You are on page 1of 48

http://www.ascp.org/pdf/SneekPeekPracDiagofHemDisorders.

aspx
http://www.kalbemed.com/Portals/6/04_194CME-
Pendekatan%20Klinis%20dan%20Diagnosis%20Anemia.pdf
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di
samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di Negara berkembang.
Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak
besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya
yang demikian sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan
dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Berdasarkan data WHO tahun 2005, penderita anemia
di Indonesia >40% dari total populasi, dimana sebagian besar merupakan anak-anak dan wanita
hamil.WHO. Worldwide prevalence of anemia 1993-2005. 2005. Atlanta: CDC.
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah: konsentrasi
hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di
bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National
Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.
Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.
Schrier SL. Approach to the adult patient with anemia. January 2011. [cited 2011, June 9 ]. Available from:
www.uptodate.com
Pendekatan Klinis dan Diagnosis AnemiaAmaylia OehadianSubbagian Hematologi Onkologi Medik,
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu, dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar
tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi kearah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan
kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan
terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.
Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang pathogenesis dan
patofisiologi anemia serta keterampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkum hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Bakta, Prof. Dr. I. Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.





























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Hematopoesis
2.1.1 Tahapan hematopoesis

Sistem hematopoetik mempunyai karakteristik berupa pergantian sel yang konstan
dengan konsekuensi untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan eritrosit. Sistem
hematopoetik dibagi menjadi 3, yaitu
1
:
1. Sel stem (progenitor awal) yang menyokong hematopoesis
2. Colony forming unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi
dalam memproduksi sel
3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung beraturan

Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoesis dimulai pada awal kehidupan embrio
dan berlangsung secara paralel/bersamaan sampai masa dewasa. Perkembangan ini mempunyai
hubungan dengan lokasi anatomi yang menyokong hematopoesis tersebut. Secara garis besar
perkembangan hematopoesis dibagi menjadi 3 periode:
1. Hematopoesis yolk sac (mesoblastik atau primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula sel
tersebut dibentuk dalam pulau-pulau darah (blood islands) dari yolk sac yang merupakan pelopor
dari sistem vaskuler dan hematopoesis. Selanjutnya sel eritrosit dan megakariosit dapat
diidentifikasi dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari. Sel induk primitif hematopoesis yang
berasal dari mesoderm mempunyai respons terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoetin,
IL-3, IL-6, dan faktor sel stem. Sel induk hematopoesis (blood borne pluripotent hematopoetic
progenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5-6 minggu. Pada masa
gestasi 8 minggu blood islands mengalami regresi.
2. Hematopoesis hati (definitif)
Hematopoesis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari yolk sac.
Hematopoesis terbentuk dalam hati saat masa gestasi 9 minggu. Hematopoesis dalam hati yang
terutama adalah eritropoesis, namun masih ditemukan pula sirkulasi granulosit dan trombosit.
Hematopoesis hati mencapai puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami
regresi perlahan-lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoetik
terdapat di limpa, thymus, kelenjar limfe, dan ginjal. Dalam limpa dibentuk eritropoesis dan
leukopoesis sampai bulan kelima kehidupan fetus. Limpa terutama membentuk sistem limfosit.
Timus terutama membentuk limfosit, sedikit mielosit dan eritroblas.
3. Hematopoesis medular
Merupakan periode terakhir dalam sistem hematopoesis dan dimulai sejak masa gestasi 4
bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang panjang dengan proses
reabsorpsi. Mula-mula sel eritropoetik terutama dibuat dalam hati sedangkan sel leukosit dalam
sumsum tulang. Namun dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil
alih oleh sumsum tulang dan hepar tidak berfungsi lagi untuk membuat sel darah. Pada masa
gestasi 32 minggu sampai lahir semua rongga sumsum tulang diisi jaringan hematopoetik yang
aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah.
Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi
berkurang namun tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar getah bening, dan
dinding usus. Sel-sel ini dikenal secara umum sebagai sistem retikuloendotelial. Pada bayi dan
anak, hematopoesis yang aktif terutama terdapat pada sumsum tulang, termasuk bagian distal
tulang panjang. Sedangkan pada dewasa sistem hematopoetik terbatas pada vertebra, tulang iga,
sternum, pelvis, skapula, tulang tengkorak, dan jarang berlokasi pada tulang panjang.


Gambar 1. Tahapan hematopoesis
Sumber: http://www.medscape.com/viewarticle/497032_2

2.1.2 Eritropoesis
Eritropoesis adalah suatu proses dimana terjadi pembentukan/produksi dari sel darah
merah/eritrosit. Proses ini distimulasi oleh berkurangnya oksigen dalam sirkulasi. Rendahnya
kadar oksigen dalam darah dideteksi oleh ginjal, yang kemudian mensekresikan hormon
eritropoetin. Hormon ini menstimulasi proliferasi dan diferensiasi dari prekursor sel darah
merah, yang kemudian mengaktivasi sistem eritropoesis pada sistem hematopoetik.
Dalam proses maturasi sel darah merah, sel tersebut mengalami suatu rangkaian
diferensiasi. Hemositoblas merupakan suatu stem cell hematopoetik yang pluripoten. Sel ini
kemudian berdiferensiasi menjadi common myeloid progenitor dan common lymphoid
progenitor. Sel darah merah sendiri dibentuk dari diferensiasi dari common myeloid progenitor,
sedangkan common lymphoid progenitor merupakan prekursor dari sel limfosit. Common
myeloid progenitor mengalami diferensiasi menjadi pronormoblas (proeritroblas atau rubriblas)
kemudian menjadi basofilik normoblas (eritroblas). Setelah itu basofilik normoblas berkembang
menjadi polychromatic normoblast lalu orthochromatic normoblast. Nukleus dari orthochromatic
normoblast menghilang dan menjadi polychromatic erythrocyte (retikulosit). Retikulosit
dilepaskan dari sum-sum tulang dan masuk ke dalam sirkulasi, sebelum kemudian menjadi
eritrosit matur setelah 1-2 hari berada dalam sirkulasi. Dalam sirkulasi darah dapat ditemukan
kurang lebih 1% retikulosit. Dalam proses maturasi sel darah merah ini dibutuhkan dua vitamin,
yaitu vitamin B12 dan asam folat. Defisiensi dari salah satu vitamin ini menyebabkan kegagalan
maturasi sel darah merah, yang bermanifestasi sebagai retikulositopenia.

Gambar 2. Sistem hematopoetik
Sumber:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a1/Hematopoietic_growth_factors.png
/350px-Hematopoietic_growth_factors.png


Gambar 3. Maturasi sel darah
Sumber: http://www.irvingcrowley.com/cls/hemchart.gif

2.2 Hemoglobin
2.2.1 Susunan hemoglobin
Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme, yang mengandung besi,
dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya, sedangkan
globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida. Sesuai dengan rangkaian sistem hematopoetik
yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati, dan sumsum tulang, terjadi pula perubahan sintesis
hemoglobin. Sejak masa embrio, janin, dan anak dewasa, sel darah merah mempunyai 6
hemoglobin, antara lain:
Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland
Hemoglobin fetal : Hb-F
Hemoglobin dewasa : Hb-A1 dan Hb-A2
A. Hemoglobin embrional
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac membentuk
rantai globin-epsilon (c ) dan zeta (Z) yang akan membentuk hemoglobin primitif Gower-1
(Z2c2). Selanjutnya mulai sintesis rantai o mengganti rantai zeta, rantai mengganti rantai c di
yolk sac, yang akan membentuk Hb-Portland (Z22) dan Gower-2 (o2c2).
Hemoglobin yang terutama ditemukan pada masa gestasi 4-8 minggu adalah Hb Gower-1 dan
Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang disintesis di yolk sac, tetapi akan
menghilang pada masa gestasi 3 bulan.
B. Hemoglobin fetal
Migrasi pluripoten sel stem dari yolk sac ke hati, diikuti dengan sintesis hemoglobin fetal
(o22) dan awal dari sintesis rantai |. Setelah masa gestasi 8 minggu, Hb F merupakan
hemoglobin yang paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan, Hb F merupakan 90% dari
keseluruhan hemoglobin. Kadar Hb F akan berkurang bertahap. Pada saat lahir, ditemukan kira-
kira 70% Hb F dalam sirkulasi. Sintesis Hb F menurun secara cepat setelah bayi lahir. Setelah
usia bayi 6-12 bulan, hanya sedikit ditemukan Hb F dalam sirkulasi.
C. Hemoglobin dewasa
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA
1
(o2|2) karena telah terjadi perubahan
rantai sintesis rantai menjadi | dan selanjutnya globin | meningkat. Pada masa gestasi 6 bulan
ditemukan 5-10% HbA
1
, sedangkan pada waktu lahir mencapai 30%. Pada saat bayi berusia 6-12
bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa, yaitu sebanyak 98% HbA
1
, Hb F <
2% dan HbA
2
< 3%
2
.


Gambar 4. Hemoglobin prenatal-postnatal

Sumber: http://www.blackwellpublishing.com/korfgenetics/jpg/300_96dpi/Fig13-1.jpg



Gambar 5. Struktur hemoglobin
Sumber: http://gassama.myweb.uga.edu/hemoglobinmolecule.gif

2.2.2 Fungsi hemoglobin
Hemoglobin merupakan protein yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan, serta mengangkut karbon dioksida dari jaringan kembali ke paru-paru.

Gambar 6. Fungsi hemoglobin
Sumber: http://images.lifescript.com/images/ebsco/images/si55551170.jpg

2.2.3 Katabolisme hemoglobin

Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan bagian penting dari
hemoglobin, tetapi juga merupakan bagian dari sitokrom dan enzim pernafasan yang penting.
Persenyawaannya terdiri dari cincin porfirin dengan atom Fe di tengahnya. Cincin porfirin
dibentuk oleh 4 pirol yang terikat satu dengan yang lainnya melalui ikatan metan. Setiap pirol
dibentuk oleh asam suksinat dan glisin. Kedua persenyawaan ini bersatu dan membentuk
molekul asam c- amino- levulinat (c-amino levulinic acid), disingkat menjadi A-ALA. Dua
molekul A-ALA ini bersenyawa untuk membentuk porfobilinogen yang mempunyai struktur
pirol.
Empat molekul porfobilinogen akhirnya membentuk ikat porfirin (protoporfirin IX) dan setelah
mengikuti Fe++ dibentuklah hem. Peristiwa ini terjadi dalam mitokondria sel tubuh atau sel
darah muda. Dengan globin yang telah terbentuk tersebut, hem membentuk hemoglobin.
Penghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial, yaitu dalam hati
dan limpa. Rantai porfirin dipecah oleh suatu proses oksidasi pada jembatan -metan, sedangkan
Fe tetap terikat pada ada persenyawaan dan globin pun tetap tidak terputus. Persenyawaan ini
disebut verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuklah biliverdin. Dalam
tubuh manusia, biliverdin ini cepat diubah menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan diikat oleh
protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut untuk dipergunakan kembali, sedangkan
globin yang dilepaskan selanjutnya akan dipecah menjadi asam amino lagi. Bilirubin yang
dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut dalam plasma dari tempat
penghancuran hemoglobin tersebut ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa dengan asam
glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transferase. Bilirubin yang belum bersenyawa
dengan asam glukoronat disebut bilirubin indirek. Sedangkat bilrubin yang telah bersenyawa
dengan asam glukoronat disebut bilirubin direk. Bilirubin direk ini akan keluar dari hati dan
masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri dalam usus bilirubin direk ini akan diubah
menjadi urobilinogen. Selanjutnya urobilinogen akan dioksidasi menjadi urobilin yang akan
dikeluarkan bersama-sama tinja (disebut sterkobilin). Sebagian dari urobilinogen yang terdapat
dalam usus akan diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi
dikeluarkan melalui ginjal dalam urin.

Gambar 7. Heme
Sumber: http://omlc.ogi.edu/spectra/hemoglobin/hemestruct/

2.3 Anemia
2.3.1 Definisi dan epidemiologi
Anemia didefinisikan sebagai nilai hemoglobin di bawah batas nilai normal sesuai
dengan usia
5
.
Kelompok usia dan gender Batas nilai hemoglobin (gr/dl)
Anak 6 bulan - 4.99 tahun 11
Anak 5 tahun 11.99 tahun 11,5
Anak 12 tahun 14.99 tahun 12
Wanita tidak hamil (> 15 tahun) 12
Wanita hamil 11
Pria (> 15 tahun) 13
Tabel 1. Batas nilai hemoglobin berdasarkan usia dan gender

Berikut ini merupakan prevalensi global dari anemia berdasarkan data WHO yang
dikumpulkan dari tahun 1993 hingga 2005.


Tabel 2. Prevalensi anemia secara global

2.3.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, anemia dapat dibagi menjadi
1,2,5,6
:
1. Kurangnya produksi/kegagalan produksi sel darah merah
a. Anemia aplastik
Merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah tepi sebagai
akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Anemia aplastik dapat
terjadi karena kelainan bawaan (congenital) atau didapat (acquired).
a.1 Faktor kongenital
Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
a.2 Faktor didapat
1. Bahan kimia, seperti benzene, insektisida, dan lain-lain
2. Obat-obatan, seperti kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin
(antihistamin), obat sitostatika (myleran, methotrexate, vincristine, dan sebagainya)
3. Radiasi
4. Idiopatik

b. Anemia defisiensi
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa
bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.
b.1 Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat besi atau
menurunnya asupan zat besi. Salah satu penyebab penting anemia defisiensi besi ialah infeksi
parasit (cacing). Selain itu dapat juga disebabkan oleh insufisiensi zat besi, malabsorpsi,
perdarahan kronis, dan hipokloridia/akloridia (seringkali karena terapi proton pump inhibitor
jangka lama).
b.2 Anemia defisiensi asam folat
Defisiensi asam folat dapat terjadi pada mereka yang kurang mengonsumsi makanan
kaya asam folat, seperti buah-buahan citrus dan sayuran hijau. Defisiensi asam folat juga dapat
terjadi bila absorbsi asam folat menurun, misalnya pada kasus alkoholisme dan pada pasien
dengan penyakit ginjal.
b.3 Anemia defisiensi vitamin B12
Anemia defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada vegetarian, sebab vitamin B12 banyak
terkandung pada produk hewani (telur, daging, susu). Selain itu defisiensi vitamin B12 juga
dapat terjadi pada kasus gangguan absorpsi vitamin B12 karena defisiensi faktor intrinsik, yaitu
protein yang esensial untuk absorpsi vitamin B12 di ileum. Keadaan ini sering disebut anemia
pernisiosa. Terjadi destruksi autoimun terhadap sel parietal dari lambung yang memproduksi
faktor intrinsik sehingga terjadilah malabsorpsi vitamin B12.

c. Anemia karena penyakit kronis
c.1 Penyakit ginjal
Ginjal memproduksi hormon eritropoetin (EPO) yang akan menstimulasi sum-sum tulang
untuk memproduksi sel darah merah. Pada keadaan gangguan ginjal, ginjal tidak dapat
memproduksi EPO dalam jumlah yang adekuat sehingga produksi sel darah merah pun akan
terganggu.
c.2 Penyakit liver
Penyakit liver dapat menyebabkan anemia karena berbagai hal
8
. Salah satu penyebab
penting anemia yaitu perdarahan akibat gangguan koagulasi darah. Seperti yang kita ketahui,
liver merupakan tempat produksi faktor-faktor koagulasi darah. Mekanisme anemia lain yang
dapat terjadi yaitu anemia aplastik sekunder setelah hepatitis, atau merupakan efek samping
pengobatan hepatitis dengan interferon dan ribavirin. Pada kasus alkoholisme (jarang pada anak-
anak), dapat terjadi anemia karena malabsorpsi atau efek toksik langsung ke sel darah merah.
c.3 Infeksi kronis
c.4 Neoplasia

d. Anemia Diamond-Blackfan (pure red cell aplasia)
Pure red cell aplasia (PRCA) merupakan gangguan dimana terjadi kegagalan maturasi
eritrosit. Pada sum-sum tulang tidak terdapat eritroblas yang merupakan prekursor dari eritrosit.
Keadaan ini berbeda dari anemia aplastik, dimana pada pure red cell aplasia ini produksi
leukosit dan trombosit normal
7
. PRCA dapat disebabkan oleh kelainan congenital, infeksi virus,
atau karena penggunaan obat-obatan tertentu (Azathioprine, kloramfenikol, tiamfenikol,
isoniazid, dll).

2. Penghancuran
Terjadi akibat penghancuran (hemolisis) eritrosit yang berlebihan. Anemia hemolitik
dapat terjadi akibat kelainan intrasel (proses hemolisis terdapat dalam eritrosit sendiri) ataupun
ekstrasel. Proses hemolisis intrasel umumnya disebabkan oleh kelainan bawaan (congenital),
sedangkan hemolisis ekstrasel umumnya disebabkan oleh faktor yang didapat (acquired).
a. Faktor intrasel
Sickle cell anemia, talasemia, sferositosis congenital, defisiensi enzim eritrosit (G-6PD,
piruvat kinase, glutation reduktase).
b. Faktor ekstrasel
Intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompatibilitas golongan darah, reaksi
hemolitik pada transfusi darah).

3. Perdarahan
a. Perdarahan akut
Perdarahan akut pada bayi baru lahir dapat terjadi karena trauma persalinan. Perdarahan
ini kadang tidak terdeteksi sampai terjadi keadaan syok. Anemia yang terjadi pada bayi usia 24-
72 jam tanpa ikterus umumnya disebabkan oleh perdarahan internal. Perdarahan yang terjadi
akibat trauma dapat berupa perdarahan ekstrakranial, perdarahan intrakranial, atau perdarahan
intra abdomen.
b. Perdarahan kronis
Perdarahan yang bersifat kronis dapat disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal,
misalnya karena ulkus peptikum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh proses keganasan, seperti
kanker kolon, walaupun jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan yang bersifat kronis ini akan
menyebabkan defisiensi zat besi.
2.3.3 Patofisiologi
Pada keadaan normal, ketika tubuh mengalami hipoksia, akan terjadi dua mekanisme
untuk mengatasi keadaan hipoksia ini yaitu peningkatan ekspresi eritropoetin dan penurunan
ekspresi hepcidin. Hepcidin sendiri merupakan hormon peptida yang diproduksi oleh liver yang
berfungsi untuk mengatur homeostasis zat besi dalam tubuh. Hepcidin menginhibisi transport zat
besi dengan cara berikatan dengan kanal zat besi ferroportin pada sel-sel saluran cerna (enterosit)
dan membran plasma dari sel-sel retikuloendotelial (makrofag). Dengan menghambat
ferroportin, hepcidin mencegah enterosit dari usus untuk mensekresikan zat besi ke sistem porta
hepatika, sehingga akan menurunkan absorpsi zat besi. Pada keadaan hipoksia, aktivitas hepcidin
akan menurun, sehingga terjadi peningkatan absorpsi zat besi. Selain itu aktivitas eritropoetin
akan meningkat. Kedua mekanisme ini menyebabkan peningkatan aktivitas eritropoesis hingga
tercapai keadaan normoksia.

Gambar 9. Mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan normoksia
Sumber: http://www.jci.org/articles/view/15686/files/JCI0215686.f7/medium

Banyak keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. Pada hemolisis
dan perdarahan terjadi destruksi eritrosit prematur. Normalnya eritrosit memiliki umur 110-120
hari dalam sirkulasi. Sedangkan pada kasus infeksi, keganasan, dan imunoterapi terjadi proses
inflamasi sehingga terbentuklah sitokin-sitokin yang dapat menyebabkan penurunan respon EPO
terhadap anemia serta penurunan respon sum-sum tulang terhadap EPO. IL-6 juga dapat
menstimulasi liver untuk mensekresikan hepcidin sehingga terjadi penurunan absorpsi zat besi
dan peningkatan sekuestrasi zat besi. Semua mekanisme tersebut akan berujung pada keadaan
anemia. Defisiensi nutrisional dan inflitrasi sum-sum tulang juga akan menyebabkan anemia
akibat menurunnya respon sum-sum tulang terhadap EPO.

Gambar 10. Patofisiologi anemia
Sumber: http://www.elsevierimages.com/images/vpv/000/000/027/27530-0550x0475.jpg
2.3.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul pada anemia dapat bermacam-macam tergantung dari
etiologi dan derajat keparahan anemia. Pada anemia ringan mungkin dapat bersifat
asimptomatik. Pada anemia terjadi penurun kapasitas pengangkutan oksigen ke jaringan. Oleh
sebab itu manifestasi yang muncul berkaitan dengan keadaan hipoksia jaringan, seperti
kelemahan otot, mudah lelah, takipnea, sesak nafas saat aktivitas, takikardia, dan dapat pula
terjadi gagal jantung kongestif pada anemia yang berat dengan sebab apapun
3
.
Manifestasi sistem saraf pusat dapat berupa sakit kepala, rasa melayang (dizziness),
iritabilitas, daya pikir lambat, penurunan atensi, dan apatis. Pada anemia kronis yang parah dapat
terjadi gangguan pertumbuhan anak karena adanya metabolisme seluler yang terganggu.
Biasanya hal ini disertai dengan keadaan anoreksia dan maturasi seksual yang terlambat.

2.3.5 Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
2.3.5.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti agar dapat ditemukan kelainan yang mendasari
kondisi anemia tersebut. Gali durasi dari anemia yaitu dengan menanyakan langsung ke pasien
kapan ia mulai merasakan gejala atau dapat dengan mengumpulkan data-data mengenai
pemeriksaan darah sebelumnya. Tanyakan adanya riwayat jaundice, kolelitiasis, splenektomi,
dan gangguan perdarahan. Selain itu perlu digali juga mengenai pekerjaan pasien, terapi obat-
obatan yang pernah diterima, pajanan terhadap bahan-bahan kimia tertentu. Untuk mencari
adanya kehilangan darah, tanyakan mengenai kehamilan, aborsi, dan menstruasi. Adanya tinja
yang berwarna kehitaman (seperti tar) disertai perubahan buang air besar dapat mengindikasikan
adanya neoplasma pada kolon. Warna urin yang abnormal dapat terjadi pada penyakit ginjal atau
liver, serta pada anemia hemolitik. Aspek lain yang perlu digali pada pasien anemia yaitu diet
pasien. Tanyakan makanan yang biasa dimakan dan makanan yang dihindari oleh pasien beserta
perkiraan jumlahnya.Adanya defisiensi nutrisional dapat berkaitan dengan gejala-gejala tertentu
yang dapat diidentifikasi melalui anamnesis. Pasien dengan anemia defisiensi besi umumnya
akan suka mengunyah es (pagophagia). Pada defisiensi vitamin B12, terjadi pemutihan rambut
dini, rasa terbakar pada lidah, dan hilangnya proprioseptif. Paresthesia atau sensasi yang aneh
yang kadang dideskripsikan sebagai rasa nyeri dapat terjadi pada anemia pernisiosa. Pasien
dengan defisiensi asam folat dapat memilki gejala lidah terasa nyeri, keilosis, dan steatorrhea.
Untuk mendeteksi adanya steatorrhea, tanyakan apakah tinja mengapung atau tenggelam dalam
air, apakah perlu menyiram kloset lebih dari sekali, atau apakah terdapat substansi seperti
minyak yang mengapung pada permukaan air saat buang air besar.
Tanyakan juga riwayat demam pada pasien dengan anemia. Infeksi dan neoplasma dapat
menyebabkan anemia yang disertai demam. Adanya purpura, ekimosis, dan ptekiae
menunjukkan adanya trombositopenia atau gangguan pendarahan yang lain. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa lebih dari 1 sistem hematopoetik sumsum tulang yang terlibat, atau
dapat juga menunjukan bahwa koagulopati merupakan penyebab anemia karena adanya
perdarahan. Gali adanya gejala-gejala yang dapat menunjukkan adanya penyakit lain yang
mendasari, seperti penyakit jantung, liver, dan ginjal, ataupun infeksi kronis.

2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama perhatikan habitus pasien. Amati adanya habitus yang tidak normal, seperti
pada pasien dengan malnutrisi atau penyakit kronis. Tanda-tanda anemia yang dapat ditemukan
berupa kulit dan mukosa yang pucat. Konjungtiva merupakan lokasi yang mudah diperiksa untuk
mengidentifikasi adanya anemia. Spoon nail merupakan tanda yang dapat ditemui pada pasien
dengan anemia defisiensi besi. Kemudian lakukan pemeriksaan sistematis untuk mempalpasi
pembesaran kelenjar getah bening. Adanya limfadenopati dapat mengindikasikan adanya infeksi
atau suatu proses keganasan. Edema bilateral dapat menunjukkan adanya penyakit jantung,
ginjal, atau liver. Sedangkan edema unilateral kemungkinan merupakan suatu obstruksi aliran
pembuluh limfe karena keganasan yang tidak dapat diobservasi atau palpasi. Pada palpasi
abdomen, periksa adanya hepatomegali atau splenomegali. Bila terdapat hepatomegali atau
splenomegali, palpasi untuk menentukan ukuran, adanya nyeri tekan, konsistensi, dan ada atau
tidaknya nodul. Pada pasien dengan penyakit kronis, pembesaran liver dan lien umumnya tidak
disertai nyeri tekan dan tidak ada nodul-nodul. Pada pasien dengan keganasan, liver dapat teraba
keras dan bernodul-nodul. Sedangkan pada proses infeksi akut, biasanya terdapat nyeri tekan
pada palpasi liver dan lien.
Pada pemeriksaan jantung, adanya pembesaran jantung dapat menunjukkan durasi dan
tingkat keparahan anemia. Adanya murmur dapat menjadi tanda adanya endokarditis bakterial
yang merupakan penyebab anemia.

2.3.5.3 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap dan zat besi
Untuk menegakkan diagnosis anemia, diperlukan pemeriksaan darah lengkap, yang
mencakup kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan trombosit, serta mean corpuscular
volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC), dan Mean corpuscular
hemoglobin (MCH).
- Mean corpuscular volume (MCV) = Volume rata-rata dari sel darah merah pada sampel
darah.
Hematokrit (%) X 10
Nilai sel darah merah (juta/uL)
Nilai normal: 84-96 fL (femtoliter)

- Mean corpuscular hemoglobin (MCH) = Isi hemoglobin dalam korpus sel darah merah.
Hemoglobin (gr/dl) X 10
Nilai sel darah merah (juta/uL)
Nilai normal: 26-36 pg

- Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) = Konsentrasi hemoglobin pada
rata-rata sel darah merah.
Hemoblobin (gr/dl) X 100
Hematokrit (%)
Nilai normal: 32-36%

Suatu cara yang mudah untuk menentukan hemoglobin ialah sel darah merah (juta/ul) x
3. Sedangkan untuk mendapatkan hematokrit dapat dengan perhitungan sederhana hemoglobin x
3. Namun metode ini tidak sepenuhnya akurat.

Pada anemia mikrositik hipokrom, dapat dilakukan pengukuran kadar zat besi dalam
serum (serum iron), total-iron binding capacity (TIBC), dan feritin serum atau zat besi dalam
sum-sum tulang (bone marrow iron). Nilai normalnya ialah sebagai berikut:
- Serum Iron (SI):
Pria: 65 to 176 g/dL
Wanita: 50 to 170 g/dL
Bayi baru lahir: 100 to 250 g/dL
Anak-anak: 50 to 120 g/dL
- TIBC: 240450 g/dL
- Serum feritin:
Pria: 20-250 g/L
Wanita: 15-150 g/L
Apabila kadar zat besi dalam serum menurun dan TIBC meningkat, maka diagnosis
defisiensi zat besi dapat ditegakkan, terapi zat besi dapat dimulai, serta dapat dicari penyebab
dari defisiensi zat besi tersebut. Penyebab-penyebab dari anemia mikrositik hipokrom dapat
dilihat pada tabel 4.
Pada anemia makrositik, dapat dilakukan aspirasi sum-sum tulang untuk menentukan
apakah sel darah merah megaloblastik atau tidak. Pada anemia megaloblastik, penyebab yang
utama ialah defisiensi vitamin B12 atau asam folat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar keduanya. Ketika telah diidentifikasi penyebab
dari anemia megaloblastik ini, maka harus dilakukan investigasi lanjutan untuk menemukan
penyebab yang mendasari defisiensi tersebut.
Anemia normositik normokrom dapat terjadi pada tiga keadaan, yaitu perdarahan,
hemolisis, dan berkurangnya produksi. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan etiologi dari anemia normositik normokrom.

Tabel 4. Anemia mikrositik hipokrom (MCV < 83 fl; MCHC < 31%)
Kondisi
Serum
I ron
Total
I ron-
Binding
Capacity
(TI BC)
Bone
Marrow
I ron
Keterangan
Defisiensi besi 0 Berespon terhadap terapi zat
besi
Inflamasi kronik ++ Tidak berespon terhadap
terapi zat besi
Talasemia
mayor
N ++++ Terdapat retikulositosis dan
peningkatan kadar bilirubin
indirek
Talasemia
minor
N N - ++ Peningkatan HbF dan HbA
2
,
sel target, dan poikilositosis

Keracunan lead N N ++ Basophilic stippling dari sel
darah merah
Sideroblastik N ++++ Ring sideroblasts pada sum-
sum tulang
= menurun; = meningkat; 0 = absen; +'s mengindikasikan jumlah dari kadar besi
pada spesimen sumsum tulang, pada skala 0-4; N = normal.


Tabel 5. Anemia makrositik (MCV >95 fl)
Megaloblastic bone marrow Deficiency of vitamin B-12
Deficiency of folic acid
Drugs affecting deoxyribonucleic acid (DNA)
synthesis
Inherited disorders of DNA synthesis
Nonmegaloblastic bone
marrow
Liver disease
Hypothyroidism and hypopituitarism
Accelerated erythropoiesis (reticulocytes)
Hypoplastic and aplastic anemia
Infiltrated bone marrow




2. Pemeriksaan retikulosit
Merupakan pemeriksaan kuantitatif dari produksi sel darah merah baru oleh sum-sum tulang.


3. Sediaan apus darah tepi
Pada pemeriksaan ini dapat dilihat ukuran dan bentuk (morfologi) dari sel darah merah.
Berbagai kelainan bentuk dari sel darah merah dapat mengarah ke diagnosis tertentu. Selain itu,
adanya Plasmodium falciparum malaria dapat dinilai dari adanya lebih dari 1 cincin pada sel
darah merah.

Tabel 6. Berbagai bentuk sel darah merah yang abnormal
Makrosit Ukuran lebih besar dari normal (diameter (>8.5 m)
Mikrosit Ukuran lebih kecil dari normal (diameter (< 7 m)

Hipokromik Terdapat hemoglobin yang lebih sedikit pada sel darah merah.
Terdapat area pucat sentral yang membesar.

Sferosit Hilangnya area pucat sentral, warna lebih pekat, seringkali
mikrositik.
Terdapat pada sferositosis herediter dan pada anemia hemolitik
didapat.

Sel target Hipokromik dengan target di daerah sentral dari hemoglobin.
Terdapat pada penyakit liver, talasemia, hemoglobin D, dan pasca
splenektomi.

Eliptosit Berbentuk oval/elips.
Terdapat pada eliptositosis herediter, anemia defisiensi B12 dan
defisiensi asam folat.

Skistosit Sel darah merah yang terfragmentasi seperti helm, atau berbentuk
segitiga.
Terdapat pada anemia mikroangiopatik, katup jantung buatan,
uremia, dan hipertensi malignan.

Stomatosit Area slitlike pada daerah pucat sentral dari sel darah merah.
Terdapat pada penyakit liver, alkoholisme akut, keganasan,
stomatositosis herediter. Dapat juga merupakan artifak.

Sel air mata Sel darah merah berbentuk seperti tetesan air mata, seringkali
mikrositik.
Terdapat pada mielofibrosis, infiltrasi sum-sum tulang oleh
tumor, dan talasemia.

Akantosit Terdapatnya 5-10 spikula dengan panjang yang bervariasi dan
jarak yang ireguler pada permukaan sel darah merah.

Ekinosit Terdapatnya spikula yang terdistribusi merata pada permukaan
sel darah merah, biasanya terdapat 10-30 spikula.
Terdapat pada uremia, ulkus peptikum, karsinoma gastric,
defisiensi pyruvic kinase. Dapat juga merupakan artifak.

Sel bulan sabit
(sickle cell)
Sel darah merah yang memanjang dengan kedua ujungnya
runcing (bentuk seperti bulan sabit).
Terdapat pada hemoglobin S dan tipe tertentu dari hemoglobin C
dan I



Gambar 11. Morfologi sel darah merah abnormal
Sumber: http://www.mwap.co.uk/path_rbc_abnormal.jpg
4. Pemeriksaan sum-sum tulang
Dapat dilakukan aspirasi dan biopsi sum-sum tulang untuk mengidentifikasi adanya
kelainan pada sum-sum tulang.

Gambar 12. Aspirasi sum-sum tulang
Sumber: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/images/ency/fullsize/1129.jpg


Gambar 13. Gambaran sum-sum tulang normal
Sumber: http://www.anatomyatlases.org/MicroscopicAnatomy/Images/Plate62.jpg






A. B.






Gambar 14a. Pewarnaan zat besi pada sum-sum tulang normal
Gambar 14b. Keadaan defisiensi zat besi
Sumber: http://www.rightdiagnosis.com/phil/images/2657.jpg

5. Coombs test
Coombs test dilakukan untuk melihat adanya antibodi yang berikatan dengan sel darah
merah dan menyebabkan destruksi sel darah merah yang prematur (hemolisis)
10
. Terdapat dua
macam coombs test, yaitu direk dan indirek. Tes coombs direk dilakukan untuk mendeteksi
antibody yang telah berikatan di permukaan sel darah merah. Beberapa penyakit dan obat-obatan
(quinidine, metildopa, prokainamid) dapat menyebabkan terbentuknya antibody ini. Sedangkan
tes coombs indirek dilakukan untuk mendeteksi antibodi dalam sirkulasi yang belum terikat pada
permukaan sel darah merah. Tes ini jarang dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit.
Seringkali tes coombs indirek ini dilakukan untuk menentukan apakah seseorang mungkin akan
memiliki reaksi terhadap transfusi darah.

Gambar 15. Tes coombs direk
Sumber:
http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/coombs_test_direct.jpg


Gambar 16. Tes coombs indirek
Sumber: http://cmapspublic3.ihmc.us/rid=1GQX3FRS6-B1MWVC-F8H/indirect%20Coombs-
tests.jpg

2.3.6 Tatalaksana
2.3.6.1 Tatalaksana umum
Tujuan dari ditegakkannya etiologi dari anemia ialah agar terapi yang diberikan dapat
efektif dan spesifik berdasarkan masing-masing etiologi. Contohnya pada anemia hemolitik
autoimun dapat diberikan steroid. Splenektomi dapat berguna pada kasus sferositosis dan
eliptositosis herediter. Pada kasus anemia aplastik akibat pemakaian obat atau pajanan terhadap
zat kimia tertentu, maka pemberian obat atau pajanan tersebut harus segera dihentikan. Anemia
akibat perdarahan harus segera ditangani dan dihentikan penyebab perdarahan tersebut.
Penanganan anemia akibat penyakit kronis harus bertujuan untuk mengatasi penyakit kronis
yang mendasarinya.
2.3.6.2 Transfusi
Transfusi packed red cells (PRC) dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif
atau pada pasien dengan anemia berat yang memberikan gejala. Transfusi merupakan terapi
paliatif dan tidak dapat menjadi substitusi untuk terapi yang spesifik. Pada penyakit kronis yang
menyebabkan anemia, pemberian eritropoetin dapat membantu mengurangi transfusi darah.
Produk-produk darah
Koreksi anemia yang terjadi secara akut umumnya memerlukan darah atau produk-
produk darah. Dengan adanya perdarahan yang terus berlanjut atau hemolisis, maka transfusi
darah saja tidaklah cukup. Namun, transfusi untuk mengembalikan hemoglobin ke nilai normal
dapat membantu mencegah komplikasi akibat anemia akut.
a. Packed red cells (PRC)
Packed red cells (PRC) lebih sering dipakai daripada whole blood (darah utuh) karena
penggunaan PRC membatasi volume darah dan imunitas yang masuk ke tubuh pasien. PRC
memiliki plasma 80% lebih sedikit, serta lebih tidak imunogenik dibanding darah utuh. PRC
dapat disimpan lebih lama, yaitu selama 40 hari (dibandingkan darah utuh yang dapat disimpan
selama 35 hari). PRC didapatkan dari hasil sentrifugasi darah utuh.
Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 gr/dl diberikan
transfusi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB per satu kali pemberian disertai pemberian diuretik
seperti furosemid. Pemberian PRC juga dapat diberikan dengan formula: BB (kg) x A Hb (Hb
yang diinginkan Hb saat ini) x 4.
b. Fresh frozen plasma
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung faktor koagulasi, protein C, dan protein S.
Pemberian FFP dilakukan pada keadaan koagulopati yang menyebabkan terjadinya perdarahan.
c. Trombosit
Transfusi trombosit diberikan kepada pasien yang trombositopenia dengan adanya
perdarahan. Pasien dengan nilai trombosit < 10.000/ul berisiko untuk mengalami perdarahan
serebral spontan dan membutuhkan transfusi profilaktik.

2.3.6.3 Terapi nutrisional
Terapi nutrisional dilakukan pada keadaan anemia karena defisiensi zat besi, vitamin
B12, dan asam folat. Pasien-pasien vegetarian membutuhkan suplemen zat besi dan vitamin B12.
Anemia defisiensi zat besi memiliki prevalensi tinggi pada daerah-daerah dimana konsumsi
daging rendah. Zat besi banyak terkandung pada daging ayam, kacang-kacangan, kuning telur,
ikan, daging, kacang kedelai. Asam folat banyak terdapat pada sayuran berdaun hijau.
2.3.6.4 Manajemen anemia aplastik
Terapi dari anemia aplastik mencakup penghentian dari agen-agen yang dapat menjadi
penyebab dari anemia aplastik, terapi suportif untuk anemia dan trombositopenia, serta terapi
untuk infeksi yang mungkin terjadi. Beberapa pasien menunjukkan respon yang baik terhadap
terapi imunosupresan (misalnya globulin antitimosit, siklosporin).
2.3.6.5 Splenektomi
Splenektomi dapat berguna untuk terapi dari anemia hemolitik autoimun dan pada
beberapa gangguan hemolitik herediter tertentu (misalnya pada sferositosis herediter dan
eliptositosis).

2.3.6.6 Transplantasi sum-sum tulang dan stem cell
Transplantasi sum-sum tulang dan stem cell telah dilakukan pada pasien-pasien dengan
leukemia, limfoma, penyakit Hodgkin, mieloma multipel, mielofibrosis, dan anemia aplastik.
Transplantasi ini dapat meningkatkan harapan hidup serta dapat mengoreksi kelainan
hematologis.

2.3.6.7 Medikamentosa
a. Suplemen mineral
Suplemen mineral diberikan untuk menyediakan zat besi dalam jumlah yang adekuat untuk
sintesis hemoglobin serta untuk memenuhi cadangan zat besi dalam tubuh. Medikasi yang efektif
dan ekonomis sebagai terapi anemia defisiensi besi ialah suplemen zat besi yang diberikan secara
oral. Pemberian zat besi secara parenteral jarang dilakukan, dan hanya dilakukan pada pasien
yang tidak dapat mengabsorpsi zat besi oral atau terus mengalami anemia walaupun telah
diberikan zat besi oral dalam dosis yang adekuat
10
.
- Ferrous sulfate
Merupakan sediaan yang paling sering digunakan sebagai terapi anemia defisiensi besi.
Dosis untuk anak-anak yaitu 3-6 mg Fe/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis. Sebagai
profilaksis dapat diberikan dosis 1-2 mg Fe/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, tidak melebihi
15 mg/hari. Pemberian suplemen ferrous sulfate ini dapat diberikan hingga 2 bulan
setelah anemia terkoreksi untuk mengoptimalkan cadangan zat besi dalam tubuh.

- Carbonyl iron
Carbonyl iron digunakan sebagai substitusi dari ferrous sulfate. Carbonyl iron dilepaskan
secara lambat sehingga lebih aman digunakan pada anak-anak, namun harganya lebih mahal
dibanding ferrous sulfate. Satu tablet mengandung 45 mg dan 60 mg zat besi.
- Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intramuscular menimbulkan rasa sakit dan harganya juga mahal.
Preparat ini berisiko menimbulkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Preparat yang sering
dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/mL. Dosis dihitung
berdasarkan: BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (gr/dl) x 2,5.

b. Vitamin
Cyanocobalamin (vitamin B12) dan asam folat diberikan untuk terapi anemia
megaloblastik akibat defisiensi dari salah satu atau kedua vitamin tersebut. Defisiensi vitamin K
umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit liver sehingga terjadi gangguan pendarahan.
Vitamin K juga dapat diberikan pada keadaan perdarahan akibat penggunaan obat (misalnya
aspirin).

c. Suplemen elektrolit
Kadar potassium dalam serum dapat menurun akibat terapi cobalamin atau asam folat. Oleh
sebab itu pada pemberian terapi vitamin B12 atau asam folat perlu dilakukan pemantauan kadar
elektrolit serta pemberian suplemen potassium bila diperlukan (potassium chloride). Kehilangan
100-200 mEq potassium dapat menyebabkan penurunan 1 mEq/L kadar potassium dalam serum.

d. Kortikosteroid
Diberikan pada keadaan anemia hemolitik autoimun atau idiopatik dengan dosis 2-10
mg/kg/hari
1
. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar hemoglobin maka
dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Pemberian gammaglobulin intravena pada
pasien anemia hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama dengan pemberian
kortikosteroid dengan dosis 2 gram/kgBB.

2.3.7 Prognosis
Prognosis dari anemia tergantung dari penyakit yang mendasarinya (etiologi), tingkat
keparahan, usia pasien, dan ada atau tidaknya kondisi komorbid yang menyertai. Anemia yang
segera mendapat penanganan yang adekuat umumnya memiliki prognosis yang baik. Anemia
akibat penyakit kronis kemungkinan akan selalu berulang bila penyakit yang mendasarinya tidak
ditangani dengan baik. Pada kondisi anemia aplastik berat yang tidak segera diterapi, tingkat
kematian berkisar antara 60-70% dalam 2 tahun setelah diagnosis
6
.




BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sukahar No. CM : 278560
Jenis kelamin : Laki-Laki Pendidikan : SMA
Usia : 46 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Sudah menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Status pembayaran : BPJS NON PBI
Alamat : Tunjungharjo,Grobogan Tanggal periksa : 1/2/2014

B. ANAMNESIS (Autoanamnesa pada 1 Februari 2014 jam 11.00)
Keluhan Utama
Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang
Telah datang pasien Tn S, 46 tahun, ke instalasi radiologi RSUD Kota Semarang dengan keluhan
badan lemas sejak 2 minggu SMRS. Pasien baru pertama kali merasakan badan lemas seperi
ini. Keluhan ini membuat pasien tidak dapat melakukan pekerjaan berat. Badan tambah lemas
saat pasien bekerja dan berjalan jauh dan berkurang saat istirahat. Pasien memeriksakan diri ke
RSI Sultan Agung Semarang, namun karena ruangan penuh, akhirnya pasien dirujuk ke RSUD
Kota Semarang.
Pasien juga mengeluh sesak napas, dada berdebar, pusing, cepat lelah serta perut kembung.
Keluhan lain: pingsan (-), demam (-), BAB berdarah atau berwarna hitam (-), muntah darah (-),
kencing seperti teh (-), badan kuning (-).

Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan yang sama : disangkal
Riwayat Transfusi Darah : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Penyakit Hati : disangkal
Hipertensi : disangkal
DM : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat Transfusi Darah : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Penyakit Hati : disangkal
Hipertensi : disangkal
DM : disangkal

Riwayat Pengobatan
Pasien pertama kali memeriksakan diri ke IGD RSI Sultan Agung Semarang pada tanggal 29
Januari 2014 dengan diagnose Anemia Sedang, namun karena ruangan penuh, pasien akhirnya
dirujuk ke RSUD Kota Semarang. Pada hari pertama perawatan pasien mendapatkan transfuse
PRC 2 Kolf.

Riwayat Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari. Dalam sehari pasien biasa minum 4 gelas air ukuran kecil.
Aktivitas sehari-hari pasien bekerja sebagai karyawan dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Pasien jarang berolahraga.

Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang karyawan, tinggal bersama anak dan istrinya. Biaya pengobatan dengan
menggunakan BPJS Non PBI. Kesan Sosial Ekonomi : Cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK (1 Februari 2014 jam 11.00)
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 46 tahun
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 165 cm
BMI : 21.3 (normoweight)
Status gizi baik

Status Generalis
- Keadaan Umum : Baik, kooperatif
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit, irama regular, isi cukup
RR : 20 x/menit
Suhu : 36.5
o
C (axilla)
- Kulit : Turgor baik, pucat (+), ikterus (-), Petekie (-), Ulkus (-)
- Kepala : Normosefal, penonjolan os frontoparietal dan maksila (-)
- Rambut : Hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut
- Mata : Conjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-
- Telinga : Normotia, sekret -/-
- Hidung : Simetris, sekret -/-, septum deviasi -/-
- Tenggorokan : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, tonsil T1/T1
- Gigi dan Mulut : Mukosa bibir sianosis (-), bibir kering (-), atrofi papil lidah (-)
- Leher : JVP 52 cm H2O, pembesaran KGB (-)
- Pemeriksaan

Paru-paru Jantung Abdomen
Inspeksi
Hemithorax D = S, ICS
normal, diameter AP <
LL, retraksi otot-otot
bantu napas (-), retraksi
costa (-)
Iktus kordis tak
tampak
RR = 20x/menit,
simetris D = S,
sikatrik (-), striae (-),
pelebaran vena (-),
hiperpigmentasi (-),
spider nevi (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), tumor (-),
pelebaran ICS (-), stem
Iktus kordis teraba
di ICS 5 line mid
Hepar tak teraba
Lien teraba
fremitus D = S clavicular sinistra 2
cm ke arah medial,
thrill (-), lift (-)
Ginjal tak teraba
Perkusi Sonor D = S Redup Timpani
Auskultasi Suara napas vesikuler (+)
BJ I dan II reguler,
murmur (-)
Bising usus (+) normal
Kesan Splenomegali

- Pemeriksaan kelenjar getah bening:
KGB submandibula, servikalis, supraklavikula, aksila, inguinal dan poplitea tidak teraba
adanya pembesaran.

- Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Oedem - / - - / +
Akral dingin - / - - / -
Sianosis -/- -/-
Petekhie -/- -/-
Turgor kulit Cukup Cukup
Spoon nail -/- -/-
Ulkus -/- -/-

- Pemeriksaan Neurologis
Refleks fisiologis Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Refleks patologis Hoffman -/-
Tromner -/-
Oppenheim -/-
Gordon -/-
Fungsi motorik Normotrofi
Normotoni
Kekuatan 5/5
Normotrofi
Normotoni
Kekuatan 5/5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 1 Februari 2014

Hb 6,2 mg/dL 14-18
Ht 10,8 mg/dL 42-52
Lekosit 7,2 mg/dL 4,8-10,8
Trombosit 228x10^3 mg/dL 150-400x10^3
Ureum 16,1 mg/dL 15-43
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,7-1,1
Morfologi darah tepi
Eritrosit: tampak renggang, anisositosis ringan, poikilositosis ringan,
normokrom
Trombosit : estimasi jumlah normal, bentuk normal
Lekosit : estimasi jumlah normal, bentuk normal
Kesan : Anemia Normokrom Normositik


Pemeriksaan USG 1 Februari 2014
HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas normal, tepi rata, sudut
tajam, tak tampak nodul, V. Porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus biliaris intra-
ekstrahepatal tak melebar
VESIKA FELEA tak membesar, dinding tak menebal, tak tampak batu.
LIEN membesar, ukuran 23 cm, parenkim homogeny, V lienalis tak melebar, tak tampak nodul
PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak melebar.
GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS melebar, tak
tampak batu, tak tampak massa.
GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS tak melebar, tak
tampak batu, tak tampak massa.
AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran noduli limfatik paraaorta.
VESIKA URINARIA dinding tak menebal, reguler, tak tampak batu/massa.
Tak tampak efusi pleura.
Tak tampak cairan bebas intraabdomen.
KESAN :
Splenomegali ukuran 23 cm
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya di atas secara sonografi

E. DIAGNOSIS
- Anemia Normositik Normokromik
- Splenomegali

F. PENATALAKSANAAN
Edukasi :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami serta penatalaksanaannya
(Informed consent)
- Minum obat secara teratur, kontrol secara teratur
- Minum cukup (1.5 2 liter per hari)
- Perbanyak aktivitas fisik
Farmakologi :
- Inf NaCl 20 tpm
- Inj Cefotaxim 2x1
- Inj Ranitidin 2x1
- Transfusi PRC 2 Kolf










Daftar Pustaka

1. MZ, Moeslichan, Endang Windiastuti. Anemia dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
2010. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hematologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
jilid 1. 1985. Jakarta: FKUI.
3. Red Blood Cell Indices: Implications for Practice: Maturation of RBCs [Online]. Terdapat
pada: http://www.medscape.com/viewarticle/497032_3. Diunduh pada: 17 Februari 2012.
4. WHO. Worldwide prevalence of anemia 1993-2005. 2005. Atlanta: CDC.
5. Kliegman, Robert M, et al. The anemias dalam Nelsons textbook of pediatric 18th ed. 2007.
Philadelphia: Elsevier.
6. Makaaroon, Joseph E. Anemia [Online]. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/article/198475-overview. Diunduh pada: 17 Februari 2012.
7. Schick, Paul. Pure red cell aplasia [Online]. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/article/205695-overview. Diunduh pada: 18 Februari 2012.
8. Gonzales, Rozario, et al. Spectrum of anemia associated with chronic liver disease [Online].
September 19, 2009. Terdapat pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2754513/.
Diunduh pada: 19 Februari 2012.
9. Coombs test [Online]. Terdapat pada:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003344.htm. Diunduh pada: 19 Februari 2012.
10. Harper, James L. Iron Deficiency Anemia Medication [Online]. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/article/202333-medication#showall. Diunduh pada: 19 Februari
2012.

You might also like