan terbentuknya infeksi atau kristal batu pada kandung kemih. Sebaliknya pola makan masyarakat maju yang cenderung memilih makanan berkadar kalsium-oksalat (misalnya makanan dengan olahan bahan susu, minuman cola, makanan bergaram tinggi, makanan manis, vitamin C dosis tinggi, kopi, teh kental, dll.), serta asam urat (tinggi protein), memudahkan terbentuknya endapan pada piala ginjal karena konsentrasi air seni cepat meningkat. Konsumsi vitamin C dan D dosis tinggi pada seseorang yang secara genetik berbakat, akan memudahkannya terserang penyakit ini. Pada orang berbakat batu, mengkonsumsi 100-300 mg vitamin C setiap hari, memudahkan terbentuknya batu. Hal ini disebabkan vitamin C mengandung kalsium oksalat tinggi. Vitamin D dosis tinggi juga dapat menyebabkan absorbsi kalsium ke dalam usus meningkat. Obat sitostatik untuk penyakit kanker pun memudahkan pembentukan batu karena meningkatkan asam urat. Jenis minuman yang dikonsumsi juga berpengaruh dalam pembentukan batu ginjal. minuman soft drink lebih dari 1 liter per minggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan risiko penyakit batu. Kejadian ini tidak jelas, tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan ekskresi asam urat dalam air kemih serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Jus apel dan jus anggur juga dihubungkan dengan peningkatan risiko pembentukan batu saluran kemih. b. Lingkungan Faktor lingkungan yang paling berpengaruh adalah suhu. Penduduk yang tinggal di wilayah yang suhunya dingin akan cenderung sedikit minum, sehingga produksi urin menjadi pekat dan sedikit. c. Imobilitas Terjadi peningkatan kalsium dalam urine karena mobilisasi kalsium tulang akibat seseorang tidak lagi bisa bergerak karena sakit lumpuh.

4.

PATOFISIOLOGI Batu dapat ditemukan disetiap bagian ginjal sampai kekandung kemih dan ukuran bervariasi dari defosit granuler yang kecil yang disebut pasir atau kerikil, sampai batu sebesar kandung kemih yang berwarna oranye. Faktor tertentu yang mempengaruhi pembentukan batu, mencakup infeksi, statis urine, periode immobilitas. Factor-faktor yang mencetuskan peningkatan konsentrasi kalsium dalam darah dan urine, menyebabkan pembentukan batu kalsium. Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat, asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan fosfat biasanya juga idiopatik, di antaranya berkaitan dengan sindrom alkali atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum. Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu asam urat dapat dijumpai pada penyakit Gout, sedangkan batu urat pada anak terbentuk karena pH urin yang rendah. Batu struvit mengacu pada batu infeksi dan terbentuk dalam urine yang kaya ammonia alkalin persisten. Batu urinarius dapat terjadi pada inflamasi usus atau ileostomi. Batu sistin terjadi pada pasien yang mengalami penurunan efek absorbsi sistin (asam ammonia) turunan. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan benda asing. Infeksi, stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus. Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu (R. Sjamsuhidajat, 1998). Pembentukan batu di ureter vesica urinaria menyebabkan meningkatnya peristaltik pada ureter yang mendesak ureter dan vesica urinaria. Hal ini akan merangsang respon saraf simpatis dan parasimatis untuk mengirimkan sinyal ke pusat mual muntah ke medulla oblongata (CTZ). Batu saluran kemih yang berukuran kecil dapat lolos melewati filtrasi saluran kemih dan akan dikeluarkan bersama urine, berkemih yang disertai dengan adanya kristal kristal batu pada air seni dapat menimbulkan rasa nyeri dan ansietas pada klien. Batu saluran kemih juga menyebabkan penyempitan pada saluran kemih klien, penyempitan tersebut menyebabkan terjadinya penekanan pada dinding saluran kemih. Gesekan batu yang menekan dinding saluran kemih yang terjadi terus menerus dapat melukai kapiler kapiler pada dinding saluran kemih sehingga terjadilah perdarahan minor yang menimbulkan urine yang mengandung darah. Penekanan batu

saluran kemih pada dinding saluran kemih juga dapat merusak dinding saluran kemih sehingga akan menimbulkan respon dari saraf nyeri (free nerve ending) yang terdapat disana, itu juga menyebabkan klien nantinya akan mengeluh nyeri. Batu saluran kemih yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih juga dapat menyebabkan penurunan volume urine yang dikeluarkan , sehingga dapat terjadi kerusakan eliminasi urine. Beberapa teori pembentukan batu adalah : a) Teori Nukleasi Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikelpartikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih. b) Teori Matriks Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) yang merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu. c) Penghambatan kristalisasi Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih (Basuki, 2000).

5.

KLASIFIKASI Menurut Aprelia ( 2011 ) komposisi yang menyusun batu ginjal adalah batu kalsium (80%) dengan terbesar berbentuk kalsium oksalat dan terkecil berbentuk kalsium fosfat. Adapun macam-macam batu ginjal dan proses terbentuknya, antara lain: a. Batu Oksalat/Kalsium Oksalat Asam oksalat di dalam tubuh berasal dari metabolisme asam amino dan asam askorbat (vitamin C). Asam askorbat merupakan prekursor oksalat yang cukup besar, sejumlah 30%, 50% yang lain dikeluarkan sebagai oksalat urine. Manusia tidak dapat melakukan metabolisme oksalat, sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Jika terjadi gangguan fungsi ginjal dan asupan oksalat berlebih di tubuh (misalkan banyak mengkonsumsi nenas), maka terjadi akumulasi okalat yang memicu terbentuknya batu oksalat di ginjal/kandung kemih. b. Batu Struvit Batu struvit terdiri dari magnesium ammonium fosfat (struvit) dan kalsium karbonat. Batu tersebut terbentuk di pelvis dan kalik ginjal bila produksi ammonia

bertambah dan pH urin tinggi, sehingga kelarutan fosfat berkurang. Hal ini terjadi akibat infeksi bakteri pemecah urea (yang terbanyak dari spesies Proteus dan Providencia, Peudomonas eratia, semua spesies Klebsiella, Hemophilus, Staphylococus, dan Coryne bacterium) pada saluran urin. Enzim urease yang dihasikan bakteri di atas menguraikan urin menjadi amonia dan karbonat. Amonia bergabung dengan air membentuk amonium sehingga pH urine makin tinggi. Karbon dioksida yang terbentuk dalam suasana pH basa/tinggi akan menjadi ion karbonat membentuk kalsium karbonat. Batu struvit (campuran dari magnesium, amoniak dan fosfat) juga disebut batu infeksi karena batu ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi. Ukuran batu bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai yang sebesar 2.5 sentimeter atau lebih. Batu yang besar disebut kalkulus staghorn. Batu ini mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan kalises renalis. c. Batu Urat Batu urat terjadi pada penderita gout (sejenis rematik). Batu urat dapat juga terbentuk karena pemakaian urikosurik (misal probenesid atau aspirin). Penderita diare kronis (karena kehilangan cairan, dan peningkatan konsentrasi urine) serta asidosis (pH urin menjadi asam sehingga terjadi pengendapan asam urat) dapat juga menjadi pemicu terbentuknya batu urat. d. Batu Sistina Sistin merupakan asam amino yang kelarutannya paling kecil. Kelarutannya semakin kecil jika pH urin turun/asam. Bila sistin tak larut akan berpresipitasi (mengendap) dalam bentuk kristal yang tumbuh dalam sel ginjal/saluran kemih membentuk batu. e. Batu Kalium Fosfat Batu ginjal berbentuk batu kalium fosfat dapat terjadi pada penderita hiperkalsiurik (kadar kalsium dalam urine tinggi). Batu kalium fosfat juga dapat terjadi karena asupan kalsium berlebih (misal susu dan keju) ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan adanya endapan kalium di dalam tubuh yang akan menyebabkan timbulnya batu ginjal.

Batu yang terbentuk di ginjal dapat menetap pada beberapa tempat di bagian ginjal, seperti di kalix minor atas dan bawah, di kalix mayor, di daerah pyelum, dan di ginjal bagian atas (up junction). Berikut ini adalah klasifikasi berdasarkan posisi batu saluran ginjal: a) Batu di kalix minor atas : batu ini kemungkinan silent stone dengan symptom stone. b) Batu di kalix monir bawah : batu yang terdapat pada bagian ini biasanya merupakan batu koral (staghorn stone) dan berbentuk seperti arsitektur dari kalices. Batu ini makin lama akan bertambah besar dan mendesak pharencim ginjal sehingga pharencim ginjal semakin menipis. Jadi batu ini potensial berbahaya bagi ginjal. c) Batu di kalix mayor : jenis batu ini adalah batu koral (staghorn stone), tetapi tidak menyumbat. Batu pada daerah ini sering tidak menimbulkan gejala mencolok / akut, tetapi sering ditemukan terjadinya pielonefritis karena infeksi yang berulang-ulang. Batu ini makin lama akan semakin membesar dan mendesak pharencim ginjal sehingga pharencim ginjal akan semakin menipis dan berbahaya bagi ginjal. d) Batu di pyelum ginjal : batu-batu ini kadang-kadang dapat menyumbat dan menimbulkan infeksi sehingga dapat menyebabkan kolik pain dan gejala lain. Tindakan pengobatannya sebaiknya dilakukan dengan pengangkatan batu ginjal, karena batu dapat tumbuh terus ke dalam kalix mayor sehingga tindakan operasi nantinya akan lebih sulit untuk dilaksanakan. e) Batu di atas Up Junction : daerah up junction merupakan salah satu tempat penyempitan ureter yang fisiologis, sehingga besarnya batu diperkirakan tidak dapat melalui daerah tersebut. f) Batu ureter : tanda dan gejalanya adalah secara tiba-tiba timbul kolik pain mulai dari pinggang hingga testis pria atau ovarium pada wanita, pada posisi apapun klien sangat kesakitan, kadang-kadang disertai perut kembung, nausea, muntah, gross hematuria. g) Batu buli-buli : batu buli-buli terdapat pada semua golongan umur dari anak sampai orang dewasa.

6.

GEJALA KLINIS Adanya batu dalam traktius urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika betu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi dan sistisis yang disertai menggigil, demam, dan disuria dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan

merusak unit fungsional ginjal. Sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar biasa dan menyebabkan ketidaknyamanan. Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus menerus diarea konstovertebral. Bila nyeri mendadak menjadi akut disertai nyeri tekan diseluruh area kosto vertebral dan muncul mual dah muntah, maka pasien sedang mengalami kolik renal.Batu saluran kemih pada ureter menimbulkan gerakan pristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan. Klien akan merasa selalu ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasive batu. Batu yang terjebak dikandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis. Batu yang terjebak di kandung kemih menyebabkan gejala iritasi. Jika batu menyebabkan obstruksi akan menyebabkan terjadinya retensio urine.Hematuria dan piuria dapat dijumpai. Diare dan ketidak nyamanan abdominal juga dapat terjadi karena reflek renointestinal ginjal ke lambung dan usus besar (Basuki, 2000). Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain (Sjamsuhidrajad, 2004) : Tidak ada gejala atau tanda. Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral. Hematuria makroskopik atau mikroskopik. Pielonefritis dan/atau sistitis. Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing. Nyeri tekan kostovertebral. Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan. Gangguan faal ginjal. Menurut Aprelia ( 2011 ) Gejala yang lebih nyata dari urolitiasi/batu ginjal ini seperti sakit atau pegal pinggang bawah yang kadang-kadang terasa sampai ke perut depan bawah, terjadi kolik (sumbatan mendadak pada saluran atau ureter yang mengakibatkan sakit luar biasa karena batu tajam yang turun ke saluran menyebabkan mengembangnya

saluran) yang sering diiringi muntah dan berkeringat banyak. Gejala lainnya adalah perut membesar, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter. Bila batu menyangkut di kandung kemih, dapat timbul nyeri pada daerah atas kemaluan saat buang air kecil, buang air kecil tidak tuntas dan pancaran air seni tidak kuat.

7.

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan ini dilakukan bersama dengan pemeriksaan abdomen yang lain dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Ginjal Inspeksi : dengan posisi duduk atau supine dilihat adanya pembesaran di daerah pinggang atau abdomen sebelah atas, asimetris ataukah adanya perubahan warna kulit. Pembesaran pada daerah ini dapat disebabkan karena hidronefrosis atau tumor pada retroperitonium. Auskultasi : dengan menggunakan belt dari stetoskop di atas aorta atau arteri renal untuk memeriksa adanya bruit. Adanya bruit di atas arteri renal dapat disebabkan oleh gangguan aliran pada pembuluh darah seperti stenosis atau aneurisma arteri renal. Palpasi : palpasi pada ginjal dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan, tangan kiri diletakkan di sudut kosta-vertebra untuk mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba dari depan dengan sedikit menekan ke bawah (pada ginjal kanan), bagian bawah dapat teraba pada orang yang kurus. Adanya pembesaran pada ginjal seperti tumor, kista atau hidronefrosis biasa teraba dan terasa nyeri. Ureter tidak dapat dipalpasi, tetapi bila terjadi spasme pada otot-ototnya akan menghasilkan nyeri pada pinggang atau perut bagian bawah, menjalar ke skrotum atau labia. Adanya distensi bulibuli akan teraba pada area di atas simphisis atau setinggi umbilikus, yang disebabkan adanya obstruksi pada leher buli-buli. Perkusi : dengan memberikan ketokan pada sudut kostavertebra, adanya

pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau tumor ginjal akan terasa nyeri ketok. Pada buli-buli diketahui adanya distensi karena retensi urine dan terdengar redup, dapat diketahui batas atas buli-buli serta adanya tumor/massa. Uretra Inspeksi : pada daerah meatus dan sekitarnya diketahui adanya discharge, darah, mucus, atau drainase purulen. Kulit dan membran mukosa dilihat adanya lesi,

rash , atau kelainan pada penis atau scrotum, labia atau vagina. Iritasi pada uretra biasanya dilaporkan dengan adanya rasa tidak nyaman saat klien miksi. Dapat terlihat perbesaran pada abdomen bawah bagian belakang. Palpasi: Saat dilakukan penekanan, klien mengeluh nyeri.

8.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan sebagai berikut: a. Urinalisis Secara umum menunjukkan SDM (sel darah merah), SDP (sel darah putih), kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan mineral, bakteri, pus. pH mungkin asam (meningkatkan sistin, dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat). Warna urin mungkin ditemukan kuning, coklat gelap, berdarah/merah, dimana merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor, kegagalan ginjal). PH : normal 4,6 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat). Urine 24 jam : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat, kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing . BUN hasil normal 5 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang nitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl dan perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis. b. Urine (24 jam) Urine 24 jam dapat menunjukkan peningkatan kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin. c. Kultur Urine Kultur urine mungkin dapat menunjukkan ISK (Staphilococcus aureus, Proteus, Klebsiela, atau Pseudomonas). d. Survei Biokimia

Untuk mengetahui adanya peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein, dan elektrolit. e. BUN/kreatinin serum dan urin Keadaan yang abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urin) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia / nekrosis. f. Kadar Klorida dan Bikarbonat Serum Peninggian kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. g. Hitung Darah Lengkap SDP mungkin meningkat yang menunnjukkan infeksi / septisemia. SDM biasanya normal. Hb/Ht dapat menjadi abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (perdarahan,

disfungsi/gagal ginjal). Hb dan Ht dapat abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia. h. Hormon Paratiroid Hormon paratiroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin). i. Foto Rontgen KUB (Kidney Ureter Bladder) Dapat menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. j. IVP ( Intra Venous Pyelography ) Dapat memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. k. Sistoureterokopi Merupakan visualisasi langsung kandung kemih dan ureter yang dapat menunjukkan batu dan/atau efek obstruksi. l. Ultrasound Ginjal Dapat untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu. m. Foto polos Untuk mengetahui letak batu terutama yang radiopak. n. Foto pielografi intravena Untuk memperjelas batu radiolusen efek. o. Pielografi retrograde

Dilakukan bila ginjal yang obstruksi mengandung batu tak berfungsi sehingga kontras tak muncul. p. Renogram Untuk menentukan faal ginjal/faal setiap ginjal secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau obstruksi ureter bilateral.

9.

PENATALAKSANAAN a. Mengatasi Gejala (Medikamentosa) Ditujukan untuk batu ginjal yang ukurannya <5 mm, karena batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum dan banyak minum supaya dapat mendorong batu keluar. Batu saluran kemih dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam kolektivus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. nyeri akibat batu saluran kemih dapat dijelaskan melalui dua mekanisme, yaitu: dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor sakit dan iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal disertai edema dan pelepasan mediator sakit. Obat-obatan yang biasa digunakan antara lain: anti spasmodik bila ada kolik, anti mikroba bila ada infeksi, batu kalsium-kalium sitrat dan batu asam urat dengan alopurinol, natrium bikarbonat, asam aksorbal, diuretik thiasid. Pelarutan batu juga dapat dilkukan pada batu asam urat dengan pelarut solutin G. Analgesia untuk meredakan nyeri dapat diberikan untuk memberikan kesempatan batu untuk keluar sendiri. Opioid (injecsi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS (contoh : ketorolac dan naproxen) dapat diberikan, bergantung pada intensitas nyeri. Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotic dilakukan apabila terdapat infeksi sal kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Preparat diuretic tiazida akan mengurangi kandungan kalsium dalam urine dengan menurunkan ekskresi kalsium dalam tubulus ginjal (Chang, Esther, 2009). b. Pengambilan Batu 1) Endourologi Endourologi adalah tindakan di bidang urologi secara invasif minimal untuk mengeluarkan batu saluran kencing dengan menghancurkan batu dengan alat khusus yang dimasukkan melalui uretra atau melalui irisan kecil pada kulit.

Keuntungannya, tidak nyeri, penyembuhan lebih cepat dan waktu rawat inap lebih singkat. Endourologi meliputi litotripsi, percutaneous nephroletomy (PNL), preterorenoscopic, dan ekstraksi dormia. a) Litotripsi Litotripsi yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik. Litotripsi ada beberapa macam antara lain ESWL dan Percutaneous Lithotripsy. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi) Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Sebelum batu ditembak, dilakukan foto rontgen untuk mengetahui posisi batu. Kemudian melalui layar monitor, dicari lagi sasaran yang tepat. Di sini pasien tidak harus dibius. Posisi pasien telentang atau telungkup tergantung letak batu. Setelah tembakan berulang kali tepat sasaran, pecahan batu akan keluar bersama air seni (kencing bercampur darah selama 12 jam). Agar pasien tidak kesakitan tentu proses penembakan tidak boleh dengan tekanan tinggi. Percutaneous Lithotripsy (tusukan pada kulit) Metode percutaneous lithotripsi berupa alat nefroskop (alat teropong mirip bor kecil) yang dilengkapi alat penghantar gelombang getar ultrasosonik, dimasukkan ke dalam ginjal melalui lubang sayatan di panggul. Dengan gelombang getar ultrasonik tersebut, batu dapat dipecahkan dan disingkirkan, kemudian pecahan juga keluar bersama air seni. Mungkin penderita akan merasa nyeri sewaktu kencing keluar melalui kateter karena saluran kencing agak terhalang oleh pecahan batu tadi. Pemecahan batu dengan kedua alat tersebut mengharuskan pasien tinggal di rumah sakit selama 2 - 3 hari sampai kencing jernih kembali. Setelah seminggu pasien bisa kembali aktif. b) Perkutaneus nefrolitomi (PNL) Perkutaneus nefrolitomi yaitu prosedur untuk mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem

kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu. c) URS (Ureterorenoscopic) Memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini. d) Ekstraksi Dormia Yaitu dengan mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya dengan keranjang Dormia.

2) Sinar laser Tipe laser yang digunakan semula adalah tipe pulse dye. Belakangan sejak Agustus 1997 RS PGI Cikini menggunakan laser tipe Ho:Yag atau Holmium asal AS. Caranya, melalui saluran uretra dimasukkan selang fiber mini, yang langsung dapat mengenai batu sasaran. Apabila tipe pulse dye hanya untuk batu ginjal atau kemih saja, tipe Holmium ini lebih multiguna. Misalnya juga untuk pengobatan pembesaran atau infeksi prostat serta tumor jinak kandung kemih. Holmium ini pandai mengatur frekuensi tembakan agar batu tidak terdorong ke atas. Jarak antara selang fiber dengan batu paling-paling hanya 1 mm. Dengan sistem gelombang pulsasi batu dengan segera bisa dipunahkan. Tindakan dengan mesin canggih ini dinilai lebih cepat (1,5 jam untuk batu besar), risiko perdarahan atau kerusakan jaringan sekitarnya hampir tidak ada serta nyeri pascaoperasi dan risiko komplikasi hampir tidak terasa. Penderita tidak perlu menginap di rumah sakit, bisa langsung pulang begitu kesadaran sudah pulih. Komplikasi berupa terasa sedikit demam dan nyeri setelah tindakan, yang bisa diatasi dengan obat antibiotika. Sedangkan terciptanya semacam kepulan debu (perforasi) akibat sistem pulsasi tadi, bisa diatasi dengan mengalirkan terus menerus cairan NaCl fisiologis. Untuk menangani batu pada kantung kemih misalnya, diperlukan pulsasi rata-rata 10-20 kali per detik. Untuk batu saluran kemih (ureter) hanya 5-10 kali per detik. Di sini pasien perlu dibius dan kondisi jantung, paru-paru dan ginjal harus baik agar sasaran tercapai dengan sukses.

3) Pembedahan a) Bedah Laparoskopi Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter. b) Bedah terbuka Bedah terbuka meliputi beberapa klasifikasi, antara lain: Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu berukuran besar (batu staghorn). Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter. Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria. Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra (Aprelia, 2011).

10. KOMPLIKASI Menurut Aprelia ( 2011 ) beberapa komplikasi yang sering terjadi, antara lain: a) Timbul kembali batu ginjal. b) Infeksi saluran urine. c) Penyumbatan pada ureter. d) Kerusakan sebagian jaringan ginjal. e) Menurunnya atau hilangnya fungsi ginjal yang terkena. Akibat obstruksi di ginjal dan ureter dapat terjadi hidronefritis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Bila pada kedua ginjal terkena maka akan timbul uremia karena gagal ginjal. Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal) Menurut Barbara Engram (1999) komplikasi dari batu ginjal adalah : a) Obstruksi ginjal, yang dapat menimbulkan kerusakan permanen bila tidak teratasi. b) Iritasi yang berkepanjangan/keganasan. c) Perdarahan dan Infeksi.

11. PROGNOSIS Prognosis batu sakuran kemih tergantung dari faktor-faktor antara lain: besar batu, letak batu, adanya infeksi, adanya obstruksi. Makin besar batu makin jelek prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan adanya infeksi karena faktor obstruksi akan dapat

menyebabkan penurunan fungsi ginal sehingga prognosisnya makin jelek (Danang, 2008).

12.

PENCEGAHAN Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun. Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah: a) Menghindari terjadinya dehidrasi. b) Diet rendah zat/komponen pembentuk batu saluran kemih. c) Aktivitas harian yang cukup. d) Medikamentosa. e) Minum banyak air (8-10 gelas sehari) agar urin menjadi lebih encer sehingga mengurangi kemungkinan zat-zat pembentuk batu untuk saling menyatu. Dengan minum banyak, air seni biasanya berwarna bening, tidak berwarna kuning. f) Minum air putih ketika bangun tidur di subuh hari. Hal ini akan segera merangsang kita untuk berkemih, sehingga air seni yang telah mengendap semalamam tergantikan dengan yang baru. g) Jangan menahan keinginan untuk berkemih, karena kencing yang tertahan dapat menyebabkan urin menjadi lebih pekat atau infeksi saluran kemih. Urin yang pekat dan infeksi saluran kemih merupakan faktor pendukung terbentuknya batu. h) Pola makan seimbang, berolahraga, dan menjaga berat badan tetap ideal. Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah: a) Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam. b) Rendah oksalat. c) Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria. d) Rendah purin. e) Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DEWASA DENGAN PENYAKIT UROLITHIASIS


1. PENGKAJIAN Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. a. Biodata Klien Meliputi nama, umur (penyakit urolithiasis paling sering didapatkan pada usia 30 sampai 50 tahun), jenis kelamin (urolithiasis banyak ditemukan pada pria dengan perbandingan 3 kali lebih banyak dari wanita), alamat, agama/kepercayaan, pendidikan, suku/bangsa (beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis yang lebih tinggi dari daerah lain), pekerjaan (urolithiasis sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life) (Purnomo, 2000). b. Keadaan Umum Meliputi tingkat kesadaran atau GCS dan respon verbal klien, ada tidaknya defisit konsentrasi, tingkat kelemahan (keadaan penyakit) dan ada tidaknya perubahan berat badan (Black, l993). c. Tanda-tanda Vital Meliputi pemeriksaan: Tekanan darah Pulse rate Respiratory rate Suhu

Tanda vital dapat meningkat menyertai nyeri, suhu (Normal = 36,5o 37,5oC), RR (Normal = 16 20 x/mnt), nadi (Normal = 60-120 x/mnt) meningkat mungkin karena infeksi serta tekanan darah dapat turun apabila nyeri sampai mengakibatkan shock (Ignatavicius, l995). d. Riwayat Keperawatan 1. Keluhan Utama Keluhan utama yang muncul pada klien dengan urolithiasis biasanya adalah nyeri pinggang akibat adanya batu pada ginjal, berat ringannya nyeri tergantung lokasi dan besarnya batu, dapat pula terjadi nyeri kolik/kolik renal yang menjalar ke testis pada pria dan kandung kemih pada wanita. Klien dapat

juga mengalami gangguan saluran gastrointestinal dan perubahan dalam eliminasi urine (Ignatavicius, 1995). 2. Riwayat Kesehatan Sekarang Disamping keluhan utama biasanya klien juga akan melaporkan beberapa keluhan sebagai berikut, seperti : menggigil, demam, dan disuria dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus, sakit yang dalam dan terus menerus diarea konstovertebral, munculnya mual dah muntah, hematuria, nyeri pada saat kencing atau sering kencing. piuria, diare, dan ketidak nyamanan abdominal (Basuki, 2000). 3. Riwayat Kesehatan Dahulu Keadaan atau penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin berhubungan dengan urolithiasis, antara lain infeksi saaluran kemih, hiperparatiroidisme, penyakit inflamasi usus, gout, keadaan-keadaan yang mengakibatkan hiperkalsemia, immobilisasi lama dan dehidrasi (Carpenito, 1995). 4. Riwayat Penyakit Keluarga Beberapa penyakit atau kelainan yang sifatnya herediter dapat menjadi penyebab terjadinya batu ginjal antara lain riwayat keluarga dengan renal tubular acidosis (RTA), cystinuria, xanthinuria dan dehidroxynadeninuria (Munver & Preminger, 2001). e. Riwayat Keperawatan Pola Fungsi Kesehatan Gordon. 1) Persepsi dan pemeliharaan kesehatan Klien biasanya tinggal pada lingkungan dengan temperatur panas dan lingkungan dengan kadar mineral kalsium yang tinggi pada air (Purnomo, 1999). Terdapat riwayat penggunaan alkohol, obat-obatan seperti antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinol dan sebagainya. Aktifitas olah raga biasanya tidak pernah dilakukan. Klien kurang mendapatkan paparan informasi mengenai penyakitnya (Doenges, 1999). 2) Nutrisi/metabolic Terdapat juga ketidakcukupan intake cairan. Adanya gejala mual/muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat, dan atau fosfat, ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup (Doenges, 1999).

3) Eliminasi Pada klien urolithiasis terdapat riwayat adanya ISK kronis, adanya obstruksi sebelumnya sehingga dapat mengalami penurunan haluaran urine, kandung kemih terasa penuh, rasa terbakar saat berkemih, sering berkemih dan adanya diare (Doenges, 1999). Tanda : oliguria, hematuria, piuria, rasa nyeri atau terbakar saat berkemih, dan perubahan pola berkemih. 4) Aktivitas/istirahat Adanya riwayat keterbatasan aktifitas, pekerjaan monoton ataupun

immobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis) (Doenges, 1999). 5) Persepsi, sensori, kognitif Nyeri bisa berupa akut atau nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul, abdomen, dan turun ke lipat paha / genetalia. Nyeri dangkal konstan menunjukkan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat, atau tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain. Klien tampak meringis, melindungi bagian yang nyeri, dan perilaku distraksi. 6) Tidur/istirahat Klien urolithiasis dapat mengalami gangguan pola tidur apabila nyeri timbul pada malam hari atau saat istirahat (Marsorie & Susan, 1984). 7) Persepsi diri/konsep diri Kadang klien dengan urolithiasis dapat mengalami gangguan citra tubuh akibat tanda dan gejala penyakit yang muncul seperti : distensi pada perut. 8) Peran dan hubungan Klien dengan urolithiasis biasanya mengalami gangguan peran dan hubungan jika klien harus dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama. Nyeri yang dirasakan klien juga menyebabkan klien mengalami keterbatasan dalam menjalankan peran dan hubungannya sehari hari dengan lingkungan sekitarnya. 9) Seksual/reproduksi Pada klien dengan jenis kelamin laki laki biasanya akan mengalami gangguan seksual jika batu saluran kemih terdapat pada uretra. Rasa nyeri pada klien dengan urolithiasis umumnya akan mengganggu aktivitas seksual dan reproduksi.

10) Koping/stres adaptasi Pada klien dengan urolitiasis biasanya akan cemas dengan kondisinya, apalagi eliminasi urine tidak teratur , nyeri, urin kadang disertai darah kadang disertai kurangnya paparan informasi yang klien peroleh mengenai penyakitnya akan menimbulkan kecemasan yang meningkat. 11) Nilai dan kepercayaan Klien tidak mengalami gangguan pada pola nilai dan kepercayaannya. f. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan ini dilakukan bersama dengan pemeriksaan abdomen yang lain dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. 1. Ginjal dan ureter Ginjal Inspeksi : dengan posisi duduk atau supine dilihat adanya pembesaran di daerah pinggang atau abdomen sebelah atas, asimetris ataukah adanya perubahan warna kulit. Pembesaran pada daerah ini dapat disebabkan karena hidronefrosis atau tumor pada retroperitonium. Auskultasi : dengan menggunakan belt dari stetoskop di atas aorta atau arteri renal untuk memeriksa adanya bruit. Adanya bruit di atas arteri renal dapat disebabkan oleh gangguan aliran pada pembuluh darah seperti stenosis atau aneurisma arteri renal. Palpasi : palpasi pada ginjal dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan, tangan kiri diletakkan di sudut kosta-vertebra untuk mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba dari depan dengan sedikit menekan ke bawah (pada ginjal kanan), bagian bawah dapat teraba pada orang yang kurus. Adanya pembesaran pada ginjal seperti tumor, kista atau hidronefrosis biasa teraba dan terasa nyeri. Ureter tidak dapat dipalpasi, tetapi bila terjadi spasme pada otot-ototnya akan menghasilkan nyeri pada pinggang atau perut bagian bawah, menjalar ke skrotum atau labia. Adanya distensi buli-buli akan teraba pada area di atas simphisis atau setinggi umbilikus, yang disebabkan adanya obstruksi pada leher buli-buli. Perkusi : dengan memberikan ketokan pada sudut kostavertebra, adanya pembesaran ginjal karena hidronefrosis atau tumor ginjal akan terasa nyeri ketok. Pada buli-buli diketahui adanya distensi karena retensi urine dan

terdengar redup, dapat diketahui batas atas buli-buli serta adanya tumor/massa. Uretra Inspeksi : pada daerah meatus dan sekitarnya diketahui adanya discharge, darah, mucus, atau drainase purulen. Kulit dan membran mukosa dilihat adanya lesi, rash , atau kelainan pada penis atau scrotum, labia atau vagina. Iritasi pada uretra biasanya dilaporkan dengan adanya rasa tidak nyaman saat klien miksi. Dapat terlihat perbesaran pada abdomen bawah bagian belakang. Palpasi: Saat dilakukan penekanan, klien mengeluh nyeri.

2. Sistem integumen Diperiksa adanya perubahan warna, pucat dapat menandakan adanya anemia defisiensi erythropoetin, kuning kemungkinan karena adanya deposit carotene like substance akibat kegagalan ekskresi ginjal. Kulit kering dapat

mengindikasikan adanya gagal ginjal kronik atau kekurangan cairan, adanya ptekie menandakan adanya perdarahan, adanya deposit kristal pada kulit merupakan tanda kegagalan ginjal yang berlangsung lama (Black, l993). 3. Sistem respirasi Dalam beberapa keadaaan, kualitas pernafasan menggambarkan status cairan klien atau keseimbangan asam basa. Pada gagal ginjal pernafasan mungkin berbau urine atau fruit-flavored gum yang menandakan adanya toksin dalam darah (Black, 1993). 4. Sistem kardiovaskuler Pemantauan sistem kardiovaskuler dapat digunakan untuk mengetahui status keseimbangan cairan dan elektrolit dan yang spesifik dengan urinary tract adalah pemeriksaan tekanan darah. Hipertensi dapat ditemukan pada beberapa penyakit ginjal dan mungkin adanya overload cairan atau gangguan sistem reninangiotensin. Tanda : peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal jantung). Kulit hangat dan kemerahan, wajah klien tampak pucat (Black, 1993). 5. Sistem muskuloskeletal Diperiksa pergerakan klien selama pemeriksaan untuk menentukan tonus otot tubuh secara keseluruhan dan menentukan kemampuan fisik klien mengontrol eliminasi urine, otot yang spesifik pada proses ini adalah otot perineal dan abdomen. Klien dianjurkan untuk mengencangkan (kontraksi) otot tersebut yang dapat diketahui dengan cara palpasi (Black, 1993).

6. Sistem neurologi Disfungsi ginjal dapat berpengaruh pada sistem persyarafan. Pada gagal ginjal kronik peningkatan kalsium akan menyebabkan tetani, penurunan kalsium akan menyebabkan kelemahan atau penumpukan toksin. Karena spinkter ani dan spinkter urinari berasal dari cabang persyarafan yang sama maka pada pemeriksaan bila salah satu utuh maka spinkter yang lain juga demikian (Black, 1993). g. Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan sebagai berikut: a. Urinalisis Secara umum menunjukkan SDM (sel darah merah), SDP (sel darah putih), kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan mineral, bakteri, pus. pH mungkin asam (meningkatkan sistin, dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat). Warna urin mungkin ditemukan kuning, coklat gelap, berdarah/merah, dimana merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor, kegagalan ginjal). PH : normal 4,6 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat). Urine 24 jam : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat, kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing . BUN hasil normal 5 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang nitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl dan perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada

serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis. b. Urine (24 jam) Urine 24 jam dapat menunjukkan peningkatan kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin. c. Kultur Urine

Kultur urine mungkin dapat menunjukkan ISK (Staphilococcus aureus, Proteus, Klebsiela, atau Pseudomonas). d. Survei Biokimia Untuk mengetahui adanya peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein, dan elektrolit. e. BUN/kreatinin serum dan urin Keadaan yang abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urin) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia / nekrosis. f. Kadar Klorida dan Bikarbonat Serum Peninggian kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal. g. Hitung Darah Lengkap SDP mungkin meningkat yang menunnjukkan infeksi / septisemia. SDM biasanya normal. Hb/Ht dapat menjadi abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (perdarahan, disfungsi/gagal ginjal). Hb dan Ht dapat abnormal bila pasien dehidrasi berat atau

polisitemia. h. Hormon Paratiroid Hormon paratiroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urin). i. Foto Rontgen KUB (Kidney Ureter Bladder) Dapat menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. j. IVP ( Intra Venous Pyelography ) Dapat memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli. k. Sistoureterokopi Merupakan visualisasi langsung kandung kemih dan ureter yang dapat menunjukkan batu dan/atau efek obstruksi. l. Ultrasound Ginjal Dapat untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

m. Foto polos Untuk mengetahui letak batu terutama yang radiopak. n. Foto pielografi intravena Untuk memperjelas batu radiolusen efek. o. Pielografi retrograde Dilakukan bila ginjal yang obstruksi mengandung batu tak berfungsi sehingga kontras tak muncul. p. Renogram Untuk menentukan faal ginjal/faal setiap ginjal secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau obstruksi ureter bilateral.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL (BERDASARKAN PRIORITAS) Berdasarkan pathway , maka didapatkan beberapa diagnose yaitu : a. Diagnosa Pre OP 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik karena robeknya jaringan viseral dari bagian bagian ginjal yang terdapat batu yang ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, RR lebih dari normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD meningkat (Normal = 120/80mmHg), klien terlihat meringis, klien melindungi bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien menunjukkan perilaku distraksi. 2) Kerusakan eliminasi urin yang berhubungan dengan obstruksi anatomik karena adanya batu pada saluran kemih yang ditandai dengan klien mengalami disuria, mengalami keraguan berkemih, urin yang dikeluarkan sedikit. 3) Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan karena pengeluaran urine yang abnormal yang ditandai dengan urin yang bercampur darah dan saat miksi urine keluar bersama dengan batu kristal yang ditandai dengan mengatakan seacra verbal tentang kecemasan, kekawatiran yang berlebihan, gangguan tidur. 4) Nausea berhubungan dengan distensi pada abdomen akibat peningkatan peristaltik pada ureter, desakan batu pada ureter dan vesika urinari yang ditandai dengan klien mengatakan secara verbal tentang mual, peningkatan salvias, peningkatan aktivitas menelan. 5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan informasi yang ditandai dengan klien mengungkapkan adanya masalah, klien bertanya tanya mengenai penyakitnya.

b. Diagnosa Post OP 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik karena robeknya jaringan akibat perlukaan untuk tindakan invasif yang menyeababkan terpotongnya /terlukanya saraf free nerve ending (saraf saraf rangsang nyeri) yang ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, RR lebih dari normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD meningkat (Normal = 120/80mmHg), klien terlihat meringis, klien melindungi bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien menunjukkan perilaku distraksi. 2) Risiko Infeksi yang berhubungan dengan prosedur inpasif selama pembedahan.

3. INTERVENSI a. INTERVENSI PRE OP 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi karena robeknya jaringan viseral dari bagian bagian ginjal yang terdapat batu yang ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, RR lebih dari normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD meningkat (Normal = 120/80mmHg), klien terlihat meringis, klien melindungi bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien menunjukkan perilaku distraksi. Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri klien dapat dikontrol dengan kriteria hasil : Pain Control Menjelaskan faktor penyebab nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated) Menggunakan teknik non analgetik untuk mengurangi nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated) Menggunakan demonstrated) Pain Level Pelaporan nyeri, skala 5 (none) Intervensi : Kontrol nyeri : 1. Ajarkan prinsip-prinsip managemen nyeri pada klien seperti distraksi, relaksasi, guided imagery. Rasional : mengalihkan nyeri yang dialami klien. 2. Berikan lingkungan yang nyaman, misalnya tingkat kebisingan, pencahayaan, suhu ruangan. analgetik sesuai rekomendasi, skala 5 (Consistently

Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi. 3. Kurangi atau hilangkan faktor pencetus atau yang meningkatkan nyeri pada klien. Rasional : untuk mengurangi perasaan nyeri yang dialami klien. 4. Delegatif dalam pemberian analgetik, kortikosteroid atau steroid baik topical maupun local. Rasional : Mengurangi rasa nyeri pada area yang sakit Pain Level 1. Kaji skala nyeri serta faktor yang memperberat nyeri klien. Rasional : Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan oleh klien. Bantu klien untuk menilai nyeri dengan membandingkannya dengan pengalaman lain 2. Kaji tanda tanda vital klien, seperti : nadi, RR, dan tekanan darah. Rasional : Peningkatan nilai nadi, RR, dan tekanan darah mengindikasikan nyeri.

2) Kerusakan eliminasi urin yang berhubungan dengan obstruksi anatomik karena adanya batu pada saluran kemih yang ditandai dengan klien mengalami disuria, mengalami keraguan berkemih, urin yang dikeluarkan sedikit. Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan eliminasi urin klien kembali normal dengan kriteria hasil : Urinary Elimination Pola eliminasi, skala 5 (not compromised ) Jumlah urine, skala5 (not compromised ) Warna urine, skala 5 (not compromised) Kejernihan urine, skala 5 (not compromised) Frekuensi berkemih, skala 5 (none) Retensi urine, skala 5 (none)

Intevensi : Urinary Elimination Management 1. Monitor eliminasi urine yang meliputi frekuensi, konsistensi, kejernihan dan ada tidaknya benda asing (batu batu kristal ). bau, volume,

Rasional : abnormalitas yang ditemukan pada proses berkemih dan urine yang dihasilkan dapat menunjukkan progresifitas perjalanan penyakit. 2. Monitor tanda dan gejala adanya retensi urine. Rasional : ketidakmampuan klien dalam mengeluarkan urine secara normal dapat sebagai indikasi pembesaran batu yang ada pada pelvis ginjal, ureter serta vesika urinari klien. 3. Catat waktu terakhir miksi klien. Rasional : sebagai indikator waktu, lamanya retensi urine berlangsung. 4. Berikan obat diuretik, seperti : obat golongan Thiazide. Rasional : pemberian obat ini dapat membantu memperlancar miksi dan mengerus/membawa batu batu kecil bersama keluar bersama urin.

Urinary retention Care 1. Monitor intake dan output klien. Rasional : sebagai indikasi adanya abnormalitas pada proses perkemihan klien. 2. Monitor derajat distensi pada bleder/vesika urinari klien dengan palpasi dan perkusi. Rasional : vesika urinari yang derajat ditensinya tinggi mengindikasikan adanya urine yang tertahan. 3. Kolaborasi pemasangan kateter jika memingkinkan. Rasional : kateter dapat membantu melancarkan pembuangan urine

3) Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan karena pengeluaran urine yang abnormal yang ditandai dengan urin yang bercampur darah dan saat miksi urine keluar bersama dengan batu kristal. Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan kecemasan klien terhadap penyakit klien dapat berkurang dengan kriteria hasil : Anxiety Level Mengatakan secara verbal tentang kecemasan, skala 5 (none) Mengatakan secara verbal tentang ketakutan, skala 5 (none) Kepanikan, skala 5 (none) Anxiety Self Control Mampu mengurangi penyebab cemas, skala 5 ( Consistently demonstrated ) Mengontrol respon cemas, skala 5 ( Consistently demonstrated )

Intervensi : Anxiety Reduction 1. Observasi adanya tanda tanda cemas/ansietas baik secara verbal maupun nonverbal. Rasional : pengungkapan kecemasan secara langsung tentang kecemasan dari klien, dapat menandakan level cemas klien. 2. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang dapat menstimulus kecemasan. Rasional : agar pasien dapat mengatasi dan menanggulangi kecemasan pasien. 3. Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit yang klien derita. Rasional : menambah wawasan klien tentang penyakit klien dapat meningkatkan pengertian klien tentang penyakitnya, sehingga dapat mengurangi kecemasan klien. 4. Ajarkan klien teknik relaxasi, seperti menarik nafas dalam. Rasional : dapat memberi efek ketenangan pada klien. 5. Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat penenang. Rasional : untuk menurunkan ansietas klien yang terjadi secara berlebihan.

4) Nausea berhubungan dengan distensi pada abdomen akibat peningkatan peristaltik pada ureter, desakan batu pada ureter dan vesika urinari yang ditandai dengan klien mengatakan secara verbal tentang mual, peningkatan salivasi, peningkatan aktivitas menelan. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selamax24 jam diharapkan nausea klien dapat berkurang dengan kriteria hasil : Nausea & Vomiting Control Mengenali onset terjadinya mual, dengan skala 5 (consistenly demonstrated) Menjelaskan faktor penyebab mual, dengan skala 5 (consistenly demonstrated) Mampu menggunakan antiemetik yang direkomendasikan, dengan skala 5 (consistenly demonstrated) Nausea & Vomiting Severity Ekskresi saliva yang berlebih, dengan skala 5 (none) Frekuensi nausea, dengan skala 5 (none) Intensitas nausea, dengan skala 5 (none)

Intervensi : Nausea Management 1. Identifikasi faktor penyebab adanya nausea. Rasional : untuk menentukan intervensi yang tepat pada klien. 2. Kurangi faktor risiko terjadinya nausea. Rasional : menurunkan frekuensi nausea dan beratnya nausea. 3. Ajarkan klien untuk tidur dan istirahat yang adekuat untuk mengurangi nausea. Rasional : mengurangi respon mual/nausea pada klien. 4. Ajarkan makan sedikit tapi sering dan dalam kondisi hangat. Rasional : untuk mempertahankan asupan makanan yang adekuat dan mencegah penurunan berat badan akibat penurunan nafsu makan akibat mual. 5. Berikan informasi tentang nausea yang muncul, seperti : penyebab dan lamanya. Rasional : memberikan informasi yang jelas tentang nausea dapat membantu pasien mengatasi nauseanya secara mandiri. 6. Kolaborasi pemberian obat antiemetik yang efektif untuk mencegah mual, jika memungkinkan. Rasional : untuk mengurangi respon mual dan mencegah adanya muntah pada klien

5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan informasi yang ditandai dengan klien mengungkapkan adanya masalah, klien bertanya tanya mengenai penyakitnya. Tujuan : Setelah diberikan Asuhan Keperawatan x 12 jam diharapkan klien memahami proses penyakit yang dideritanya dengan kriteria hasil : Knowledge : Disease Prosess Faktor penyebab penyakit, dengan skala 5 ( extensive Knowledge ) Tanda dan gejala penyakit, dengan skala 5 ( extensive Knowledge ) Efek dari penyakit yang dialami, dengan skala 5 ( extensive knowledge ) Strategi untuk meminimalisir progresifitas penyakitnya, dengan skala 5 ( extensive knowlege ) Intervensi : Teaching : Disease Process 1. Identifikasi tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya. Rasional : agar dapat memberikan HE yang tepat.

2. Berikan informasi ( HE ) tentang hal hal yang terkait tentang penyakit, penyebab, proses penyakit, pencegahan dan penangananny. Rasional : tahap pemberian HE dan membatu menanbah pengetahuan klien tentang penyakitnya. 3. Jelaskan rasional dari setiap tindakan/terapi yang diberikan. Rasional : dapat mengurangi ansietas dan pengetahuannya tentang treatmen dan terapi yang diberikan. 4. Berikan kesempatan klien untuk mencari opini kedua tentang penyakitnya. Rasional : memberi kesempatan klien untuk menambah pengetahuan klien tentang penyakitnya dan memberikan kesempatan pada klien untuk menetukan keputusan tentang treatme/terapi yang dibutuhkan klien.

b. INTERVENSI POST OP 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik karena robeknya jaringan akibat perlukaan untuk tindakan invasif yang menyeababkan terpotongnya /terlukanya saraf free nerve ending (saraf saraf rangsang nyeri) yang ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, RR lebih dari normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD meningkat (Normal = 120/80mmHg), klien terlihat meringis, klien melindungi bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien menunjukkan perilaku distraksi. Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri klien dapat dikontrol dengan kriteria hasil : Pain Control Menjelaskan faktor penyebab nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated). Menggunakan teknik non analgetik untuk mengurangi nyeri, skala 5 (Consistently demonstrated). Menggunakan demonstrated). Pain Level Pelaporan nyeri, skala 5 (none) analgetik sesuai rekomendasi, skala 5 (Consistently

Intervensi : Kontrol nyeri 1. Ajarkan prinsip-prinsip managemen nyeri pada klien seperti distraksi, relaksasi, guided imagery.

Rasional : mengalihkan nyeri yang dialami klien. 2. Berikan lingkungan yang nyaman, misalnya tingkat kebisingan, pencahayaan, suhu ruangan. Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi. 3. Kurangi atau hilangkan faktor pencetus atau yang meningkatkan nyeri pada klien. Rasional : untuk mengurangi perasaan nyeri yang dialami klien. 4. Delegatif dalam pemberian analgetik, kortikosteroid atau steroid baik topical maupun local. Rasional : Mengurangi rasa nyeri pada area yang sakit. Pain Level 1. Kaji skala nyeri serta faktor yang memperberat nyeri klien. Rasional : Nyeri sebagai pengalaman subjektif dan harus digambarkan oleh klien. Bantu klien untuk menilai nyeri dengan membandingkannya dengan pengalaman lain. 2. Kaji tanda tanda vital klien, seperti : nadi, RR, dan tekanan darah. Rasional : Peningkatan nilai nadi, RR, dan tekanan darah mengindikasikan nyeri.

2) Risiko

Infeksi

yang

berhubungan

dengan

prosedur

inpasif

selama

pembedahan. Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan infeksi terjadi dengan kriteria hasil : Risk Control : Infection process Mampu mengidentifikasi tanda tanda munculnya infeksi, skala 5 (consistenly demonstrated) Mempertahankan kondisi lingkungan sekitar klien agar tetap bersih, skala 5 (consistenly demonstrated) Dapat memperagakan cara mencuci tangan yang baik dan benar, skala 5 (consistenly demonstrated) Menggunakan UP dan tindakan aseptic dalam menangani klien, skala 5 (consistenly demonstrated)

Mempraktikkan tindakan yang dapat melindungi diri dari infeksi, skala 5 (consistenly demonstrated) Intervensi : Wound care: 1. Luka dibersihkan dan diganti dressingnya minimal 1 x sehari. Rasional : lingkungan luka yang bersih menurunkan risiko invasi bakteri. 2. Monitor karakteristik luka meliputi (ada tidaknya cairan, ukuran, warna, bau). Rasional : Perubahan karakteristik luka menandakan ada tidaknya infeksi misalnya, luka terdapat pus, berbau, ukuran meluas, warna sekitar luka menjadi kemerahan tanda-tanda tersebut menyatakan adanya infeksi. 3. Pertahkan teknik steril dalam membersihkan luka. Rasional: Teknik steril dalam perawatan luka mencegah transmisi kuman dari tangan perawat ke area luka. 4. Catat kondisi luka secara teratur setiap melakukan rawat luka. Rasional : Mengevaluasi kondisi luka untuk mengetahui tanda-tanda infeksi sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat. 5. Ajarkan kepada klien tanda dan gejala infeksi. Rasional : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda infeksi sehingga dapat melaporkan dengan segera kepada perawat. Infection control: 1. Pertahankan kebersihan lingkungan sekitar klien. Rasional : Lingkungan bersih mengurangi risiko invasi bakteri penyebab infeksi. 2. Batasi pengunjung. Rasional : mengurangi transmisi mikroorganisme dari pengunjung ke klien. 3. Ajarkan klien cara mencuci tangan dengan baik dan benar. Rasional : Menghindari transmisi kuman dari tangan ke daerah luka yang menempel di tangan. 4. Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi. Rasional : antibiotic yang tepat dapat mengurangi replikasi bakteri. 5. Cek tanda-tanda vital klien seperti (temperature). Rasional : Peningkatan suhu tubuh klien menandakan terjadinya infeksi.

4. IMPLEMENTASI Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi dan disesuaikan dengan kondisi klien.

5. EVALUASI No. Dx Pre / Post Operasi I Pre Operasi Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik karena robeknya jaringan Implementasi dinyatakan berhasil jika dalam waktux 24 jam, jika klien melaporkan nyeri berkurang secara verbal, Diagnosa Keperawatan Evaluasi

viseral dari bagian bagian RR normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD ginjal yang terdapat batu. normal (Normal = 120/80mmHg), klien tidak meringis, klien tidak melindungi bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien tidak menunjukkan perilaku distraksi. II Pre Operasi Kerusakan eliminasi urin yang berhubungan dengan obstruksi anatomik karena adanya batu pada saluran kemih. Implementasi dinyatakan berhasil jika dalam waktux 24 jam, jika klien tidak mengalami disuria, tidak mengalami

keraguan berkemih, volume urin yang dikeluarkan normal (Normal = 0,5 1 cc/ kgBB/hari).

III

Pre Operasi

Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan karena pengeluaran urine yang abnormal.

Implementasi dinyatakan berhasil jika dalam waktux 24 jam, jika mengatakan seacra verbal kecemasan teratasi, tidak ada kekawatiran yang berlebihan, klien tidak mengalami gangguan tidur. Implementasi dinyatakan berhasil jika dalam waktux 24 jam, jika klien

IV

Pre Operasi

Nausea berhubungan dengan distensi pada abdomen akibat peningkatan peristaltik pada ureter, desakan batu pada ureter dan vesika urinari.

mengatakan secara verbal mual teratasi, peningkatan salivasi, peningkatan

aktivitas menelan.

Pre

Kurang pengetahuan

Implementasi dinyatakan berhasil jika

Operasi

berhubungan dengan keterbatasan paparan informasi.

dalam waktux 24 jam,

jika klien

mengungkapkan tidak adanya masalah, klien tidak bertanya tanya mengenai penyakitnya, klien menyatakan

pemahaman tentang HE yang diberikan. I Post Operasi Nyeri akut berhubungan Implementasi dinyatakan berhasil jika dengan agen cidera fisik dalam waktux 24 jam, jika klien karena robeknya jaringan melaporkan nyeri berkurang secara verbal, akibat tindakan perlukaan invasif untuk RR normal (Normal = 16-20 x/mnt), TD yang normal (Normal = 120/80mmHg), klien

menyebabkan terpotongnya tidak meringis, klien tidak melindungi /terlukanya saraf free nerve bagian tubuh yang mengalami nyeri, klien ending (saraf saraf tidak menunjukkan perilaku distraksi.

rangsang nyeri). II Post Operasi Risiko Infeksi yang berhubungan dengan prosedur inpasif selama pembedahan. Implementasi dinyatakan berhasil jika dalam waktux 24 jam, jika tidak terjadi infeksi.

Identifikasi Pendidikan yang Perlu Diberikan kepada Pasien dan Keluarga


Sebelum pemberian pendidikan kepada pasien perlu dilakukan identifikasi mengenai tingkat pendidikan, status ekonomi dan kebiasaan hidup serta kebiasaan higiene klien serta lingkungan tempat tinggal klien. Hal tersebut perlu dilakukan berkenaan dengan etiologi yang terkait dengan urolithiasis. Bila identifikasi telah dilakukan maka perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan dengan tujuan: a. Bila sudah terjadi: prognosis penyakit klien tidak memburuk dan dapat ditangani secara mandiri oleh klien dan tidak sampai menimbulkan komplikasi. b. Bila belum terjadi: klien dapat melakukan langkahlangkah pencegahan untuk menghindarkan klien dari gejala akut dari urolithiasis. Pendidikan yang diberikan meliputi dua langkah, yaitu: 1. Promotif Pada tahap promotif, perawat menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti klien mengenai apa itu urolithiasis, penyebab, gejala, penanganan, dan pencegahan penyakit serta pencegahan kekambuhan penyakit. Untuk klien post. Op maka harus diberikan penjelasan mengenai tujuan pembedahan, kondisi dan respon klien setelah operasi (seperti rasa nyeri, adanya luka post operasi yang berisiko terinfeksi jika tidak dilakukan rawat luka dengan tehnik aseptik). Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah: a) Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam. b) Rendah oksalat. c) Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria. d) Rendah purin. e) Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II. f) Menghindari terjadinya dehidrasi. g) Diet rendah zat/komponen pembentuk batu saluran kemih. h) Aktivitas harian yang cukup. i) Medikamentosa. j) Minum banyak air (8-10 gelas sehari) dengan demikian urin menjadi lebih encer sehingga mengurangi kemungkinan zat-zat pembentuk batu untuk saling menyatu. Dengan minum banyak, air seni biasanya berwarna bening, tidak berwarna kuning. k) Minum air putih ketika bangun tidur di subuh hari. Hal ini akan segera merangsang kita untuk berkemih, sehingga air seni yang telah mengendap semalamam tergantikan dengan yang baru.

l) Jangan menahan keinginan untuk berkemih, karena kencing yang tertahan dapat menyebabkan urin menjadi lebih pekat atau infeksi saluran kemih. Urin yang pekat dan infeksi saluran kemih merupakan faktor pendukung terbentuknya batu. m) Pola makan seimbang, berolahraga, dan menjaga berat badan tetap ideal.

2. Preventif Pendidikan ini berpengaruh pada kebiasaan hidup klien khususnya mengenai pola hidup sehat dan diet klien, antara lain: a) Menghindari terjadinya dehidrasi. b) Diet rendah zat/komponen pembentuk batu saluran kemih. c) Aktivitas harian yang cukup. d) Medikamentosa. e) Minum banyak air (8-10 gelas sehari) dengan demikian urin menjadi lebih encer sehingga mengurangi kemungkinan zat-zat pembentuk batu untuk saling menyatu. Dengan minum banyak, air seni biasanya berwarna bening, tidak berwarna kuning. f) Minum air putih ketika bangun tidur di subuh hari. Hal ini akan segera merangsang kita untuk berkemih, sehingga air seni yang telah mengendap semalamam tergantikan dengan yang baru. g) Jangan menahan keinginan untuk berkemih, karena kencing yang tertahan dapat menyebabkan urin menjadi lebih pekat atau infeksi saluran kemih. Urin yang pekat dan infeksi saluran kemih merupakan faktor pendukung terbentuknya batu. h) Pola makan seimbang, berolahraga, dan menjaga berat badan tetap ideal.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Herdiyanti, Aprelia. 2011. LP Urolitiasis. http://www.scribd.com/doc/48692974/LPurolithiasis. ( Avalaible at : 15 Desember 2013 ) Purnomo BB. 2003. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Ke-2. Jakarta : Perpustakaan Nasional republik Indonesia. Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Setiyono, Danang. 2008. Urulithiasis. http://masdanang.co.cc/?p=33. ( Diakses : 15 Desember 2013 ) Dochterman, Joanne McCloskey & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Intervention Classification. USA : Mosby. Moorhead, Sue, dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification. USA : Mosby Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi 4 : EGC

You might also like