You are on page 1of 18

RHABDOMYOSARCOMA SINONASAL

Dewi Sinaga, Denny Satria Utama


Bagian IKTHT- KL FK Unsri/ Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Abstrak Rhabdomyosarcoma adalah tumor ganas jaringan mesenkim berasal dari otot rangka, merupakan keganasan yang banyak ditemukan pada anak-anak. Tempat yang paling umum adalah regio kepala dan leher, saluran urogenital, lengan dan kaki. Penyebab pasti rhabdomyosarcoma tidak diketahui. Sekitar 10% rhabdomyosarcoma pada sinonasal. Manifestasi klinis pada sinonasal ditandai dengan hidung tersumbat dan perdarahan. Tomografi Komputer dan MRI penting untuk evaluasi tumor primer dan hubungannya terhadap struktur sekitarnya. Penatalaksanan yaitu operasi eksisi komplit, kemoterapi maupun radioterapi. Dilaporkan satu kasus laki-laki dewasa dengan rhabdomyosarcoma sinonasal yang dilakukan operasi maksilektomi medialis dengan pendekatan rinotomi lateral. Pascaoperasi ditemukan rekurensi yang sangat cepat muncul. Kata kunci : Rhabdomyosarcoma, Sinonasal, Operasi Abstract Rhabdomyosarcoma is a malignant tumor of mesenchymal tissue derived from skeletal muscle, is a malignancy is found in many children. The most common place is the region of the head and neck, urogenital tract, arms and legs. The exact cause of rhabdomyosarcoma is unknown. Approximately 10% of the sinonasal rhabdomyosarcoma. Clinical manifestations of sinonasal characterized by nasal congestion and hemorrhage. Computer tomography and MRI is important for the evaluation of primary tumor and its relationship to surrounding structures.Treatment is complete excision surgery, chemotherapy or radiotherapy. Reported one case of adult males with sinonasal rhabdomyosarcoma is surgery rinotomi maxilectomy medial lateral approach. Postoperative recurrence was found that very quickly appear. Key word : Rhabdomyosarcoma, Sinonasal, Operation

PENDAHULUAN Rhabdomyosarcoma (RMS) adalah tumor ganas yang melekat pada otot rangka yang berasal dari jaringan mesenkim. RMS merupakan keganasan yang dapat terjadi pada setiap bagian tubuh. Tempat yang paling sering terkena adalah pada regio kepala dan leher, saluran urogenital, lengan dan kaki. RMS merupakan tumor jaringan lunak yang paling umum pada anak-anak dan merupakan peringkat ketiga keganasan setelah neuroblastoma dan nephroblastoma. Nama lain dari RMS adalah Sarkoma jaringan lunak, rhabdomyosarkoma alveolar, rhabdomyosarkoma embryonal, Botryoides sarcoma.1-6 RMS pada regio kepala dan leher umumnya muncul pada orbita, nasofaring, mastoid dan regio temporal serta rongga hidung dan sinus paranasalis yang biasanya terjadi pada massa anak-anak. Jumlahnya sekitar 4-8% pada seluruh tumor pediatrik. Penyebab RMS secara pasti tidak diketahui tetapi diduga karena adanya mutasi genetik yang meningkatkan resiko terjadinya RMS. Gejala yang timbul bervariasi tergantung pada lokasi tumor. Tumor di hidung menyebabkan hidung tersumbat, perdarahan hidung, rinorea, atau masalah neurologis jika tumor meluas ke intrakranial. Tumor yang meluas disekitar mata dapat menyebabkan mata menonjol (proptosis), gangguan visus dan

pembengkakan disekitar mata. Tumor di telinga dapat menyebabkan rasa sakit, gangguan pendengaran, dan pembengkakan disekitar telinga, atau adanya otitis media berulang.1-5,7,8 Pemeriksaan penunjang dapat menggunakan Tomografi Komputer (TK) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Diagnosis defenitif ditegakkan berdasarkan analisis histologik, mikroskop elektron transmisi dan tes untuk transkripsi otot spesifik. Penatalaksanaan untuk tumor sinonasal adalah dengan eksisi luas komplit untuk tumor primer dan dilanjutkan dengan kemoterapi dan radioterapi. Komplikasi yang sering terjadi adalah adanya metastase jauh dengan keterlibatan parameningeal yang beresiko terjadinya penyebaran subarakhnoid. Pada regio sinonasal RMS biasanya memiliki prognosis yang buruk karena sulitnya operasi eksisi secara komplit.1,3,5,8-10

KEKERAPAN RMS merupakan keganasan yang sangat agresif karena sering terjadi metastasis dini sebelum gejala invasi lokal muncul. Jumlahnya sekitar 4-8% dari seluruh tumor pediatrik dan menduduki peringkat ke tiga yang tersering di diagnosis sebagai tumor ekstrakranial pada masa anak-anak sesudah

neuroblastoma dan nephroblastoma secara berturut-turut. Sekitar 250 kasus baru didiagnosis di AS setiap tahunnya dan merupakan tumor solid ekstrakranial pada anak yang sering dijumpai. Tumor ini berasal dari mesenkim embrional yang berasal dari otot rangka yang tidak dapat dibedakan (undifferentiated). Sekitar 40% tumor RMS berasal dari kepala dan leher. Dari semua tempat pada kepala dan leher, mata adalah tempat yang paling sering terlibat (35%). Tempat kedua yang umumnya terkena adalah nasofaring (25%) di ikuti hidung dan sinus paranasal (10%) dan telinga tengah termasuk tulang temporal dan mastoid (10%). RMS sinonasal melibatkan tempat non-orbital parameningeal yang terlibat lebih agresif sifatnya dibandingkan yang muncul ditempat lain. Suatu penelitian oleh MD Anderson Cancer Center dilaporkan 37 pasien anak dan dewasa dengan RMS sinonasal.1,5-8,10 RMS sinonasal pada anak-anak 40% kasus muncul pada anak usia lebih 5 tahun, 70% sebelum usia 12 tahun, pada bayi kurang dari 1 tahun sekitar 10-15% kasus. Kepustakaan yang lain menyatakan distribusi umur adalah bimodal, yang pertama puncaknya antara 2-5 tahun dan puncak kedua adalah antara 15-19 tahun. Insidensi terjadinya kasus pada laki-laki lebih sering daripada wanita dengan perbandingan 1,3:1. Kejadian RMS berkisar 4-7 juta anak pertahun usia 15 tahun atau lebih muda. Di Amerika serikat sekitar 250 kasus baru di diagnosis setiap tahunnya sebagai RMS setelah neuroblastoma dan tumor willis. Insidensi RMS pada populasi Asia lebih rendah dibandingkan populasi kulit putih dari negaranegara barat. Ada suatu peningkatan insiden pada pasien dengan neurofibromatosis, sindrom Beckwith-Wiedermann, sindrom Li-Fraumeni.1,3,5,6,8 Di bagian THT-KL RSMH Palembang periode Januari 2009 sampai Juni 2012 dilaporkan 1 kasus Rhabdomyosarcoma sinonasal pada laki-laki usia 31 tahun.

ANATOMI Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan. Secara garis besar hidung dibagi atas hidung bagian luar dan dalam. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.11,12 Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama yaitu: (1) Arteri etmoidalis anterior, (2) arteri etmoidalis posterior, cabang dari arteri oftalmika dan (3) arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior yang kecil hanya mendarahi daerah yang kecil di regio superior posterior. Kedua arteri etmoidalis setelah meninggalkan arteri oftalmika, menyeberangi lamina kribrosa dan masuk hidung melalui foramen etmoid anterior dan posterior, disertai oleh serabut saraf pasangannya.11-14 Arteri septi posterior mempunyai tiga cabang utama, satu untuk bagian posterior, satu untuk bagian inferior dan satu lagi untuk bagian tengah dan posterior septum. Cabang-cabang yang sampai dibagian inferior anterior septum akan beranastomosis bebas dengan cabang arteri labialis superior untuk septum dan aa.palatina mayor. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan dengan sinus kavernosus melalui vena oftalmika superior. Dinding vena-vena besar dan arterial pada mukosa hidung tidak mengandung serat elastik.11-13

KLASIFIKASI Tumor ini muncul dari mesenkim embrional, mempunyai asal yang sama sebagai otot rangka. Pengklasifikasian RMS berdasarkan histologinya adalah untuk menentukan terapi dan prognostic. Secara konvensional RMS

diklasifikasikan atas 3 tipe secara histologis yaitu tipe embrional (dengan variant botryoid), tipe alveolar dan tipe pleomorfik. RMS tipe embrional kehilangan rantai homozigot pada kromosom 11p15 lokasi faktor pertumbuhan II insulin. Kehilangan kontrol transkripsi dipercaya sebagai hasil pada perluasan autonom faktor pertumbuhan ini. Sekitar 85% RMS pada kepala dan leher adalah tipe embrionik (termasuk bottyroid RMS) dan 15% tipe alveolar. RMS alveolar

adalah tipe histologi kedua tersering pada regio kepala dan leher. Alveolar RMS memiliki suatu karakteristik translokasi t (2,13)(q35,q14), penggabungan gen PAX3 dan FKHR. PAX7 merupakan gen yang penting lainnya pada perkembangan neuromuskular awal, juga terlihat aktivasi autonom yang menyebabkan disregulasi sel pertumbuhan.1,5,8,10,15,16 Pleomorfik RMS adalah peringkat ke 3 yang sering di diagnosis. Jenis ini bentuknya lebih berbeda dan sering dijumpai pada usia dewasa. Selain itu ada juga pembagian RMS berdasarkan tipe histologinya yaitu : baik (favorable), sedang (intermediate), tidak baik (unfavorable). Tipe favorable sekitar 5% termasuk Sarkoma botryoid dan variasi Spindle cell. Tipe intermediate (50%) adalah tipe embrional, tipe unfavorable (20%) termasuk tipe alveolar dan tumor undifferentiated. Tumor tipe alveolar muncul dari ekstremitas, batang tubuh, dan perineum. Tumor undifferentiated berasal dari ekstremitas dan pada regio kepala dan leher.1,3,5,7,8 RMS regio sinonasal jenis yang dominan adalah tipe alveolar, sebagian subtipe solid alveolar. Sel tumor sinonasal sering ditemukan dalam bentuk undifferentiated, bentuk tampilan suatu solid alveolar.1,17 ETIOPATOGENESIS Penyebab RMS tidak diketahui secara pasti. Ini adalah tumor yang sangat jarang dan hanya beberapa ratus kasus baru pertahun di seluruh AS. Beberapa anak dengan cacat lahir tertentu ada peningkatan resiko dan beberapa keluarga

memiliki mutasi gen yang meningkatkan resiko, namun sebagian besar anak-anak dengan RMS tidak memiliki faktor resiko yang diketahui. Massa sinonasal pada pediatrik dilaporkan muncul dari suatu kelainan kongenital, perkembangan, atau proses neoplasma. Neurofibromatosis tipe I, sindrom Bechwith wiedermann, sindrom Garlins nevoid basal sel dan sindrom Rubenstein Taybi dilaporkan berkaitan dengan kejadian RMS. Penggunaan alkohol dan obat-obat adiktif secara rutin oleh orangtua sebelum konsepsi juga berhubungan dengan peningkatan resiko berkembangnya RMS.4,5,8 DIAGNOSIS Diagnosis RMS sering terlambat karena kurangnya gejala dan biasanya nyerinya juga minimal. Diagnosis dini sangat penting karena RMS adalah tumor agresif yang menyebar dengan cepat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3 Anamnesis dan pemeriksaan Fisik Gejala yang sering muncul bervariasi tergantung lokasi tumor (tumor primer), usia pasien, dan ada atau tidak ada metastase penyakit. Mayoritas gejala secara sekunder merupakan efek kompresi oleh tumor atau oleh munculnya massa. Secara klinis tumor ini nyerinya minimal atau timbul dengan gejala dan tanda yang tidak spesifik. Tumor ini muncul sebagai suatu gambaran yang tidak jelas, massa homogen berkaitan dengan remodeling tulang dan destruksi tulang. Tumor-ini dapat massif sehingga penentuan lokasi tumor primer menjadi sulit ditentukan. Tumor di hidung atau tenggorok dapat menyebabkan perdarahan, hidung tersumbat, masalah menelan, atau masalah neurologis jika meluas ke intrakranial. Tumor disekitar mata dapat menyebabkan mata menonjol, gangguan pengelihatan dan pembengkakan di sekitar mata. Tumor di telinga dapat menyebabkan rasa sakit, gangguan pendengaran atau bengkak. Pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Pengujian dilakukan untuk mendiagnosis kondisi ini termasuk diantaranya biopsi dari tumor, TK sinus paranasal, TK dada untuk melihat perluasan, biopsi sumsum tulang, scan tulang untuk mencari penyebaran tumor, MRI, dan lain-lain.3,4,9,17

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan awal untuk endoskopik dan evaluasi radiografi sangat dianjurkan untuk mencegah keterlambatan diagnostik. TK dan MRI merupakan pemeriksaan non invasif untuk mengevaluasi munculnya dan perluasan tumor pada kepala dan leher. TK dengan potongan aksial dan koronal merupakan pilihan modalitas untuk kelainan hidung dan sinus paranasal. Perluasan tumor dapat diukur dan hubungannya dengan struktur sekitar dapat dievaluasi. Remodeling tulang diduga sebagai suatu tumor jinak atau lambat tumbuh, destruksi tulang dan hilangnya jarak jaringan lunak merupakan indikasi keganasan. Pada pemeriksaan MRI tumor ini terlihat isointens pada otot pada T1WI dan padaT2WI terlihat hipointens pada otot. Obliterasi lapisan lemak sepanjang dinding sinus maksila posterolateral, fossa pterygopalatine dan fossa infratemporal adalah tanda yang sangat sensitif dari perluasan tumor. Perbatasan tumor-otot pterygoid dapat jelas digambarkan dengan MRI. Ketebalan mukosa, penyumbatan sekresi dan tumor lebih jelas dibedakan dengan MRI daripada TK. Evaluasi untuk perineural, perivaskular, atau perluasan lokal ke dalam ruang jaringan lunak sekitarnya dan sistem saraf pusat adalah lebih baik dan lebih unggul dengan MRI. PET Scan (Positron Emission Tomography) dapat membantu mengungkapkan lokasi sel tumor dalam tubuh menggunakan zat radioaktif yang disuntikkan ke pembuluh darah. Scan tulang untuk mendeteksi metastasis ke tulang dari tumor yang muncul dalam organ yang berbeda.7-9,11,18 Pemeriksaan lainnya termasuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan aspirasi biopsi atau biopsi dari operasi. Aspirasi sumsum tulang dari biopsi untuk menilai apakah RMS telah menyebar ke sumsum tulang. Namun diagnosis defenitif dari beberapa massa sinonasal yang di identifikasi memerlukan biopsi, evaluasi endoskopi dan gambaran preoperatif adalah instrumental dalam mencegah cedera iatrogenik. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan mikroskop cahaya, imunohistokimia, mikroskop elektron atau tes molekular reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR).1,6,7,18 Stadium dibagi oleh variasi histologi, lokasi primer, dan perluasan penyakit mempunyai suatu pengaruh yang penting dalam pemilihan terapi dan

prognosis. Sistem staging untuk RMS sinonasal adalah berdasarkan UICC (International Union Against Cancer), TNM (Tumor, Nodul, Metastasis) dan IRS (Intergroup Rhabdomyosarcoma Study System). Menurut stadium berdasarkan IRS sebagai berikut: 1) stadium I yaitu penyakit terlokalisir, reseksi komplit. IA bila terbatas pada organ atau asal dari otot. IB infiltrasi berdampingan disebelah organ atau asal dari otot, kelenjar limfe regional tidak terlibat. 2) stadium II yaitu penyakit terlokalisir dengan penyakit residual mikroskopis atau penyakit regional dengan atau tanpa penyakit mikroskopis (tidak ada residual yang besar). IIA Tumor direseksi secara luas dengan residual mikroskopis, pembesaran kelenjar limfe tidak ada. IIB penyakit residual komplit direseksi dimana kelenjar limfe dapat terlibat dan atau meluas tumornya kedalam organ yang berdekatan. IIC penyakit regional dengan keterlibatan kelenjar limfe secara luas direseksi tetapi dengan kejadian penyakit residual mikroskopis. 3) stadium III reseksi inkomplit atau biopsi dengan penyakit residual yang besar. 4) stadium IV adanya metastase jauh saat ditegakkan diagnosis.2,3,5 Sistem staging berdasarkan TNM tahun 2002 terbagi untuk kavum nasi dan sinus etmoid dan sinus maksila. Untuk kavum nasi dan sinus etmoid yaitu T1 terbatas pada satu sisi dengan atau tanpa invasi tulang. T2 bila melibatkan dua sisi pada satu regio atau perluasan ke regio yang berdekatan. T3 adalah perluasan ke dinding medial, lantai orbita, sinus maksila, palatum atau lempeng kribriformis. T4 melibatkan mata, kulit, basis kranii, nervus kranialis, sinus sphenoid atau sinus frontal, pterygoid dan nasofaring. Untuk sistem sinus maksilaris untuk T1 bila terbatas pada mukosa. T2 melibatkan infrastruktur. T3 melibatkan jaringan subkutaneus, dinding posterior, lantai orbita dan etmoid. T4 melibatkan mata, kulit, basis kranii, nervus kranialis, sinus sphenoid atau sinus frontal, pterygoid, nasofaring.19,20

HISTOPATOLOGI Pada pemeriksaan mikroskopis dari alveolar rhabdomyosarcoma tampak kelompokan sel-sel yang dibatasi oleh septa-septa jaringan ikat fibrous yang tebal yang mempunyai gambaran seperti alveolar pada paru yang irregular. Sel-sel yang

terletak pada bagian perifer alveolar tersusun satu lapis dan melekat pada septa. Sel-sel yang terletak pada bagian sentral cendrung tersusun lebih renggang dan mengalami diskohesi. Pada tumor ini juga terdapat bagian yang solid yang tidak berbentuk alveolar yang terdiri dari sel-sel tumor yang padat. Secara histogenesis berasal dari sel-sel otot lurik. Ruang alveolar berisi sel-sel ganas yang bebas, lebih agresif daripada bentuk embrional.8,16 Diagnosis defenitif dari tumor yang berdifrensiasi buruk memerlukan penggunaan kombinasi analisis histologi, mikroskop elektron transmisi dan uji untuk faktor transkripsi otot spesifik seperti MyoD family. Munculnya sarcomeres, actin, myosin, dan garis filamen tipis oleh ribosom pada mikroskop elektron adalah diagnosis untuk RMS. Diagnosis defenitif dari hasil biopsi biasanya ditemukan spindle cell atau small round blue cell dan ekspresi faktor transkripsi seperti myogenin dan MyoD regulator secara imunohistokimia.5,16

DIAGNOSA BANDING Diagnosis banding RMS termasuk tumor jinak dan ganas seperti limfoma maligna, tumor round cell seperti olfactory neuroblastoma, ewings tumor, tumor primitive neuroektodermal (PNET), dan carcinoma undifferentiated.1,5,8

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dari RMS sinonasal ini adalah kompleks dan merupakan multimodalitas. Terapi biasanya dikombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. Stadium awal dengan gambaran histologi yang jelas dapat diterapi dengan operasi radikal, sedangkan untuk tumor yang meluas dapat dilakukan kemoradiasi. Regimen kemoterapi yang biasa dipakai adalah vincristin, actinomycin, cyclophosfamide, dan adriamycin adalah sediaan yang paling sering digunakan.1,5,16,20 Operasi pada regio sinonasal merupakan modalitas utama terapi. Perkembangan operasi plastik rekonstruksi yang diikuti operasi radikal pada regio sinonasal menunjukkan hasil fungsional dan kosmetik yang lebih baik dan lebih dapat diterima. Sisa tumor mikroskopis dapat dire-eksisi, jika analisa bedah beku

menunjukkan garis tepi negatif, tambahan radioterapi tidak perlu diberikan. Sebagai alternatif kemoterapi dan radioterapi dapat digunakan untuk penyakit residual mikroskopis sesudah reseksi.3,7,16

KOMPLIKASI RMS sinonasal dapat meluas metastasenya dan melibatkan multiorgan. Tempat metastase yang sering adalah paru-paru, tulang, dan sumsum tulang, hati, dan ginjal. Komplikasi terapi dapat terjadi mulai dari yang paling rendah. Komplikasi pada pemberian kemoterapi intensif dapat menyebabkan komplikasi akut berat dengan toksik kematian pada akhir terapi muncul pada 5-12 % pasien. Neoplasma sekunder (muncul 2,4%) seperti acute myeloid leukemia, acute lymphoblastic leukemia dapat berkembang pada 3-4 tahun terapi. Kardiomiopati (1,6%), sindrom Fanconi (6%), dan kerusakan ginjal adalah konsekuensi potensial kemoterapi. Radioterapi memiliki komplikasi lambat yang serius seperti terhambatnya perkembangan pada anak-anak (48%), growth retardation (35%), kesulitan belajar dan mendengar (16%).6-8

PROGNOSA Faktor-faktor yang berkaitan dengan survival jelas (poorer survival) mulai onset munculnya penyakit pada dewasa, histologi tipe alveolar dan

penatalaksanaan dengan kemoterapi sistemik kurang dari 1 tahun biasanya buruk. Untuk pasien yang diterapi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi dengan atau tanpa operasi angka harapan hidup selama 5 tahun adalah 60%, sedangkan bila tidak diterapi rata-rata 44%. Kelangsungan hidup 5 tahun untuk stadium I adalah 90%, stadium II (kelompok klinis I dan II) adalah 77%, untuk stadium II (kelompok klinis III) adalah 65% dan untuk stadium III (kelompok I, II, III) adalah 55%, stadium IV prognosis buruk. Prognosis untuk penyakit rekuren adalah buruk. Secara umum RMS sinonasal memiliki prognosis yang buruk

karena sulitnya reseksi tumor secara komplit. Beberapa kepustakaan juga menyatakan apapun tipe histologinya, diagnosis RMS sinonasal memiliki

10

prognosis buruk karena lokasi tumor parameningeal sehingga memiliki tendensi untuk meluas secara intrakranial.1,3,4,6,8 LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang ke poliklinik THT RSMH Palembang pada tanggal 14 Februari 2011 (pasien merupakan konsul dari bagian Mata). Pada anamnesis didapatkan keluhan utama timbul benjolan di hidung kanan yang makin lama makin membesar sejak 4 bulan yang lalu disertai hidung tersumbat, mudah berdarah, dan adanya penurunan penciuman pada hidung sebelah kanan, disertai pembesaran mata kanan sejak 3 bulan yang lalu. Mata kanan sudah tidak dapat melihat lagi sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, TD 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, temperatur 37C. Pemeriksaan telinga kanan tidak tampak kelainan, telinga kiri: liang telinga lapang, perforasi subtotal pada membran timpani, sekret tidak ada. Pada hidung: rongga hidung lapang, tampak massa di kavum nasi dekstra warna merah muda, mudah berdarah, permukaan berdengkul-dengkul. Pada tenggorok arkus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis. Tidak ditemukan pembesaran KGB. Dilakukan pemeriksaan penunjang dengan foto polos toraks tanggal 19 Februari 2011 kesan normal toraks, foto polos orbita dan waters no 363 kesan: soft tissue massa melewati daerah kavum nasi dekstra, sinus maksilaris dekstra dan orbita dekstra, saran: CT Scan SPN. Dilakukan CT Scan SPN tanggal 22 Februari 2011, no 5022, kesan: Suspek malignansi pada sinus maksilaris kanan, meluas ke kavum nasi kanan, kavum orbita kanan, sinus etmoidalis kanan dan sinus sfenoidalis kanan serta sinus frontalis kanan. Pasien ditegakkan dengan diagnosis massa sinonasal dekstra dan massa di regio orbita. Kemudian dilakukan biopsi kavum nasi tanggal 23 Februari 2011 no.741/A/2011 kesan : Inflamatory polip pada kavum nasi dekstra. Tanggal 8 Maret 2011 dilakukan biopsi ulang pada kavum nasi kesan: Jaringan granulasi pada kavum nasi. Pasien direncanakan operasi bersama dengan bagian mata. Dari bagian Mata direncanakan eksentrasi orbita dekstra, dan rencana di bagian THT dengan

11

tindakan Maksilektomi parsial medialis dengan pendekatan rinotomi lateral. Pada tanggal 11 Maret 2011 dilakukan tindakan operasi bersama antara bagian Mata dan THT. Intraoperatif setelah dilakukan eksenterasi orbita kanan oleh bagian Mata dilanjutkan dengan tindakan Maksilektomi parsial medialis. Dilakukan insisi secara Weber Ferguson. Flap pipi dipisahkan dari maksila sampai subperios. Ala nasi dielevasi sehingga kavum nasi terlihat jelas. Tampak dinding depan dan medial antrum maksila sebagian sudah mengalami destruksi. Terlihat massa berwarna merah muda dan mudah berdarah dengan bagian-bagian yang nekrosis dan bagian-bagian seperti gambaran polip baik pada antrum maksila maupun kavum nasi kanan. Dilakukan osteotomi dengan menggunakan pahat untuk meruntuhkan dinding depan antrum. Dilakukan evakuasi massa pada antrum maksila dan kavum nasi dekstra dengan tetap mempertahankan mukosa yang sehat. Perdarahan diatasi dengan cara ligasi dan kauterisasi. Antrum maksila diirigasi dengan H2O2 3% dan NaCl 0,9%. Mukosa dirapikan dengan menggunakan mikrodebrider. Tepi tulang antrum maksila dan kavum nasi dihaluskan menggunakan bor. Dilakukan antrostomi intranasal untuk melancarkan drainase. Dilakukan pemasangan tampon maksila, deviasi septum diperbaiki dengan menggunakan cunam walsham dan speculum hidung panjang. Penutupan luka lapis demi lapis dengan menggunakan benang multifilament (vicryl) 3/0 rounded absorble. Kutis ditutup dengan jahitan subkutan menggunakan benang monofilament (novaphyl) 4/0 cutting non absorble. Tampon beloq dipasang, dilanjutkan tampon anterior 5/5. Operasi dinyatakan selesai. Paska operasi pasien diberikan antibiotik Ceftriaxon 2x1gr, Ketorolak 1 ampul drip, Asam traneksamat 3x 500 mg intravena, Ranitidin 2x 1 ampul intravena dan diet cair melalui OGT. Hari pertama pascaoperasi, keadaan pasien baik, keluhan nyeri daerah wajah, bengkak pada daerah wajah minimal, terapi masih dilanjutkan. Hari kedua pascaoperasi dilakukan pengangkatan tampon beloq dan tampon maksila dan tampon anterior bertahap, tidak tampak perdarahan aktif. Hari ketiga

pascaoperasi dilakukan pengangkatan seluruh tampon anterior dan pelepasan OGT, keluhan nyeri pada wajah minimal, keadaan umum pasien baik. Terapi

12

masih dilanjutkan ditambah pemberian cuci hidung dengan larutan NaCl fisiologis. Hari ke 4 pasien rawat jalan. Hari kedelapan pascaoperasi pasien kontrol ke poli THT, keluhan nyeri daerah wajah tidak ada lagi. dilakukan pengangkatan jahitan post insisi. Luka operasi menutup sempurna. Pasien diterapi dengan Cefixime 2x100mg, Asam mefenamat 3x 500mg, cuci hidung NaCl fisiologis 2x sehari. Minggu kedua pascaoperasi pasien kontrol tidak ada keluhan, hidung tersumbat tidak ada, pasien selanjutnya kontrol kebagian mata, tampak jaringan granulasi mulai tumbuh pada rongga mata. Hasil PA tanggal 12 Maret 2011 no. 997/A/2011, Sediaan dari kavum nasi dan sinus maksila dekstra, kesan: Alveolar rhabdomyosarcoma. Hasil PA dari sediaan orbita dekstra no. 976/A/2011, kesan: Malignant

hemangiopericytoma, DD: Alveolar rhabdomyosarcoma, saran pemeriksaan IHK LCA dan CD 34. Satu bulan pascaoperasi pasien mengeluh mulai tumbuh lagi benjolan di hidung sebelah kanan, pipi sebelah kanan juga mulai membengkak sejak 2 minggu terakhir, nyeri tidak dijumpai, sering keluar darah dari hidung. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, pernafasan 22x/menit, temperatur 37C. Pemeriksaan telinga kanan tidak tampak kelainan, telinga kiri: liang telinga lapang, perforasi subtotal pada membran timpani, sekret tidak ada. Pada hidung: rongga hidung lapang, tampak massa di kavum nasi dekstra warna merah kecoklatan, mudah berdarah, permukaan berdengkul-dengkul, massa keluar dari kavum nasi dekstra. Tampak pipi sebelah kanan juga membengkak. Pada tenggorok arkus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak hiperemis. Tidak ditemukan pembesaran KGB. CT Scan Sinus Paranasal tanggal 18 Mei 2011, Tampak soft tissue massa berasal dari dalam sinus maksilaris dekstra, dinding sinus maksilaris dekstra semuanya sudah destruksi, massa tumor menonjol keluar, massa tumor meluas ke kavum nasi dekstra, massa masuk kedalam sinus etmoid dekstra dan sinus sfenoid dekstra, massa juga masuk ke rongga orbita dekstra, kesan: Carsinoma sinus maksilaris dekstra dengan perluasan seperti tersebut diatas.

13

Tanggal 9 juni 2011 dilakukan operasi kedua dengan tindakan Maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral. Intraoperatif, setelah dilakukan identifikasi lapangan operasi, infiltrasi dengan pehacain pada regio wajah. Insisi dilakukan dengan cara Weber Ferguson yaitu sekitar 1-2 mm dibawah palpebra inferior sampai celah nasomaksila dan menelusuri lipatan ala nasi dekstra. Flap pipi dipisahkan dari maksila sampai subperios. Ala nasi dielevasi sehingga kavum nasi terlihat jelas. Terlihat massa berwarna merah kecoklatan dan mudah berdarah dengan bagian-bagian yang nekrosis baik pada antrum maksila maupun kavum nasi kanan. Dilakukan evakuasi massa pada antrum maksila dan kavum nasi dekstra. Perdarahan diatasi dengan cara ligasi dan kauterisasi. Antrum maksila diirigasi dengan H2O2 3% dan NaCl 0,9%. Dilakukan antrostomi intranasal untuk melancarkan drainase. Dilakukan pemasangan tampon maksila, deviasi septum diperbaiki dengan menggunakan cunam walsham dan spekulum hidung panjang. Penutupan luka lapis demi lapis dengan menggunakan benang multifilament (vicryl) 3/0 rounded absorble. Tampon beloq dipasang, dilanjutkan tampon anterior 5/5. Operasi dinyatakan selesai. Pascaoperasi diberikan Cefriaxon 2x 1 gr, Ketorolac 2x 1ampul intravena, Asam traneksamat 3x500mg intravena. Hari pertama pascaoperasi bengkak pada wajah masih ditemukan, perdarahan aktif tidak ada, nyeri wajah minimal, terapi masih dilanjutkan. Hari kedua pascaoperasi dilakukan pengangkatan tampon kavum nasi dan tampon maksila seluruhnya. Hari ke tiga sampai hari keenam pascaoperasi keluhan keluar darah bercampur lendir dari rongga hidung kanan, terapi masih diteruskan ditambah dengan cuci hidung dengan NaCl fisiologis setiap hari. Dilakukan staging dengan pemeriksaan USG abdomen kesan tidak ada metastase, pemeriksaan CCT 87%, pemeriksaan Echocardiografi EF 63%. Didapatkan stadiumnya adalah T4N0M0 dan direncanakan kemoterapi dengan regimen Paclitaxel-Cisplatin. Pasien menolak untuk dilakukan kemoterapi dan memilih pengobatan alternatif.

14

DISKUSI Dilaporkan satu kasus Rhabdomyosarcoma sinonasal pada laki-laki usia 31 tahun. Ini merupakan kasus yang sangat jarang pada usia dewasa. Berdasarkan kepustakaan RMS banyak dijumpai pada masa anak-anak dimana 40% muncul pada usia lebih dari 5 tahun dan 70% pada usia sebelum 12 tahun. Kepustakan yang lain menyebutkan bahwa puncak insidensi tertinggi pada usia 2-5 tahun dan puncak kedua tertinggi yaitu pada usia 15-19 tahun. Pada kasus ini RMS terjadi pada regio sinonasal dekstra dan orbita dekstra. Sesuai kepustakaan predileksi yang paling sering dari lokasi RMS pada regio kepala dan leher yaitu orbita, nasofaring, telinga tengah dan mastoid dan yang terakhir adalah sinonasal ( 10%). Pada kasus ini juga sulit ditentukan lesi primer apakah dari sinonasal yang meluas ke orbita atau sebaliknya dari orbita meluas ke sinonasal. Gejala kilnis utama pada kasus ini adalah hidung tersumbat dan perdarahan hidung, juga adanya proptosis pada mata kanan serta terjadi penurunan visus yang berlangsung cepat. Sesuai kepustakaan gejala klinis pada regio sinonasal adalah hidung tersumbat dan perdarahan hidung sedangkan gejala orbita yaitu proptosis dan penurunan visus. Jenis RMS berdasarkan histologi pada kasus ini adalah Alveolar RMS. Sesuai kepustakaan tipe alveolar adalah jenis yang paling sering pada sinonasal. Dan berdasarkan kepustakaan juga dikatakan bahwa tipe alveolar dan undifferentiated memiliki prognosis yang buruk. Kriteria IRS kasus ini termasuk grup III dan berdasarkan sistem TNM, kasus ini stadiumnya adalah T4N0M0. Kasus ini ditatalaksanai dengan tindakan operatif yaitu maksilektomi medialis dengan eksenterasi orbita. Sesuai kepustakaan modalitas utama massa sinonasal adalah operatif. Penyulit dari RMS sinonasal adalah eksisi massa secara komplit oleh karena massa tumor melekat pada otot rangka selain itu tingkat rekurensi dan faktor pertumbuhan tumor yang sangat cepat sehingga sebaiknya kasus ini diterapi lanjut dengan kemoterapi dan atau radioterapi. Berdasarkan kepustakaan untuk massa yang tidak dieksisi secara komplit sebaiknya penatalaksanaan dilanjutkan dengan kemoterapi atau radiasi, namun pada pasien ini tidak dilanjutkan kemoterapi/ radioterapi karena pasien menolak untuk dikemoterapi dan memilih untuk pengobatan alternatif.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Herrmann

BW,

Sotelo

C,

Eisenbeis

JF.

Pediatric

Sinonasal

Rhabdomyosarcoma. Three cases and a review of the literature. Am. J. Otolaryngol. 2003;24:174-180. 2. Gnegus. Kanker ganas Rhabdomyosarcoma. Available from : http://www.shuoong.com/medicine-and-health/comparativemedicine/kanker-ganas-rhabdomyosarcoma/2009 3. Doherty GM. Tumor in Childhood. In Current Diagnosis and treatment. Otolaryngology head and neck surgery. 3th ed. 2012 : p1203-4 4. Helman MD, Dagner R. Rhabdomyosarcoma. An overview. Pediatric Oncology Branch national cancer institute of health. Bethesda, USA.1998 5. Shabahang M, Kadir M, Saleh M, Tasmin FE. Metastasis of sinonasal rhabdomyosarcoma to breast. The Breast Journal. 2008;6:591-600 6. Gabriel G, Calzada. Malignant tumors of the nose and paranasal cavity. In: Rhinology and Facial plastic Surgery. Berlin, Heidelberg.2009: p392 7. Ahmed AA, Tsokos M. Sinonasal Rhabdomyosarcoma in children and young adults. International journal of surgical pathology.2007: 160-165 8. Leroy X. Aberrant diffuse expression of synap to physin in a sinonasal alveolar rhabdomyosarcoma. Pathology. 2007;39 (2):275-276 9. Fyrmpas G, Wurm J, Athanassiadout F. Management of pediatric sinonasal rhabdomyosarcoma. The journal of laryngology and otology. 2009;123:990-96 10. Galera H, Sanchez J, Rios J, Demingo EJ. Sinonasal radiation associated osteosarcoma after combined therapy for rhabdomyosarcoma of the nose. Auris Nasus Larynx. 2001;28:261-264 11. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan fisiologi terapan. Buku ajar penyakit THT. edisi 6: Jakarta : Adam Boies Higler, 1997. h 173-183. 12. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Edisi 13. Philadephia : Stephen Yeh, 1994 ;h 1-15.

16

13. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9th Ed. 1999: p365-371 14. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2007. h 145-147 15. Frederic B, Zhang PJ, Feldman, Michael D, Virginia A. Embryonal and Alveolar rhabdomyosarcoma of parameningeal sites in adults: a report of 13 cases. International journal of surgical pathology. 2009;17:22-30 16. Walterhouse D, Watson A. Optimal management strategies for rhabdomyosarcoma in children. Pediatric drugs. 2007;9(6):391-400 17. Michael D. Rhabdomyosarcoma. Available from:

http://www.righthealth.com/Alveolar rhabdomyosarcoma/2010 18. Rhabdomyosarcoma-Rhabdomyosarcoma. Available from: http://www. mayoclinic.org/rhabdomyosarcoma/2002 19. Lee KJ. Pediatric Otolaryngology. In Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9th Ed. 1999: p818, 1068 20. Bayle, Byron. Pediatric Malignancies. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. 2006 : p 1360-66

17

18

You might also like