You are on page 1of 70

1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri (Eccleston, 2010). Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo dkk, 2009). Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Nyeri akut seringkali adaptif karena mengingatkan individu mengenai kehadiran dan lokasi dari cedera pada lapisan jaringan dan mengoreksi perilaku yang dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadapnya. Nyeri kronik, di sisi lain merujuk pada nyeri yang berkelanjutan lebih dari tiga bulan walaupun treatment dan usaha-usaha untuk mengatasinya telah dilakukan individu. Nyeri dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang dan seringkali berasosiasi dengan masalah-masalah fungsional, psikologis, dan sosial. Lebih lanjut lagi, nyeri kronik dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap keluarga dan rekan-rekan penderita (Rospond, 2008). Pasien-pasien dengan nyeri kronik dan akut yang berulang seringkali merasa ditolak oleh elemen-elemen masyarakat yang hadir untuk

melayani mereka. Mereka kehilangan keyakinan dan menjadi frustasi serta terganggu dengan sistem pelayanan kesehatan yang mungkin pada awalnya menciptakan ekspektasi-ekspektasi bagi kesembuhan tetapi mengecewakan para penderita nyeri ketika treatment terbukti tidak adekuat (Turk, 2002). Nyeri merupakan situasi yang menurunkan moral yang mengkonfrontasi penderita tidak hanya dengan stress yang berasal dari nyeri tetapi juga dengan banyak kesulitan-kesulitan lain yang menyertai yang mempengaruhi semua aspek kehidupan (Turk & Monarch, 2002). Nyeri itu sendiri bisa disebabkan oleh beberapa peristiwa, salah satunya pada tindakan injeksi. Nyeri adalah komplikasi yang secara umum terjadi ketika dilakukannya tindakan injeksi. Nyeri pada klien yang dilakukan tindakan injeksi merupakan kategori nyeri nosiseptor mekanis yang berespon terhadap kerusakan mekanis berupa tusukan jarum (Sherwood, 2011). Hasil penelitiian menunjukan bahwa dari 125 laki-laki, 80% melaporkan nyeri setelah tindakan injeksi yang diberikan (Sartorius et al, 2010). Injeksi merupakan salah satu tindakan invasif yang biasa dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Rute pemberian injeksi dapat dilakukan melalui subkutis (subkutan / SC), intramuskular (IM), intravena (IV), dan intrathekal-intraspinal. Rute pemberian injeksi yang paling sering dilakukan adalah melalui IM (Potter & Perry, 2005). Injeksi IM dapat dilakukan ke dalam otot ventrogluteal, otot vastus lateralis, otot dorsogluteal, dan otot deltoid (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).

Injeksi IM umumnya memerlukan jarum berukuran 19 sampai 23, bergantung pada viskositas obat. Setiap jarum memiliki 3 karakteristik utama: kemiringan bavel, panjang batang dan ukuran atau diameter jarum. Panjang jarum yang dipakai disesuaikan berdasarkan ukuran dan berat klien serta tipe jaringan yang akan diinjeksi obat (Potter & Perry, 2005). Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah memilih lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah besar, saraf, dan tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Menginjeksi obat dalam volume dan viskositas yang terlalu besar di tempat yang dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat mengakibatkan jaringan setempat rusak. Selain itu, kenyamanan juga menentukan tingkat nyeri yang dirasakan klien. Posisi yang nyaman dapat membantu klien untuk mengurangi ketegangan otot dan nyeri yang ditimbulkan karena prosedur injeksi yang dilakukan (Potter & Perry, 2005). Posisi klien saat injeksi dapat tengkurap atau lateral (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Kuhu, Wijayanti & Sukrillah (2003) menunjukan bahwa posisi lateral yang tidak diatur saat penyuntikan menyebabkan rasa sakit 3,947 kali lebih sakit dibandingkan dengan posisi lateral diatur saat penyuntikan. Namun, meskipun posisi sudah diatur senyaman mungkin, rasa nyeri seringkali masih dirasakan. Sensasi nyeri juga bervariasi antar individu. Penelitian menunjukan bahwa wanita dan pria berbeda dalam berespon terhadap nyeri. Wanita menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk diinduksi nyeri (Fillingim & Maixner, 2009).

Pada tindakan injeksi, khususnya IM, masuknya jarum ke jaringan yang banyak mengandung reseptor nyeri yaitu otot akan melewati beberapa lapisan kulit, diiantaranya adalah lapisan subkutan, dimana terdapat beberapa jaringan lemak. Semakin tebal jaringan lemak bawah kulit maka jaringan otot yang mengalami kerusakan cenderung lebih sedikit dibanding orang dengan tebal lemak bawah kulit yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena jarak antara kulit dengan otot lebih tebal dari normal. Hal tersebut menyebabkan responden dengan obesitas cenderung mengalami tingkat nyeri yang berbeda dibanding yang memiliki berat badan rendah ketika dilakukan injeksi (Widyanto, 2012). Tindakan injeksi IM sendiri paling banyak dilakukan pada klien Keluarga Berencana (KB) atau akseptor KB Suntik. Tahun 2005 total peserta KB baru di Kabupaten Banyumas adalah 71.893 orang dengan rincian sebagai berikut : suntik (66,9%), pil (13,6%), kondom (8,3%), implant (4,61%), IUD (4,46%), metode operasi wanita (1,31%), dan metode operasi pria (0,72%) (BKKBN Kab. Banyumas, 2005). Data lain dari Dinas Kesehatan Kab. Banyumas pada bulan Agustus 2011 menunjukan bahwa kecamatan Kebasen memiliki jumlah peserta KB suntik terbanyak. Dari data Puskesmas Kebasen menunjukan bahwa terdapat 8896 akseptor KB suntik aktif pada bulan Januari sampai September 2011, 824 diantaranya berada di Desa Kebasen. Berdasarkan uraian di atas dan belum adanya penelitian tentang hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dengan tingkat nyeri yang dirasakan klien saat tindakan injeksi, maka dipandang perlu untuk dilakukan

penelitian mengenai hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri.

B.

Perumusan Masalah Penelitian Nyeri lokal merupakan komplikasi yang relatif umum saat dilakukan tindakan injeksi IM. Injeksi IM dapat dilakukan ke dalam otot ventrogluteal, otot vastus lateralis, otot dorsogluteal, dan otot deltoid. Tebal lemak pada kulit juga dapat mempengaruhi tingkat intensitas nyeri yang dirasakan. Pada tindakan injeksi, khususnya IM, dimana masuknya jarum kejaringan otot akan melewati beberapa lapisan kulit, diantaranya adalah lapisan subkutan, dimana terdapat beberapa jaringan lemak sehingga semakin tebal jaringan lemak bawah kulit maka akan semakin sedikit jaringan otot yang mengalami kerusakan karena tindakan injeksi yang berakibat nyeri akan terasa lebih ringan. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Adakah hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri?

C.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, berat badan, pendidikan, dan pekerjaan) akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. b. Untuk mengetahui tebal lemak bawah kulit (skinfold) akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. c. Mengetahui intensitas nyeri pada saat dilakukan tindakan injeksi IM pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. d. Menganalisis hubungan intensitas nyeri dengan tebal lemak bawah kulit (skinfold) akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

D.

Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Menambah ilmu pengetahuan dari hasil penelitian tentang hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan tingkat intensitas nyeri akseptor KB suntik.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Institusi Penelitian ini dapat memberikan kontribusi informasi terkait hubungan tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri saat injeksi IM dalam penerapannya dalam proses pendidikan. b. Bagi Peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri injeksi IM. c. Bagi Praktisi Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai media promotif untuk memeberikan informasi kepada klien mengenai hubungan tebal lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri dan menerapkan pengelolaan nyeri ketika dilkukan injeksi IM berhubungan dengan tebal lemak bawah kulit klien.

E.

Keaslian Penelitian Sejauh penulis ketahui, berdasarkan telaah pustaka belum pernah ada penelitian mengenai hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri. Penelitian tentang Hubungan antara Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Intensitas Nyeri memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan tingkat intensitas nyeri. penelitian sejenis yang memiliki kesamaan yakni : Akan tetapi ada

1. Gumilar (2010) yang meneliti hubungan tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan usia awal andropouse. Penelitian ini menggunakan studi penelitian observasional analitik dengan pendekatan crossectional dengan teknik purposive sampling. Besar sampel yang digunakan adalah 30 orang yang bekerja di Fakultas Kedokteran UNS. Berdasarkan hasil uji korelasi non-parametrik Spearman, diperoleh nilai signifikansi p = 0,027 (p 0,05) yang menunjukan bahwa korelasi antara tebal lemak bawah kulit dengan usia awal andropouse adalah bermakna. Hasi uji korelasi non-parametrik spearman didapatkan nilai r = 0,405 menunjukan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah. 2. Kuhu, Wijayanti & Sukrillah (2003) yang meneliti pengaruh posisi lateral saat penyuntikan IM terhadap berkurangnya keluhan rasa sakit pada klien di ruang penyakit dalam RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto. Desain penelitian yang digunakan adalah pre experiment one group pretest-posttest design dengan teknik stratified random sampling. Jumlah sampel sebanyak 52 responden. Berdasarkan nilai hasil uji Pearson Chi-square = 11,219 lebih besar dari nilai tabel = 3,48 dengan tingkat pengaruh kecil yakni a = 0,001 dan dari nilai Odd ratio = 3,947 artinya posisi lateral tidak diatur saat penyuntikan menyebabkan rasa sakit 3,947 kali lebih sakit dibandingkan dengan posisi lateral diatur saat penyuntikan. 3. Peristiami (2010) yang meneliti perbedaan respon nyeri anak umur 1-7 tahun pada pemasangan infus dan injeksi di RSUD Purbalingga. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel

penelitian ini berjumlah 60 anak dengan umur 1-7 tahun. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara respon nyeri anak umur 1-7 tahun pada pemasangan infus dan injeksi di RSUD Purbalingga (nilai p 0,05). 4. Widyanto (2012) yang meneliti tentang perbedaan injeksi IM gluteal pada posisi lateral dan tengkurap terhadap tingkat nyeri akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan rancangan posttest only with control group design. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling. Sampel merupakan akseptor KB suntik berjumlah 92 orang.

Berdasarkan hasil analisa statistik dengan independent samples test dengan a = 0,05 didapatkan nilai t = 0,717 dan nilai p = 0,475. Artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat nyeri injeksi IM gluteal pada posisi lateral dan tengkurap di bidan praktik swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Landasan Teori 1. Obesitas Obesitas berasal dari bahasa latin yang mempunyai arti makna berlebihan, tetapi saat ini obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Penderita obesitas yaitu orang yang mempunyai berat badan sangat berlebihan, secar umum dapat didiagnosa dengan hanya dengan melihat secar fisik. Namun perlu diwaspadai bahwa masalah obesitas tidak hanya sekedar mempengaruhi penampilan seseorang. Masalah obesitas biasanya juga disertai masalah kesehatan lain seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan hipertensi, kanker, penyakit ginjal, dan penyakit hati yang dapat menyebabkan kematian (Azwar, 2004). Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan

adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen / nutrisional (obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas skunder)

11

akibat kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10% (Hidayati et al, 2010). Kegemukan atau obesitas terjadi karena mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Bila kelebihan ini terjadi dalam jangka waktu lama, dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup untuk membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak dan ditimbun di dalam sel lemak di bawah kulit. Akibatnya orang tersebut akan menjadi gemuk. Pada awalnya ditandai dengan peningkatan berat badan, pada wanita penumpukan jarigan lemak, biasanya berada di sekitar pinggul, paha, lengan, punggung dan perut, baru meluas ke seluruh tubuh sampai ke wajah. Sedangkan laki-laki, penumpukan jaringan lemak umumnya terjadi di bagian perut (Azwar, 2004). Menurut Wirakusumah (2001), ada dua tipe kegemukan berdasarkan distribusinya dalam tubuh, yaitu : a. Tipe Android (Tipe buah Apel) Kegemukan tipe ini ditandai dengan penumpukan lemak yang berlebihan di bagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Umumnya tipe ini terjadi pada pria dan wanita yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk pada tipe android lebih banyak terdiri atas lemak jenuh yang mengandung sel-sel lemak yang besar. Menurut Jean Vague (2006), obesitas dengan tipe android berpotensi dan beresiko lebih tinggi menderita penyakit yang berhubungan dengan metabolisme lemak dan glukosa seperti

12

diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, stroke, perdarahan otak, tekanan darah tinggi, dan kemungkinan untuk terserang kanker payudara 6 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai berat badan normal. b. Tipe Ginecoid (Tipe Buah Pear) Pada tipe ini, lemak tertimbun di bagian tubuh sebelah bawah yaitu sekitar perut, pinggul, paha, pantat, dan umumnya ditemui wanita. Lemak tersebut terdiri atas lemak tidak jenuh, sel lemak kecil dan lembek. Tipe ginecoid lebih aman bila dibandingkan dengan tipe android karena lebih kecil kemungkinan mengalami resiko terkena penyakit. Menurut Hidayati et el (2010), ada beberapa faktor penyebab obesitas, yaitu : a. Faktor Genetik Perenteral faness merupakan faktor genetik yang

berperanan besar. Obesitas dapat menurun dalam keluarga tetapi mekanismenya sampai saat ini masih belum jelas, walaupun dalam anggota keluarga secara genetik dapat mengalami kelebihan berat badan. Hal ini dimungkinkan karena banyak gen yang terlibat dalam proses pengeluaran dan pemasukan energi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1994 terhadap gen obesitas pada tikus telah membuka wawasan mengenai bidang ini. Gen obese ini merupakan suatu protein yang dikenal dengan nama leptin dan diproduksi oleh sel-sel lemak (adipositas) yag disekresikan ke dalam darah. Leptin

13

ini berperan sebagai suatu duta (messenger) dari jaringan adiposa yang memberikan informasi ke otak mengenai ukuran massa lemak. Salah satu efek utamanya adalah sebagai penghambat sintesa dan pelepasan neuropeptida Y, dengan cara meningkatkan asupan makanan, menurunkan termogenesis dan meningkatkan kadar insulin. Leptin memberitahukan otak mengenai jumlah lemak yang tersedia, tetapi pada orang obesitas proses ini tidak berjalan. b. Faktor Linngkungan 1) Aktifitas Fisik Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar 5 jg. Penelitian di Jepang menunjukan risiko obesitas yang rendah pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olahraga, sedang penelitian di Amerika menunjukan penurunan berat badan dengan jogging, aerobik, tetapi untuk olahraga tim dan tenis tidak menunjukan penurunan berat badan yang signifikan. 2) Faktor Nutrisi Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok

14

dengan asupan rendah lemak. Penelitian lain menunjukan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak mengenyangkan serta memiliki efek termogenesis yang lebih kecil dibandingakan dengan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juaga mempunyai rasa yang lebih lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga

menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi. Karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat diregulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan di dalam jaringan lemak.

15

3) Faktor Sosial Ekonomi Perubahn pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidu, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adnya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktivitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.

2. Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) Antropometri merupakan ukuran dari berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh manusia yang dibedakan menurut umur dan tingkat gizi. Indeks antropometri terdiri dari berbagai macam, baik tunggal (misalnya berat/umur), maupun kombinasi (berat/tinggi, triceps skinfold dan mid-upper-arm circumference). Pengukuran antropometri antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran indeks massa tubuh (IMT), skinfold thickness serta rasio lingkar pinggang dan pinggul (RLPP) (Gibson, 2005). Keunggulan metode antropometri adalah prosedur sederhana, aman, non-invasif, tidak butuh tenaga ahli, ekonomis, mudahh dimengerti awam. Kelemahannya adalah pada alatnya (diatasi dengan peneraan berkala, pemeriksa (observer error) dalam pendataan dan pencatatan, dan butuh umur yang tepat (Sudibjo, 2001).

16

Pada orang dewasa kelebihan berat badan ditunjukan dengan adanya penumpukan lemak tubuh. Sepertiga dan total lemak tubuh dapat didekati dengan cara pengukuran lemak tubuh (subkutan). Lemak tubuh dapat diukur dalam bentuk absolut (kg) sebagai berat total lemak tubuh atau berupa persentase dari berat badan total. Ketebalan dari lemak tubuh subkutan pada beberapa bagian tubuh dapat diestimasi dengan menggunakan alat ukur skinfold caliper. Pada orang yang obes terjadi kesulitan sehingga meningkatkan error, sedangkan pada orang yang menderita oedema, umumnya terjadi overestimate (Gibson, 2005). Untuk mengetahui jumlah presentase lemak tubuh dilakukan dengan mengukur ketebalan lemak pada bagian tubuh tertentu. Cara yang sering dikerjakan adalah mengukur 4 tempat, yakni : triceps, bicep, suprailliaca, dan subscapulla menggunakan pecepit (skinfold caliper). Pengukuran dengan skinfold caliper ini lebih praktis untuk memperoleh hasil yang sesuai (Sudibjo, 2001). Pengukuran lemak tubuh pada triceps, biceps, suprailiaca, dan subscapula diukur dalam satuan milimeter (mm). Untuk mendapatkan presentasi lemak tubuh, total lemak dalam presentase dikalikan dengan berat badan probandus (kg) (Sukmaniah, 2009). Cara pengukuran : a. Lipatan kulit triceps diukur dari pertengahan lengan atas bagian belakang. Subjek berdiri dengan lengan rileks dan palmar menghadap ke bagian lateral paha, palpasi ujung dari acromion dan olecranon. Tandai titik tepat di tengah antara kedua titik tersebut.

17

Pengukuran tebal kulit dilakukan di daerah yang ditandai pada bagian posterior otot triceps, dengan menarik kulit pada arah vertikal sejajar dengan axis panjang (Gibson, 2005). b. Lipatan kulit biceps diukur dari ketebalan lipatan kulit secara vertikal pada bagian depan pertengahan lengan atas, tepat di atas pertengahan fossa cubiti, sejajar dengan lipatan kulit trices (Gibson, 2005). c. Lipatan kulit subscapular diukur di bawah dan di sebelah lateral dari sudut puncak bahu, dalam keadaan bahu dan lengan relaksasi. Meletakan tangan probandus di belakang dapat membantu

mengidentifikasi letak daerah yang diukur. Lipatan kulit harus bersudut 45 dari posisi horizontal, sejajar dengan perbatasan dari scapula (Gibson, 2005). d. Lipatan kulit suprailiaca diukur dari garis pertengahan axilaris, sedikit lebih tinggi dari puncak iliac. Lipatan kulit diambil secara oblicue di belakang garis pertengahan axilaris sampai garis belahan iliaka (Gibson, 2005). Setelah didapatkan jumlah total lemak tubuh, untuk

mengetahui kelompok persentase lemak tubuh, total lemak dalam persentase dikalikan dengan berat badan probandus (kg).

18

3. Nyeri a. Pengertian Nyeri merupakan mekanisme protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran bahwa telah atau akan terjadi kerusakan jaringan. Nyeri disertai oleh respon perilaku termotivasi (penarikan atau pertahanan) serta reaksi emosi (Sherwood, 2011). Menurut IASP, nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009). b. Patofisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuan reaksi fisik, emosi, dan perilaku (Potter & Perry, 2006). Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nosiseptor yaitu ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa (Hidayat, 2006). Sherwood (2011) mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori reseptor nyeri yaitu nosiseptor mekanis, nosiseptor termal, dan nosiseptor polimodal. Nosiseptor mekanis berespon terhadap kerusakan mekanis misalnya tusukan. Nosiseptor termal berespon terhadap suhu yang berlebihan terutama panas dan nosiseptor polimodal berespon terhadap semua jenis rangsangan yang merusakan.

19

Proses nyeri dimulai dari stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya pengalaman subjektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia. Kejadian tersebut dapat

dikelompokan menjadi 4 proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009). Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson, 2006). Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimia endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor (Setiabudi, 2005). Substansi kimia ini pada gilirannya akan merangsang dilepaskannya substansi P dari ujung-ujung saraf ABeta dan serabut saraf C yang disebut sebagai nosiseptor. Terlepasnya substansi nyeri pada daerah kerusakan jaringan selain akan meningkatkan kualitas dan kuantitas nosiseptor, sehingga proses transduksi semakin meningkat (Suryaniati, 2006). Transmisi nyeri meliibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melalui serabut aferen primer nosispeptif dari perifer lewat radiks posterior medulla spinalis (Price & Wilson, 2006). Kornu poosterior berfungsi sebagai jalur desendens dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di orteks serebri dan diterjemahkan (Setiabudi, 2005).

20

Modulasi nyeri melibatkan aktivittas saraf melalui jalurjalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis (Price & Wilson, 2006). Proses modulasi dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional dan kultur dari seseorang. Proses modulasi menyebabkan persepsi nyeri setiap orang berbeda karena ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri (Suryaniati, 2006). Sistem pengendali modulasi berupa sisitem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain. Terdiri dari substansia gelatinosa sebagai

penghambat sel transmisi T, serabut aferen diameter besar akan menutup gerbang, diameter kecil akan menutup gerbang. Subbstansi yang bekerja sebagai modulator nyeri di medulla spinalis yaitu dinorfin, enkefaliin, noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA akan menghambat nyeri. Substasi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, ATP, asam amino eksitatori (Setiabudi, 2005). Proses terakhir adalah persepsi nyeri yaitu pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009). Sel transmisi T di dalam sistem gerbang spinnal kendali nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistem gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer

21

serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintegrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri (Setiabudi, 2005). Persepsi tentang reaksi terhadap stimulus nyeri dapat menurun sesuai dengan umur (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi. Walaupun merupakan pengalaman subjektif dengan komponen sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, nyeri melihatkan beberapa bukti objektif. Mengamati ekspresi wajah klien, mendengarkan tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda vital dapat memberi petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami klien (Potter & Perry, 2006). c. Respon Nyeri Respon fidiologis dan perilaku akan dialami oleh seseorang yang mengalami nyeri (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). 1) Respon Fisiologis Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke bidang otak dan talamus, sisitem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sisitem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis (Potter & Perry, 2006). Respon fisiologis bervariasi sesuai dengan asal dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, sistem saraf simpatis terstimulasi mengakibatkan peningkatan tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, pucat, diaforesis,

22

dan dilatasi pupil. Respon fisiologis paling mungkin tidak tampak pada klien dengan nyeri kronis sebab sistem saraf pusat telah beradaptasi (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). 2) Respon Perilaku Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda, namun tetap memperlihatkan respon objektif yang sama. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggerakan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai. Gerakan tersebut bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang (Potter & Perry, 2006). Respon perilaku terhadap rasa nyeri menurut Berman, Snyder, Kozier & Erb, (2009) adalah sebagai berikut : a) Gigi mengatup b) Menutup mata dengan rapat c) Menggigit bibir bawah d) Wajah meringis e) Merintih dan mengerang f) Merengek g) Menangis h) Menjerit i) Imobilisasi tubuh j) Menjaga bagian tubuh k) Gelisah, melempar benda, berbalik

23

l) Pergerakan tubuh berirama m) Menggosok bagian tubuh n) Menyangga bagian tubuh yang sakit d. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu (Potter & Perry, 2006). Nyeri yang dirasakan individu saat dilakukan injeksi dapat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, umur dan obesitas (Sartorius, Fennel, Turner, Conway & Handelsman, 2010). Jenis kelamin juga mempengaruhi nyeri nyeri individu, wanita

menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk diinduksi nyeri daripada pria (Fillingim & Maixner, 2009). Menurut Potter & Perry (2006) faktor lain yang mempengaruhi nyeri antara lain kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, gaya koping serta dukungan keluarga dan sosial. Faktor internal lain yang mempengaruhi nyeri dapat diakibatkan karena gangguan neurologis. Individu yang mengalami gangguan neurologis akan memberikan respon yang berbeda terhadap rangsangan nyeri yang dibeikan. Gangguan neurologis akan mempengaruhi kemampuan individu merasa nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Gangguan neurologis dapat berupa paralisis yaitu kehilangan fungsi saraf yang lengkap atau tidak lengkap pada sebagian tubuh. Gangguan ini bisa bersifat sensorik atau motorik atau keduannya (Hinclliff, 1999).

24

Tingkat nyeri yang dirasakan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, namun juga faktor eksternal seperti obat, teknik dan pemilihan alat injeksi. Perbedaan volume spuit dan panjang jarum yang digunakan dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut berkaitan dengan pemilihan metode atau teknik injeksi yang mampu mempengaruhi nyeri individu (Setiadi, Aulawi & Setyarini, 2003). Penelitian Chung, Ng & Wong (2002) menunjukan bahwa tekanan saat melakukan injeksi memengaruhi nyeri individu. Faktor obat seperti volume yang akan diberikan, karakteristik dan viskositas juga dapat mempengaruhi nyeri (Potter & Perry, 2005). e. Penilaian Klinis Nyeri 1) Numeic Rating Scale (NRS) NRS digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri dan memberi kebebasan penuh klien untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry, 2006). NRS merupakan skala nyeri yang popular dan lebih banyak digunakan di klinik, khususnya pada kondisi akut, mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik, mudah digunakan dan didokumentasikan (Strong, et. al, 2002 dalam Datak, 2008).

Gambar 2.1 Numeric rating scale (NRS)

25

2) Verbal Respon Scale (VRS) Pengkuran nyeri dapat menanyakan respon klien

terhadap nyeri secara vebal dengan memberikan 5 pilihan yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri berat, dan nyeri luar biasa (tidak tertahankan). Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.

Pendeskripsi ini diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukan klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakannya. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan. Alat VDS memungkinkan klien untuk memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan rasa nyeri (Potter & Perry, 2006). 3) Visual Analogue Scale (VAS) VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memeberi kebebasan klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa untuk memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2006). Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk

26

menggambarkan tingkat nyeri. Pengukuran pada nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai antara 4-7 dinyatakan sebagai nyeri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009).

Gambar 2.2 Visual analogue scale (VAS) 4) Face Pain Scale (FPS) Pengukuran nyeri dengan menggunakan gambar ekspresi wajah dengan 7 macam ekspresi wajah. Nilai berkisar antara 0 sampai dengan 6. Nilai 0 mengindikasikan tidak nyeri, 6 mengindikasikan nyeri yang buruk. FPS biasa digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak-anak (Wong, 2011).

Gambar 2.3 Face Pain Scale (FPS) 4. Injeksi a. Pengertian Injeksi atau parenteral adalah sediaan farmasetis steril berupa larutan, emulsi, susupensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan. Memberikan injeksi merupakan prosedur invasif yang harus dilakukan

menggunakan teknik steril. Efek obat yang diberikan secara

27

parenteral dapat berkembang dengan cepat, bergantung pada kecepatan absorbsi obat (Potter & Perry, 2005). b. Peralatan Injeksi Ada berbagai spuit dan jarum yang tersedia dan masingmasing didesain untuk menyalurkan volume obat tertentu ke tipe jaringan tertentu. Spuit terdiri dari tabung (barrel) berbentuk silinder dengan bagian ujung (tip) didesain tepat berpasangan dengan jarum hipodermis dan alat penghisap (plunger) yang tepat menempati rongga spuit. Spuit terdiri dari berbagai ukuran dari 0,5 sampai 0,6 ml. Volume yang lebih besar menimbulkan rasa tidak nyaman (Potter & Perry, 2005). Supaya individu lebih fleksibel dalam memilih jarum yang tepat, jarum dibungkus secara individual. Jarum memiliki 3 bagian, hub yang tepat terpasang pada ujung sebuah spuit, batang jarum (shaft) yang terhubung dengan bagian pusat dan bavel yakni bagian ujung yang miring. Setiap jarum memiliki 3 karakteristik utama: kemiringan bavel, panjang batang jarum dan ukuran atau diameter jarum. Panjang jarum yang dipakai disesuaikan berdasarkan ukuran dan berat klien serta tipe jaringan yang akan diinjeksi obat (Potter & Perry, 2005). c. Pertimbangan Melakukan Injeksi Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah memilih lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah besar, saraf, dan tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).

28

Karakteristik jaringan mempengaruhi absorbsi obat dan awitan kerja obat. Tenaga kesehatan harus mengetahui volume obat yang akan diberikan, karakteristik dan viskositas obat dan lokasi struktur anatomi tubuh yang berada di bawah tempat injeksi sebelum menyuntikan obat (Potter & Perry, 2005). Kontraindikasi penggunaan lokasi untuk injeksi antara lain cedera jaringan dan adanya nodul, bengkak, abses, nyeri tekan, atau keadaan patologis lainnya (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Integritas otot perlu dikaji sebelum memberikan injeksi. Injeksi berulang di otot yang sama menyebabkan timbulnya rasa tidak nyaman yang berat (Potter & Perry, 2005). Konsekuensi yang serius dapat terjadi, jika injeksi tidak diberikan secara tepat. Kegagalan dalam memilih tempat injeksi yang tepat, sehubungan dengan penanda anatomis tubuh, dapat menyebabkan timbulnya kerusakan saraf atau tulang selama insersi jarum. Menginjeksi obat dalam volume yang terlalu besar di tempat yang dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat

mengakibatkan jaringan setempat rusak. (Potter & Perry, 2005). d. Rute Pemberian Injeksi Setiap pemberian injeksi unik berdasarkan tipe jaringan yang akan diinjeksi obat. Rute pemberian injeksi dapat dilakukan melalui SC, IM, IV, dan intrathekal-intraspinal. Setiap tipe injeksi membutuhkan keterampilan tertentu untuk menjamin obat mencapai lokasi yang tepat (Potter & Perry, 2005).

29

Ijeksi IM umumnya memrlukan jarum berukuran 19 sampai 23, bergantung pada viskositas obat. Rute IM memungkinkan absorbsi obat lebih cepat daripada rute SC karena pembuluh darah lebih banyak terdapat di otot. Injeksi IM dapat dilakukan Ke dalam otot ventrogluteal, otot vastuslateralis, otot dorsogluteal, otot deltoid (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). 1) Otot Vastus Lateralis Otot Vastus Lateralis yang tebal dan berkembang baik adalah tempat yang dipilih untuk dewasa, anak-anak dan bayi. Otot terletak di bagian lateral anterior paha dan pada orang dewasa membentang sepanjang satu tangan di atas lutut sampai sepanjang satu tangan di bawah trokanter femur. Sepertiga tengah otot merupakan tempat terbaik injeksi. Lebar tempat injeksi membentang dari garis tengah bagian atas paha sampai ke garis tengah sisi luar paha (Potter & Perry, 2005).

Gambar 2.4 Otot Vastus Lateralis

30

2) Otot Ventrogluteal Otot ventrogluteal meliputi gluteal medius dan minimus (Potter & Perry, 2005). Lokasi ventrogluteal adalah lokasi yang disukai untuk injeksi IM karena lokasi ini tidak mengandung saraf atau pembuluh darah besar. Memiliki otot gluteal yang tebal terdiri dari gluteal medius dan minimus. Mengandung lemak yang lebih sedikit dibandingkan area bokong secara konsisten sehingga tidak perlu untuk menentukan kedalaman lemak subkutaneus dan diisolasi oleh tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Klien berbaring di atas salah satu sisi tubuh dengan menekuk lutut, perawat kemudian mencari otot dengan menempatkan telapak tangan di atas trokhanter mayor dan jari telunjuk pada spina iliaka superior anterior panggul paha klien. Tangan kanan digunakan untuk panggul kiri dan tangan kiri digunakan untuk panggul kanan (Potter & Perry, 2005). Jari telunjuk diletakkan pada spina iliaka anterior superior, perawat

merentangkan jari tengah ke dorsal (menuju bokong), palpasi krista iliaka, kemudian tekan dibawahnya. Segitiga yang terbentuk antara jari telunjuk, jari tengah, dan krista iliaka adalah lokasi injeksi (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).

31

Gambar 2.5 Otot ventrogluteal 3) Otot Dorsogluteal Otot dorsogluteal merupakan tempat biasa digunakan untuk injeksi IM. Namun, insersi jarum yang tidak disengaja ke dalam saraf siatik dapat menyebabkan paralisis permanen atau sebagian pada tungkai yang bersangkutan. Pembuluh darah utama dan tulang juga dekat tempat injeksi. Pada klien yang jaringannya kendur, tempat injeksi sulit ditemukan. Daerah dorsogluteal berada di bagian atas luar kuadran atas luar bokong, kira-kira 5 sampai 8 cm di bawah krista iliaka (Potter & Perry, 2005).

Gambar 2.6 Otot dorsogluteal 4) Otot Deltoid Tempat injeksi otot deltoid terletak di bagian tengah segitiga sekitar 2,5 sampai 5 cm di bawah prosesus akromion. Perawat juga dapat menentukan lokasi injeksi dengan menempatkan

32

empat jari di atas otot deltoid, dengan jari teratas berada di sepanjang prosesus akromion. Tempat injeksi terletak tiga jari di bawah prosesus akromion (Potter & Perry, 2005).

Gambar 2.7 Otot deltoid e. Cara Melakukan Injeksi Cara melakukan injeksi IM menurut Saiffudin,

Affandi, Baharudin & Soekir (2006) adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) Identifikasi klien Memberitahu klien tentang penyuntikan yang akan dilakukan Cuci tangan sebelum bertugas Mengambil alat (spuit) dan bahan (alkohol dan kapas) Mengeluarkan gelembung udara dalam tabung dan spuit bila ada 6) Menyiapkan obat yang akan disuntikkan (Depo provera 3 ml/150 mg atau 1 ml/150 mg) 7) 8) Membebaskan spuit dari udara Menentukan lokasi suntik dan titik injeksi

33

9)

Bersihkan kulit yang akan diinjeksi dengan kapas alkohol yang dibasahi alkohol 60-90%

10) Biarkan kulit tersebut kering sebelum dapat diinjeksi 11) Lakukan aspirasi sebelum obat diinjeksikan 12) Injeksi secara IM dalam (90) di daerah pantat (daerah gluteal)

5. Hubungan Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Intensitas Nyeri Saat Injeksi IM Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo dkk, 2009). Nyeri yang timbul dikarenakan adanya peran dari reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral (Ganong, 2003).

34

Nosiseptor terletak paling banyak pada lapisan dermis yang disebut free nerve ending yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit, jangkauannya lebih luas dibandingkan reseptor lain karena tersebar di seluruh permukaan kulit. Nosiseptor juga banyak terdapat pada jaringan otot (Dewoto, 2006). Pada orang yang mempunyai ketebalan lemak bawah kulit yang tinggi, masuknya jarum ketika injeksi IM ke dalam otot akan lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai ketebalan lemak bawah kulit lebih rendah. Hal ini dikarenakan oleh jaringan adiposa yang lebih tebal sehingga kerusakan jaringan pada otot akan lebih sedikit sehingga nosiseptor yang dibangkitkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai tebal lemak bawah kulit lebih rendah. Hal tersebut menyebabkan responden cenderung mengalami tingkat nyeri yang berbeda ketika dilakukan injeksi (Widyanto, 2012).

Gambar 2.9 Gambar injeksi

35

B.

Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber, yaitu Gibson (2005), Potter & Perry (2006), Setiadi, Aulawi & Setyarini (2003), Chung, Ng & Wong (2002), Sartorius, et al (2010), Fillingim & Maixner (2009), Widyanto (2012). Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Injeksi IM

Nosiseptor mekanis

Teknik Spuit Obat

Transduksi

Transmisi

Modulasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Umur Jenis kelamin Kebudayaan Makna nyeri Perhatian Ansietas Keletihan Pengalaman sebelumnya 9. Gaya koping 10. Dukungan keluarga dan sosial 11. Tebal lemak bawah kulit (skinfold)

Persepsi nyeri

Tingkat nyeri, dinyatakan dengan skor 0-10 pada skala NRS

Gambar 2.10 Kerangka teori penelitian

36

C.

Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel bebas Tebal lemak bawah kulit (skinfold)

Variabel terikat Tingkat intensitas nyeri

Variabel pengganggu 1. Keletihan 2. Gaya koping 3. Dukungan keluarga dan sosial

Gambar 2.11 Kerangka konsep penelitian

Keterangan : : diteliti : tidak diteliti

37

D.

Hipotesis Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep tersebut, maka peneliti menggunakan rumusan hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian yaitu : Ada hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. .

38

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Desain Penelitian Penelitian ini bersifat bersifat cross sectional dengan tujuan untuk mengkorelasikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) terhadap intensitas nyeri ketika dilakukan injeksi IM. Pada kelompok sampel akan diukur tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) kemudian diukur tingkat intensitas nyeri setelah dilakuakan injeksi IM. Kemudian data akan dianalisis untuk membuktikan hipotesis penelitiian.

B.

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 di Bidan Praktisi Swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

C.

Populasi dan Sampel Menurut Saryono (2011), populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan menentukan keakuratan hasil penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Jumlah populasi sebanyak 80 akseptor KB suntik aktif yang dijadwalkan mendapatkan pelayanan pada bulan Desember 2012.

39

Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil dengan menggunakan teknik sampling. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling. Sampel diambil dari semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subjek terpenuhi (Saryono, 2011).

Keterangan : n : perkiraan besar sampel N : total populasi P : proporsi kejadian, jika belum diketahui, dianggap 50% Q : proporsi selain kejadian yang diteliti, q = 1 P Za : kuadrat nilai Z, bila a = 0,05 (1.96) d : tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05) n= 80.(1,96).0,5.0,5 0,05.(80-1)+(1,96).0,5.0,5 n= 76,832 1,1579 n= n= 66,35 66

40

Jumlah sampel yang diteliti adalah 66 responden. Sampel diambil dari semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subjek terpenuhi dalam kurun waktu pelaksanaan penelitian 1 bulan. Adapun pemilihan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut : a. Kriteria Inklusi 1) Bersedia menjadi responden 2) Akseptor KB suntik yang mendapat pelayanan kontrasepsi penyuntikan KB oleh satu tenaga kesehatan di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. 3) Wanita usia subur 15-49 tahun 4) Menggunakan merk obat yang sama 5) Menggunakan merk spuit yang sama 6) KB suntik dilakukan melalui injeksi IM gluteal b. Kriteria Eksklusi 1) Akseptor KB baru 2) Ada riwayat penyakit perdarahan seperti hemofilia

D.

Variabel Penelitian Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoadmodjo, 2010). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

41

Variabel bebas Variabel terikat

: :

tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) tingkat intensitas nyeri

E.

Definisi Operasional Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan menghindari perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel (Saryono, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.1 Definisi operasional No. Variabel Definisi Variabel 1. Variabel terikat Pengalaman : sensoris Diukur dengan Nilai Cara Ukur Hasil Ukur Skala Data nyeri Rasio

dan cara responden dinyatkan melaporkan tidak nyeri dirasakan dengan skor

intensitas emosional nyeri yang

yang 0 10 pada skala NRS

menyenangaka n

yang setelah perlakuan dengan menunjuk rentang skala

berhubungan dengan kerusakan jaringan

NRS (Numeric Rating Scale) 2. Variabel bebas tebal lipatan lemak bawah lemak yang tubuh : Gambaran presentase Diukur dengan Hasil menggunakan alat disebut yang dinyatakan dalam satuan pengukuran Rasio

diukur skinfold caliper

42

kulit (skinfold)

dari ketebalan lemak triceps, bicep, subscapula dan suprailliaca

milimeter (mm)

3.

Umur

Jumlah

tahun Wawancara

Tahun

Rasio

dihitung sejak lahir dengan terakhir sampai tahun saat

pengambilan data 4. Berat badan Berat badan Diukur dengan Nilai kg satuan Rasio

seseorang yang timbangan diukur dengan berat timbangan saat injak pengambilan data dilakukan mitseda badan merk

5.

Pendidik an

Pendidikan formal terakhir yang diikuti

Wawancara

Dikelompokk Ordin an : 1. Tidak sekolah 2. Lulus SD 3. Lulus SMP 4. Lulus SMA al

responden saat penelitian sampai mendapat ijazah

43

5. Lulus Akademi/ PT 6. Pekerjaa n Cara seseorang Wawancara memenuhi kebutuhan hidup (biologis, sosial, psikologis) dan Dikelompokk Nomi an : 1. Ibu rumah tangga 2. Petani 3. Buruh 4. Pedagang 5. PNS 6. Pensiunan nal

F.

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoadmodjo, 2010). Instrumen penelitian ini menggunakan lembar observasi, skinfold caliper, dan NRS (Numeric Rating Scale). Lembar obsevasi digunakan untuk mencatat data demografi responden. Skinfold caliper digunakan untuk mengukur ketebalan lemak bawah kulit (skinfold) responden yang dinyatakan dalam satuan milimeter (mm). NRS dari National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center (2003) digunakan untuk mengukur tingkat intensitas nyeri berupa lapor diri responden dengan menyebutkan rentang skala nyeri 0-10.

G.

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Reliabilitas merupakan indeks yang

44

menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila sudah ada instrumen pengumpul data yang standar, maka bisa digunakan oleh peneliti (Saryono, 2011). Peneliti tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena alat ukur NRS yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas sebelumnya. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan Li, Liu, & Herr (2007) dengan membandingkan empat skala nyeri yaitu NRS, Face Pain Scale Revised (FPS-R), VDS, dan VAS pada klien pasca bedah menunjukan bahwa keempat skala nyeri menunjukan validitas dan reliabilitas yang baik. Uji reliabilitas menggunakan intraclass correlation coefficients (ICCs) dan keempat skala nyeri ini menunjukan konsistensi penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673-0,825) dan mempunyai hubungan kekuatan (r = 0,71-0,99) (Datak, 2009). Hasil studi Gloth, et al (2001) menyebutkan bahwa skala nyeri NRS menunjukan reliabilitas lebih dari 0,95 dan juga pada uji validitasnya menunjukan r = 0,90.

H.

Jalannya Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui yahap-tahap sebagai berikut : 1. Persiapan materi melalui studi dokumentasi dan studi pustaka yang mendukung penelitian. 2. Pembuatan proposal penelitian yang dianjurkan dengan pengujian proposal penelitian. 3. Pengajuan surat rekomendasi dari kampus untuk melakukan penelitian di Bidan Praktik Swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

45

4. Koordinasi dan sosialisasi rencana penelitian dengan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB suntik di Bidan Praktik Swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. 5. Pengumpulan data dengan terlebih dahulu meminta persetujuan akseptor KB suntik untuk menjadi sampel penelitian. 6. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi dan lembar skala pengukuran NRS. Observer penelitian selain mengisi lembar observasi juga sekaligus melakukan tindakan injeksi IM gluteal pada responden. 7. Apabila pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian, data berupa nama, umur, berat badan, pendidikan, dan pekerjaan dicatat pada lembar observasi. 8. Responden diberikan injeksi IM setelah diukur tebal lemak bawah kulit (skinfold) oleh satu tenaga medis (asisten) yang telah diberikan arahan mengenai cara mengukur tebal lemak bawah kulit pada bagian yang akan dilakukan injeksi dengan menggunakan alat skinfold caliper. 9. Lakukan injeksi IM sesuai prosedur, yaitu : a. Identifikasi klien b. Memberitahu klien tentang penyuntikan yang akan dilakukan c. Cuci tangan sebelum bertugas d. Mengambil alat (spuit) dan bahan (alkohol dan kapas) e. Mengeluarkan gelembung udara dalam tabung dan spuit bila ada f. Menyiapkan obat yang akan disuntikkan (Depo provera 3 ml/150 mg atau 1 ml/150 mg) g. Membebaskan spuit dari udara

46

h. Menentukan lokasi suntik dan titik injeksi IM gluteus dengan cara : 1) Klien berbaring di atas salah satu sisi tubuh dengan menekuk lutut, kemudian perawat mencari otot dengan menempatkan

telapak tangan di atas trokhanter mayor dan jari telunjuk pada spina iliaka superior anterior panggul paha klien. 2) Tangan kanan digunakan untuk panggul kiri dan tangan kiri digunakan untuk panggul kanan 3) Jari telunjuk diletakkan pada spina iliaka anterior superior, perawat merentangkan jari tengah ke dorsal (menuju bokong), palpasi krista iliaka, kemudian tekan dibawahnya. Maka jari telunjuk dan tengah akan membentuk huruf V (segitiga), titik di tengah-tengah huruf V yang terbentuk antara jari telunjuk, jari tengah, dan krista iliaka adalah lokasi injeksi. i. Bersihkan kulit yang akan diinjeksi dengan kapas alkohol yang dibasahi alkohol 60-90%. j. Biarkan kulit tersebut kering sebelum dapat diinjeksi dan ajak klien komunikasi. k. Lakukan injeksi dengan jarum dengan posisi tegak lurus (90) dan jarum masuk minimal 2/3 ke dalam titik injeksi. l. Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit sebelum obat diinjeksikan, bila tidak ada darah semprotkan obat secara perlahan hingga habis.

47

m. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik spuit dan tekan daerah penyuntikan dengan kapas alkohol, kemudian spuit yang telah digunakan diletakan di bengkok. n. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan. 10. Setelah dilakukan tindakan injeksi, tingkan nyeri responden diukur dengan menggunakan alat ukur NRS. 11. Penelitian selesai setelah target sampel terpenuhi. 12. Semua data direkap, dihitung kemudian dilakukan analisa statistik dengan menggunakan komputer. 13. Setelah analisa statistik selesai kemudian dibuat pembahasan dan kesimpulan yang disusun ke dalam laporan hasil penelitian.

I.

Analisa Data Adapun langkah-langkah dalam memproses data adalah sebagai berikut : 1. Editing, yaitu kegiatan penyusunan data yang telah terkumpul dan melakukan pengecekan kelengkapan data untuk mengoreksi kesalahan. Data yang tidak lengkap dan salah tidak dipakai dalam penelitian. 2. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode untuk setiap variabel untuk memudahkan dalam pengolahan data yang masuk dan memudahkan analisis data. Kode yang digunakan berupa angka yang disesuaikan dengan jenis variabel. 3. Entry, yaitu kegiatan memasukan data ke dalam program komputer untuk diolah menggunakan komputer.

48

4. Tabulating, yaitu mengelompokan data sesuai variabel yang akan diteliti untuk keperluan analisis. 5. Pengolahan data menggunakan komputer dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik yaitu pearson product moment. Analisis data dilakukan menggunakan komputer yang dilakukan secara bertahap, yaitu : 1. Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan semua variabel yang diteliti. Variabel yang dianalisis secara univariat adalah usia dan berat badan yang berupa data numerik dengan menggunakan mean, median, standar deviasi, nilai minimum dan maksimum dan 95% confidence interval. Untuk karakteristik pendidikan, pekerjaan, gambaran tingkat nyeri injeksi IM gluteal akseptor KB suntik berdasarkan tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) masing-masing responden dengan menghitung frekuensi dan prosentase. Penyajian masing-masing variabel menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian yaitu melihat hubungan antara tebal liatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri pada responden akseptor KB suntik. Sebelum dilakukan analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Setelah dilakukan uji normalitas, maka tahap selanjutnya adalah analisis bivariat variabel

49

terikat dengan variabel bebas. Skala data variabel terikat adalah rasio dan skala data variabel bebas adalah rasio. Penelitian ini termasuk dalam jenis hipotesis korelatif sehingga uji statistik yang digunakan adalah pearson product moment. Rumus :

Keterangan : Rxy = koefisien korelasi pearson product moment N X Y = jumlah responden = skor variabel X = skor variabel Y

(Arikunto, 2006).

J.

Etika Penelitian Penelitian ini memperhatikan beberapa hal yang menyangkut etika penelitian sebagai berikut : 1. Informed consent, yaitu peneliti memberikan lembar permohonan menjadi responden dan persetujuan menjadi responden pada akseptor KB suntik yang datang di Bidan Praktik Swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas sebelum mendapatkan pelayanan KB

50

suntik. Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti penelitian. 2. Anonymity, yaitu merahasiakan dan tidak mencantumkan nama responden, tetapi dengan menuliskan kode responden. 3. Confidentiality, yaitu melindungi dan menjaga kerahasiaan semua data atau informasi yang dikumpulkan selama dilakukannya penelitian. 4. Fair treatment, yaitu memberikan perlakuan yang adil untuk semua responden tanpa membeda-bedakan. 5. Do not harm, yaitu tidak melakukan hal yang merugikan bagi responden dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan sebelum intervensi diberikan.

51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Penelitian 1. Gambaran Penelitian Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tebal lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik telah peneliti lakukan pada bulan Februari dan Maret 2013 di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Pada periode tersebut, peneliti memperoleh 66 responden sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan. 2. Karakteristik Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas Tabel 4.1 Distribusi karakteristik responden di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas (n=66).
No. 1. 2. 3. Variabel Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus Akademi/PT Jenis Pekerjaan Ibu rumah tangga Petani Buruh Median 29,5 51 Min-Mak 18-47 35-77 0 21 21 20 4 56 3 0 0 31,8 31,8 30,3 6,1 84,8 4,5 0 Frekuensi Persentase (%)

4.

52

Pedagang PNS Pensiunan Total

4 3 0 66

6,1 4,5 0 100

a. Karakteristik Umur dan Berat Badan Responden Responden merupakan wanita usia subur yang mendapatkan suntik KB rutin 3 bulan sekali di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Karakteristik umur dan berat badan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui nilai tengah umur responden 29,5. Usia termuda yaitu 18 tahun dan tertua adalah 47 tahun. Berat badan responden yang menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas berada pada rentang 35 sampai 77 kg. Berat badan tengah 51 kg. b. Karakteristik Pendidikan Responden Karakteristik pendidikan responden yang menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas dibagi menjadi 5 kategori yaitu tidak sekolah, lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, dan lulus akademi/PT. Karakteristik pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui karakteristik pendidikan responden sebagian besar adalah lulus SD dan lulus SMP 21 responden (31,8%). responden memiliki nilai

53

c. Karakteristik Pekerjaan Responden Karakteristik pekerjaan responden yang menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas terdiri dari 6 jenis pekerjaan yaitu ibu rumah tangga, petani, buruh, pedagang, PNS, dan pensiunan. Karakteristik pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui karakteristik pekerjaan responden yang didapatkan dalam penelitian antara lain ibu rumah tangga, petani, pedagang, dan PNS. Sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu 56 responden (84,8%). 3. Hubungan Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dan Tingkat Nyeri Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas Tebal lemak bawah kulit responden diukur dengan

menggunakan alat skinfold caliper pada bagian yang akan diinjeksi yaitu musculus gluteus. Tingkat nyeri responden diukur dengan menggunakan alat ukur NRS yang memberikan kebebasan penuh pada responden untuk mengungkapkan rentang nyeri yang dirasakan antara 0 sampai 10. Untuk mengkorelasikan tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri dilakukan dengan uji pearson product moment. Sebelum dilakukan uji pearson product moment data terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji normalitas menggunakan kolmogorovsmirnov didapatkan nilai p = 0,00. Hal ini berarti data berdistribusi tidak normal, maka uji yang digunakan untuk uji korelasi adalah uji spearman.

54

Tabel 4.2 Hasil analisa statistik spearman Variabel Skinfold (mm) Intensitas Nyeri Median 60 2 Min-Mak 11-86 0-8 r -0,340 P 0,005

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui nilai tengah tebal lemak bawah kulit (skinfold) responden adalah 58,14 mm. Tebal lemak bawah kulit terendah yaitu 11 mm dan tertinggi yaitu 86 mm. Nilai tengah intensitas nyeri responden adalah 2. Intensitas nyeri terendah yaitu 0 dan tertinggi 8. Didapatkan nilai p sebesar 0,005 dan nilai r sebesar -0,340 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas dengan kekuatan korelasi lemah.

B.

Pembahasan 1. Karakteristik Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas a. Karakteristik Umur Responden Pada penelitian ini nilai tengah umur responden adalah 29,5 tahun. Usia termuda yaitu 18 tahun dan tertua adalah 47 tahun. Hal itu terkait dengan umur akseptor KB suntik merupakan wanita usia subur yang belum mengalami menopause. Berhentinya siklus haid seorang wanita pada menopause terjadi antara umur 45 dan 55 tahun. Secara

55

tradisional dikaitkan dengan terbatasnya pasokan folikel yang ada sejak lahir (Sherwood, 2011). Pengaruh umur pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara luas. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Potter & Perry (2006) umur

menjadi variabel penting yang mempenngaruhi nyeri khususnya pada anak-anak dan lansia. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologis dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensorik stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Pada penelitian, ditemukan karakteristik umur responden berada pada kelompok umur dewasa muda. Penjelasan diatas memberikan gambaran dalam penelitian ini bahwa persepsi nyeri yang dipenngaruhi umur merupakan akibat dari perubahan neurofisiologis dan akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang hidupnya. b. Karakteristik Berat Badan Responden Pada penelitian ini nilai tengah berat badan responden yang menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas adalah 51 kg dan berada pada rentang 35 sampai 77 kg. Responden yang didapatkan peneliti adalah wanita yang mendapatkan suntik KB rutin 3 bulan sekali. Menurut Devison (2009), rata-rata tinggi badan wanita Indonesia adalah 153,72 cm 6,24 cm. Jika tinggi badan responden berada pada rentang yang sama dengan data tersebut, maka responden

56

dengan berat badan yang tidak seimbang dengan tinggi badan dapat dikatakan mengalami obesitas. Prosentase berat badan merupakan indikator untuk menentukan obesitas (Sherwood, 2011). Obesitas umumnya adalah kelebihan berat lebih dari 20% berat normal. Kelebihan kandungan lemak disimpan di jaringan adiposa sehingga jarak antara kulit dengan otot menjadi lebih tebal dari normal (Sherwood, 2011). Injeksi merupakan tindakan invasif menembus kulit yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan. Pada orang obesitas, masuknya jarum ke dalam otot akan lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Hal ini dikarenakan orang obesitas mempunyai jaringan adiposa yang lebih tebal sehingga kerusakan jaringan pada otot akan lebih sedikit sehingga nosiseptor yang dibangkitkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat badan normal. Menurut Tantra (2002) dalam Asri (2006), kerusakan jaringan akan menyebabkan

dilepaskannya sejumlah substansi nyeri berupa ion K, ion H, serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin. Substansi nyeri ini pada gilirannya akan merangsang dilepaskannya substansi P dari ujungujung saraf A-Beta dan serabut saraf C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi umpan balik positif yang artinya makin banyak substansi nyeri yang dilepaskan makin banyak pula nosiseptor yang dibangkitkan, diikuti

57

dengan peningkatan sensitifitas dari nosiseptor itu sendiri. Nosiseptor sendiri terletak paling banyak di lapisan dermis dan jaringan otot. Penjelasan diatas memberikan gambaran dalam penelitian ini bahwa responden dengan berat badan yang melebihi batas normal berisiko mengalami kerusakan jaringan otot lebih sedikit saat injeksi dikarenakan jarak kulit dengan otot lebih tebal dari normal sehingga nosiseptor yang dibangkitkanpun cenderung lebih sedikit dibandingkat dengan orang yang mempunyai berat badan normal. Hal tersebut menyebabkan responden dengan obesitas cenderung mengalami

tingkat nyeri yang lebih rendah ketika dilakukan injeksi. c. Karakteristik Pendidikan Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 kategori yaitu tidak sekolah, lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, dan lulus akademi/PT. Karakteristik pendidikan responden sebagian besar lulus SD dan lulus SMP yaitu masing-masing 21 responden (31,8%). Menurut Asri (2006), tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi nyeri pada proses modulasi. Modulasi adalah proses dimana terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen dengn input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Proses modulasi inilah yag menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri. Penelitian ini hanya melihat karakteristik pendidikan

responden tanpa melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat nyeri responden. Namun berdasarkan penelitian yang

58

dilakukan oleh Faucett, et al. (1994) untuk melihat intensitas nyeri pasca bedah pada 543 sampel menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dan tingkat pendidikan. Penelitian lain yan dilakukan Harsono (2009) pada 85 pasien bedah seksio cesar juga menunjukan hasil yang sama yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dan tingkat pendidikan. Menurut Notoatmodjo (2002), tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya perubahan perilaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, berarti telah mengalami proses belajar yang lebih sering sehingga tingkat pendidikan mencerminkann intensitas terjadinya proses belajar. Pada penelitian ini, peneliti hanya melihat karakteristik tingkat pendidikan responden, tanpa melihat apakah responden pernah atau tidak mengalami proses belajar tentang pengelolaan nyeri. Menurut Le Mone & Burke (2008) kuranngnya pemahaman terhadap sumber, hasil, dan arti nyeri dapat berkontribusi secara negatif terhadap pengalaman nyeri. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendukung peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan daya serap informasi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah menyerap informasi. Pengetahuan tentang pengelolaan nyeri dapat diperoleh dari pengalaman klien sendiri atau dari sumber lain. Sehingga tingkat pendidikan bukan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri (Harsono, 2009).

59

d. Karakteristik Pekerjaan Responden Berdasarkan karakteristik pekerjaann (Tabel 4.3), ditemukan bahwa karakteristik pekerjaan responden yang didapatkan dalam penelitian adalah ibu rumah tangga, petani, pedagang dan PNS. Sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu 56 responden (84,8%). Pekerjaan membersihkan rumah, mencuci baju,

membersihakan jendela, dan menyetrika termasuk dalam aktivitas fisik. Pekerjaan tersebut sering dilakukan oleh ibu rumah tangga. Aktivitas fisik memiliki manfaat untuk kekuatan otot dan penambahan masa otot (Karim, 2002). Menurut Kisner (1996) dalam Wahyudi & Herawati (2004) sebuah serabut otot tersusun oleh banyak myofibril dan di dalam myofibril terdapat banyak sarcomer yang terletak berjajar. Sarcomer adalah unit kontraktil dalam myofibril dan terdiri atas actin dan myosin yang saling tumpanng tindih (overlapping crossbrige). Sarcomer berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot berkontraksi, filamen actin dan myosin saling berimpitan dan otot memendek. Pemendekan otot dapat terjadi karena fleksibiliitas otot berkurang. Fleksibilitas otot tersebut dapat dijaga dengan aktivitas dan mobilitas fisik yang cukup. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berarti memiliki karakteristik aktivitas fisik yang sama. Hal tersebut membuat

60

fleksibilitas yang mempengaruhi kontraksi cenderung memiliki kesamaan.

dan relaksasi otot

2. Hubungan antara Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Intensitas Nyeri pada Akseotor KB Suntik Hasil perhitungan dengan analisa statistik spearman (Tabel 4.2) pada 66 responden didapatkan nilai p sebesar 0,005 dan r sebesar -0,340. Dengan demikian nilai p lebih kecil dari nilai a (5%) atau 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil lain menunjukan nilai r sebesar -0,340 yang menunjukan adanya hubungan dengan kekuatan korelasi lemah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Menurut Sherwood (2011), nyeri karena tindakan injeksi termasuk nyeri cepat yang terjadi karena nosiseptor mekanis. Nyeri menimbulkan sensasi tajam dan menusuk. Nyeri dengan awitan cepat tersebut merupakan nyeri akut dengan intensitas yang bervariasi dari ringan sampai berat (Potter & Perry, 2006). Penjelasan tersebut sesuai dengan penelitian, dibuktikan dengan data tingkat nyeri yang dirasakan responden saat dilakukan injeksi IM gluteal berada pada rentang nyeri 08. Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah memilih lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah besar, saraf, dan tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Kontraindikasi penggunaan lokasi untuk injeksi antara lain cedera jaringan dan adanya

61

nodul, bengkak, abses, nyeri tekan, atau keadaan patologis lainnya (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Integritas otot perlu dikaji sebelum memberikan injeksi . Konsekuensi yang serius dapat terjadi, jika injeksi tidak diberikan secara tepat. Kegagalan dalam memilih tempat injeksi yang tepat, sehubungan dengan penanda anatomis tubuh, dapat menyebabkan timbulnya kerusakan saraf atau tulang selama insersi jarum. Menginjeksi obat dalam volume yang terlalu besar di tempat yang dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat mengakibatkan jaringan setempat rusak. (Potter & Perry, 2005). Nyeri juga bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi (Potter & Perry, 2006). Oleh karena itu rentang nyeri responden dapat memiliki rentang yang cukup jauh yaitu 0 sampai 8. Dalam penelitian ini didapatkan nilai r sebesar -0,340 yang berarti korelasi berkekuatan lemah. Hal ini dapat dikarenakan nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu (Potter & Perry, 2006). Nyeri yang dirasakan individu saat dilakukan injeksi dapat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, umur dan obesitas (Sartorius, Fennel, Turner, Conway & Handelsman, 2010). Jenis kelamin juga mempengaruhi nyeri nyeri individu, wanita menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk diinduksi nyeri daripada pria (Fillingim & Maixner, 2009). Menurut Potter & Perry (2006) faktor lain yang mempengaruhi nyeri antara lain kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, gaya koping serta dukungan keluarga dan sosial.

62

Injeksi merupakan tindakan invasif menembus kulit yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan. Menurut Tantra (2002) dalam Asri (2006), kerusakan jarinngan akan mengundang dilepaskannya sejumlah substansi nyeri berupa ion K, ion H, serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin. Substansi nyeri ini pada gilirannya akan merangsang dilepaskannya substansi P dari ujung-ujung saraf A-Beta dan serabut saraf C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak substansi nyeri yang dilepaskan makin banyak pula nosiseptor yang dibangkitkan, diikuti dengan peningkatan sensitifitas dari nosiseptor itu sendiri. Terlepasnya substansi nyeri pada daerah kerusakan jaringan akan meningkatkan proses transduksi. Meningkatnya proses transduksi menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan jarinngan. Hiperalgesia merupakan sensitifitas yang berlebihan terhadap nyeri (Hinchliff, 1999). Nosiseptor terletak paling banyak pada lapisan dermis yang disebut free nerve ending yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit, jangkauannya lebih luas dibandingkan reseptor lain karena tersebar di seluruh permukaan kulit. Nosiseptor juga banyak terdapat pada jaringan otot (Dewoto, 2006). Pada orang obesitas, dengan tebal lemak bawah kulit lebih tinggi, masuknya jarum ke dalam otot ketika injeksi akan lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Hal ini dikarenakan orang obesitas mempunyai jaringan adiposa yang lebih tebal sehingga kerusakan jaringan pada otot akan lebih sedikit sehingga

63

nosiseptor yang dibangkitkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat badan normal. Oleh karena itu orang dengan tebal lemak bawah kulit yang semakin tinggi akan mempunyai intensitas nyeri yang lebih rendah. Begitu juga sebaliknya, orang yang memiliki tebal lebak bawah kulit semakin rendah akan memiliki intensitas nyeri yang semakin tinggi saat injeksi IM. Untuk menghindari rasa nyeri yang berlebihan saat injeksi perlu diterapkannya standar operasional nyeri. Standar operasional nyeri merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien yang mengalami nyeri. Rileks sempurna yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri.

saraf epidermis dermis dermis subkutan jaringan lemak otot

Gambar 4.1 Perbandingan tindakan injeksi pada tebal lemak bawah kulit yang berbeda

64

C.

Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian Beberapa kelemahan dan keterbatasan yang ditemui peneliti selama melakukan penelitian adalah : 1. Variabel konfonding keletihan, gaya koping, dukungan keluarga dan sosial dalam penelitian tidak dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga masih ada faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri responden. 2. Karakteristik responden yang diteliti hanya terbatas pada umur, berat badan, pendidikan, dan pekerjaan, sementara banyak faktor lain yang mempengaruhi nyeri yang perlu diteliti. Peneliti juga tidak melihat hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat nyeri. 3. Pengukuran tingkat nyeri menggunakan satu alat ukur yaitu NRS yang terdiri dari rentang angka 1 sampai 10. Hal tersebut menyebabkan variasi data menjadi sedikit. Penggunaan NRS dalam mengukur tingkat nyeri menekankan pada pelaporan individu terhadap nyeri yang dirasakannya sehingga tingkat nyeri memiliki tingkat subjektifitas yang tinggi. Hal tersebut membuat kebenaran data sangat dipengaruhi oleh kemampuan responden dalam mengungkapkan perasaan nyerinya. Untuk mengurangi subjektifitas tersebut, dilakukan validasi dengan memberikan penjelasan mengenai kriteria tingkat nyeri yang ada pada instrumen penelitian dan mengamati respon objektif responden.

65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan pada analisis hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan karakteristik demografi responden, dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Rata-rata umur responden akseptor KB suntik adalah 31,08 tahun. b. Rata-rata berat badan responden akseptor KB suntik adalah 51,89 tahun. c. Tingkat pendidikan sebagian besar adalah lulus SD dan lulus SMP dengan 21 responden (31,8%). d. Jenis pekerjaan paling banyak adalah ibu rumah tangga dengan jumlah 56 responden (84,8%). 2. Nilai tengah (median) tebal lemak bawah kulit responden adalah 60,00 mm. 3. Nilai tengah (median) intensitas nyeri responden adalah 2. 4. Ada hubungan yang bermakna antara tebal lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.

66

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Bagi Pendidikan Penelitian ini dapat dijadikan referensi informasi terkait hubungan tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri dalam penerapannya pada proses pendidikan. 2. Bagi Praktisi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai media promotif untuk memberikan informasi kepada klien mengenai hubungan tebal lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri dan menerapkan pengelolaan nyeri ketika dilakukan injeksi IM berhubungan dengan tebal lemak bawah kulit klien. 3. Bagi Penelitian Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan intensitas nyeri dengan analisis multivariat disertai pengendalian faktor konfonding sebaik mungkin saat penelitian.

67

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S., (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Azwar, A. (2004). Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Berman. A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, Glenora. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis, Ed. 5. Jakarta : EGC. BKKBN Kab. Banyumas. (2005). Prevalensi Kontrasepsi di Kab. Banyumas. Banyumas : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Chung, J. W. Y., Ng, W. M. Y., & Wong, T. K. S. (2002). An Experimental Study on The Use of Manual Pressure to Reduce Pain in Intramuscular Injections. Journal of Clinical Nursing, 11(4), 457-461. Datak, G. (2008). Perbedaan Rileksasi Benson terhadap Nyeri Pasca Bedah pada Pasien Transurethal Resection of The Prostate di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Thesis, Universitas Indonesia. Devison, R. J. (2009). Penentuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Lengan Bawah. Thesis, Universitas Sumatra Utara. Dewoto, H. R. (2006). Nyeri pada Sistem Muskuloskeletal. Departemen Farmakologi & Terapeutik FKUI. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. (2011). Cakupan Pelayanan Keluarga Berencana. Banyumas : Dinas Kesehatan Banyumas. Eccleston, C. (2010). Evidence Based Psychological Interventions for Chronic Pain. In: Stannard, K. and Kalso, E., eds. Evidence-based pain management. Oxford: Wiley-Blackwell, pp. 59-67. Faucett, J., Gordon, N., & Levine, J. (1994). Differences in postoperative pain severity among four ethnic groups. Journal of pain and Symptom Management, 9(6), 383-389. Fillingim, R. B., & Maixner, W. (2009). Gender differences in the responses to noxious stimuli. 4(4), 209-221. Diunduh tanggal 22 Oktober 2012 dari http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/. Ganong W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC.

68

Gibson RS. (2005). Principles of Nutritional Assessment Edisi ke-2. New York: Oxford University Press. Gloth, F., Scheve, A. A., Strober, C. V., Chow, S., Prosser, J. (2001). The Functional Pain Scale: reliability, validity and responsiveness in an elderly population. Journal of the American Medical Directors Association, 2(3): 110-114. Harsono. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasca Bedah Abdomen dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang. Thesis, Universitas Indonesia. Hidayat, A. (2006). Keterampilan Dasar Praktik Klinik Dan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika. Hidayati.S.N.,dkk. (2010). Obesitas pada anak. Diakses pada 10 Oktober 2012 dari www.pediatrik.com/buletin/06224113652-048qwc.pdf. Hinclliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC. Karim, F. (2002). Panduan kesehatan olahraga bagi petugas kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Komunitas. Kuhu, M. M., Wijayanti, R., & Sukrillah, U. A. (2003). Pengaruh Posisi Lateral saat Penyuntikan IM Terhadap Berkurangnya Keluhan Rasa Sakit pada Klien di Ruang Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto. Politeknik Kesehatan Semarang. Li, Liu, & Herr.(2007). Post operatif pain intensity assessment: a comparison of four scales in chinese adult. Diunduh tanggal 22 Oktober 2012 dari http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/. National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. (2003). Pain Intesity Instrumen. http://painconsortium.nih.gov/pain_scales/Numeric RatingScale.pdf. Diakses Tanggal 20 Oktober 2012. Notoadmodjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Potter, P & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik, E/4, Vol 1. Jakarta : EGC. Potter, P & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik, E/4, Vol 2. Jakarta : EGC. Price, S., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC. Rospond, RM. (2008). Penilaian Nyeri. Penerjemah D. Lyrawati (2009).

69

Saiffudin, A., Affandi B., Baharuddin, M., & Soekir, S. (2006). Buku Panduan Praktis Pelayanan KB. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sartorius, G., Fennel, C., Spasevska, S., Turner, L., Conway, A. J., & Handelsman, D. J. (2010). Factors Influencing Time Course of Pain after Depot Oil Intramuscular Injection of Testosterone Undecanoate. Asian Journal of Andrology, 12: 227-233. Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Purwokerto : UPT. Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman. Setiabudi. (2005). Perbandingan Ekspresi Sel T Cd4+ di Jaringan Sekitar Luka dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi Studi Imunohistokimia pada Tikus Wistar. Thesis, Universitas Diponegoro. Setiadi, S., Aulawi, K., & Setyarini, S. (2006). Perbedaan Penyuntikan Intramuskuler Metode Z Track dengan Metode Konvensional atau Standar terhadap Refluk Obat, Keluarnya Darah, dan Tingkat Nyeri. JIK vol.01/No.01/Januari/2006. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medkal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol 3. E/8. Jakarta : EGC. Sudibjo, P. (2001). Penilaian Presentasi Lemak Badan Pada Populasi Indonesia Dengan Metode Anthropometris. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files /132172719/Penilaian%20Presentase%20Lemak%20badan%20Metode% 20Anthropometris.pdf. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, & Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed V. Jakarta : Internal Publishing. Sukmaniah. (2009). Ilmu Gizi Umum. Jakarta : Diklat PS Ilmu Gizi Klinik Departemen Ilmu Gizi FKUI. Suryaniati, A. (2006). Perbedaan Pengaruh Pemberian Obat Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum terhadap Kadar Gula Darah. Skripsi, Universitas Diponegoro. Turk, D.C. & Monarch, E.S. (2002). Biopsychosocial Perspective on Chronic Pain. Dalam Turk, D.C. & Gatchel, R.J. (penyunting). Psychological Approach to Pain Management: A Practicioners Handbook 2nd ed, hal 3 - 29. New York : Guilford Press.

70

Turk, D.C. 2002. A Cognitive Behavioral Perspective on Treatment of Chronic Pain Patients. Dalam Turk, D.C. & Gatchel, R.J. (penyunting). Psychological Approach to Pain Management: A Practicioners Handbook 2nd ed, hal 138 - 158. New York : Guilford Press. Wahyudi & Herawati, I. (2004). Latihan Peregangan untuk Meningkatkan Fleksibilitas Punggung. Widyanto, F. C., (2012). Perbedaan Injeksi IM Gluteal pada Posisi Lateral dan Tengkurap Terhadap Tingkat Nyeri Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik Swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman. Wirakusumah. (2001). Konsumsi Karbohidrat, Lemak, Dan Protein Pada Mahasisiwi Gizi Lebih. Depkes : Jakarta. Wong, D. L., Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2011). Wongs nursing care of infants and children (9th ed.). St. Louis, MO.: Elsevier Mosby.

You might also like