You are on page 1of 9

ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM (Oleh :Gusti Pelita Dewi) Mahasiswa Jurusan Syariah dan ekonomi Islam

( IAIN ) Bengkulu

Abstrak Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syari. Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik. Kata Kunci : Asumsi, rasionalitas, ekonomi, islam

PEMBAHASAN

Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.1 A. Asumsi Rasionalitas 1. Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas a. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi) Prinsip pertama dalam ilmu ekonomi menurut Edgeworth, adalah bahwa setiap pihak digerakkan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin saja benar pada masa-masa Edgeworth, tapi salah satu pencapaian dari teori utilitas modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama yang meragukan tersebut.2 Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak kekayaan seseorang dalam satuan rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Dengan demikian self interest sekurang-kurangnya mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise, persahabatan, cinta, kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni, dan banyak lagi. Kita dapat juga mempertimbangkan self interestyang tercerahkan, di mana individu-individu dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan mereka lebih baik, pada saat yang sama membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi lebih baik pula. b. Present-aim rationality Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia bersikap mementingkan kepentingan pribadinya(self interested). Teori ini
1

Adiwarman A Karim, Ir. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Frafindo Persada. 2007,

hal 89 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: T elaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Penerjemah Machnun Husein (yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995) hal 55
2

hanya berasumsi bahwa manusia menyesuaikan preferensinya dengan sejumlah aksioma: secara kasarnya preferensi-preferensi tersebut

harus konsisten. Individu-individu menyesuaikan dirinya dengan aksiomaaksioma ini tanpa harus menjadi self interested.3 2. Aksioma-Aksioma Pilihan Rasional Terdapat tiga sifat dasar: a. Kelengkapan (Completeness) Jika individu dihadapkan pada dua situasi, A dan B, maka ia dapat selalu menentukan secara pasti salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini: A lebih disukai daripada B B lebih disukai daripada A A dan B keduanya sama-sama disukai. b. Transitivitas (Transitivity) Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B" dan "B lebih disukai dari pada C", maka baginya "A harus lebih disukai dari pada C". Asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal. c. Kontinuitas (Continuity) Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B",maka situasi-situasi yang secara cocok "mendekati A", harus juga lebih disukai dari pada B. 3. Asumsi-Asumsi Lainnya Tentang Preferensi a. Kemonotonan Yang Kuat (Strong Monotonicity Bahwa lebih banyak berarti lebih baik. Biasanya kita tidak memerlukan asumsi sekuat ini. Asumsi ini dapat diganti dengan yang lebih lemah yakni Local Nonsatiation. b. Local Nonsatiation

Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1948), hal 96

Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang dapat selalu berbuat lebih baik, sekecil apapun, bahkan bila ia hanya menikmati sedikit perubahan saja dalam "keranjang konsumsinya". c. Konveksitas Ketat (Strict Convexity) Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang lebih menyukai yang ratarata dari pada yang ekstrim, tapi selain dari pada makna ini, asumsi ini memiliki muatan ekonomis yang kecil. Strict convexity merupakan generalisasi dari asumsi neoklasik tentang "diminishing marginal rates of substitution".4

B. Perspektif Islam Tentang Asumsi Rasionalitas 1. Perluasan Konsep Rasionalitas (untuk Transitivitas) Pertama-tama, kita berpendapat bahwa self interest rationality yang diperkenalkan oleh Edgeworth adalah konsep yang lebih baik dalam artian kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Sayangnya konsep ini terlalu longgar sehingga tindakan apapun dari seseorang dapat dijustifikasi sebagai rasional hanya karena ia mengklaim bahwa tindakannya didorong oleh self interest-nya. Kedua, kita berpendapat bahwa teori modern tentang keputusan rasional tidak disepakati secara universal. Versi yang berbeda memiliki aksioma yang berbeda. Tapi kesemuanya sekurang-kurangnya menyepakati aksioma transitivitas. Transitivitas adalah syarat minimal konsistensi; jika konsistensi tidak mensyaratkan transitivitas, maka sesungguhnya ia tidak mensyaratkan apapun. Sebenarnya tidak semua aksioma teori keputusan rasional merupakan syarat dari konsistensi.

Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005, hal 33

2.

Perluasan

Spektrum

Utilitas (untuk Strong

Monotonicity

&

Local

Nonsatiation) Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam tentang halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas. a. Melonggarkan Persyaratan Kontinuitas (untuk Kontinuitas) Mari kita asumsikan bahwa permintaan Y haram dalam keadaan darurat. Anda dapat membayangkan permintaan terhadap daging babi jika tidak ada makanan lain yang tersedia. Permintaan terhadap babi ini bukan merupakan permintaan yang kontinu, melainkan diskrit. Karena itu, permintaannya adalah permintaan titik (point demand). Berapapun harga daging babi pada saat itu, permintaannya Qp, yakni sejumlah tertentu daging babi untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup. Untuk rincian lebih lanjut, lihat Karim. b. Perluasan Horison Waktu Perspektif Islam tentang waktu tidak dibatasi hanya pada masa kini. Islam memandang waktu sebagai horison. Karena itu, analisis statis sebagaimana dikenal oleh ekonom-ekonom klasik tidak memadai untuk menerangkan perilaku ekonomi dalam perspektif Islam. Dalam perspektif Islam, waktu sangat penting dan sangat bernilai. Nilai waktu tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya. Semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya, semakin banyak nilai yang diperolehnya Bagi setiap orang, sehari adalah 24 jam, tapi nilai waktunya akan berbeda-beda. Tentu saja, kita dapat mengukur nilai ini secara moneter. Ide ini justru merupakan kebalikan dari konsep nilai waktu uang (time value of money). Dalam Islam waktulah yang bernilai, sementara uang

tidak memiliki nilai waktu. Haruskah barang-barang di masa depan didiskon? Ya. Ekonom secara khas mendiskon beragam barang-barang yang dibeli dan dijual di pasar, yang disebut komoditas. Islam tidak keberatan mengenai hal ini. Namun adalah benar pula bahwa kadangkala ekonom melangkah lebih jauh dalam mendiskonto. Mereka mendiskonto ketika seharusnya mereka tidak melakukannya. c. Komoditas yang seharusnya tidak didiskon Keberatan pertama bukan ditujukan kepada teori metode harga pasar, tetapi ditujukan pada cara-cara penerapan metode tersebut dalam praktek. Menurut teori tersebut, setiap komoditi seharusnya didiskon pada tingkat diskonto masing-masing komoditasnya. Tetapi dalam prakteknya semua komoditas secara umum dikumpulkan kemudian didiskon pada tingkat yang sama. Biasanya, semua komoditas didiskon pada tingkat yang disebut sebagai tingkat bunga "riil", yang merupakan rerata tertimbang dari masing-masing tingkat bunga dari berbagai komoditas (weighted average of the own interest rates of various commodities). Pikirkanlah tentang sumber daya langka yang tidak dapat direproduksi, yang sama sekali tidak dapat diproduksi. Sumber daya langka tidak dapat diubah menjadi sumber daya masa depan dalam jumlah yang lebih besar, dan karenanya sumber-sumber daya ini memiliki tingkat diskon tersendiri sebesar 0 atau sekitarnya. Ekonom lainnya, Derek Parfits, yakin bahwa kesejahteraan seharusnya tidak didiskon. John Broome berkesimpulan bahwa penyelamatan jiwa juga seharusnya tidak didiskon. Keberatan kedua adalah bahwa pada banyak proyek, sebagian besar dari pihak yang berkepentingan tidak terwakili dalam pasar. Banyak proyek yang akan berdampak pada generasi mendatang pada abad-abad atau milenium ke depan. Ahli-ahli ekonomi menganjurkan beberapa komoditas yang seharusnya tidak didiskon. Uang bukanlah komoditas. Lalu apa yang dapat kita katakan bila uang didiskon?

Time value of money mengatakan bahwa $1 hari ini mempunyai nilai yang lebih besar dari pada $1 besok karena $1 hari ini dapat diinvestasikan untuk mendapatkan return yang positif. Di sinilah letak kesalahannya. Investasi selalu memiliki dua kemungkinan: untung atau rugi. Karenanya return dapat saja positif, dapat pula negatif. Maka mengapa rumusnya menjadi FV = PV (1 + r)n ? Bukankah ini hanya merupakan bentuk lain dari rumus pertumbuhan penduduk Pt = Po (1 + g)t yang diadopsi ke dalam ilmu ekonomi?5

AM.Saefudin, Filsafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam, JKTTI-No. 1-I/Des 1997-Feb 1998, hal 21

Kesimpulan Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk. Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas d. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi) e. Present-aim rationality Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam tentang halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A Karim, Ir. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Frafindo Persada. 2007 Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Penerjemah Machnun Husein (yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995) Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1948) Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005 AM.Saefudin, Filsafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam, JKTTI-No. 1-I/Des 1997-Feb 1998

Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007 Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Surabaya, Risalah Gusti, 1999 http://ichsan231.wordpress.com/2007/05/14/asumsi-rasionalitas/ http://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/agama-dan-rasionalitas-ekonomi/

You might also like