You are on page 1of 2

“Antara Kehormatan, Cinta, dan Terasi”

Suatu pelajaran moral


Oleh : George M. Manu

Konon, di suatu kota yang begitu ramai hiduplah beberapa ekor tikus. Mereka merupakan
koloni tikus yang meminati sisa-sisa makanan yang ada di rumah-rumah. Tikus-tikus ini
ternyata tidak menyia-nyiakan sisa-sisa makanan yang dibuang Sang pemilik rumah.
Olehnya, perkembangan tubuh mereka selalu dibarengi oleh perkembangan jumlah.
Dengan semakin banyaknya jumlah tikus-tikus rumah, dari peminat sisa-sisa makanan,
tikus-tikus ini merambahi makanan sang pemilik rumah. Tidak peduli apakah makanan
itu perlu diolah lebih lanjut atau tidak.
Dalam koloni tersebut hidup seekor tikus betina. Tikus ini sangat menonjol dari semua
tikus betina sesusianya. Selain itu, tikus itu sangat khas aroma tubuhnya. Hanya beberapa
radius di dekatnya tikus-tikus lainnya telah mengenalnya. Alhasil, semua tikus jantan
sesusianya kagum dan penasaran terhadap tikus yang satu itu.
Suatu hari ada seekor tikus jantan yang berani mengejarnya. Tikus ini dipenuhi dengan
rasa penasaran akan tikus betina yang nan mempesona tersebut. Setiap tenaga, waktu, dan
strategi dikerahkannya untuk mendekati dan mendapatkan tikus betina tersebut. Namun,
setiap usahanya gagal, semuanya hanya merupakana upaya menjaring angin semata.
Tikus betina ini berhasil lolos berulang kali dari kejaran si pejantan. Hal ini bukan tidak
beralasan, selain menjadi mahligai, tikus betina itu juga sangat cerdas dan licik. Setiap
trik pejantan cepat dibacanya. Walaupun keadaannya sangat tidak memungkinkan, tikus
jantan ini tidak putus asah. Ia berharap semoga dewi keberuntungan memberinya
kesempatan untuk mendapatkan tikus betina nan jelita itu. “Wahai dewi keberuntungan,
dewi cinta, berilah aku satu kesempatan untuk bertemu dengan si cantik jelita tikus
betina.” Demikian doanya.
Beberapa hari sesudah ia berdoa iapun mendapati tikus betina tersebut sedang berada di
dalam sebuah laci lemari makan. Tikus jantan tersebut semakin dekat, namun tikus betina
ini tidak menunjukkan tanda-tanda seperti biasanya, ia akan lari dan menghindar. Tikus
jantan tidak percaya, “inikah jawaban doaku?”, dia bergumam. Untuk meyakinkannya si
jantan tangguh membentakkan kakinya. “pak, pak, pak”, demikian bunyi sepatu
“bigboss” si tikus jantan di atas laci tripleks lemari makan. Namun hentakan ini mendapat
respons yang sama. Sebaliknya tikus betina ini semakin senyum lebar, sembari
menampakkan wajah “you’re welcome”. Tikus jantan tersebut dengan cepat mendekat,
mendapati ternyata tikus betina itu terjepit kakinya di sudut laci lemari makan. Maklum,
lacinya ada cela juga untuk ke luar masuk tikus. “Ini memang jawaban doa.” Teriaknya.
“Makanya rajin-rajin berdoa, biar hal yang mustahil jadi masuk akal.” lanjutnya. Tanpa
tedeng aling si tikus jantan tersebut langsung menggeledah tikus betina itu. Ia penasaran
dari mana sumber aroma yang menggetarkan tersebut? Semua bagian tubuh tikus betina
tersebut tidak luput dari pencariannya. Namun ternyata bau itu berasal dari satu sumber.
Bau itu menuntun tangannya dari ujung kepala hingga ke bagian bokong tikus betina
tersebut. Sambil meraba-raba, tikus itu juga menggunakan indera penciumannya untuk
mendapatkan di mana gerangan sumber baunya. Setelah sampai di bokong tikus betina,
penciumannya semakin besar merasakan aroma tikus betina itu. Iapun memutuskan untuk
berhenti. Dengan kedua tangan dan matanya yang bening, ia mencari sumber aroma itu.
Tangannya menyisir bulu-bulunya, sementara matanya bergerak ke sana kemari
mengikuti pilahan bulu bulu tikus betina oleh jari-jemarinya. Setelah beberapa lama, dari
sekian luas bokongnya, Ia ternyata menemukan suatu benda kecil, hampir tidak kelihatan
oleh mata melekat di antara apitan pangkal pahanya. Benda itu berwarna cokelat dan
berbentuk panjang. Tikus jantan sangat yakin kalau itulah sumber aroma khas tikus
betina itu. Tikus jantan ini nampaknya mengenal benda itu. Iapun mengorek benda
misterius itu sambil mencucukkannya ke dalam mulutnya. Lidahnya mengecap rasa
benda itu sama dengan rasa udang goreng. Ia semakin yakin bahwa yang melekat itu
adalah benda yang pernah dicicipnya di lemari makan sang pemilik rumah. Iapun
bertanya pada tikus betina itu : “Apakah ini serpihan terasi?” “Ya, kau benar”, tikus
betina menjawab. “Inikah yang menjadi sumber baumu? Dan, apakah ini yang kau
pertahankan sekian lama?” Tikus jantan lanjut bertanya. “A, a, a, ya, kau benar!” Tikus
betina meyakinkannya. “Ah………… cuman secuil terasi doang!!!!!!!” Tikus jantan
membalas dengan kesal bercampur tidak percaya, bagaimana mungkin tikus betina itu
hanya mempertahankan secuil terasi yang melekat di antara kedua apitan pahanya?
Setelah kejadian itu, tikus jantan itu berpikir “Apakah yang membuat Saya penasaran?
Apakah hanya karena secuil terasi? Apakah yang disediakan tikus betina cuman secuil
terasi saja?”. Tikus betinapun tidak ketinggalan. Setelah kejadian itu tikus betinapun
menyimpan sejumlah pertanyaan. “Apakah yang kupunyai hanya seons terasi untuk
memikat para pejantan? Apakah para pejantan itu mengejar-ngejar aku karena terasi itu?
Apakah seons terasi itu yang kupertahankan sebagai kehormatanku dari kejaran para
pejantan?”

You might also like