You are on page 1of 18

MAKALAH PRESENTASI KASUS EFUSI PLEURA

Disusun oleh: Evan Regar Faradila Keiko Farah Asyuri Yasmin 0906508024 0906508062 0906552611

Hanifah Rahmani Nursanti 0906487814 Herliani Dwi Putri Halim 0906487820

Rombongan E

Modul Praktik Klinik Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak 10-20 ml yang berfungsi mempermudah pergerakan paru di rongga dada selama bernapas. Jumlah cairan melebihi volum normal dapat disebabkan oleh kecepatan produksi cairan di lapisan pleura parietal yang melebihi kecepatan penyerapan mikropleura viseral.1 Keadaan ini dapat mengancam jiwa karena cairan yang menumpuk tersebut dapat menghambat pengembangan paru-paru sehingga pertukaran udara terganggu.1 Banyak penyakit yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 119 pasien dengan efusi pleura di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2010-2011, efusi pleura kebanyakan disebabkan oleh keganasan (42.8%) dan tuberkulosis (42%).2 Penyakit lain yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura antara lain pneumonia, empiema toraks, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis.1 Umumnya pasien datang dengan gejala sesak napas, nyeri dada, batuk, dan demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas seperti bunyi redup pada perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada auskultasi paru bila cairan efusi sudah melebihi 300 ml. Foto toraks dapat digunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya efusi pleura.1 Oleh karena keadaannya yang dapat mengancam jiwa, dan penanganannya yang segera pada beberapa kasus, kami mengangkat kasus efusi pleura dalam makalah ini. Agar kami dapat mempelajari bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan kasus yang umumnya merupakan keadaan akut dari penyakit paru seperti tuberkulosis. cairan oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah

BAB II ILUSTRASI KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN Nama Pasien Jenis Kelamin Tanggal Lahir / Usia Tanggal Masuk Alamat Suku Pendidikan Pekerjaan Status perkawinan : Ny. S (BB 50 kg/ TB 155 cm) : Perempuan : 9 Oktober 1958 / 54 tahun : 9 Nov 2012 : Pulo Gebang Jakarta Timur : Jawa : Tamat SD : Ibu Rumah Tangga : Menikah

2.2. ANAMNESIS a. Keluhan Utama Sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak terutama dirasakan saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila beristirahat, namun tidak hilang sepenuhnya. PND dan OP disangkal. Sesak napas seperti ini tidak pernah dirasakan pasien sebelumnya. Sekitar 4 hari SMRS, pasien berobat ke PKM Duren Sawit karena sesak semakin memberat. Pasien melakukan pemeriksaan dahak sewaktu dan hasilnya negatif. Pasien diberikan 4 macam obat (3 diantaranya rifampisin, etambutol, isoniazid). Pasien sudah minum obat tersebut selama 3 hari. Tidak terdapat nyeri dada ataupun riwayat kaki bengkak selama ini. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak putih yang hilang timbul selama 1 minggu SMRS. Tidak ada riwayat demam dalam 2 minggu terakhir. Akhir-akhir ini pasien sering merasa mual dan mengaku memiliki riwayat maag. Semenjak sakit, terjadi penurunan berat badan sebanyak 5 kg. Keringat malam disangkal. Pasien tidak merokok, namun suami pasien adalah perokok aktif.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki penyakit maag, tidak ada riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma dan penyakit jantung. Selama ini pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit.

d. Riwayat Penyakit Keluarga Di keluarga tidak ditemukan keluhan yang sama dengan pasien, tidak ada riwayat diabetes melitus, hipertensi, asma, dan sakit jantung di keluarga.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK - Keadaan Umum : Kompos Mentis - Tanda vital o Tekanan darah o Frekuensi nadi o Frekuensi napas o Suhu : 110/60 mmHg : 88 kali/menit : 22 kali/menit : 36 C

- Kepala : Normosefalik, tidak ada deformitas - Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (+)/(+) - JVP : 5-2 cmH2O - Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran - Dada : Venektasi (-) - Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-) - Paru : o Inspeksi o Palpasi o Perkusi o Auskultasi simetris saat statis dan dinamis
vocal fremitus kanan lebih lemah dibandingkan kiri redup / sonor vesikuler / (+), rhonki (-)/(-), wheezing (-)/(-)

- Perut : Lemas, datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba - Ginjal : Nyeri ketok CVA (-), Ballotement (-) - Ekstremitas : akral hangat, edema tungkai (-)/(-)

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah Perifer Lengkap Leukosit : 5400 / mm3 Hitung Jenis Leukosit : o Netrofil : 56,5 % o Limfosit : 36,3 % o Monosit : 7,2 % o Eosinofil : 0 % o Basofil : 0% Eritrosit : 1,57 juta/L (3,6 - 5,8) Hb : 5,4 gr/dL Ht : 16 % (35 -47) MCV : 102,5 fL (80-100) MCH : 34,4 pg (26-34) MCHC : 33,5 % (32-36) Trombosit : 32 ribu/mm3 (150 440) GDS : 118 Analisis Gas Darah - pH : 7,507 (7,34 -7,44) - pCO2 : 31,5 (35 45) - pO2 : 65,7 (85 95) - HCO3 : 24,4 - Saturasi O2 : 94,8 % (96-98) Elektrolit - Na : 126 mmol/L (135-145) - K : 2,68 mmol/L (3,5-5,5) - Ca : 7,3 mmol/L (8,4-10,2) - Cl : 97 mmol/L (98-109)

Fungsi Hepar dan Ginjal Bilirubin total : 1,67 mg/dL (0,1-1,1) - Ureum : 17 mg/dL (20-40) Bilirubin direct : 0,7 mg/dL (0,1 0,4) - Kreatinin : 1 mg/dL (0,8 1,5) SGOT : 29 u/L (0-37) SGPT : 60 u/L (0-40)

2. Radiologi (Chest X-Ray)

2.5. DIAGNOSIS Diagnosis Kerja: - Efusi pleura kanan e.c keganasan - Syndrome dyspepsia - Suspect TB paru BTA (?) LLKB - Anemia Masalah - Trombositopenia - Hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, hipokloremia - Hipoksemia Diagnosis Banding : - Efusi pleura kanan e.c TB

2.6. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN - Periksa sputum BTA SPS (kultur dan resistensi) - Periksa BTA dari cairan pleura (kultur dan resistensi) - Periksa mikroorganisme dari cairan pleura (kultur dan resistensi) - Analisis cairan pleura - Periksa ulang elektrolit dan darah perifer lengkap pasca koreksi

2.7. RENCANA PENGOBATAN - Oksigen 4 L / menit nasal kanul - IVFD NaCl 0,9% 500 cc + KCl 25 mEq dalam 12 jam - Ranitidin 2 x 50 mg IV - Curcuma 3 x 1 tab - Pro Transfusi o Jika pasca transfusi trombosit masih rendah, lakukan protransfusi TC o Lakukan punksi pleura setelah perbaikan keadaan umum

2.8. PROGNOSIS Ad vitam Ad functionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

Ad sanasionam : dubia ad bonam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal.3 Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung kontak

antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas paru.4 Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n. frenikus).

Gambar 1 Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps (Kiri)
7

Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah (sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20 kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.

Gambar 2 Desain Morfofungsional Rongga Pleura (s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner) Gambar 2 adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik parietal, ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler endotelium, serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang selain menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari rongga pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura yang disebut sebagai stomata limfatik. Kepdatan stomata limfatik tergantung dari regio anatomis pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata cm-2 di pleura parietal interkostal, sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran stomata juga bervariasi dengan rerata 1 m (variasi antara 1 40 m)4.
8

Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula hukum Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua kompartmen. Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut5: Jv = Kf [(PH1 PH2) - (1 - 2)] Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1 menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran zat terlarut dapat berlangsung secara bebas).

Gambar 3 Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang menggambarkan hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura. Hipotesis ini terlalu sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan limfatik pleura; sedangkan (b) merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan percobaan terhadap kelinci. Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler sistemik) ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil mendorong cairan ini ke rongga
9

pleura.3 Nilai antara intersitisium parietal dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3), sehingga pergerakan protein terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1)5. Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada sebagian besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua rongga yang secara fungsional terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada manusia pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal, sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya relatif rendah. Saluran limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik -10 cmH2O. 3.2 Efusi Pleura Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai absoprsi (drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada mekanisme yang telah dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk dari pleura visceral atau rongga peritoneum (melalui lubang kecil di diafragma). Dengan demikian efusi dapat terjadi apabila terjadi kelebihan produksi (berasal dari interstisial paru atau pleura visceral, pleura parietal, dan rongga peritoneal) serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi limfatik).

Pendekatan diagnostik pada efusi pleura melibatkan pengukuran parameter cairan pleura serta keadaan sistemik. Efusi perlu dibedakan antara transudat (yang umumnya terjadi akibat faktor sistemik) dan eksudat (akibat faktor lokal). Transudat dan eksudat dapat dibedakan dengan mengukur LDH dan protein, sehingga dapat disimpulkan bahwa eksudat dicirikan dengan6: 1. Rasio protein cairan pleura/serum > 0,5 2. Rasio LDH cairan pleura/serum >0,6 3. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 batas atas LDH serum Perlu pula dilakukan pengukuran gradien protein antara serum dengan pleura, yang mana gradien yang lebih dari 3,1 g/dL menggambarkan jenis transudat. Temuan karakteristik eksudat membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, seperti kadar glukos, hitung jenis, studi mikrobiologis, dan sitologi.6

10

Gambar 5 menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan algoritma pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan transudat memerlukan kecurigaan ke arah: 1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat kegagalan pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular paru. NT-proBNP >1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal jantung kongestif. 2. Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites. 3. Emboli paru 4. Sindroma nefrotik 5. Dialisis peritonela 6. Obsgtruksi sindroma kava superior 7. Miksedema

Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis tuberkulosis dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90% sel darah putih), serta marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura (yakni adenosin deaminase/ADA> 40 IU/L atau interferon gamma lebih dari 140 pg/mL). Cairan pleura dapat pula dikultur, biopsi jarum pleura, atau torakoskopi. Efusi yang banyak mengandung sel darah merah menggambarkan keganasan, trauma, atau emboli paru.

Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis. Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi purulen yang masif.

11

Gambar 5 Algoritma Diagnosis Efusi Pleura7 Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos toraks tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain seperti ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi opak dan menggeser
12

mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian masif umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan tuberkulosis. Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura masif berada, perlu dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun penekanan akibat tumor.7

Gambar 6 Kiri: Foto PA yang Menggambarkan Penumpullan Sudut Kostrofrenikus Kiri; Kanan: Foto LLD Pasien yang Sama7

13

BAB IV PEMBAHASAN

Ny. S, 54 tahun, datang dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak terutama dirasakan saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila beristirahat, namun tidak hilang sepenuhnya. Sesak napas seperti ini tidak pernah dirasakan pasien sebelumnya. Pasien melakukan pemeriksaan dahak sewaktu dan hasilnya negatif. Pasien diberikan 4 macam obat (3 diantaranya rifampisin, etambutol, isoniazid). Pasien sudah minum obat tersebut selama 3 hari. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak putih yang hilang timbul selama 1 minggu SMRS. Semenjak sakit, terjadi penurunan berat badan sebanyak 5 kg. Pasien tidak merokok, namun suami pasien adalah perokok aktif. Frekuensi napas pasien 22 kali/menit. Saat dipalpasi, vocal fremitus kanan lebih lemah dibandingkan kiri. Saat di perkusi, terdengar bising ketok redup pada paru kanan dan sonor pada paru kiri. Pada auskultasi ditemukan penurunan suara napas vesikuler pada paru kanan. Batuk produktif dan sesak napas selama 1 minggu, penurunan berat badan sebanyak 5 kg, serta riwayat pemberian OAT perlu dicurigai suspek TB, walaupun pada pemeriksaan dahak sewaktu didapatkan hasil negatif. Oleh karena itu pada rencana pemeriksaan pasien direncanakan untuk periksa sputum BTA. Namun, batuk produktif, sesak napas, dan penurunan berat badan juga dapat disebabkan oleh keganasan. Gejala yang didapatkan dari anamnesis tidak terlalu khas sehingga belum dapat disimpulkan. Sesak napas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta penurunan suara napas vesikuler pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi pleura. Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding toraks sehingga vocal fremitus melemah. Adanya cairan menyebabkan bising ketok redup saat diperkusi. Bunyi pernapasan yang lemah juga dapat disebabkan efusi pleura, karena cairan merupakan rintangan bagi bising vesikuler, serta adanya efusi mengakibatkan alveolus tidak dapat mengembang dengan luas. Penegakan diagnosis efusi pleura dapat diperkuat dengan hasil radiologi. Dari foto toraks, didapatkan gambaran penumpulan sudut kostofrenikus kanan pada foto

posteroanterior. Penyebab efusi pleura perlu dianalisis lebih lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menentukan
14

penyebab dari efusi pleura adalah analisis cairan pleura. Perbedaan mendasar antara efusi pleura akibat keganasan atau tuberkulosis adalah sebagai berikut:8 Penyebab Tampilan Hitung jenis leukosit Keganasan Turbid hingga berdarah Tuberkulosis Serosang (campuran darah dan cairan serosa) 5-10.000 limfosit <10.000 Normal sampai Normal sampai Pemeriksaan marker TB ADA: >70 IU/L TB, jika<40 IU/L bukan TB. Pewarnaan BTA: 0-10% dengan pewarnaan TB kultur dan resistensi 1-10.000 limfosit <100.000 Normal hingga Normal hingga Pemeriksaan sitologi Eritrosit pH Glukosa Keterangan

Kemungkinan bakteri lain sebagai penyebab dari efusi pleura dapat diperiksa melalui kultur bakteri aerobik dan anaerobik. Hasil dengan kultur meningkat apabila cairan pleura diinokulasikan langsung (bedside ) ke dalam botol kultur darah.Sedangkan untuk kecurigaan yang mengarah ke pleuritis TB, selain kultur cairan pleura, harus dilakukan pula kultur sputum. Untuk kecurigaan yang mengarah pada keganasan, dilakukan pemeriksaan sitologi. Pada keganasan, pemeriksaan sitologi cairan pleura memberikan hasil 60% positif. Jika negatif, kemungkinan besar keganasan berupa mesotelioma, sarkoma, dan limfoma.7 Opsi lain adalah setelah melakukan punksi pleura, dapat dilakukan kembali foto toraks untuk melihat gambaran radiologi secara lebih jelas. Oleh karena pasien tidak
15

memiliki riwayat OAT sebelumnya, TB yang terjadi kemungkinan TB primer sehingga gambaran radiologi bisa berupa: lobus yang terkena adalah bawah dan tengah. infiltrat bilateral atau tanpa infiltrat. limfadenopati mediastinum, pola milier, tanda penyakit pleura, dan lain-lain. jika sembuh, dapat memberikan gambaran fibrosis dan kalsifikasi.9 Apabila keganasan, dari gambaran radiologi terlihat adanya massa opak yang mendesak bisa dinilai dari pergeseran batas jantung. Dapat pula diikuti dengan peningkatan opasitas paratrakeal yang mengindikasikan adanya limfadenopati.10 Selanjutnya, dari hasil laboratorium, permasalahan yang dijumpai pada pasien berupa gangguan fungsi hati yang ditandai dengan peningkatan SGPT (60, normal: 0-40), sedangkan SGOT dalam batas normal. Kemudian, ditemukan pula peningkatan bilirubin total dan bilirubin direk. Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian OAT. Hepatitis karena pemberian isoniazid dan rifampisin sering terjadi. Isoniazid diduga memproduksi hidrazin, suatu metabolik yang bersifat hepatotoksik. Oleh karena hanya SGPT yang meningkat dan peningkatannya tidak lebih dari dua kali nilai normal maka pemberian isoniazid dan rifampisin dapat dilanjutkan.11 Permasalahan lainnya yang ditemui pada pasien ini adalah trombositopenia (32.000) dan anemia (Hb: 5,4) maka direncanakan transfusi darah. Kebutuhan transfusi dapat dihitung dengan: Hb yang diinginkan- Hb sekarang Hb donor Untuk hiponatremia (126) dan hipokalemia (2,68) dikoreksi dengan pemberian infus NaCl 0,9% 500 cc + KCl 25 mEq dalam 12 jam. Pasien juga mengalami hipoksemia ringan (pO2 : 65,7) sehingga diberikan oksigen 4L/menit melalui nasal kanul. Untuk hipokalsemia (7,3), dapat diberikan kalsium oral 1-3 g/hari.8 Sedangkan hipokloremia (97) tidak terlalu bermakna karena penurunan hanya satu angka dari rentang normal (98-109). Selanjutnya, direncanakan pemeriksaan laboratorium elektrolit dan darah perifer lengkap pasca koreksi. Jika permasalahan teratasi yang ditandai dengan kondisi umum membaik, maka dilanjutkan dengan punksi pleura. Untuk pengobatan gastritis yang dialami oleh pasien dapat diberikan X volume darah pasien (perempuan 70 mL/kgBB)

16

ranitidin intravena. Kemudian, curcuma juga diberikan untuk meningkatkan nafsu makan pasien.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Bahar A. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al. Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 1998; 785-97. 2. Khairani A, Syahruddin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo. 2012; 32:155-60 3. Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum. [Internet]. Cited: 2012 Nov 10. Available from: http://www.oucom.ohiou.edu/dbmswitmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf 4. ORahilly R, Muller F, Carpenter S, Swenson R. Basic human anatomy: A regional study of human strucutre. [Internet]. Cited: 2012 Nov 10. Available from: http://www.dartmouth.edu/~humananatomy/index.html 5. Miserocchi G. Physiology and pathophysiology of pleural fulid turnover. Eur Respir J, 1991; 10:219-25 6. Light RW. Disorders of the pleura and mediastinum. 7. Porcel JM, Light RW. Diagnostic approach to pleural effusion. Am Fam Physician. 2006; 73(7):1211-20 8. Sabatine MS. Pocket medicine. 4th ed. USA: Williams & Wilkins; 2011, part.2-11, 712. 9. Diagnosis of tuberculosis disease: radiology. Diunduh dari: www.heartlandntbc.org/training/archives/tbin_20080923_1510.pdf. Diakses pada 12 Nov 2012, pk. 09.22 WIB. 10. Irshad A. Imagin in Small Cell Lung Carcinoma. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/358274-overview. Diakses pada 12 Nov 2012, pk. 09.32 WIB. 11. Amin Z, Bahar A. Pengobatan tuberculosis mutakhir. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal.2245.

18

You might also like