You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring (laringofaring). Setiap tahunnya 40juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Banyak anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah. National Ambulatory Medical Care Survey menunjukkan 200 kunjungan ke dokter tiap 1000 populasi antara tahun 1980-1996 adalah karena viral faringitis.1 Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi maupun non infeksi. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Nyeri tenggorok (Odinofagia)

Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring (laringofaring). Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir dan otot.

Mukosa Bentuk mukosa laring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk bernapas maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis dengan sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Paut Lendir Daerah nasofaring dilalui oleh udara penapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh paut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang.palut lendir berfungsi menangkap partikel kotoran yang terbawa udara dan palut lendir mengandung lyzozyme yang penting untuk proteksi.

Otot Otot faring tersusun dalam lapisan sirkular dan memanjang. Otot-otot sirkular terdiir dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot otot ini berada dibagian luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya bertemu satu sama lain. Di sebelah depan,otot-otot ini bertemu satu sama lain pada jaringan ikat yang disebut rafe faring. Otot-otot longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letaknya ada di sebelah dalam. Perdarahan Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna. Serta cabang dari a.maksila interna yakni cabang palatina superior. Persarafan Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, n.glosofaring dan serabut simpatis. Berdasarkan letaknya faring dibagi atas: 1. Nasofaring batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. 2. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglois, ke depan adalah rongga mulut dan ke belakang adalah vertebra servikal. 3. Laringofaring (Hipofarinjg) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anteriornya adalah laring, batas inferiornya adalah esofagus dan batas posteriornya adalah vertebra servikal. Ruang Faringal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring dan mempunyai arti penting secara klinik, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Fungsi Faring Fungsi faring yang terutama adlah untul respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan artikulasi.

Faringitis Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (4060%). Bakteri (5-40%). Alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menyebabkan inflamasi lokal. 1. Faringitis akut

a. Faringitis viral Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dn beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis. Gejala dan tandanya adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Adenovirus selain

menghasilkan gejala faringitis juga menimbulkan konjungtivitis pada anak. Epstein Barr Virus menyebabkan faringitis beserta eksudat pada faring. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis oleh HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut pada leher dan pasien tampak lemah. Terapi yang diberikan adalah istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu. Antivirus metisoprinol diberikan dpada infeksi herpes simpleks dengan dosis 660-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari. b. Faringitis bakterial Infeksi grup A Steptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis pada dewasa (15%) dan anak (30%). Gejala dan tandanya adalah nyeri kepala hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu tinggi dan batuk. Pada pemeriksaan tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat pada permukaannya. Timbul petechiae pada palatum dan faring beberapa hari kemudian.kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan. Terapinya adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, analgetika dan kumur dengan air hangat atau antiseptik. Antibiotik yang diberikan bila diduga penyebabnya adalah grup A streptokokus beta hemolitikus. Bisa berupa penicillin G banzatin, amoksisilin atau eritromisin. c. Faringitis Fungal Candida dapat tumbuh di mukosa mulut dan faring. Gejala dan tandanya adalah keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
4

mukosa faring lainnya hiperemis. Jamur ini bisa dibiakkan di agar Saboraud dextrosa. Terapi dengan nystatin 100.000-400.000 IU 2 kali sehari. Analgetika juga bisa diberikan untuk mengurangi nyeri.

2.

Faringitis Kronik Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor

presdiposisinya adalah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok dan alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Penyebab lainnya adalah pasien yang bernapas lewat mulut karena hidung tersumbat. a. Faringitis kronik hiperplastik Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular. Gejala yang timbul adalah tenggorok kering dan gatal hingga akhirnya batuk berserak. Terapi yang diberikan adalah dengan kaustik faring dengan menggunakan zat kimia argenti atau dengan listrik. b. Faringitis kronik atrofi Faringitis kronika trofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi, udara napas tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga menimbulkas rangsangan dan infeksi pada faring. Gejala dan tanda yang timbul adalah tenggorokan kering dan tebal serta berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. Terapi ditujukan untku rinitis atrofi dan untuk faringitis atrofinya ditambahkan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut. 3. Faringitis spesifik a. Faringitis luetika Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambarannya tergantung stadium penyakitnya. Stadium primer Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Stadium sekunder
5

Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring menajlar ke arah laring.

Stadium tertier Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas ke vertebra servikal dan bila pecah menyebabkan kematian. Guma yang terbentuk pada palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang menimbulkan gangguan fungsi secara permanen. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama. b. Faringitis tuberkulosis Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari TB paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada TB miliaris. Gejala tandanya adalah keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagia. Nyeri hebat di tenggorok, nyeri telinga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal. Diagnosis diperlukan pemeriksaan sputim BTA, foto toraks untuk melihat TB paru dan biopsi jaringan untuk menyingkirkan proses keganasan dan mencari BTA di jaringan. Terapi sesuai TB paru (OAT).

Tonsilitis Pengertian Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus. Etiologi Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus. Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.

Patofisiologi Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut. 1.Pada Tonsilitis Akut Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear. 2.Pada Tonsilitif Kronik Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati. Manisfestasi Klinis Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau. Komplikasi Otitis media akut. Abses parafaring. Abses peritonsil. Bronkitis, Nefritis akut, artritis, miokarditis. Dermatitis. Pruritis. Furunkulosis.

Pemeriksaan Penunjang Kultur dan uji resistensi bila perlu. Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil. Penatalaksanaan Medis Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan- makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan. Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari. Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat. Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap. Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari. Antipiretik. Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan. Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

TONSILITIS KRONIS Etiologi Seperti tonsilitis akut Anamnesis Ringan tanpa keluhan sakit tenggorok Hebat eksaserbasi akut Rasa ada benda asing bau mulut

Pemeriksaan Gambaran klinis bervariasi tergentung bentuk infeksi

Tonsil hipertropi: tonsil membesar, jaringan parut (+), kripte melebar & eksudat purulen diantara kripte Tonsil atropi : tonsil kecil membentuk lekukan dg tepi hiperemis Sekret purulen tipis Didapatkan pembesaran kelenjar submandibula tanpa nyeri tekan Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dg infeksi kronis / berulang

Komplikasi seperti tonsilitis akut Terapi tonsilektomi Indikasi Mutlak 1. Corpulmonal karena obstruksi jalan nafas menahun 2. Hipertropi tonsil (adenoid) dg sindroma sleep apneu 3. Hipertropi gangguan makan dg penurunan berat badan yg cepat 4. Biopsi karena curiga keganasan 5. Post abses peritonsiler yg berulang atau abses yg meluas ke jaringan sekitar

Indikasi Relatif 1. Serangan berulang (4-5x /th) walau pemberian terapi sudah adekuat 2. Tonsilitis dg karier a.l : difteri, strep B hemolitikus 3. Hiperplasia tonsil & obstruksi fungsional Hiperplasia & obstruksi yg menetap setelah infeksi mononukleosis 4. Riwayat demam rematik jantung yg berhubungan dg tonsilitis yg berulang 5. Tonsilitis kronis menetap respon penatalaksanaan medis tidak berhasil 6. Hipertropi tonsil dan adenoid 7. Tonsilitis kronis yg berhubungan dg adenopatia servikal persisten

ADENOID HIPERTROPI Keradangan berulang / iritasi pada adenoid akibat antara lain ialah rinitis kronis, sinusitis kronis post nasal drip Gejala - Obstruksi nasi shg berakibat : Rinolalia oklusa - adenoid face

- Nafsu makan menurun - Sering pilek - Sering sakit kepala - Pendengaran berkurang - Batuk yg sukar sembuh - Aproseksia nasalis (sukar konsentrasi) - Rinoskopi anterior : palatum mole penomen (-) / terbatas

Terapi Adenoidektomi Indikasi Adenoidektomi Obstruksi jalan nafas kronis Nasofaring purulen kronis walaupun dg terapi adekuat Otitis media serosa Otitis media supuratifa akut yg rekuren penatalaksanaan medis (-) Otitis media supuratifa kronik Curiga keganasan nasofaring

Abses Peritonsiler Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).

10

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. ETIOLOGI Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalahFusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
11

abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. PATOFISIOLOGI Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis). GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation). Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.
12

KOMPLIKASI Komplikasi yang mungkin terjadi ialah: 1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piema. 2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. 3.Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

TERAPI Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan

perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

13

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi padaumur 4 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.

Abses Retrofaring ETIOLOGI Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :
14

1. Akut. Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga menyebabkan supurasipada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing. 2. Kronis. Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah: 1. Kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp 2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria KEKERAPAN Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Childrens Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus. GEJALA DAN TANDA KLINIS Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis yang sering dijumpai pada anak : 1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. suara sengau 4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi. 5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
15

6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ). Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai adanya : 7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan 8. air liur menetes ( drooling ) 9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah : 1. demam 2. sukar dan nyeri menelan 3. rasa sakit di leher ( neck pain ) 4. keterbatasan gerak leher 5. dispnea Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas. DIAGNOSIS BANDING 1. Adenoiditis 2. Abses peritonsil 3. Abses parafaring 4. Epiglottitis 5. Croup 6. Aneurisma arteri 7. Tonjolan korpus vertebra DIAGNOSIS 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan klinis 3. Laboratorium : a. darah rutin : lekositosis b. kultur spesimen ( hasil aspirasi ) 4. Radiologis : a. Foto jaringan lunak leher lateral Dijumpai penebalan jaringan lunak retrofaring ( prevertebra ) :
16

- setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan dewasa - setinggi C6 : > 14 mm (anak-anak , N : 5 14 mm ) dan > 22 mm (dewasa, N : 9 22 mm ) Pembuatan foto dilakukan dengan posisi kepala hiperekstensi dan selama inspirasi. Kadangkadang dijumpai udara dalam jaringan lunak prevertebra dan erosi korpus vertebra yang terlibat. b. CT Scan c. MRI PENATALAKSANAAN I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat : - posisi pasien supine dengan leher ekstensi - pemberian O2 - intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik - trakeostomi / krikotirotomi II. Medikamentosa 1. Antibiotik ( parenteral ) Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua ( seperti cefuroxime ) atau beta lactamase resistant penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 2. Simtomatis 3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan elektrolit. 4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika. III. Operatif : a. Aspirasi pus ( needle aspiration ) b. Insisi dan drainase : _ Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir.

17

Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. _ Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m.sternokleidomastoideus. Dengan Dilakukan insisi pada klem batas erteri anterior bengkok,

m.sternokleidomastoideus.

menggunakan

m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ). Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

KOMPLIKASI Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat : 1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas 2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru 3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya : a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis 4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.

Abses Parafaring Ruang parafaring megalamai infeksi dengan cara langsung yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Proses supurasi kelenjar limfa leher
18

bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. Gejala dan tanda yang timbul adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol ke medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit , gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto polos dan CT scan. Terapi yang bisa diberikan adalah pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuma aerob dan anaerob. Evakuasi abses juga harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam. Caranya melakukan insisi dari luar.

Abses Submandibula Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam yang lain. Gejala dan tandanya adalah demam dan nyeri leher serta pembengkakan dibawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan. Terapi yang diberikan adalah antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses dangkal eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.

Angina Ludovici Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Etiologi Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob. Gejala dan tanda Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah sumbandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
19

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi, gejala dan tanda klinik.

Terapi Sebagai terapi diberikan antiobika dengan dosis tinggi, untuk kuman aero dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina Ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (agigi), untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

20

BAB III KESIMPULAN

Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa tenggorokan. Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan. Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti lemas, anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit. Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher. Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bakteri maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup diberikan analgetik dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi aktivitasnya. Dengan pengobatan yang adekuat umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik dan umumnya pasien biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu. Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu juga dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut. Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Boies, A. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2. Irish, J, et al. 2000. Otolaryngology. MCQE 3. Lalwani, AK. 2007. Current Diagnosis and Treatment Otolaringology Head and Neck Surgery. New York: Departement of Otolaringology 4. Soepardi, EA, dkk. 2007. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala& Leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

22

You might also like