You are on page 1of 44

I.

DEFINISI Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)?. Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)" II. ANATOMI DAN FISIOLOGI Anatomi fisiologi Paru-paru Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) : 1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. 2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluhpembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

letak paru-paru. Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua): 1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paruparu. 2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak. Pembuluh darah pada paru Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen. Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler. Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda. Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalamdalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang, 2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak 5 liter 3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter) 4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya. Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tibatiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut III. KLASIFIKASI Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut; Bronkitis kronik Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. Etiologi Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu : 1. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae. 2. Alergi 3. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu : 1. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

2. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus. 3. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Patofisiologi Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami : 1. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus. 2. Mukus lebih kental 3. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. 4. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

5. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paruparu. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis. 6. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. 7. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. 8. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF Emfisema paru Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation". Patogenesis Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu: 1. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar. 2. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi. 3. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray. 4. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas

Tipe Emfisema Terdapat tiga tipe dari emfisema : 1. Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa. 2. Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok. 3. Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul. Patofisiologi Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok

Asma Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme Bronkiektasis Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe IV. ETIOLOGI Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain: 1. Merokok sigaret yang berlangsung lama 2. Polusi udara 3. Infeksi peru berulang 4. Umur 5. Jenis kelamin 6. Ras 7. Defisiensi alfa-1 antitripsin 8. Defisiensi anti oksidan Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan V. PATOFISIOLOGI Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993). VI. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok: 1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater). 2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers). Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut: 1. Kelemahan badan 2. Batuk 3. Sesak napas 4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi 5. Mengi atau wheeze 6. Ekspirasi yang memanjang 7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut 8. Penggunaan otot bantu pernapasan 9. Suara napas melemah 10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal 11. Edema kaki, asites dan jari tabuh

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan radiologist Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal. 2. Corak paru yang bertambah Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu: 3. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer. 4. Corakan paru yang bertambah. 5. Pemeriksaan faal paru Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. 2. Analisis gas darah Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan. 3. Pemeriksaan EKG Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet. 4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi. 5. Laboratorium darah lengkap

VIII. PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah: 1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik. 2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian. 3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal. Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut: 1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara. 2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara. 3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik. 4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial. 5. Pengobatan simtomatik. 6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul. 7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit. Tindakan rehabilitasi yang meliputi: 1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus. 2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif. 3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani. 4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis) 1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara 2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan : 1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 40.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat. 2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2 3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik. 4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan. 3. Terapi jangka panjang di lakukan : 1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 40,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut. 2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru. 3. Fisioterapi 4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik 5. Mukolitik dan ekspektoran 6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

IX. KOMPLIKASI 1. Hipoxemia Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis. 2. Asidosis Respiratory Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea. 3. Infeksi Respiratory Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea. 4. Gagal jantung Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini. 5. Cardiac Disritmia Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory. 6. Status Asmatikus Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat. BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

Pengkajian Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit: 1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan? 2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? 3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas? 4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas? 5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh? 6. Riwayat merokok? 7. Obat yang dipakai setiap hari? 8. Obat yang dipakai pada serangan akut? 9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya? Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien? 2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya? 3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi? 4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan? 5. Barrel chest? 6. Apakah tampak sianosis? 7. Apakah ada batuk? 8. Apakah ada edema perifer? 9. Apakah vena leher tampak membesar? 10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien? 11. Bagaimana status sensorium pasien? 12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan? 13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti : 1. Chest X-Ray : Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)

2. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator. 3. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema. 4. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema 5. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma. 6. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma). 7. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis) 8. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma). 9. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer. 10. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi. 11. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema) 12. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program. 14. Palpasi: 1. Palpasi pengurangan pengembangan dada? 2. Adakah fremitus taktil menurun? 15. Perkusi: 1. Adakah hiperesonansi pada perkusi? 2. Diafragma bergerak hanya sedikit? 16. Auskultasi: 1. Adakah suara wheezing yang nyaring? 2. Adakah suara ronkhi? 3. Vokal fremitus nomal atau menurun?

Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini: 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal. 2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas. 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen. 5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia. 6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi. 7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. 8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi. 9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja. 10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi. Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk: 1. Gagal/insufisiensi pernapasan 2. Hipoksemia 3. Atelektasis 4. Pneumonia 5. Pneumotoraks 6. Hipertensi paru 7. Gagal jantung kanan

Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal. 1. Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien 2. Intervensi keperawatan: 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal. 2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk. 3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB 4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan. 5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap. 6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan. 7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan. 8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus pneumoniae. 2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas. 1. Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien 2. Intervensi: 1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan. 2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien. 3. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan. 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi 1. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas 2. Intervensi keperawatan: 1. Deteksi bronkospasme saat auskultasi . 2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.

3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya. 4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan. 5. Pantau pemberian oksigen. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen. 1. Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin. 2. Intervensi keperawatan: 1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan. 2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital. 3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan. 4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar. 5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien. 6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga. 7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari. 8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan. 9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah. 1. Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi. 2. Intervensi keperawatan: 1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh. 2. Auskultasi bunyi usus 3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret. 4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan. 5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama. 6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas. 7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi. 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi. 1. Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi 2. Intervensi keperawatan: 1. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur. 2. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut. 3. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler. 4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien. 5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia. 7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. 1. Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri 2. Intervensi: 1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga. 2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi. 3. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi. 1. Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan 2. Intervensi keperawatan: 1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat. 2. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak. 3. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak. 9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja. 1. Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal. 2. Intervensi keperawatan: 1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien. 2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala 3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien. 4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia. 5. Tingkatkan harga diri klien. 6. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk. 10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi. 1. Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya. 2. Intervensi keperawatan: 1. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya. 2. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.

1.

Definisi Acute Respiratory Distress Syndrome (Sindrom Distress Pernafasan Akut) adalah perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disease (HMD) (Suriadi, 2001). RDS juga disebut sebagai sindrom gawat nafas yaitu kumpulan gejala yang terdiri atasdispnea atau takipnea dengan frekuensi pernafasan besar 60 kali per menit, sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah epigastrium, suprosternal, interkostal pada saat inspirasi (Ngastiyah, 2005 : 23). Menurut Whalley dan Wong, gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan perkembangan maturitas paru. Sedangkan menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea), frekuensi nafas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sehingga, dari keempat definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ARDS adalah gangguan pada paru karena perkembangan paru yang immatur serta tidak adekuatnya jumlah surfaktan dan adanya membran hialin dalam ductus alveolaris dan dapat ditemukan perdarahan intrapulmoner. Kondisi ini umumnya ditemukan pada bayi prematur pada hari pertama kehidupan, insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu, dan sekitar 3% pada bayi yang lebih dari 37%. RDS pada anak merupakan penyebab utama kematian pada bayi baru lahir, diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh penyakit ini atau komplikasinya.

2.

Etiologi dan Faktor Presipitasi Etiologi RDS dihubungkan dengan usia kehamilan, semakin muda seorang bayi, semakin tinggi resiko RDS sehingga menjadikan perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS terjadi dua kali lebih banyak pada lakilaki daripada perempuan, insidens meningkat pada bayi dengan faktor-faktor tertentu, misalnya

ibu yang menderita diebetes mellitus melahirkan bayi berusia kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal dan lahir melalui sectio caesaria. Etiologi yang lain dari ARDS adalah: a. b. c. Kelainan paru: pneumonia Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Asfiksia, perdarahan otak

d. Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik e. f. Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal, hernia diafragmatika Kelainan lain: sindrom Aspirasi mekonium, penyakit membran hialin Bila menurut masa gestasi, penyebab gangguan nafas adalah a. Pada bayi kurang bulan Penyakit membran hialin Pneumonia Asfiksia Kelainan atau malformasi kongenital

b.

Pada bayi cukup bulan Sindrom Aspirasi Mekonium

Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah kumpulan gejala yang diakibatkan oleh terhisapnya mekonium ke dalam saluran pernafasan bayi akibat peningkatan aktivitas usus janin. Mekonium adalah feses janin saat dalam kandungan yang apabila terjadi gangguan dapat bercampur dengan cairan amnion sehingga terhirup oleh janin. Pneumonia Asidosis kelainan atau malformasi kongenital Penurunan suplai oksigen saat janin atau setelah lahir pada bayi prematur maupun bayi matur juga dapat menjadi salah satu etiologi dari RDS ini.

3.

Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil (immatur) sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah dan produksi surfaktan kurang sempurna. Pada kasus yang terjadi akibat tidak adanya atau kurangnya atau berubahnya komponen surfaktan pulmoner. Surfaktan merupakan kompleks lipoprotein yang merupakan bagian dari permukaan mirip film yang ada di alveoli, untuk mencegahnya kolapsnya alveolus tersebut. Surfaktan dihasilkan oleh sel-sel pernafasan tipe II di alveoli. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Bila surfaktan tersebut tidak adekuat, akan terjadi kolaps alveolus dan mengakibatkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat serta hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Kemudian terjadi konstriksi vaskuler pulmoner dan penurunan perfusi pulmoner, yang berakhir sebagai gagal nafas progresif yang dapat menyebabkan kematian (Nelson, 2000). Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

4.

Manifestasi Klinis Tanda dan gejala yang muncul pada bayi dengan RDS adalah:

a. b. c. d. e. f. g.

Takipnea Retraksi interkostal dan sternal Pernafasan cuping hidung Sianosis Hipoksemia Menurunnya daya compliance paru (nafas ungkang-ungkit paradoksal) Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih dari 3 sampai 4 detik)

h. i. j.

Penurunan ekskresi urin Penurunan suara nafas dengan ronchi Takikardia pada saat terjadi hipoksemia dan asidosis.

Chart Skor Apgar digunakan untuk menilai kondisi neonatus 60 detik setelah lahir. Lebih tinggi skor maka lebih baik kondisi bayi. Skor 10 menunjukkan kondisi yang optimum. Skor 2 atau kurang menunjukkan status bayi yang buruk. Chart ini dikembangkan oleh Dr. Virginia Apgar.

Tanda Warna kulit Tonus otot Pernafasan Denyut nadi Respon refleks

Nilai 0 Sianosis generalisata Flaksid Absen Absen Absen 1 Sianosis perifer Gerakan fleksi dari anggota gerak atau badan Menarik nafas Di bawah 100x/menit Respon yang buruk 2 Baik, merah muda Tonus otot baik Ritmik atau menangis Di atas 100x/menit Respon yang cepat

Gejala biasanya ditemukan segera setelah lahir tetapi dapat tertunda selama 2 sampai 4 jam. Tanda lain yang muncul adalah terjadinya edema yang semakin parah pada 12 jam pertama.

Masa apnea terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada bayi dengan kondisi yang memburuk (Sacharin, Rossa. 1994:357).

5.

Klasifikasi

Secara klinis gangguan nafas yang terjadi pada bayi dengan RDS atau ARDS dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: a. b. c. Gangguan nafas berat Gangguan nafas sedang Gangguan nafas ringan Frekuensi nafas >90 kali/ menit Gejala tambahan Dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi. Dengan atau tanpa gejala lain dari gangguan nafas. Gangguan nafas sedang 60-90 kali/ menit Dengan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi tetapi tanpa sianosis sentral. Tanpa tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral. Gangguan nafas ringan 30 - 60 kali/menit Tanpa tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral.

Klasifikasi Gangguan nafas berat

6.

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat ARDS pada bayi adalah sebagai berikut: a. Pneumothorak Pneumothorak adalah terakumulasinya udara di dalam rongga pleura. Akibat dari terakumulasi udara dalam rongga pleura dan bila terjadi dalam jumlah yang banyak akan mendesak organ paru sehingga paru mengempis. Organ paru sebagai alat yang bertanggung jawab untuk mengambil oksigen, dengan segala akibatnya yang terjadi pada tubuh bila kekurangan oksigen. b. Pneumomediastinum Pneumomediastinum adalah suatu kondisi dimana adanya udara atau gas bebas pada mediastinum yang umumnya berasal dari rongga alveolar atau jalan nafas dengan etiologi multifaktorial (lebih banyak berhubungan dengan spontan pneumomediastinum dibandingkan dengan kejadian yang berhubungan dengan trauma, intubasi atau prosedur bedah). c. d. e. f. g. h. Hipotensi Menurunnya ekskresi urine Asidosis Hiponatremi dan hipernatremi Hipokalemi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuanbekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Komplikasi obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut (Abdil, 2001). i. j. k. Kejang Intraventricular Hemorhargic Infeksi sekunder

l.

Murmur Murmur adalah salah satu gejala kelainan pada jantung. Dimana murmur terjadi karena adanya turbulensi yang tidak normal pada aliran darah. sehingga murmur dapat didefinisikan sebagai suara tambahan yang tidak normal yang di akibatkan oleh aliran darah yang berturbulensi yang mengakibatkan vibrasi (Wardono, 2008).

7. a. Foto thorak

Pemeriksaan Diagnostik

Pada bayi dengan RDS atau ARDS, hasil dari gambaran foto thorax akan menunjukkan: Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang saling tumpah tindih Tanda paru sentral batas jantung sukar dilihat, inflasi paru buruk Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif) Bayangan timus yang besar Bergranul merata pada bronkhogram udara, yang menandakan penyakit berat jika terdapat pada beberapa jam pertama.

b.

Gas Darah Arteri, menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik yaitu adanya penurunan pH, penurunan PaO2, penurunan HCO3 dan peningkatan PaCO2.

c. d.

Hitung Darah Lengkap (Whole Blood) Perubahan kadar elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar kalsium, kalium, natrium dan glukosa serum (mengindikasikan hipoglikemia).

8.

Penatalaksanaan

Adapun prinsip manajemen perawatan dan pengobatan yang harus dilakukan adalah: a. Memberikan kondisi lingkungan yang optimal Suhu tubuh harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,20-36,80C) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat (70-80%). Kehangatan dan humiditas yang adekuat menjamin penggunaan energi dan oksigen terkecil. b. Pemberian oksigen Pemberian oksigen harus hati-hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Untuk mencegah timbulnya komplikasi tersebut pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah. Rumatan PaO2 antara 50 sampai 80 mmHg dan PaCO2 antara 40 sampai 50 mmHg, dengan rumatan oksigen 2L/menit. c. Pemberian cairan dan elektrolit Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% 60-125 ml/kgBB/hari. Pemberian dextrose (glukosa) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kalori yang tidak didapat secara oral (melalui ASI) dan untuk mengatasi oliguri ringan atau sedang yang terjadi pada bayi. Komposisi dextrose adalah glukosa 50 g/l (5%), 100 g/l (10%) dan 200 g/l (20%). Indikasi pemberian dextrose selain untuk oliguri adalah sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan sesudah operasi. Sedangkan kontraindikasinya adalah hiperglikemia. Namun perlu diwaspadai bahwa injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis. Asidosis yang selalu dijumpai pada bayi dengan ARDS atau RDS harus segera dikoreksi dengan NaHCO3 secara intravena, dengan rumus pemberian: NaHCO3 (mEq) = defisit basa x 0,3 x BB bayi. Makanan intravena dapat diberikan atau suatu diberikan infus-intravena untuk memperbaiki asidosis metabolik. d. Pemberian antibiotik Biasanya diberikan antibiotik sebagai profilaksis atau karena infeksi oleh streptococcus B menjadikan sukar untuk membedakan antara pneumonia dan sindroma distress pernafasan. Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penissilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari dengan atau tanpa gentamicin 3-5/kgBB/hari.

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS selain pemberian antibiotik adalah: Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan cairan paru Fenobarbital Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen Metilksantin (teofilin dan kafein) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik (Cusson,1992). e. Pemberian surfaktan eksogen Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien HMD adalah pemberian surfaktan eksogen, ini merupakan derivat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan. Surfaktan eksogen ini diberikan melalui endotrakheal tube dan obat ini sangat efektif. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS/ARDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik penggunaan surfaktan buatan (Willkinson, 1985), surfaktan dari cairan amnion manusia (Merrit, 1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring, 1985) dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan ARDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan. Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) setelah prinsip manajemen perawatan, segera dilakukan manajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Manajemen spesifik atau manajemen lanjut: a. Gangguan nafas ringan Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tacypnea of the Newborn (TTN). TTN atau disebut juga Wet Lung Syndrome adalah gangguan pernapasan yang paling sering dikhawatirkan terjadi pada bayi caesar. Gangguan ini terjadi akibat cairan yang memenuhi paru janin selama berada dalam rahim tidak terkompresi. Padahal proses persalinan per vaginam dapat dipertanggungjawabkan

melewati jalan lahir inilah yang memungkinkan cairan yang memenuhi paru-paru semasa janin berada dalam rahim dipompa habis keluar. Selain itu, proses kompresi juga terjadi berkat kontraksi rahim ibu secara berkala. Kontraksi yang lama-kelamaan semakin kuat ini akan menekan tubuh bayi, sehingga otomatis cairan dalam paru-parunya ikut keluar. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik (Metin, 2006). b. Gangguan nafas sedang Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup Bayi jangan diberi minum Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamicin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis. Suhu aksiler <> 39C Air ketuban bercampur mekonium Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam). Bila suhu aksiler 34-36,5 C atau 37,5-39C tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam: Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangi terapi O2 secara bertahap. Pasang NGT, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum baik dan tak ada alasan bayi tetap tinggal di Rumah Sakit, bayi dapat dipulangkan.

c.

Gangguan nafas berat Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit. Suplai oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan Oxygen toxic (keracunan oksigen) dimana kadar oksigen dalam paru terlalu banyak dibandingkan kadar karbondioksida. Padahal karbondioksida dalam paru diperlukan agar paru dapat mengembang. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat terjadi apnea yang berujung pada kematian karena pemberian oksigen yang berlebihan. Resusitasi Bayi Baru Lahir dengan Apnea atau Dispnea Pada bayi dengan RDS atau ARDS sering terjadi apnea (tidak bernafas) atau nafas megapmegap/sesak nafas (dispnea). Hal tersebut merupakan salah satu indikasi untuk dilakukan resusitasi. Penundaan pertolongan akan membahayakan bayi. Tahap I: Langkah Awal Langkah ini perlu dilakukan dalam waktu 30 detik. Bagi kebanyakan bayi baru lahir, 6 langkah awal di bawah ini cukup untuk merangsang bayi bernapas spontan dan teratur (sambil melakukan langkah awal ini, beritahukan ibu dan keluarga bahwa bayinya perlu pertolongan napas dan mintalah salah seorang keluarga mendampingi ibu untuk memberi dukungan moral, menjaga ibu dan melaporkan bila ada perdarahan). Adapun 6 langkah awal tersebut adalah : 1) Jaga bayi tetap hangat Bagi perawat atau tenaga kesehatan yang sudah terbiasa: Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu Bungkus bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat, dan Pindahkan bayi ke atas kain di tempat resusitasi.

Bagi perawat atau tenaga kesehatan yang belum terbiasa melakukan tindakan di atas, lakukan hal sebagai berikut: Potong tali pusat di atas kain yang ada di bawah perineum ibu Letakkan bayi di atas kain 45 cm dari perineum ibu Bungkus bayi dengan kain tersebut Pindahkan bayi di tempat resusitasi. 2) Atur posisi bayi Baringkan bayi terlentang dengan kepala didekat penolong Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi. 3) Isap Lendir Gunakan alat penghisap lendir De Lee dengan cara sebagai berikut: Isap lendir mulai dari mulut dulu, kemudian dari hidung Lakukan pengisapan saat alat pengisap ditarik keluar, tidak pada waktu memasukkan Jangan lakukan pengisapan terlalu dalam (jangan lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung), hal itu dapat menyebabkan denyut jantung bayi menjadi lambat atau bayi tiba-tiba berhenti bernapas.

4) Keringkan dan Rangsang bayi Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat membantu bayi baru lahir mulai bernapas atau tetap bernapas. Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini : Menepuk atau menyentil telapak kaki Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan. 5) Atur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi Ganti kain yang telah basah dengan kain yang di bawahnya Bungkus bayi dengan kain tersebut, jangan menutupi muka dan dada agar bisa memant au pernapasan bayi Atur kembali posisi kepala bayi sehingga kepala sedikit ekstensi. 6) Lakukan Penilaian Bayi Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, tidak bernapas atau bernapas megapmegap. Bila bayi bernapas normal, berikan bayi kepada ibunya:

Letakkan bayi di atas dada ibu dan selimuti keduanya untuk penghangatan dengan cara kontak kulit bayi ke kulit ibu Anjurkan ibu untuk menyusui bayi sambil membelainya. Bila bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap, mulai lakukan ventilasi bayi. Tahap II: Ventilasi Ventilasi merupakan tahapan tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah volume udara ke dalam paru dengan tekanan positip untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa bernapas spontan atau teratur. Langkah-langkah: 1) Pasang sungkup dan pegang sungkup agar menutupi mulut dan hidung bayi. 2) Ventilasi 2 kali Lakukan tiupan dengan tekanan 30 cm/H2O Tiupan awal ini sangat penting untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa mulai bernapas dan menguji apakah jalan napas bayi terbuka. Lihat apakah dada bayi mengembang. Bila dada bayi tidak mengembang : Periksa posisi kepala, pastikan posisi sudah ekstensi Periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada udara yang bocor Periksa cairan atau lender di mulut. Bila ada lender atau cairan lakukan pengisapan. 9. Prognosis

Meskipun sudah ada banyak kemajuan untuk perawatan bayi dengan ARDS, angka kematiannya sangat bervariasi. Faktor presipitasi sangat mempengaruhi hasil dari perawatan. Prognosis terburuk dapat terjadi akibat adanya sepsis yang tidak terkendali, transplantasi sumsum tulang, kanker dan multisistem yang terlibat dengan kerusakan hati. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (Lemons et al, 2001). ARDS merupakan situasi yang sangat mencemaskan dan menakutkan bagi bayi maupun orang tuanya. Pemenuhan kebutuhan psikologis adalah elemen penting dalam perawatan bayi dengan ARDS ini.

10.

Tindakan Pencegahan

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi, dan pada penatalaksanaan kelahiran dengan usia kehamilan 32 minggu atau kurang dianjurkan memberi dexametason atau betametason 48-72 jam sebelum persalinan. Pemberian glukortikoid juga dianjurkan karena berfungsi meningkatkan perkembangan paru janin.

B. ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN ARDS 1. a. Pengkajian Riwayat Maternal (kehamilan) Ibu menderita penyakit seperti diabetes mellitus Kondisi seperti perdarahan placenta Tipe dan lamanya persalinan Stress fetal atau intrapartus b. Status infant saat lahir Prematur, umur kehamilan Apgar score, apakah terjadi asfiksia Bayi prematur yang lahir melalui operasi caesar c. Status Behavioral Lethargy, yaitu suatu kondisi dimana kesadaran menurun, respon psikomotor/refleks primitif pada bayi sangat lambat atau bahkan tidak ada dan mudah sekali tertidur. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takipnea (>60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apnea, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.

Penilaian fungsi respirasi meliputi: a. Frekuensi nafas Takipnea adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takipnea tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik. b. Mekanika usaha pernafasan Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan. c. Warna kulit/membran mukosa Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat (pallor) dan teraba dingin. Pallor disebabkan oleh vasokontriksi periferal. Pitting edema pada tangan dan kaki juga perlu dilakukan. Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi: a. Frekuensi jantung dan tekanan darah Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnea, dan atau kelainan fungsi jantung. b. Kualitas nadi Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara: Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik. c. Perfusi pada otak dan respirasi

Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi.Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil. 2. Diagnosa Keperawatan Dari patofisiologi penyakit yang dihubungkan dengan manifestasi klinis yang muncul (pathway), dapat ditemukan beberapa masalah (diagnosa keperawatan) sebagai berikut: a. Kolaboratif problem: Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan ventilasi alveolar. b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus. c. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insensible. d. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis.

3.

Intervensi Keperawatan a. Diagnosa keperawatan 1: Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan ventilasi alveolar. Tujuan 1: Tanda dan gejala disstres pernafasan, deviasi dari fungsi pernafasan dan resiko infant terhadap ARDS dapat teridentifikasi. Intervensi 1. Rasional

Kaji infant yang beresiko mengalami RDS yaitu: Pengkajian diperlukan untuk menentukan intervensi Riwayat ibu dengan diabetes mellitus atau perdarahan placenta Prematuritas bayi Hipoksia janin Kelahiran melalui operasi caesar secepatnya bila bayi menunjukkan adanya tanda disstres nafas dan terutama untuk memperbaiki prognosa.

2.

Kaji perubahan status pernafasan termasuk:

Perubahan tersebut mengindikasikan RDS telah terjadi, panggil dokter untuk tindakan secepatnya.

Takipnea (pernafasan diatas 60 x per menit, mungkin 80 100 x)

Pernafasan bayi meningkat karena peningkatan kebutuhan oksigen

Nafas grunting

Suara ini merupakan suara karena penutupan glotis untuk menghentikan ekshalasi udara dengan

Nasal flaring

menekan pita suara Merupakan keadaan untuk menurunkan resistensi

Retraksi intercostal, suprasternal atau substernal dari respirasi dengan membuka lebar jalan nafas dengan penggunaan otot bantu nafas. Cyanosis Episode apnea, penurunan suara nafas dan adanya crackles. Retraksi mengindikasikan ekspansi paru yang tidak adekuat selama inspirasi Cyanosis terjadi sebagai tanda lanjut dengan PO2 dibawah 40 mmHg Episode apnea dan penurunan suara nafas menandakan distress nafas semakin berat. 3. Kaji tanda yang terkait dengan RDS Pallor dan pitting edema pada tangan dan kaki selama 24 jam Kelemahan otot Tanda-tanda tersebut terjadi pada RDS:

Tanda ini terjadi karena vasokontriksi

perifer dan penurunan permeabilitas vaskuler

Tanda ini terjadi karena ekshaution yang

disebabkan kehilangan energi selama kesulitan Denyut jantung dibawah 100 x per menit pada stadium lanjut Nilai AGD dengan PO2 dibawah 40 mmHg, PCO2 diatas 65 mmHg, dan pH dibawah 7,15. nafas

Bradikardia terjadi karena hipoksemia berat Tanda ini mengindikasikan acidosis

respiratory dan acidosis metabolik jika bayi hipoksia.

4.

Monitor PO2 trancutan atau nilai pulse oksimetri Nilai PO2 traskutan dan pulse oksimetri non invasif secara kontinyu setiap jam. menunjukkan prosentase oksigen saat inspirasi udara.

Tujuan 2: Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi pulmonal Intervensi 1.

Rasional Untuk mencegah terjadinya hipotermia dan memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.

Berikan kehangatan dan oksigen sesuai dengan sebagai berikut: Oksigen yang dihangatkan 31,70C 33,90C

Humidifikasi 40% - 60% Beri CPAP positif Beri PEEP positif Berikan pancuronium bromide (Pavulon) Obat ini berguna sebagai relaksan otot untuk mencegah injury karena pergerakan bayi saat ventilasi.

2.

3.

Tempatkan bayi pada lingkungan dengan suhu normal serta monitor temperatur aksila setiap jam.

Lingkungan dengan suhu netral akan menurunkan kebutuhan oksigen dan menurunkan produksi CO2.

4.

Monitor vital signs secara kontinyu yaitu denyut

Perubahan vital signs menandakan tingkat

jantung, pernafasan, tekanan darah, serta auskultasi keparahan atau penyembuhan. suara nafas. 5. Observasi perubahan warna kulit, pergerakan dan Karena perubahan warna kulit, pergerakan dan aktivitas aktivitas mengindikasikan peningkatan metabolisme oksigen dan glukosa. Informasi yang penting lainnya adalah perubahan kebutuhan cairan, kalori dan kebutuhan oksigen. 6. Pertahankan energi pasien dengan melakukan prosedur seefektif mungkin. 7. Monitor serial AGD seperti PaO2, PaCO2, HCO3 dan pH setiap hari atau bila dibutuhkan. Perubahan mengindikasikan terjadinya acidosis respiratorik atau metabolik. Mencegah penurunan tingkat energi infant.

Apa itu kista ovarium Kista ovarium adalah kantung kecil berisi cairan yang berkembang dalam ovarium (indung telur) wanita. Kebanyakan kista tidak berbahaya. Namun, beberapa dapat menimbulkan masalah, mulai dari nyeri haid, kista pecah, perdarahan, hingga penyakit serius, seperti: terlilitnya batang ovarium, gangguan kehamilan, infertilitas hingga kanker endometrium.

Perbedaan Kista dengan Mioma Kista berbeda dengan mioma. Kista berbentuk cairan, sedangkan mioma berbentuk massa solid (tumor). Kista biasanya tumbuh dalam ovarium (indung telur) wanita, sedangan mioma pada dinding rahim wanita. Pada kenyataannya, seorang wanita bisa mengalami baik kista maupun mioma secara bersamaan. Bagaimana Kista Terbentuk Wanita normal biasanya memiliki dua ovarium seukuran kenari di sisi kiri & kanan rahim. Masing-masing ovarium menghasilkan satu telur yang terbungkus dalam folikel (kantong). Ketika telur keluar, hormon estrogen akan memberi sinyal kepada rahim. Pada gilirannya, lapisan rahim mulai menebal dan mempersiapkan pembuahan telur oleh sperma (kehamilan). Bila telur tidak dibuahi, maka seluruh isi rahim akan dikeluarkan dalam bentuk haid bulanan. Jika folikel gagal untuk pecah dan melepaskan telur, cairannya tetap tinggal dan dapat membentuk kista kecil ( lebih kecil dari 4 cm). Ini normal terjadi dan biasanya terjadi pada salah satu ovarium. Kondisi ini disebut sebagai kista fungsional, biasanya akan hilang dengan

sendirinya, dan tidak perlu diobati. Jenis-Jenis Kista Ovarium Kista Corpus Luteum: Jenis ini, adalah yang paling umum terjadi, biasanya tidak ada gejala dan dapat berukuran 2-6 cm diameternya. Pada saat telur keluar dari ovarium ke rahim, maka folikel dapat terkunci dan terisi darah ataupun cairan. Inilah yang membentuk kista jenis ini. Bilamana ukurannya membesar dan menyebabkan batang ovarium terlilit (twisted), dapat menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, dan memerlukan tindakan operasi. Kista hemorrhagic: Yaitu timbulnya perdarahan dalam kista fungsional. Gejalanya biasanya kram perut. Kista dermoid: Jenis ini biasanya menyerang wanita berusia lebih muda dan dapat tumbuh besar (15 cm) dan berisi tidak hanya cairan, tapi juga lemak, rambut, jaringan tulang ataupun tulang rawan. Jenis ini dapat meradang dan menyebabkan posisi tuba fallopi terlilit (torted/twisted). Kista Endometrium: Disebut juga endometriosis. Jenis ini terjadi ketika jaringan lapisan rahim (endometrial) hadir dalam ovarium wanita. Biasanya berisi darah kecoklatan, dan ukurannya berkisar antara 2 cm hingga 20 cm. Karakteristiknya: menyerang wanita usia reproduksi, menimbulkan sakit nyeri haid yang luar biasa, dan mengganggu kesuburan (fertilitas).

Kistadenoma: Yaitu bila tumor terbentuk dari jaringan ovarium. Tumor jenis ini biasanya berisi cairan dan dapat berukuran sangat besar, bahkan hingga 30cm atau lebih diameternya. Polycystic-appearing ovary: Yaitu suatu kondisi dimana kista-kista kecil terbentuk disekeliling luar ovarium. Kondisi ini bisa terjadi pada wanita normal, maupun pada wanita yang mengalami gangguan hormon endokrin. Sindrom Polisistik Ovari (Polycystic Ovarian Syndrom - PCOS): PCOS adalah kondisi dimana ditemukan banyak kista dalam ovarium. Hal ini terjadi karena ovarium memproduksi hormone androgen secara berlebihan, dan bisa terjadi karena faktor genetic (diturunkan). PCOS dapat memiliki gejala seperti: bulu lebat tumbuh, wajah berjerawat, ataupun gangguan siklus haid. Komplikasinya dapat berupa meningkatnya resiko penyakit jantung, kolesterol, Diabetes Mellitus tipe 2 maupun tekanan darah tinggi sebagai akibat resistansi insulin. Selain itu juga dapat meningkatkan resiko kanker endometrium bila jarak antar periode haid > 60 hari. Penyakit PCOS ini, juga seringkali diasosiasikan dengan infertilitas, meningkatnya resiko keguguran & komplikasi kehamilan, dan perdarahan di luar siklus haid. Sayangnya, penyakit ini sangat lazim terjadi, yaitu menimpa sekitar 4-7% wanita usia reproduksi. Gambar Ovarium dengan Sindrom PCOS

Penyebab Kista Ovarium Beberapa faktor resiko berkembangnya kista ovarium, adalah wanita yang biasanya memiliki: - riwayat kista ovarium terdahulu - siklus haid tidak teratur - perut buncit - menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda) - sulit hamil - penderita hipotiroid - penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi (tamoxifen) Gejala dan Diagnosa Kista Ovarium Kista ovarium biasanya tidak menimbulkan gejala dan tidak sengaja terdeteksi melalui USG saat pemeriksaan rutin kandungan. Namun, beberapa orang dapat mengalami gejala ini:

kram perut bawah atau nyeri panggul yang timbul tenggelam dan tiba-tiba menusuk siklus haid tidak teratur perut bawah sering terasa penuh atau tertekan Nyeri haid yang luar biasa, bahkan terasa hingga ke pinggang belakang Nyeri panggul setelah olahraga intensif atau senggama Sakit atau tekanan yang menyertai saat berkemih atau BAB Mual dan muntah Rasa nyeri atau keluarnya flek darah dari vagina

Biasanya wanita baru memeriksakan diri ke dokter bila rasa sakit sudah tak tertahankan, pingsan, ataupun mengalami perdarahan yang luar biasa hebat hingga lemas/anemia. Dokter spesialis kandungan (Obsgyn), biasanya akan melakukan test mulai dari USG, CT Scan, test darah, seperti CA125 - ovarium tumor marker test, ataupun test kehamilan untuk mendeteksi kehamilan anggur. Pengobatan Kista Ovarium Studi menemukan bahwa penggunaan kontrasepsi oral (pil KB) dapat menurunkan resiko terkena kista ovarium, karena mencegah ovarium memproduksi telur. Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya memerlukan operasi pengangkatan.

Selain itu, wanita menopause yang memiliki kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar terkena kanker jenis ini. Bila hanya kista-nya yang diangkat, maka operasi ini disebut ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingooophorectomy. Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung pada: usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan jenis kista. Kista ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan (emergency surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium.

Alternatif Pengobatan Kista Ovarium dengan Typhonium Plus Untuk benar-benar bebas dari kista, seorang wanita perlu menjaga berat badan (tidak gemuk di daerah perut), diet sehat (mengurangi konsumsi daging) dan rajin berolah-raga. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien dapat juga mengkonsumsi Typhonium Plus suatu ramuan herbal (100% NATURAL) yang mengandung ekstrak Typhonium Flagelliforme (tanaman Keladi Tikus) dan bahan alami lainnya tuk membantu detoxifikasi jaringan darah. Ramuan ini mengandung Ribosome inacting protein (RIP), yang berfungsi menonaktifkan perkembangan sel tumor, merontokkan sel tumor tanpa merusak jaringan sekitarnya dan memblokir pertumbuhan sel tumor.

Kista dan Kehamilan Kista ovarium berukuran kecil biasanya tidak membahayakan janin dan tidak beresiko menimbulkan komplikasi kehamilan. Kista ovarium berukuran besar (6-8 cm) dapat menimbulkan masalah bagi ibu hamil. Kadangkadang, kista ini tumbuh pada batang yang memutar dan pecah, menyebabkan rasa sakit pada Ibu. Meskipun substansi yang pecah ini tidak membahayakan pertumbuhan janin, namun rasa sakit yang luar biasa dapat memicu kelahiran prematur ataupun keguguran. Dokter biasanya akan memberikan obat pereda sakit yang aman bagi Ibu dan janin sambil terus mengamati perilaku kista. Biasanya kista mengecil dan menghilang dengan sendirinya pada trimester kedua kehamilan. Bila tidak juga ada tanda-tanda mengecil ataupun pecah, operasi pembedahan mungkin disarankan.

You might also like